Anda di halaman 1dari 30

Sunan Gunung Djati-Mantan Menteri Agama, Maftuh Basyuni memberikan statement

penting berkait dengan jamaah haji Indonesia. Dalam konferensi persnya, Maftuh mengkritik
sejumlah jamaah yang menjadikan haji sebagai hoby.
Sikap seperti ini dilansir, Menteri Agama sebagai fakor munculnya persoalan pada jamaah
haji Indonesia. Karena itu beliau menyarankan agar haji dilakukan sekali saja.
Pernyataan tadi mengingatkan saya pada sebuah riwayat yang menceritakan dua malaikat
berdiskusi tentang jamaah haji. Ada berapa orang jamaah haji yang berangkat tahun ini?.
Tanya salah satu malakait. Ada dua ratus ribu orang.
Jawab malaikat satunya lagi.. Wah..banyak sekali, komentar malaikat yang bertanya tadi,
kagum. Lalu ia melanjutkan pertanyaannya, berapa orang yang mendapat pahala?. Hanya
satu orang, jawab malaikat yang ditanya, itu pun dia batal pergi ke Arab Saudi, gara-gara
ongkosnya dipakai mengobati tetangganya yang miskin dan sakit.
Musim haji datang lagi. Dalam catatan Data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu jumlah
jamaah haji per 16 November 2007 mencapai 210.000 orang jamaah. Jumlah ini terbagi pada
193.429 orang untuk kategori Jamaah Haji Biasa, dan 16.293 orang untuk kategori Jamaah
Haji Khusus. Pemberangkatan jamaah haji tahun ini akan dilakukan dengan 483 kelompok
terbang (kloter) dengan menggunakan dua maskapai penerbangan.
Angka 210.000 orang jamaah tentu saja merupakan jumlah yang fantastis. Apalagi ditengah
penyelenggaraan haji yang tiap tahunnya tidak sepi dari persoalan. Namun demikian, carut
marut persoalan selama ini tidak menyurutkan niat umat Islam Indonesia untuk menunaikan
ibadah haji. Buktinya setiap tahun kuota haji Indonesia terus bertambah. Bahkan saking
banyaknya peminat, seseorang yang hendak melaksanakan haji harus mendaftar jauh-jauh
hari sebelum keberangkatan. Kalau beruntung mereka bisa berangkat tahun berikutnya, atau
kadang-kadang harus ekstra sabar karena masuk dalam daftar tunggu (waiting list).
Niat berhaji bisa mengalahkan segala hambatan. Guru saya, menceritakan pengalamannya
ketika menunaikan haji. Dalam sebuah perjalanan haji, beliau bertemu Pak Engkon, seorang
jamaah asal Banten. Pak Engkon berhaji setelah menabung bertahun-tahun lamanya. Maklum
dia hanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Gol. II C di Perusahaan Jawatan Kereta Api
(PJKA). Besarnya ongkos naik haji (ONH) tidak menyiutkan nyali Pak Engkon untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Demikian kuatnya niat tersebut, Pak Engkon tega
berbohong kepada istrinya. Setiap bulan, uang gajian yang diterimanya tidak ia setorkan
semua kepada istrinya, melainkan di tabung dengan menaruhnya diatas para (plafon) rumah.
Setiap tahunnya, ada lebih dari dua ratus ribu jamaah haji dari Indonesia. Diantara ribuan
jamaah yang berangkat, ratusan bahkan ribuan orang yang berjuang seperti Pak Engkon.
Mereka menabung bertahun-tahun untuk membayar ONH yang tiap tahunnya terus
melambung. Para jamaah haji yang datang dari desa-desa, rela menjual sawah, kebun, kerbau
atau mengutang dulu untuk membayar ONH.
Keyakinan akan mendapat pahala dengan menunaikan haji seakan menggeser persoalan-
persoalan kehidupan lain, seperti biaya sekolah anaknya. Padahal seandainya dana ONH
tersebut digunakan bagi sekolah anaknya, barangkali akan terbuka masa depan cerah bagi
anaknya. Atau mungkin akan ada banyak persoalan kemasyarakatan seperti pengangguran,
kemiskinan, kelaparan di sekitarnya yang tertanggulangi.
Pemahaman Ajaran Agama
Animo besar masyarakat untuk berhaji tidak lepas dari paham kegamaan masyarakat selama
ini. Menunaikan rukun Islam ke lima, menjadi alasan utama seorang muslim melaksanakan
ibadah haji. Bagi sebagian umat muslim di tanah air rasanya tidak sempurna ke-Islamannya
jika belum melaksanakan ritual yang dicontohkan Nabi Ibrahim ini.
Persepsi demikian semakin dikuatkan oleh sikap masyarakat yang menaruh status terhormat
bagi siapa saja yang pernah naik haji. Dalam hubungan sosial masyarakat Indonesia orang
yang telah menunaikan ibadah haji berhak menyandang gelar Haji (disingkat H) di depan
namanya. Apalagi jika sanggup naik haji lebih dari sekali, mungkin huruf H nya bertambah
banyak. Fenomena yang mungkin tidak ditemui di negara-negara muslim lainnya. Identitas
Haji (disingkat H), bagi sebagian masyarakat kita tidak hanya menyimbolkan kelas ekonomi,
tapi sekaligus mengisyaratkan ketaatan beragama, dan kehormatan. Atas dasar privilege
tersebut, seseorang sanggup menangguhkan, bahkan mengorbankan kepentingan yang tidak
kalah nilai ibadahnya, hanya demi menunaikan ibadah haji.
Kesalehan Sosial
Antusiasme umat Islam untuk naik haji bisa jadi merupakan indikator religiusitas masyarakat.
Namun hal tersebut menjadi ironis ditengah bangsa yang kian hari kian banyak yang
kelaparan, bencana, pengangguran, kriminalitas serta kemiskinan dimana-mana.
Ibadah haji, dalam konteks seperti ini alih-alih membawa berkah sosial, malah berpotensi
menambah persoalan. Tentu bukan hajinya yang keliru, namun persepsi orang terhadap haji
yang harus ditafsir ulang. Haji sebagai ibadah pasti baik. Tetapi ada persoalan yang jauh lebih
mendesak (urgent) dan krusial yang harus diselesaikan masyarakat di negeri ini.
Bagaimanapun naik haji bukan hanya ibadah yang berdimensi individual sebagai pemenuhan
kewajiban seorang makhluk terhadap Tuhan-nya. Tetapi juga berfungsi sebagai ibadah yang
memiliki manfaat sosial kemasyarakatan.Akan menjadi ironis seandainya di tengah
banyaknya orang naik haji, persoalan kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan korupsi
justru semakin tak terkendali.
Persoalan ini merupakan agenda serius yang dihadapi umat Islam sebagai mayoritas
penduduk negeri ini. Terlebih lagi bagi kaum agamawan (para ulama, cendikiawan, kiyai)
untuk memberikan tafsiran yang lebih kontekstual dan proporsional dengan kondisi sosial
masyarakat. Kewajiban haji jangan lantas mengabaikan persoalan-persoalan riil di depan
mata menjadi bukan ibadah dan tidak penting.
Dialog malaikat diatas mengisyaratkan siapa yang berhak menyandang predikat haji mabrur
(haji yang diterima). Kepedulian pada persoalan riil di masyarakat pada akhirnya menjadi
ukuran. Nilai ke-mabrur-an (diterimanya haji) tidak dicapai dengan melempari tiang pada
Jumrah sebagai simbol setan, sembari membiarkan setan-setan nyata di rumah, di kampung
dan di tanah airnya sendiri terus berkeliaran.
Nilai Ibadah haji bisa diraih tidak mesti dengan berangkat ke Arab Saudi. Persoalan
masyarakat, bangsa dan keluarga adalah ladang bagi mereka yang mampu berempati dan
berbuat untuk memperbaikinya. Pernyataan ini tentu saja bukan berarti naik haji tidak
berpahala, namun alangkah bijaknya jika niat berhaji tersebut dilaksanakan dalam kesadaran
pentingnya berempati pada persoalan sosial yang mendera masyarakat, bukan ritual semata
apalagi untuk meraih gengsi.

Untuk membahas tentang potensi zakat, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu dua jenis
zakat dalam Islam. Ada dua jenis zakat dalam Islam, yaitu zakat fitrah dan zakat maal.

Dua Jenis Zakat

1. Zakat Fitrah

Zakat ini disebut juga dengan zakat nufus atau zakat jiwa. Disebut demikian karena bentuk
perhitungan zakat ini menggunakan hitungan per orang (jiwa), bukan harta. Siapapun orang
Muslim (laki-laki atau perempuan, anak-anak, bahkan budak kecuali yang benar-benar
miskin) memiliki kewajiban untuk zakat fitrah (baik dalam bentuk makanan pokok sekitar 2,5
kg atau uang yang setara).

Oleh karena itulah, zakat ini dalam bahasa ekonomi dapat didefinisikan sebagai biaya tetap
dikenakan pada setiap orang. Setiap Muslim - termasuk masyarakat miskin, selama mereka
masih memiliki makanan untuk hari pertama Idul Fitri - harus membayar zakat al-fitr untuk
diri mereka sendiri dan tanggungan mereka.

Pelaksanaannya adalah menjelang Idul Fitri (waktu wajib bayar) atau dapat pula dibayarkan
dari awal Ramadhan (waktu mubah). Zakat Fitrah akan dibahas sendiri dalam pembahasan
berikutnya. Dalam membayar atau menyerahkan zakat fitrah ini, dapat dilakukan melalui
amil (di masjid-masjid atau musala) dan yang masih banyak berkembang adalah diserahkan
sendiri secara langsung kepada penerimanya.

Adapun dalam hal pengumpulan yang dilakukan amil, hasil yang dikumpulkan dari zakat
fitrah ini didistribusikan untuk memberi makan orang miskin, sehingga bisa dipastikan bahwa
pada saat Idul Fitri tidak ada masyarakat yang kelaparan atau tidak memiliki makanan.
Dengan demikian, meskipun banyak orang miskin harus membayar zakat al-fitr, mereka juga
penerima utama dari jumlah yang diterima.

2. Zakat Maal

Sesuai namanya, zakat maal merupakan zakat yang dikenakan atas harta benda yang
diperoleh atau yang dimiliki oleh seorang Muslim. Tidak seperti zakat al-fitr, zakat al-mal
dikenakan hanya pada Muslim yang kekayaannya melebihi ambang batas yang disebut nisab.

Sebelum nisab dihitung, terlebih dahulu diperhitungkan kebutuhan dasar muzakki dan
keluarganya, serta kewajiban keuangan dan utang jatuh tempo. Karena mendasarkan kepada
kepemilikan harta inilah, maka zakat maal ada yang menyamakan dengan pajak, walaupun
sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat substansial.

Memang perlu dicatat bahwa fakta sejarah menunjukkan, pengumpulan dan distribusi zakat
al-mal dikelola oleh negara pada masa Nabi dan para khulafaurrarasyidin, dan terus menjadi
fungsi dari pemerintah Muslim sampai jatuhnya Kekaisaran Ottoman.

Selanjutnya, batas minimum harta yang wajib dizakati pada tabungan atau investasi adalah 85
gram emas, dan jumlah zakatnya adalah 2,5%;. Harta yang dikenakan bisa merupakan harta
perniagaan, pertanian/peternakan, dan yang terakhir berkembang zakat profesi.

Potensi Ekonomi Zakat di Indonesia

Dari dua jenis zakat tersebut di atas, zakat fitrah barangkali sering kurang diperhitungkan
sebagai potensi besar yang menggerakkan ummat. Lembaga-lembaga amil zakat yang ada
selama ini, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) juga kurang
memperhitungkan dan lebih banyak menyerahkan menjadi gerakan di masyarakat, baik
diserahkan secara langsung maupun pembentukan amil adhoc di masjid-masjid atau
mushola.

Hal ini bisa dipahami, karena dari sisi waktu pengumpulan dan distribusi, zakat fitrah
berlangsung begitu cepat, hanya dalam hitungan hari atau bahkan jam. Batasnya adalah akhir
ramadan hingga pelaksanaan Salat Idul Fitri. Karenanya, penghitungan yang dijadikan
patokan adalah jiwa, bukan harta.

Padahal, jika zakat fitrah dapat dikelola dengan baik, tidak menutup kemungkinan, sebuah
gerakan sosial zakat selama Ramadan akan menjadi sesuatu yang dahsyat. Bayangkan,
dengan penghitungan jiwa, setidaknya zakat fitrah akan dibayarkan oleh sekitar 200 juta jiwa
Muslim. Jika satu jiwa membayar 2,5 kg beras dan jika dikonversi per kg beras adalah Rp8
ribu, maka per tahun Zakat Fitrah dapat terkumpul sebesar Rp4 triliun.

Akan tetapi, untuk dapat mengelola zakat fitrah secara lebih optimal, tampaknya diperlukan
usaha lebih keras, baik dari sisi ijtihad fiqhiyahnya maupun peningkatan kualitas sumber
daya manusianya.

Sementara zakat maal memiliki waktu yang relatif lama, yaitu satu tahun (haul). Patokan
yang dijadikan dasar hitungan adalah kepemilikan harta. Atas dasar inilah, terdapat ruang
yang cukup untuk melakukan perencanaan, pengumpulan dan pendistribusian terkait zakat
maal. Dan zakat ini pula yang paling banyak dikelola oleh lembaga-lembaga amil zakat (baik
BAZ maupun LAZ).

Dari kedua jenis zakat tersebut, bangsa Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat
besar dari penerimaan zakat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak
Kemenag dan Baznas misalnya, disebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai
Rp217 triliun. Potensi ini pada dasarnya bukan sesuatu yang mengagetkan. Hal ini tentu saja
dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:

Jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yaitu sekitar 86% dari 250 juta jiwa, atau
sekitar 200 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai berpenduduk Muslim
terbesar di dunia. Arab Saudi yang 100% Muslim saja hanya memiliki sekitar 30 juta jiwa.
Berikut data jumlah penduduk Muslim 2011 di antara negara Islam:
No Negara Populasi Muslim (%) Total
1 Indonesia 240,271,522 86.10% 206,873,780
2 Pakistan 176,242,949 95% 167,430,802
3 India 1,166,079,217 13.40% 156,254,615
4 Bangladesh 156,050,883 83% 129,522,233
5 Turki 76,805,524 99.80% 76,651,913
6 Mesir 83,082,869 90% 74,774,582
7 Nigeria 149,229,090 50% 74,614,545
8 Iran 66,429,284 98% 65,100,698
9 Maroko 34,859,364 98.70% 34,406,192
10 Algeria 34,178,188 99% 33,836,406
11 Afghanistan 33,609,937 100% 33,609,937
12 Arab Saudi 28,686,633 100% 28,686,633

(dari berbagai sumber)

Membaiknya kondisi perekonomian bangsa yang tentu saja menjadi salah satu
represenstasi dari kondisi perekonomian masyarakat (Muslim).

Data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir, terjadi
peningkatan Pendapatan Perkapita penduduk di Indonesia, yaitu besarnya pendapatan rata-
rata penduduk di suatu negara. Sebagaimana diketahui bahwa pendapatan per kapita sering
digunakan sebagai tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara,
semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut.

Berikut data perkembangan pendapatan perkapita Indonesia 3 tahun terakhir:
Tahun Pendapatan Perkapita
Kenaikan dari tahun
sebelumnya (%)
2009 23,9 juta 11,6 %
2010 27,1 juta 13,3%
2011 30,8 juta 13,8%

(dari berbagai sumber)

Jika dihitung per bulan, rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia sekitar Rp2,56
juta.

Dengan dasar asumsi bahwa mayoritas penduduk adalah Muslim, maka tentu saja kenaikan
pendapatan sebagian besar terjadi pada keluarga Muslim. Dan dapat dipahami jika disebutkan
bahwa terjadi peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia. Beberapa pengamat bahkan
secara kuantitatif menyatakan bahwa setidaknya terjadi peningkatan sekitar 50 juta orang
kaya baru.


Dari dua faktor diatas saja, maka potensi Rp217 triliun pertahun sebagaimana hasil penelitian
Kemenag dan Baznas di atas, merupakan sesuatu yang cukup realistis. Katakanlah, jika dari
86% jumlah masyarakat Muslim, sekitar 60% merupakan muzakki, dan rata-rata membayar
zakat sebesar Rp2 juta, maka zakat yang bisa terkumpul sekitar 248 Trilyun.

Jika dibandingkan dengan total APBN Indonesia 2012 sebesar Rp1,418 triliun, maka potensi
zakat adalah seperempatnya. Sebuah angka yang sangat besar untuk penguatan dan
pengembangan ekonomi ummat. Bahkan beberapa pihak ada yang menyebut potensi zakat
umat Indonesia sebenarnya adalah sepertiga dari APBN.

Realisasi Penerimaan Zakat

Berapapun potensi yang bisa diestimasi dan diprediksikan, ternyata realitas penerimaan zakat
hingga sekarang ini masih sangat jauh dari harapan. Pada tahun 2011 misalnya, data
BAZNAS menunjukkan penerimaan masih berkisar sekitar Rp1,5 triliun. Angka ini tentu saja
sangat jauh dari potensi yang ada.

Sebuah tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Muslim umumnya, dan lembaga-
lembaga zakat pada khususnya (baik BAZ maupun LAZ). Beberapa pengamat mensinyalir
misalnya, kondisi tersebut disebabkan karena Indonesia bukan negara Islam. kalangan lain
menyebut belum meratanya edukasi tentang zakat serta sumber daya pengelola yang kurang
optimal.

Apapun alasan yang bisa dikemukakan, yang jelas kondisi tersebut patut menjadi perhatian,
khususnya bagi kaum Muslim. Sebuah perjuangan besar harus dilakukan. Selain jumlah
penduduk Muslim terbesar, kondisi penerimaan zakat yang cukup kecil tersebut berbanding
terbalik dengan umur Islam di Nusantara ini yang bahkan sudah mencapai lebih dari 7 abad
atau 700 tahun.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat distribusi zakat yang dilakukan secara
personal. Hal ini menjadi tantangan tersendiri lagi, bagaimana seluruh komponen ummat
Islam dapat dilakukan integrasi sehingga penerimaan dapat dilakukan secara optimal. Dengan
optimalnya zakat, maka akan menjadi kekuatan ekonomi dahsyat. Terlebih hingga sekarang
ini, setidaknya data BPS masih masih adanya sekitar 36 juta masyarakat miskin --dan sangat
mungkin lebih dari 50 juta di tengah semaraknya pertumbuhan ekonomi 6.5% yang sering
disuarakan pemerintah.

Sebuah jalan panjang dan berliku masih hasrus dihadapi oleh Ummat Islam. Belum
optimalnya zakat, berarti misi dan pesan penting yang terkandung dalam makna zakat belum
dapat terpenuhi.

****
Noor Aziz
Direktur Zakat Watch
www.zakatwatch.org

Zakat Watch didedikasikan untuk kepentingan umum untuk kemanfaatan pengelolaan zakat
di Indonesia. Aktivitasnya antara lain melakukan pengawasan, pembinaan dan advokasi
pengelolaan zakat . Zakat Watch adalah organiasi masyarakat sipil atau Civil Society
Organisation (CSO), bergerak secara non profit yang berkedudukan di Jakarta dan
melaksanakan program di berbagai wilayah Indonesia.

Zakat Watch akan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan dibidang pengembangan
zakat di Indonesia dan menjalin kerjasama gerakan sejenis di dunia.

HAJI DAN FENOMENA KEMISKINAN
Haji adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa.
Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum
muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung
dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada
suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah).

Berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan
inti ibadah haji ini dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam
bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Dikalangan masyarakat Indonesia sendiri lebih akrab dengan sebutan Hari raya
haji atau hari raya kurban, karena perayaan ibadah haji ini juga ditandai dengan
penyembelihan hewan kurban.
;
Dahulu pada masa nabi Muhammad saw. ada seorang miskin yang ingin
menunaikan ibadah haji. Ia rupanya telah mengumpulkan semua biaya ibadah
haji itu selama 20 tahun. Namun, ketika dalam perjalanan mulia menuju
makkah, ia menyaksikan banyak kaum muslimin yang sedang dilanda
kemiskinan dimana-mana. Tak tega melihat saudara-saudaranya yang seiman
sedang membutuhkan bantuan, ia pun kemudian mengurungkan niatnya untuk
ziarah ke makkah. Selanjutnya Ia bagi-bagikan semua hartanya kepada mereka.
Persoalan itu kemudian sampai ketelinga nabi dan nabi pun haru mendengarnya.
Selanjutnya nabi bersabda " Hajimu sah dan kamu berhak masuk syurga"

Kisah ini memang kurang dikenal oleh umat islam Indonesia. Pemahaman
agama yang mereka ketahui selama ini sebatas pemahaman bahwa haji adalah
ziarah ke baitullah lahir dan bathin sebagai syarat penyempurnaan iman
seseorang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Indonesia
mencapai 17,9 persen. Menurut Bank Dunia, kemiskinan mencapai hampir
separuh rakyat Indonesia, 49 persen. Ini menunjukkan angka yang cukup
fantastis sebagia Negara yang kaya raya akan sumber daya alamnya.

Bank Dunia mencatat, penghasilan separuh penduduk Indonesia di bawah dua
dollar AS. Itu baru data kemiskinan, belum lagi jumlah pengangguran murni,
semi pengangguran, dan orang yang terancam PHK (dirumahkan). Dari data
kemiskinan itu akan diikuti derita sosial, seperti tingginya putus sekolah, mudah
terjangkit wabah penyakit, perceraian, kriminalitas tinggi, dan konflik sosial kian
rawan.

Kondisi yang memprihatinkan ini diperparah daerah-daerah yang terkena
bencana alam, seperti Aceh, Yogyakarta, Klaten, Pengandaran, dan Sidoarjo,
kelud, bengkulu dan berbagai tempat lainnya. Bahkan, Hingga kini masih banyak
dari mereka yang belum bisa keluar dari kesulitan hidup. Pertanyaannaya
kemudian pantaskah mereka menghambur-hamburkan uang dengan
meninggalkan saudaranya yang masih membutuhkan ?

Salah satu syarat dari diperbolehkannnya seseorang menunaikan haji adalah
bahwa perjalaan dalam keadaan aman dan tidak dalam kondisi perang. Jika
dimaknai secara social bangsa kita sedang mengalami peperangan yang cukup
dahsyat dengan berbagai fenomena kemiskinan yang semakin parah. Ini adalah
perang terhadap kemiskinan dan siapapun tidak sah menunaikan ibadah haji jika
kondisi Negara dalam keadaan tidak aman.

Konteks sosial ini seharusnya bisa mendorong umat Muslim untuk berani
menafsirkan ibadah haji secara subtansial. Dimana haji tidak harus difahami
secara tekstual. Akan tetapi akan lebih baik jika dimaknai dengan
kontekstual/realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Artinya, masyarakat
disekitar kita yang sedang mengalami kesulitan hidup mau tidak mau sangat
membutuhkan uluran tangan kita. Terutama bagi orang-orang yang mempu
untuk haji. Yang dalam hal ini kemudian dinamakan haji social. Merujuk pada
kisah diatas maka tidak ada salahnya jika pemerintah menekan para jamaah
haji terutama yang sudah berulang kali agar semua dana kenberangkatan di
hibahkan kepada fakir miskin. Haji sosial adalah haji yang amat mulia, dicintai
fakir miskin dan diridhoi Allah. Inilah sebenarnya haji mabrur (Jabir Alfaruki,
kompas).

Sekali lagi, andaikata pemahaman tentang perlunya haji sosial ini bisa
diterapkan di kalangan umat Islam, penderitaan saudara-saudara Muslim akan
bisa dikurangi. Pemerintah tidak perlu minta bantuan negara lain dengan
menjual kemiskinan dan bencana alam. Berbagai kebutuhan sosial kemanusiaan
itu bisa dipenuhi dari rakyat Indonesia sendiri melalui haji sosial.

PROVOKATOR HAJI
Disarikan dari Ceramah Ahad
yang disampaikan oleh:
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
pada tanggal 16 November 2008
di Masjid Agung Sunda Kelapa J akarta
Transkriptor: Hanafi Mohan
Sesuai dengan catatan yang dapat dipercayai, bahwa pada tahun 1994, jamaah haji
Indonesia hanya 150 ribu orang. Quotanya adalah 220 ribu, yang ini sejak beberapa tahun
lalu quota tersebut sudah selalu terpenuhi. Karena itulah, jika mendaftar untuk berhaji
sekarang, maka baru bisa berangkat pada tahun 2010. Inilah karena begitu banyaknya orang
yang pergi haji. Mengapa bisa menjadi banyak seperti ini? Hal inilah yang akan kita bahas
kali ini.
Menurut catatan sejarah, bahwa Rasulullah mempunyai kesempatan tiga kali untuk
beribadah haji. Tetapi selama hidupnya dengan tiga kali kesempatan itu, hanya satu kali
Rasulullah melaksanakan ibadah haji.
Rasulullah mempunyai kesempatan ratusan kali untuk beribadah umrah, bahkan ribuan
kali kesempatan. Tetapi Rasulullah melaksanakan ibadah umrah hanya empat kali: yang
pertama gagal (6 H), karena Mekkah masih dikuasai oleh orang-orang musyrik, yang ketika
itu baru diizinkan untuk berumrah pada tahun 7 H.
Pada tahun 8 H, Mekkah sudah dikuasai oleh Islam, tetapi Rasulullah tidak melakukan
ibadah umrah dan haji. Pada tahun 9 H, Rasulullah barulah melaksanakan ibadah umrah.
Pada tahun 10 H, Rasulullah melaksanakan ibadah umrah bersama haji. Jadi selama
hidupnya, Rasulullah hanya melaksanakan umrah yang sunnah itu sebanyak dua kali.
Bandingkan dengan orang Indonesia yang jika mempunyai uang, maka maunya
berumrah setiap bulan, serta berhaji setiap tahun. Dan ternyata bukan cuma di Indonesia, di
negara-negara lain pun juga seperti itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini dikarenakan:
Pertama, ada anggapan, bahwa semakin sering ke Mekkah, maka orang tersebut akan
semakin baik; baik dalam hal ibadahnya karena sering datang ke rumah Allah, baik juga
karena kantongnya.
Ada anggapan di sebagian daerah di Indonesia, jika seorang pria sudah pernah berhaji
sebanyak dua kali, maka dia akan mudah untuk mencari istri yang kedua. Mengapa bisa
demikian? Karena orang yang sudah berhaji sebanyak dua kali ini dianggap bagus. Jika
anggapan ini benar, maka Rasulullah tidaklah bagus, karena selama hidupnya Rasulullah
hanya berhaji sebanyak satu kali.
Kedua, karena gencarnya iklan dan promosi untuk haji dan umrah. Cobalah lihat pada
harian seperti Republika, di sana oknum-oknum kyai dan oknum-oknum ustadz semuanya
menjadi bintang iklan haji dan umrah. Dan ternyata hal seperti ini tidak hanya di Indonesia,
di negara lain pun seperti itu.
Tadinya saya pikir, mungkin fenomena ini hanya terjadi di Indonesia, sehingga saya
tidak mempunyai kecurigaan apa-apa. Pada Bulan Syawwal (November tahun lalu/2007),
saya berada di Chicago-Amerika Serikat. Di sebuah restoran, saya ambil koran-koran, yang
ternyata isinya banyak sekali iklan haji dan umrah. Mulai saat itu, saya sudah mulai curiga,
kok di semua negara yang ada Umat Islamnya, ternyata koran-koran penuh dengan iklan haji
dan umrah? Ini ada apanya? Jika hal ini terjadi di Indonesia saja, tentunya hanya sesuatu yang
biasa-biasa saja. Ternyata, hampir di semua negara juga seperti itu, seperti ada yang
menggerakkan.
Waktu itu, kami sudah mulai curiga akan fenomena ini. Menurut perkiraan saya,
mungkin ada aktor intelektualnya di balik fenomena ini.
Mengapa orang dianjurkan untuk berbondong-bondong pergi haji, bukannya diajurkan
untuk membangun Umat Islam. Padahal menurut suatu penelitian yang dilaporkan oleh
Sekretaris Dewan Fatwa Republik Arab Syiria, bahwa setiap tahun (setiap musim haji), Umat
Islam melemparkan dana untuk ibadah Haji Sunnah sebanyak 5 milyar Dolar Amerika (jika
dikurs-kan sekarang yaitu kurang lebih 55 trilyun Rupiah). Ini belum termasuk yang umrah,
khususnya umrah pada Bulan Ramadan (Rasulullah saja tidak pernah melakanakan umrah
pada Bulan Ramadan).
Jadi, dana sebanyak itu terlempar begitu saja. Pulang dari haji, ternyata keadaan tetap
seperti ini (Umat Islam bukan semakin sejahtera).
Kecurigaan ini kemudian berubah ketika pada pertengahan Ramadan yang lalu, kami
berada di Kota West Palm Beach-Florida-Amerika Serikat. Ketika itu, kami mendapatkan
informasi dari seorang Muslim Indonesia yang bekerja di suatu perusahaan di sana
(perusahaan itu milik orang Yahudi). Setiap menjelang musim haji, pemilik perusahaan itu
menganjurkan pegawai-pegawainya yang muslim untuk pergi haji. Waktu itu saya tanyakan
kepada orang itu, Yang membiayai siapa, Pak? Jawab orang itu, Ya, membiayai
sendiri.
Lantas kemudian muncul pertanyaan pada saya, Apakah kepentingannya orang
Yahudi menganjurkan orang Islam untuk berduyun-duyun pergi haji? Apakah orang Yahudi
itu ingin mendapatkan pahala? Tapi dia kan tidak mempercayai Agama Islam? Dia juga tidak
menginginkan uangnya, karena ia bukan pemimpin perusahaan penerbangan, bukan juga
KBIH, apalagi pembimbing haji. Lantas apakah kepentingannya?
Kepentingannya adalah, agar Umat Islam membuang dananya untuk sesuatu yang tidak
wajib. Dana Umat Islam jangan dipakai untuk mengentaskan kemiskinan, untuk membangun
rumah sakit-rumah sakit Islam, untuk membangun kesejahteraan Umat Islam, dan
sebagainya. Itulah kepentingan mereka.
Menurut FAO (Organisasi Pertanian dan Pangan PBB), bahwa di dunia kini masih
dihuni oleh 830 juta orang miskin. Dengan catatan, bahwa yang miskin adalah orang yang
penghasilannya kurang dari 2 dolar sehari (sekitar 20 ribu rupiah). Jadi, mereka yang
penghasilannya kurang dari 20 ribu rupiah per-hari, maka itu disebut miskin. Dari 830 juta
orang miskin itu, 700 juta nya adalah orang Islam.
Karena itulah, saya sekarang bukan lagi curiga, tetapi sudah yakin, bahwa tangan-
tangan Yahudi sudah bermain dalam urusan haji. Maka orang Islam selalu digenjot supaya
pergi haji terus, jangan ada yang membantu anak yatim yang terkena bencana tsunami di
Aceh, jangan ada yang mengentaskan kemiskinan, melainkan uangnya lebih baik digunakan
untuk melaksanakan ibadah haji saja terus-menerus. Inilah yang saya sebut sebagai
Provokator Haji.
Ketika Umat Islam sedang terpuruk, masih banyak anak yatim yang terlantar, juga
masjid-masjid yang terbengkalai, padahal Islam adalah agama yang anti kemiskinan.
Buktinya, ketika Rasulullah kedatangan Kabilah Mudhar di Madinah, ternyata Kabilah
Mudhar ini orang-orangnya kurus-kurus, kurang gizi, pakaiannya compang-camping.
Melihat Kabilah Mudhar seperti ini, maka Rasulullah marah. Bukan marah kepada
orang-orang Kabilah Mudhar yang miskin-miskin, melainkan marah kepada para sahabat,
Mengapa Kabilah Mudhar dibiarkan miskin seperti itu?
Rasulullah menganjurkan supaya mereka disantuni langsung di masjid. Mendengar
anjuran Rasulullah ini, maka ada yang bangun kemudian pulang ke rumah, setelah itu balik
lagi ke masjid dengan membawa sekarung gandum kemudian menyerahkannya untuk
Kabilah Mudhar. Begitu melihat ini, maka yang lainnya pun balik ke rumah masing-masing
dan kemudian kembali lagi ke masjid dengan membawa bahan-bahan makanan, pakaian, dan
sebagainya untuk diberikan kepada Kabilah Mudhar. Lalu Rasulullah berkata:
Man sanna bil Islami sunnatan hasanatan balaghu ajruha wa ajruman amilabiha min
ghayri an yanqusa min ujurihim syay-an (Siapa yang merintis perbuatan yang baik dalam
Islam, maka dia akan mendapatkan pahala perbuatannya itu dan perbuatan orang-orang lain
yang mengikutinya).
Hal ini menunjukkan, bahwa Islam adalah agama yang anti kemiskinan. Islam adalah
agama yang membawa rahmat (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin). Islam adalah
agama yang membawa rahmat untuk seluruh alam. Rahmat itu bukan hanya untuk manusia
(baik itu muslim ataupun kafir), sedangkan binatang saja juga mendapatkan rahmat tersebut.
Menurut suatu riwayat, seorang yang memberikan minuman kepada anjing yang
kehausan, ternyata dosanya diampuni oleh Allah, yang artinya ia bisa masuk surga hanya
karena memberi minum seekor anjing.
Yang namanya alamin itu adalah apa saja yang eksis di muka bumi ini, baik itu
manusia (baik yang muslim maupun yang kafir), binatang, tumbuh-tumbuhan, dan apa saja
yang ada di alam ini. Rasulullah mengatakan, bahwa siapa saja yang membunuh seekor
burung (usfur = burung yang kecil) tanpa ada haknya, maka dia akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat nanti. Diperbolehkan kecuali ada haknya? Para sahabat
bertanya, apakah haknya? Rasulullah mengatakan, bahwa burung tersebut boleh dibunuh,
tetapi harus dimakan, jangan untuk main-main, misalkan hanya untuk dijadikan sebagai
hiasan.
Karena itulah, di dalam hadits banyak disebutkan mengenai pelestarian lingkungan.
Sampai-sampai Rasulullah menyatakan untuk tidak membunuh kodok.
Di Australia ada undang-undang yang menyatakan larangan untuk membunuh kodok,
termasuk juga burung-burung dan binatang-binatang lainnya. Begitu juga di Amerika Serikat
dan Kanada, yang jika kita sedang berada di sana, maka akan terlihat tupai dan burung
berkeliaran di sekeliling rumah. Bahkan di Kanada, kita tidak boleh menebang pohon,
walaupun pohon itu berada di depan rumah kita, kecuali ada izin dari pemerintah. Inilah
rahmatan lil alamin. Tetapi yang lebih banyak mempraktekkannya bukanlah Umat Islam.
Mungkin kebanyakan Umat Islam lebih senangnya merusak saja.
Jadi, Islam itu adalah agama yang merupakan rahmat kepada seluruh penghuni alam,
bukanlah agama yang individual saja. Kalau Islam itu rahmat, berarti kita sebagai Umat Islam
harus peduli terhadap orang lain.
Islam bukanlah hanya agama individual yang tidak ada kepedulian sama sekali terhadap
orang lain. Islam adalah agama individual, dan sekaligus agama sosial. Islam adalah agama
yang membina keshalehan individual, sekaligus keshalehan sosial.
Oleh sebab itulah, meskipun Rasulullah mempunyai uang dan kesempatan untuk
berhaji sebanyak tiga kali, ternyata Rasulullah melaksanakannya cukup satu kali saja. Lantas
uangnya yang lain dipergunakan untuk apa? Ternyata dipergunakannya untuk berinfak.
Ketika Rasulullah tinggal di Madinah, maka:
Pertama, ada kewajiban untuk berjihad melawan serangan-serangan orang kafir. Jihad
memerlukan dana. Maka uang Rasulullah dipergunakan untuk membiayai jihad, begitu juga
dengan para sahabat.
Wa jahidu bi anfusikum wa amwalikum (Berjihadlah dengan jiwa raga dan harta kalian).
Kedua, menyantuni janda-janda miskin dan anak-anak yatim.
Rasulullah mengatakan:
As-sai alal armalati wal miskin kal mujahid fi sabilillah (Orang yang menyantuni para
janda, para miskin, maka dia seperti orang yang berjihad di jalan Allah).
Bahkan juga dikatakan, seperti orang yang selalu berpuasa setiap hari dan salat tahajjud
setiap malam.
Rasulullah juga mengatakan:
Ana wa kafilul yatim kahataini fil jannah (Saya bersama orang yang menyantuni anak yatim
seperti dua jari ini di surga).
Surganya Rasulullah tentunya bukan surga yang biasa, melainkan surga yang paling
tinggi tingkatannya, yang ini hanya diberikan kepada Rasulullah dan orang-orang yang
menyantuni anak yatim.
Ketiga, menyantuni orang-orang yang sedang belajar Islam kepada Rasulullah ketika
itu.
Umumnya, jika orang disuruh untuk menyantuni anak yatim, tentunya akan berpikir
dua kali, malas, dan berbagai macam alasan lainnya. Tetapi, jika disuruh haji, maka orang
akan langsung mendaftarkan diri.
Haji adalah ibadah yang paling rawan godaan dan provokator. Tidak ada salat itu
ayatnya disebut lillah, misalkan wa lillahi aqimush shalah atau wa lillahi iqamatush
shalah, meskipun salat itu juga harus lillahi taala. Zakat dan puasa juga demikian. Tetapi
untuk haji, ayatnya yang satu diawali dengan lillah dan yang satunya lagi ditutup dengan
lillah.
Wa lillahi alannaasi hijjul baiti manis thathaa ilaihi sabiilaa (Hanya karena Allah, wajib
bagi manusia untuk menjalankan ibadah haji di baitullah bagi yang mampu).
Ayat yang lain ditutup dengan lillah:
Wa atimmul hajja wal umrata lillah (Kerjakanlah haji dan umrah lillahi taala).
Mengapa untuk ibadah yang lain pada ayat yang memerintahkannya tidak disebutkan
lillah, padahal dalam pelaksanaannya juga harus lillahi taala?
Hikmahnya apa dan mengapa? Karena ibadah haji adalah ibadah yang paling rawan
godaan, paling rawan provokator, baik provokator yang berupa setan dan iblis yang tidak
kelihatan, maupun setan dan iblis yang kelihatan yang berupa manusia.
Maka, jika kita dalam keadaan terpuruk seperti sekarang ini, mengapa masih ada orang
yang berhaji bolak-balik setiap tahun. Ada yang sampai tujuh kali, bahkan ada yang ingin
lebih dari itu.
Dalam keadaan Umat Islam terpuruk seperti sekarang ini, ternyata kita masih ada yang
berhaji berkali-kali, jor-joran umrah, maka cobalah tanya pada diri sendiri, kita ini mengkuti
siapa? Jika ada yang mengatakan bahwa ia mengikuti perintah Allah seperti yang disebutkan
di dalam Alquran, maka tanyakan kepadanya, tolong sebutkan ayat mana yang
memerintahkan seperti itu? Jika ada yang mengatakan bahwa ia mengikuti Rasulullah, maka
katakan kepadanya, bahwa Rasulullah tak pernah berhaji berkali-kali, tak pernah Rasulullah
melakukan umrah hingga berkali-kali.
Inilah yang dikhawatirkan, bahwa orang seperti ini sudah terkena provokasi yang
dibisikkan oleh provokator kepada hawa nafsu untuk melakukan ibadah haji lagi, bahwa
orang yang pergi haji berkali-kali itu hebat, jaminannya surga.
___D____ __3896 Patut juga diingat, apakah haji yang dilakukan itu mabrur?
Haji yang mabrur itu syaratnya ada tiga:
Pertama, niatnya harus lillahi taala.
Kedua, manasiknya harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Ketiga, uang yang dipakai untuk ongkos naik haji haruslah uang yang halal.
Uang yang halal itu maksudnya adalah uang yang diperoleh dari perbuatan yang halal.
Halal ataupun haram itu adalah hukum. Hukum itu tidak berkaitan dengan benda. Hukum itu
hanya berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu manusia yang mukallaf (manusia yang
sudah dikenai hukum). Karena itu, perbuatan yang dilakukan oleh binatang tidaklah dikenai
hukum.
Jika ketiga syarat di atas dilaksanakan, barulah mendapatkan haji mabrur.
Orang yang naik haji dengan menggunakan biaya yang diperoleh melalui cara yang
haram, maka dijamin oleh Allah hajinya tidak akan diterima.
Rasulullah bersabda:
Innallaha laa yaqbalu shalatan min ghayri thahuurin wa shadaqatan min uluulin (Allah
tidak akan menerima sembahyang tanpa bersuci, dan Allah tidak akan menerima shadaqah
dari hasil korupsi).
Teladanilah Rasulullah. Jika beliau memiliki uang, maka uangnya itu disalurkannya:
Pertama, untuk membiayai jihad fi sabilillah. Kedua, untuk menyantuni janda-janda miskin
dan anak-anak yatim akibat peperangan. Ketiga, untuk menyantuni orang-orang yang sedang
belajar Islam pada Rasulullah ketika itu.
Orang-orang yang belajar Islam pada Rasulullah ketika itu jumlahnya ratusan orang,
mereka tinggal di Masjid Nabawi, pakaian mereka hanya beberapa helai, dan mereka tidur di
masjid. Lantas dari manakah mereka mendapatkan makan? Rasulullah mengatakan:
Siapa yang punya makanan untuk satu orang, maka ajaklah dua orang pelajar shufah untuk
makan. Yang mempunyai makanan untuk dua orang, maka ajaklah empat orang pelajar
shufah untuk makan. Yang mempunyai makanan untuk empat orang, maka ajaklah delapan
orang pelajar shufah untuk makan.
Rasulullah sendiri setiap hari meransum kurang lebih untuk 70 orang. Ini semuanya
adalah bentuk-bentuk dari infak. Dan itulah yang dikerjakan oleh Rasulullah, bukanlah setiap
bulan umrah, bukan pula setiap tahun berhaji. Karena itulah, jika kita ingin berhaji mengikuti
seperti Rasulullah, maka ikutilah Rasulullah secara keseluruhan, baik cara maupun
jumlahnya.
Sering ada yang mengeluhkan kepada saya, bahwa ia baru pergi haji sekali, tetapi
rasanya belum puas. Lalu saya tanyakan kepadanya, Yang belum puas itu apanya? Apakah
thawafnya, wukufnya, sainya, melontar jamrahnya, atau jalan-jalan dan belanjanya yang
belum puas?
Saya katakan kepadanya, Seribu kali anda pergi haji, maka tetap anda tidak akan puas,
sebab puas itu bisa saja merupakan hembusan bisikan setan.
Jangan dipakai untuk anak yatim, karena tidak akan ada yang tahu. Tetapi jika pergi
haji, maka akan banyaklah yang tahu bahwa kamu pergi haji, akan banyaklah yang
memujimu mungkin seperti itulah bisikan setan.
Karena itulah, untuk memberi santunan kepada anak yatim, orang miskin, dan
menyumbang untuk masjid misalkan, orang banyak yang enggan untuk melakukannya.
Tetapi jika untuk pergi haji berkali-kali, maka banyak sekali yang bersemangat. Di sinilah
godaan setannya, betapa begitu rawannya ibadah yang satu ini (haji).
Bagi yang baru pertama kali akan melaksanakan ibadah haji, maka mantapkanlah
niatnya. Yang sudah punya kemampuan untuk pergi haji, segeralah berhaji. Jangan sampai
rukun Islam yang kelima diubah menjadi beli mobil. Karena ada orang seperti ini, yaitu yang
tidak mau menjalankan rukun Islam yang kelima, melainkan rukun Islam yang kelima diganti
untuk membeli mobil. Jika ada yang seperti ini, maka ia sudah berdosa. Pergi haji cukup
dengan uang sejumlah 35 juta rupiah ia tidak mampu, tetapi jika untuk membeli mobil yang
harganya mencapai ratusan juta rupiah ia mampu. Katanya ia tidak mempunyai uang untuk
berhaji. Ya wajar saja, karena uangnya dipakai untuk membeli mobil.
Jika ada orang yang seperti ini, maka juallah mobilnya itu, kemudian gunakan uangnya
untuk berhaji. Tetapi patut pula diingat, setelah pergi haji, lalu punya uang lagi, maka ikutilah
Rasulullah, yaitu infakkanlah uang tersebut. Janganlah kemudian jika memiliki uang lagi, lalu
uang tersebut digunakan untuk pergi haji lagi dengan alasan belum puas dan sebagainya.
Dalam hal ini, teladanilah Rasulullah, yaitu berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali.
Hati-hatilah terhadap provokator-provokator haji. Jangan sampai yang kedua dan ketiga
kita berhaji karena terkecoh dan terpancing dengan provokasi-provokasi itu. Saya sendiri
termasuk orang yang pernah ditawari untuk hal-hal seperti ini.
Waktu pertama kali pulang dari haji pada tahun 1985, saya ditawari untuk mencari
jamaah ibadah umrah dan haji. Tawarannya begitu menggiurkan, yaitu jika saya bisa
mendapatkan 15 orang jamaah, maka saya bisa pergi haji gratis, pergi umrah gratis. Kalau
bisa mendapatkan 30 orang, maka saya bisa pergi haji dengan istri saya. Bukan hanya itu,
karena nanti setiap hari saya akan diberi uang saku sejumlah 50 dolar.
Jika saya menerima tawaran ini, maka mungkin saya akan memprovokasi orang-orang
untuk pergi haji dan umrah dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, dan seterusnya. Saya
mungkin akan menganjurkan dengan embel-embel hadis, yang ujung-ujungnya saya hanya
berkepentingan untuk mengumpulkan dolar. Karena semakin banyak orang yang mengikuti
ajakan saya, maka akan semakin pula dolar yang saya dapatkan. Kalau sudah seperti ini,
maka kantong saya semakin tebal, dan mungkin kami akan dijuluki sebagai ustadz ataupun
kyai KPD (Kyai Pemburu Dolar).
Jika ini saya lakukan, berarti saya sudah menjual ayat dan hadis demi kepentingan
dolar. Ketika itu, Almarhum Guru saya mengingatkan, agar saya jangan ikut-ikutan mengurus
haji. Kalau sekedar membimbing haji mungkin tidak apa-apa. Tapi kalau sampai membuat
perusahaan yang mengurusi dan mengelola haji, yang nanti kalau uang sudah banyak sekali,
tentunya saya akan kaya raya, uang bertumpuk, dan saya bingung akan menyalurkan ke mana
uang tersebut.
Alhamdulillah, saya tidak sampai tergoda akan tawaran dan provokasi dari provokator
haji tersebut. Saya tidak menjadi pembimbing haji, tidak menjadi pengelola haji, tetapi
kemudian saya menjadi pengkritik haji.
Mudah-mudahan bagi yang akan menunaikan ibadah haji nantinya bisa mendapatkan
haji yang mabrur. Dan yang sudah haji, maka perbanyaklah infak, seperti yang dicontohkan
oleh Rasulullah. Tidak usah ada pikiran untuk berhaji yang kedua dan ketiga kali, melainkan
ikutilah Rasulullah: Berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali. [Aan]


Mungkin haji sosial inilah yang dalam bahasa sufinya termasuk ibadah yang
dirahasiakan (sirri). Orang yang berani berhaji sosial berarti sudah mampu
melepaskan diri dari kungkungan formalisme agama dan merambah jalan baru
memasuki cita-cita sosial yang menjadi misi utama agama..

Jauhnya pemahaman agama pada dimensi subtansial karena manusia sering
dilingkupi dengan berbagai kepentingan duniawi.

Haji bukan hanya urusan surga dan neraka, tetapi memiliki pengaruh sosial yang
tinggi dan prestise. Haji secara duniawi sering dimaknai sebagai puncak
pencapai ibadah dan stempel kuat bahwa pelakunya pasti bermoral tinggi lagi
mulia.

Fenomena prestise dan status sosial inilah yang mendorong kuat bagi muslimin
bahwa jika ingin menjadi orang berkualitas tinggi ibadahnya harus pergi haji ke
Mekkah. Apa pun jalannya harus ditempuh.

Maka, tidak aneh sering ditemukan, banyak pejabat yang minta fasilitas negara
agar bisa naik haji. Para koruptor juga berlomba untuk bisa berulang kali haji
dan umroh. Para petani harus menjual sawah dan ladang dan rela menjadi
miskin setelahnya asal bisa pergi haji.

Itu semua dilakukan karena ibadah haji bisa dijadikan bungkus atas
ketidakberesan moralitas sosial manusia. Sehingga makna haji yang
sesungguhnya tidak kita temukan. Dalam hal ini pemerintah harus bisa selektif
dalam memberangkatkan jamah haji. Pemetrintah tidak perlu lagi untuk
membiayai para pejabat-pejabatnya menunaikan haji dengan pembiayaan uang
Negara, karena hal itu lebih bersifat pemborosan dan akan lebih baik jika dana
yang berjumlah besar itu digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin.
Itu akan lebih baik dari pada memfasilitasi para koruptor untuk meraih title haji
yang dengan hajinya itu nanti akn lebih leluasa menjadi tikus berpeci putih.

Mengapa banyak orang setelah pergi berhaji setelah itu memasang gelar H/HJ di
depan namanya? Perlukah? Sebelumnya simak dialog antara Aly dan Ummu Aly
berikut ini:
Aly: "Mi, kenapa banyak orang setelah pergi haji memasang gelar 'H/HJ' di depan
namanya?"

Ummu Aly: " Aly, sesungguhnya ini perkara yang berbahaya sekali. Seorang yang
pergi haji kemudian ingin dipanggil "Haji", apalagi kalau sampai dia sudah pergi
haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan "Pak Haji", dikhawatirkan
gugur amalannya dan tidak mendapat pahala di sisi Allah. Sebab haji merupakan
ibadah agung, yang dituntut keikhlasan di dalamnya. Nah, barang siapa tidak
ikhlas dalam hajinya, maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan dan hajinya
tidak sah."

"Selain itu, memberikan gelar "Haji" ini adalah sarana untuk membuka pintu-pintu
riya' atau sum'ah, ingin didengar atau diketahui kalau dia sudah haji. Dan ini
nampak, misalnya ketika seseorang yang sudah haji disebut namanya tanpa ada
penyebutan "Haji" di depannya, dia merasa tidak enak, kecewa, bahkan merasa
tidak senang dengan yang memanggilnya, seperti ini menunjukkan terdapat riya'
dan sum'ah pada ibadah hajinya."

"Jika diteliti, tak seorangpun sahabat Nabi dan Ulama-Ulama Islam menggunakan
gelar tersebut. Padahal mereka sudah berkali-kali berhaji. Tidak pernah kita
mendengar sebutan Haji Abu Bakar Ash-Shiddiq, Haji Umar bin Khaththab, Haji
Imam Syafi'i, dan sebagainya. Dari sini terlihat, gelar "Haji" itu tidak dibutuhkan
dan tidak sepantasnya disematkan pada seseorang."

sumber : (Lembar Pendidikan Anak Yaa Bunayya Vol. 5 No. 04)
...ibadah haji adalah bagian dari upaya peningkatan keimanan seseorang. Jadi
tidak dilihat dari gelar yang disandang, namun sampai sejauh mana ibadah yang
telah dilaksanakan itu membekas dalam diri, lalu terefleksi dalam kehidupan
sehari-hari...
Haji pada tingkat aktualnya merupakan latihan bagi manusia untuk kesalehan sosial, seperti
meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan menindas sesamanya. Sebab,
ketika berhaji seseorang harus mencopot pakaian kebesarannya, pakaian sehari-hari yang
menciptakan ke'aku'an berdasarkan ras, suku, warna kulit, pangkat, dan lain-lainnya.

Semua itu harus ditanggalkan dan diganti dengan pakaian ihram yang sederhana, tidak membedakan
antara kaya dan miskin, penguasa, ningrat, rakyat, atau status sosial lainnya. Egoisme ke'aku'an
dilebur dalam ke'kita'an, kebersamaan dalam suasana persaudaraan sesama muslim.

Selain itu, haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif dan cinta harta. Sebab,
manusia ketika berhaji dilarang mengenakan perhiasan dan parfum, dan justru dianjurkan untuk
mengorbankan apa yang dimilikinya, bahkan sesuatu yang sangat disukainya, seperti yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim a.s.
Haji juga merupakan latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, termasuk nafsu birahi, amarah, dan
berkata keji.

Allah Ta'ala berfirman, "Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan haji, maka tidak boleh baginya
berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji "
(Al-Baqarah: 197).


















Asal Usul Gelar Haji di Indonesia (Menurut Berbagai Versi)

Asal Usul Gelar Haji di Indonesia - Orang Islam Indonesia pada umumnya jika
selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu
Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan
gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat
penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu
merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan
ibadah haji.

Ada yang beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan
memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak
memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu
(dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji,
sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada
suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di
kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan
Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut
nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di
maksud Pak Haji itu.

Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, pada
awalnya tidak ada dan sebutan haji ini baru muncul beberapa abad setelah
wafatnya Rasulullah saw. Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun
654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikian ini
menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.

Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan
dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu
ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekalai, bahkan oleh penduduk
setempat juga tidak. Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah
haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah
selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk
perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini
para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.

Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara
kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang.
Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-
elukan dengan sebutan "Ya Hajj, Ya Hajj". Maka berawal dari situ, setiap orang
yang pulang haji diberi gelar "Haji".



Asal usul Gelar "Haji" di Indonesia

Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara






Dikisahkan bahwa Pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda
adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata
atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja
menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam
perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan
pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia
menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti
Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang
yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan
sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke
kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui
adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk
Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke
Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya
yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun
kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman
dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban
Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati,
Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut
disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden
Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk
Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi,
Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga
antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan
ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu,
Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah
(?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin
(1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama
menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi
Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali
adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa
berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun
di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain
(Tjandrasasmita, 1995:117).

Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng
Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui
Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke
Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar
kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat
mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe
Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan
dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para
musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal.
Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari
tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan
terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke
India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa
makan waktu enam bulan atau lebih.

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya.
Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal
perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya
dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.

Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang
telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya
ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan
istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan pada jaman itu perjalanan
untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun
demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang
juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah.
Gelar Haji memang pantas bagi mereka.


Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda



Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik
umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah
belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan
persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan,
karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini
juga diberlakukan terhadap ibadah haji.bahkan untuk yang satu ini belanda
sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika
ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.

Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang
mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian
mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian
mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan
mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda.
Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta
gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar
haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke
tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda
Staatsblad tahun 1903.

Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-
Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. pulau-pulau tersebut
dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Dengan
alasan kamuflase "untuk menjaga kesehatan", kadang saat ditemukan adanya
jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi
suntik mati dengan alasan beragam. Maka tak jarang banyak yang tidak kembali
ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.


Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda
memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu Haji. Memang dari
sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah
mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita
untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar haji. Jadi bertanya-tanya,
pantaskah diberi gelar haji setelah mengetahui asal muasal gelar haji ini?


Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah
naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia,dinegara" lain tidak ada
gelar haji untuk kaum muslimin yg telah melaksanakan ibadah haji
tersebut, gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yg wkt itu
sedang menjajah indonesia, orang yang telah berangkat haji ke me'kah dan
kembali lagi ke indonesia oleh bangsa belanda di tandai di depan namanya
dengan huruf " H " yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.

Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini
dikarenakan kebanyakan orang indonesia yg menjadi penentang belanda pada
waktu itu yg berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah
orang" yang baru pulang dari mekkah tersebut, oleh karena itu belanda
menandai orang" tersebut dengan huruf " H " di depan namanya, untuk
memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pembrontakan,

Tetapi mengapa di zaman sekarang gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan
dan pembanding orang yg sudah mampu pergi haji dengan yang belum, bahkan
ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka
marah, harusnya orang yg sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat
buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan.







Panduan Zakat (1): Keutamaan Menunaikan Zakat
Kategori: Fiqh dan Muamalah
5 Komentar // 14 Juni 2012
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah-,
insya Allah dalam beberapa serial ke depan, kami dari pihak redaksi akan mengetengahkan
bahasan yang cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun Islam, yaitu
mengenai zakat. Seluk beluk zakat akan dipaparkan satu per satu dimulai dari keutamaan
zakat, syarat zakat, harta-harta yang dizakati dan siapakah yang berhak menerima zakat, juga
beberapa perincian lainnya yang dianggap penting untuk dibahas. Semoga para pembaca bisa
bersabar menantikan serial ini hingga tuntas dan moga bermanfaat.
Pengertian Zakat
akat secara bahasa- berarti

berarti bertambah atau tumbuh. Makna


seperti dapat kita lihat dari perkataan Ali bin Abi Tholib,

Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.
akat secara bahasa juga berarti , yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat pada
firman Allah Taala,

Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu (QS. Al Kahfi: 81).[1]
Secara bahasa, zakat juga berarti mensucikan. Sebagaimana firman Allah Taala,


Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (QS. Asy Syams: 9). akat
mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Taala berfirman,

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka (QS. At Taubah: 103).[2]
Secara istilah syari, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan cara
yang khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan
nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk
harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta
dan mengeluarkan zakatnya.[3]
Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat karena
pokok harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang
yang mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan doa dari orang yang berhak menerima
zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan
terlepasnya dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]
Hukum Zakat
akat disyariatkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyariatkannya puasa
Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini
tidak bisa diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Quran, As Sunnah, dan
ijma (kata sepakat ulama).
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku
(QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini berulang di dalam Al Quran dalam berbagai ayat
sampai berulang hingga 32 kali.[6]
Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui haditsd dari Ibnu Umar
radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.[7]
Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada
Muadz yang ingin berdakwah ke Yaman,

Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat ),
maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar kembali oleh orang
miskin di antara mereka.[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, akat adalah suatu kepastian dalam syariat
Islam, sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk
membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun
hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang
mengingkarinya, ia menjadi kafir.[9]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syariat Islam memiliki makna yang
sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian
masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka
itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul Arobi rahimahullah mengatakan, akat itu digunakan untuk istilah sedekah yang
wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.[10]
Keutamaan Menunaikan Zakat
1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam
yang lima. Apabila seseorang melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna.
Hal ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang amat agung dan setiap
muslim pasti selalu berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.
2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang sangat
dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap
balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh karena itu, zakat disebut
juga shodaqoh (yang berasal dari kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat
akan menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang mengeluarkan zakat) yang
mengharapkan ridha Allah dengan zakatnya tersebut.
3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda yang artinya,


Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.[11] Sebagaimana kita mencintai jika ada
saudara kita meringankan kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka untuk
meringankan kesusahan saudara kita yang lain. Maka pemberian seperti ini merupakan tanda
kesempurnaan iman kita.
4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat terlihat dari dalamnya dan
dalamnya dapat terlihat dari luarnya. Kemudian ada seorang badui berdiri lantas
bertanya, Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah? Beliau bersabda, Bagi
orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa,
shalat karena Allah di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.[12] Setiap kita
tentu saja ingin masuk surga.
5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan zakat,
berarti yang kaya menolong yang miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang
yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu saudara. Allah Taala berfirman,

Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu
(QS. Al Qoshosh: 77)
6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena
melihat orang kaya hidup mewah. Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka
(dengan berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau. Tidak ragu lagi, pasti
akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma
pada mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan mengatakan,Saudara-
saudara kami ini mengetahui kami berada dalam kesusahan. Maka orang miskin tersebut
akan suka dan timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.
7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan
zakat, sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga
hal ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya atau berbuat jahat
kepada mereka.
8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan


keputusan di tengah-tengah manusia.[13]
9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah. Karena ia tidaklah menunaikan
zakat sampai ia mengetahui hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah
mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak menerimanya serta hal-hal lain yang
urgent diketahui.
10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati.
Sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya,

Sedekah tidaklah mengurangi harta.[14]


11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,

Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan
mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-
binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.[15]
12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,


Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang
jelek.[16]
13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.[17] [18]
-bersambung insya Allah-







Mengungkap keutamaan zakat
Mimbar Jumat
AS'AD MARLAN

Allah SWT telah menganugerahkan kepada kita semua berbagai nikmat. Salah satu diantaranya
adalah kita selalu diberi rezeki yang tak pernah putus. Rezeki itu kita peroleh melalui berbagai usaha,
baik melalui bidang pertanian, perdagangan, bidang jasa atau lainnya. Oleh sebab itu kita wajib
bersyukur kepada-Nya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan kepada kita,
seperti mengeluarkan zakat dari harta kekayaan yang kita peroleh.

Jika kita sebagai umat Islam memiliki harta kekayaan dan sudah memenuhi syarat mengeluarkan
zakat, maka wajiblah kita memberikan zakat kepada yang berhak menerima zakat. Allah SWT
berfirman: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang yang ruku. (QS. Al-
Baqarah : 32).

Berdasarkan ayat di atas, maka setiap orang Islam yang telah mampu dan berkewajiban
mengeluarkan zakat atas harta yang ia miliki, wajiblah ia mengeluarkannya. Jika kewajiban itu
diingkari dengan berbagai alasan karena tidak mau, niscaya Allah memberikan siksa. Rasulullah SAW
bersabda : Orang yang menahan zakat itu, pada hari kiamat ada di dalam neraka . (HR. Imam
Thabrani). Kemudian juga Allah SWT berfirman: Sekali-kali janganlah orang-orang bakhil dengan
hartanya yang Allah berikan kepada mereka dengan karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat . (QS. Ali Imran : 180).

Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kita mengeluarkan zakat itu karena di dalam zakat
terkandung manfaat yang banyak sekali. Hal ini sudah pasti adalah untuk menutup jurang pemisah
antara si kaya dan si miskin. Agar jangan sampai terjadi rasa cemburu dan iri dari si miskin dimana
hal ini bisa menimbulkan kedengkian, hasut dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Maka sudah
sewajarnya kalau orang kaya mau menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada fakir
miskin. Dengan demikian, insya Allah si miskin bisa tertolong dari kesempitan dan kesusahan yang
menimpanya.

Khusus bagi umat Islam, harta yang wajib dizakati itu adalah harta yang sudah mencapai nisab, rukun
dan syarat-syarat tertentu. Harta kekayaan yang wajib dizakati antara lain binatang ternak, emas
perak, hasil bumi, buah-buahan dan harta perniagaan, sedangkan penerimanya adalah fakir, miskin,
amil, muallaf, hamba sahaya, gharim, sabilillah dan Ibnu Sabil. Semua barang-barang yang harus
dizakati ini, dalam istilah fuqaha (ahli fiqih) dikenal dengan sebutan zakat mal atau zakat yang
berkenaan dengan harta benda.

Selain itu, masih ada zakat yang berkenaan dengan jiwa atau lazim dikenal dengan zakat fitrah.
Zakat fitrah ini dilakukan untuk peleburan dosa-dosa kecil yang telah mengotori ibadah puasa
Ramadhan yang sedang kita jalankan. Disamping itu, zakat fitrah juga merupakan wujud nyata
solidaritas masyarakat Islam terhadap fakir miskin agar bisa turut serta merayakan kebahagiaan hari
raya Idul Fitri secara bersama-sama.

Keuntungan bagi orang yang berzakat
Banyak nilai dan keutamaan dari zakat yang kita miliki bila kita tunaikan dengan sebaik-baiknya,
diantaranya: Pertama, untuk membersihkan harta dan jiwa. Secara harfiah, zakat itu suci bersih dan
berkah. Ketika zakat itu kita tunaikan, maka keuntungan yang akan kita peroleh adalah memperoleh
kebersihan atau kesucian, baik harta maupun jiwa. Dengan zakat, harta yang kita peroleh akan
disucikan kembali oleh Allah SWT dari kemungkinan adanya unsur-unsur kekotoran, karena tanpa
kita sengaja memperolehnya dengan cara-cara yang tidak halal.

Disamping itu, zakat juga dapat membersihkan jiwa kita dari kemungkinan memiliki sifat-sifat yang
kotor dan tercela dalam kaitannya dengan harta. Misalnya, terlalu cinta dengan harta, bakhil,
serakah, tamak dll. Sifat-sifat yang buruk terkait dengan harta seperti itu merupakan sesuatu yang
sangat berbahaya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Karenanya harus dibersihkan, salah satunya
dengan berzakat. Oleh karena itu, keutamaan zakat berupa bersihnya harta dan jiwa orang yang
berzakat sesuai dengan firman Allah : Ambillah zakat dari harta mereka,guna membersihkan dan
menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka . (QS. At-Taubah : 103).

Kedua, Keutamaan dan keuntungan dari zakat bila kita tunaikan dengan baik, adalah menumbuhkan
dan bertambah. Disamping memiliki makna suci dan bersih, zakat juga bermakna tumbuh dan
bertambah, baik terhadap harta maupun jiwanya. Secara lahiriyah, zakat memang mengeluarkan
harta yang kita miliki. Ini berarti, zakat itu mengurangi harta kita. Tetapi, sebenarnya dengan zakat
itu kita akan mendapatkan tambahan harta. Begitulah memang penegasan Allah SWT yang akan
mengganti harta yang dikeluarkan untuk kebaikan. Allah SWT berfirman : Katakanlah, sungguh,
Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-
hambaNya. Dan apa yang kamu infakkan Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang
terbaik . (QS. Saba : 39).

Ketiga, berzakat adalah dalam rangka memenuhi hak orang lain. Mengeluarkan zakat bukanlah
semata-mata menunaikan kewajiban yang seolah-olah orang lain amat membutuhkan bantuannya.
Tetapi, menunaikan zakat sebenarnya menunaikan hak orang lain atau mengembalikan hak mereka,
bahkan harta yang kita miliki itu adalah hak Allah berupa titipan atau amanah dari Allah SWT.

Manusia tidak akan berdaya terhadap harta yang akan dicarinya, seandainya Allah bermaksud tidak
akan memberikannya. Hal ini digambarkan Allah dalam Alquran: Pernahkan kamu perhatikan
benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?
Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat, maka kamu akan heran
tercengang (sambil berkata), Sungguh, kami benar-benar menderita kerugian, bahkan Kami tidak
mendapat hasil apapun .
(QS. Al-Waqiah : 63-67).

Di sisi lain, manakala kita tidak menunaikan zakat yang wajib, apalagi infak dan sadaqah yang
bersifat sunat, maka kita termasuk memakan dan menzalimi orang lain, sementara orang lain sangat
membutuhkan bantuan kita.

Penutup
Melalui ajaran Islam tentang zakat sebenarnya umat Islam akan mampu mengentaskan dirinya dari
kemiskinan, asal saja mereka yang kaya, sebagai golongan muzakki, tidak bakhil dan mau
mengeluarkan zakat. Sebab bila kaum muslimin konsisten terhadap pelaksanaan zakat, niscaya pasti
bisa menjadi alternatif untuk mengentaskan kemiskinan dan akan banyak mengurangi jumlah kaum
duafa. Wallahu alam bishawab.

Anda mungkin juga menyukai