Anda di halaman 1dari 10

AKU PERNAH BERMIMPI

Di sebuah daerah yang jauh dari bisingnya kota dan ramainya kendaraan. Sebuah Desa yang
berada di pulau kecil. Desa yang sangat sederhana itu hanya berpenduduk sedikit. Kecil, reot
dan pengap adalah suasana dan kenyataan rumah-rumah di Desa itu. Desa Makmur Jaya
adalah namanya. Ironi, masyarakat yang tinggal disana jauh dari kata Makmur, bahkan sangat
jauh dari kata Jaya. Pendidikan masih menjadi sayatan hati bagi siapa yang melihatnya.
Di sebuah rumah kecil, hiduplah seorang nenek janda miskin bersama cucunya yang masih
sekolah di seberang pulau lain. Nek ira adalah panggilannya, ia mempunyai cucu satu-
satunya, sekaligus menjadi teman hidupnya selama ini. Yusuf namanya, Yusuf sangat
menyayangi neneknya, bahkan baginya neneknya adalah sebagai sosok ibunya. Ibu Yusuf
telah lama meninggal sejak melahirkan Yusuf, sementara itu Ayahnya pergi merantau ke
Jakarta beberapa bulan kemudian semenjak kepergian ibunya dan semenjak itu tidak ada
sosok Ayah dan Ibu untuk Yusuf.
Dalam hatinya terkadang ada rasa rindu yang menggebu, namun di sisi lain ada rasa marah
yang membara. Ingin ia memeluk Ayahnya, namun ia pun ingin membalas perbuatan
Ayahnya yang telah mensia-siakan dirinya. Ayah, mengapa kau tak izinkan aku mengenal
sosok dirimu, mengapa kau memilih untuk meninggalkanku?, desah ia dalam hati.
Setiap hari Yusuf bangun sebelum fajar tiba, bahkan sebelum ayam-ayam berkokok nyaring.
Ia memang bukan seorang wanita, namun kegiatannya mencuci pakaian, mengurus rumah
adalah aktivitas rutinnya sebelum ia berangkat menuju sekolah. Sekolah Yusuf cukup jauh,
berada di seberang pulau.
Nek, Yusuf berangkat sekolah dahulu, ucap Yusuf di suatu pagi.
Iyah nak hati-hati dan jangan lupa baca doa sebelum melakukan aktivitas, sahut nek Ira.
Baik nek, Assalamualaikum
Walaikumsalam nak
Yusuf berangkat menuju sekolah menggunakan sampan bersama teman-temannya. Latar
belakang kehidupan yang sama, keluarga nelayan kecil. Tidak menyurutkan dan
memupuskan harapan meraka anak Desa makmur Jaya yang ingin bersekolah menempuh
gelanggang pendidikan yang tinggi setinggi mimpi mereka. Kebiasaan setiap pagi sebelum
berangkat adalah saling menunggu satu sama lain. Sampan kecil dengan panjang 1,5 meter
dan berdiameter 60 cm menjadi kendaraan 12 orang yang akan bersekolah baik SD, SMP
maupun SMA, seperti Yusuf.
Yusuf bersekolah di SMA Harapan Bangsa. Sekolah yang sangat sederhana dan kecil itu
adalah tempat Yusuf bernaung menuntut ilmu. Guru yang masih sedikit dan sarana yang
kurang memadai adalah fakta dari sebuah nama Sekolah Harapan Bangsa. Pak Mito adalah
salah satu guru yang sangat setia memberikan ilmu walau dengan kekurangannya.
Pak Mito adalah potret dan semangat bagi Yusuf dan anak-anak lainnya. Di tengah
kekurangannya dalam melihat, mata hatinya belum tertutup. Ia yang mengajarkan mereka
tentang pendidikan bagi Warga Negara dan hal-hal lain yang dianggap mudah, tetapi
sebenarnya sangat berat bagi setiap generasi ini.
Anak-anak menurut kalian apa yang di maksud Kemerdekaan?, tanya pak Mito kepada
murid-muridnya.
Kemerdekaan itu yang sekarang telah kita raih pak, jawab Sani
Bagi saya kemerdekaan adalah meratanya seluruh keadilan di Negari ini pak. Itu arti
kemerdekaan yang sesungguhnya, jawab Yusuf dengan nada lantang.
Baik anak-anak jawaban yang bagus. Apakah menurut kalian, kalian telah menerima
kemerdekaan yang benar-benar merdeka?, tanya pak Mito kembali.
Bagi saya, saya belum mendapatkan kemerdekaan itu pak. Saya dan teman-teman disini
belum mendapat hak secara adil dalam pendidikan, padahal kami dan mereka anak-anak kota
adalah pemuda-pemudi harapan bangsa. Saya dan warga di Desa saya belum sepenuhnya
merdeka dan makmur, kami masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan, jawab Yusuf
dengan beraninya.
Baik Yusuf itu memang fakta dan kenyataan yang ada. Tapi, sebagai warga negara yang
baik kita tetap harus mensyukuri dan mengisi kemerdekaan yang telah kita raih. Lalu,
bagaimana caramu agar kamu mendapatkan kemerdekaan itu?, lontaran pertanyaan dari pak
Mito.
Saya yakin pak, dengan bersekolah, bekerja dan berusaha, saya mampu menciptakan
perubahan di lingkungan masyarakat, sekolah bahkan Bangsa saya. Bukankah itu harapan
para Pahlawan terhadap pemuda Indonesia?
Bapak sungguh bangga mempunyai anak didik sepertimu Yusuf. Teruskan mimpi dan cita-
citamu itu, bapak akan mendoakanmu untuk mewujudkan impian perubahanmu. Beri tepuk
tangan dan dukungan untuk Yusuf, ucap pak Mito dengan bangga dan penuh harapan.
Semua anak-anak seisi kelas itu pun memberi tepuk tangan dan tersirat harapan kepada
Yusuf.
Siang hari itu, lonceng sekolah berbunyi. Menandakan anak-anak sudah boleh pulang ke
rumahnya masing-masing. Begitupun Yusuf dan teman-teman 1 Desanya. Mereka pun
meninggalkan Sekolah, tetapi mereka tidak langsung pulang ke rumah. Mereka berganti
pakaian, lalu menaiki sampan dan memulai aktivitasnya pada siang hari di laut. Tas, sepatu
dan pakaian sekolah mereka jadikan 1 dan mereka kumpulkan bersama.
Mengarungi laut dengan doa dan harapan untuk melakukan kegiatan di siang yang terik itu.
Ada yang memancing, mengumpulkan kerang dan mengumpulkan rumput laut.
Yusuf dengan kail pancingnya berharap ada ikan yang memakan umpannya, dan
terkumpullah banyak ikan untuk ia jual di pengepul ikan yang biasanya setiap sore lewat dan
berhenti sejenak untuk menegepul ikan, kerang dan rumput laut yang dikumpulkan petani-
petani kecil. Lagi-lagi, di tengah laut, ia merindukan sosok seorang Ayah, namun ia mencoba
menutupinya karena rasa kemarahannya.
Beberapa jam kemudian, mereka pun menyudahkan kegiatan mereka, lalu bergegas untuk
pulang. Sampan kecil yang berisikan tas, sepatu, baju sekolah dan hasil melaut mereka.
Yusuf, Reza, Ahmad dan Bahri bertugas mendayung sampan untuk sampai ke Desa mereka.
Ketika tiba di rumah, nenek menyambut Yusuf dengan wajah bahagia dan penuh harap.
Alhamdulillah nek, hasil melaut hari ini lumayan, sapa Yusuf dengan ceria.
Alhamdulillah nak. Tapi, jangan terlalu cape sup, kamu kan sudah kelas 3 sebentar lagi
ujian, nanti kamu malah sakit, nenek berkata dengan nada menasihati.
Yusuf tidak mengapa nek, yang terpenting kita bisa makan, dan Yusuf tetap bisa bersekolah,
Yusuf pingin jadi orang nek. Yusuf pingin jadi pemuda yang di banggakan nek, doakan
Yusuf yah nek, ucap Yusuf meyakinkan,
Iyah nak, nenek akan selalu mendoakanmu, balas nenek dengan raut sedih tetapi
tersenyum.
Yusuf adalah pemuda yang sederhana, berpenampilan apa adanya serta ia selalu jujur
denagan apa yang terjadi, sehingga walaupun ia bukan anak orang kaya, tetapi orang di
kampungnya sangat menyeganinya.
Pulang sekolah dan melaut Yusuf tidak hanya duduk manis di rumah. Ia makan serta bersiap-
siap, ia pun tidak pernah meninggalkan sholat, sebagai media komunikasi ia dengan
Tuhannya. Ia bersiap-siap untuk mengambil air di pulau lain, sebab air di daerah laut sangat
asin, dan ia harus mencari air untuk keperluan memasak dan minum sehari-hari.
Kegiatan Yusuf yang padat tidak menyurutkan hatinya untuk tetap belajar. Ia selalu
menyempatkan belajar dan berdoa untuk Ibu dan neneknya, meski sering ia mendokan
Ayahnya tanpa ia sadari.
Suatu hari, aku ingin mencari dan membuktikan kepada Ayah, bahwa tanpa dia aku juga
masih bisa tetap hidup dan menjadi seorang pemuda yang dapat dibanggakan, ucap ia dalam
hati.
Tiga bulan lagi, Ujian Nasional akan diadakan. Semua siswa-siswi menyiapkan mental dan
materi untuk menempuh Ujian Nasional, tidak terkecuali dengan Yusuf, ada rasa senang.
Sebab ia akan meluluskan bangku pendidikan SMA, namun di sisi lain ada rasa khawatir
tentang Ujian.
Suatu hari pak lurah datang ke Desa Makmur Jaya dan berkata akan memberikan kabar
gembira.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian, saya akan memyampaikan kabar gembira
disini, ucap pak lurah.
Kabar gembira apa pak? Apa tentang BLSM atau sembako gratis?, tanya salah 1 warga.
Oh tentu saja bukan
Lantas apa pak?
Pemerintah kota mencanangkan akan memberi Beasiswa bagi murid SMA yang
mendapatkan nilai tertinggi serta berprestasi untuk melanjutkan kuliah di Jakarta dengan
biaya yang ditanggung pemerintah, ucap pak lurah dengan percaya dirinya.
Apakah ucapan bapak benar? Walau anak-anak kami adalah anak nelayan kecil, pemerintah
akan tetap memberi bantuan untuk kuliah?, tanya salah satu warga dengan nada kurang
yakin.
Oh tentu saja ucapan saya benar. Pemerintah tidak akan pandang bulu, apalagi ini
menyangkut tentang pendidikan, pendidikan kan masa depan Indonesia. Tentu hal itu akan
sangat diperhatikan oleh Pemerintah, ucap pak lurah dengan nada yang meyakinkan.
Yah semoga saja ucapan bapak benar dan dapat dipertanggung jawabkan, tegas salah satu
warga.
Yusuf yang ketika itu mendegar ucapan pak lurah, marasa senang dan mempunyai harapan.
Ia ingin sekali Kuliah walau saat ini hal itu belum pasti.
Kalau aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, pasti aku akan mendapat
beasiswa itu. Dengan demikian aku akan mendapatkan pendidikan yang tinggi tanpa harus
membebani nenek. Dan aku punya harapan untuk bertemu ayah di Jakarta. Tapi, bagaimana
nenek disini, ia akan hidup sebatang kara, bisiknya dalam hati di selimuti rasa bimbang.
Yusuf pun pulang meninggalkan pak lurah dan kerumunan warga, dalam perjalanan hatinya
masih saja terus bergejolak. Pikiran tentang beasiswa di Jakarta tidak pernah berhenti terpikir
di pikiran Yusuf, hingga ia pun sampai ke rumah.
Nak, pak lurah memberi pengumuman apa?, tanya nek ira memecahkan lamunan Yusuf.
Pak lurah memberi kabar tentang beasiswa nek. Kata pak lurah, kalau ada siswa yang
mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, ia akan dapat beasiswa kuliah di Jakarta dari
pemerintah nek, jawab Yusuf.
Alhamdulillah. Itu kesempatan kau cucuku. Kau harus rajin belajar dan berusaha serta
berdoa agar kau mendapat hasil Ujian yang memuaskan dan kau dapatkan Beasiswa kuliah di
Jakarta itu secara gratis, ucap nenek dengan nada semangat.
Iyah nek, Yusuf ingin sekali kuliah di Jakarta untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Dan
di Jakarta nanti Yusuf ingin bertemu ayah. Namun, bagaimana dengan nenek disini? Siapa
yang akan mengurus dan menjaga nenek?, ucap Yusuf dengan nada bimbang
Tidak perlu kau perdulikan nenek cucuku. Yang terpenting adalah masa depanmu, kau ini
pemuda harapan Desa ini nak. Nenek masih sanggup untuk hidup sendiri. Yang terpenting
sekarang kau harus rajin belajar agar kau memperoleh beasiswa itu. Tolong, jangan kau
kecewakan nenek, ucap nenek dengan nada meyakinkan.
Yusuf tidak menjawab dan ia hanya tersenyum, lalu meninggalkan neneknya. Ada gejolak
yang begitu besar di dalam hatinya. Yusuf pun berwudhu dan melaksanakan sholat.
Ya Allah beri hambamu ini petunjuk. Hanya kepadaMu hamba serahkan takdir hamba,
bisik ia dalam hati dengan nada lirih lalu meneteskan air mata.
Hari yang ditunggu-tunggu yaitu Ujian Nasional pun tiba. Seminggu sebelum Ujian Nasional
sekolah Yusuf mengadakan doa bersama agar diberi kemudahan dan dapat lulus dengan hasil
yang memuaskan.
Hari pertama Ujian Nasional pun tiba. Anak-anak Desa Makmur Jaya pun berangkat lebih
awal dari biasanya. Mereka takut kalau sampai harus terlambat.
Teman-teman jika nanti lulus kalian akan bekerja dimana?, tanya Reza sambil mendayung
sampan.
Aku akan ikut bapakku bekerja seperti biasanya. Mencari ikan pada malam hari dan
membuat garam pada siang hari, jawab Bahri
Aku ingin kuliah di Jakarta!, jawab Yusuf
Hahaha ada-ada saja kau suf, emang kau sudah bertemu bapakmu? Atau nenekmu punya
biaya? Hidup di Jakarta keras suf, ucap Ahmad dengan nada meledek.
Jaga ucapanmu kawan. Aku ingin kuliah di Jakarta dengan tidak merepotkan siapapun, aku
ingin mendapatkan beasiswa dari pemerintah itu secara gratis, jawab Yusuf dengan yakin
Yusuf aku sarankan padamu, kalau bermimpi jangan tinggi-tinggi. Kalau jatuh pasti rasanya
sakit, hahaha, Ahmad dengan nada menertawakan.
Hampir saja Yusuf terpancing emosi, ia merasa jika direndahkan. Lalu, suara Sani
menghentikan percakapan itu.
Sudah teman-teman jangan berkelahi. Ahmad kamu tidak boleh seperti itu, harusnya sebagai
teman kita saling mendukung, ucap Sani dengan nada menasihati.
Iyah aku mengaku salah. Maafkan aku Yusuf, aku berjanji tidak akan mengulanginya
kembali, kata Ahmad meminta maaf.
Iya. Aku sudah memaafkanmu. Lagi pula sebentar lagi kita akan berpisah, kita tetap harus
menjaga kekompakkan
Nah begitu baru namanya anak-anak desa Makmur Jaya, kata Sani menambahkan.
Mereka pun melanjutkan perjalanan mengarungi laut untuk menuju Sekolah. Setibanya di
Sekolah mereka memasuki kelas masing-masing untuk melaksanakan Ujian Nasional
pertama bahasa Indonesia.
Hari-hari yang dilalui ketika Ujian Nasional menjadi sangat berarti untuk Yusuf. Ia tidak
sabar untuk mengetahui nilainya. Di dalam hatinya ada rasa yakin yang menguat, namun ada
pula keraguan yang mendalam.
Hari-hari yang di tunggu semua anak-anak pun tiba. Hari ini mereka akan mendengar
pengumuman kelulusan. Yusuf tidak sabar untuk mendengar pengumuman itu,
Aku berharap akulah yanag mendapat beasiswa itu, ucap ia dalam hati dengan penuh rasa
harap.
Semua anak berkumpul di lapangan beserta bapak kepala sekolah, guru, serta perwakilan
pemerintah yang akan memberi tahu nilai kelulusan dan memberikan beasiswa bagi murid
berprestasi.
Baik anak-anak bapak akan memberi tahu kabar gembira untuk kalian. Semua siswa-siswi
SMA Harapan Bangsa dinyatakan lulus. Dan yang lebih meneggembirakan lagi, salah satu
murid SMA ini mendapat nilai tertinggi 1 Kabupaten dan ia berhak mendapatkan beasiswa di
Jakarta secara gratis, kata bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi SMA Harapan Bangsa bersuka-ria mendengarnya, mereka pun berpeluk
serta melepas kegembiraan bersama.
Oh iya pak, siapa salah satu dari kami yang mendapat nilai tertingi itu dan berhak
mendapatkan beasiswa ke Jakarta?, tanya salah seorang murid dengan nada penasaran.
Nama murid itu adalah Muhammad Yusuf Pratama, ucap bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi bersorak histeris dan seakan tidak percaya, begitu pun dengan Yusuf. Ia
bangga, sekalipun bahagia, walaupun ada perasaan bimbang dan bingung. Yusuf pun maju ke
depan mimbar dan mendapatkan ucapan selamat dari kepala sekolahm guru-guru, serta dari
perwakilan Dinas Pendidikan.
Selamat Yusuf atas prestaasimu. Minggu depan kamu bisa kami kirim ke jakarta untuk
mnegurus surat-suratmu, kata bapak perwakilan Dinas Pendidikan.
Yusuf pun hanya tersenyum dan hanya mengiyakan. Setelah pengumuman itu selesai mereka
semua pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan anak-anak desa Makmur Jaya.
Anak-anak desa Makmur Jaya tiba di desa mereka dengan penuh rasa senang. Semua warga
memberikan selamat kepada Yusuf atas prestasinya. Yusuf pun pulang menuju ke rumah.
Assalamualaikum nek. Nek ternyata Yusuf yang mendapat nilai tertinggi itu dan Yusuf akan
mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta seperti yang waktu itu Yusuf katakan, kata Yusuf.
Alhamdulillah nak, nenek bangga denganmu. Jangan kau pikirkan nenek, pasti nenek akan
baik-baik saja disini, ucap nenek memberi semangat.
Baik nek Yusuf akan menuriti nenek. Yusuf akan mengambil beasiswa itu. Terimakasih nek
untuk semuanya yang nenek berikan pada Yusuf. Yusuf janji akan membanggakan nenek,
ucap Yusuf dengan penuh keyakinan.
Minggu yang di tunggu-tunggu pun tiba. Hari ini Yusuf akan berangkat menuju Jakarta,
menggapai semua mimpi dan cita-citanya untuk memeruskan bangku pendidikan, setinggi
mimpinya selama ini. Semua warga dan aparat desa melepas kepergian Yusuf dengan penuh
suka cita. Begitupun dengan nek ira, nenek yang telah mengasuh dan merawat Yusuf sejak ia
dilahirkan.
Yusuf, kalau kau sudah pintar dan jadi orang berpendidikan tinggi, jangan kau lupakan
desamu ini. Desa yang telah membesarkanmu, ucap pak lurah
Baik pak saya janji akan menempuh pendidikan dan akan membanggakan desa ini, ucap
Yusuf meyakinkan.
Kau jangan lupakan nenekmu ini nak. Doa nenek akan selalu menyertaimu. Nenek sangat
menyayangimu, ucap nenek dengan menitihkan air mata.
Iya nak, Yusuf pun sangat menyayangi nenek dan Yusuf berjanji akan menjadi orang sukses
di Jakarta nanti, ucap Yusuf untuk yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan desanya.
Terpaan angin laut membawa Yusuf dengan kapalnya bersama perwakilan Dinas Pendidikan.
Lama-lama kapalnya pun tidak terlihat dari tepi pantai. Dan, pada akhirnya, seorang pemuda
Desa yang terpencil dengan keterbatasan hidupnya, mampu membawa ia pada cita-citanya
untuk melanjutkan gelanggang pendidikan yang tinggi yang selama ini ia impikan.
Payung tidak akan menghentikan hujan. Tetapi, payung dapat membantu kita ubtuk
menembus hujan. Untu itu, janganlah menyerah pada keadaan.






















KESEDERHANAAN SEBUAH MIMPI
Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan
suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya
dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian
mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat ini.
Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia terlihat sangat tenang dan
terkadang dia terlihat datar.
Apa hari ini kau baik-baik saja? tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang
sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang
mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh
bagiku karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
Disini sangat tenang, aku menyukainya ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku
setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia
mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.
Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan
semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir
dengan gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat ucapku padanya, dia menoleh dan
tersenyum padaku.
Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin? ujarnya
lembut tapi terkesan sangat dingin.
ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan jawabku tanpa
menatapnya.
Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan Ujarnya
seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap
denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
Aku? tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling
tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku
hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.
ya, dirimu sendiri ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan
dahi atas pernyataannya.
Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi
nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah ucapku sedikit emosi karena bisa-
bisanya dia menyalahkanku.
Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa
kamu merasa bahagia dengan itu semua? tanyanya lagi dan semakin manatapku intens.
Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari
bibirku.
ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey suaraku sedikit meninggi kali ini karena
memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri ujarnya santai seraya melempar pandang pada
laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain? tanyaku semakin
menjadi.
Seharusnya.. dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
Seharusnya apa? ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa
dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang
bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki? ucapnya
dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. Apa kau memiliki cita-cita?
tanyanya kemudian.
Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga
bukan? tanyaku penuh selidik.
Apa yang kau ketahui tentang cita-cita? tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa
emosi ketika dia berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai
menyesuaikannya.
Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia
ingini jawabku menatapnya. Seperti? tanyanya lagi
Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan
profesi ujarku santai.
Kurang tepat ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.
Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu ucapku sebal.
aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia
ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
Sama saja Rey ujarku. Ikut aku ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.
Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini ucapku dengan nada memohon.
Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian
melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja
ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.
ok ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti
instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja
cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
Sampai ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada
di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat
ini. Tapi disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah
mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini? Tanyaku seraya menjajari
posisinya yang tengah ada di kursi roda miliknya.
ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar
profesi belaka ucapnya seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan
menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di
tempat ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang
sedari tadi mengelilingi otakku.
Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang
tunanetra tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang
lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk berjalan
agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi menjadi cita-cita
banyak orang disini.
Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau
akan tahu nanti siapa dirimu ujarnya sebelum benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk
melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi.
Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga
akhirnya pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya.
Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.
Hai, boleh kaka duduk disini tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia
hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Lagi apa? tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
Lagi ngelukis kak ucanya lembut. Nama kamu siapa? tanyaku lagi, karena memang entah
kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. Rere jawabnya singkat tapi cukup untukku.
Rere lagi ngelukis apa? tanyaku lebih banyak.
Cita-cita Rere dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya.
Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain
tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang
dia.
Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang,
kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main dengan mereka ucapku menjelaskan. Dia
menatapku sambil tersenyum.
Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat
membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu
sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan
merasa bahagia atas itu semua diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana
bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.
kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan? tanyaku selanjutnya
Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-
tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan
bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan sekarang ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus
menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan
aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana
akan tetapi karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini.
Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin
dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan
yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini
dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin
sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua
cita-cita dapat dicapai sesuai dengan keinginan.

Anda mungkin juga menyukai