Anda di halaman 1dari 14

KEPANITERAAN DASAR

ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DR.DJASAMEN SARAGIH
JUNI 2014

TETANUS NEONATORUM

Sweety
09000017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN

1. DEFINISI
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau
tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis yang
disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan
gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus
local dan tetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus
generalisasi dan juga merupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya.
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus

yang berarti lahir)

merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak
bayi lahir hingga usia 28 hari kehidupan.
Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi pada
masa neonatal.
2. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Clostridiumtetaniadalah kuman berbentuk
batang, lurus, langsing berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron, bersifat
gram positif dan tidak berkapsul, membentuk spora, bersifat obligat anaerob dan mudah
tumbuh pada nutrien media yang biasa. Kuman ini membentuk eksotoksin yang disebut
tetanospasmin, suatu neurotoksin yang kuat yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot. Clostridiumtetani berkembang cepat pada jaringan yang rusak (luka) dan
dalam suasana anaerob basil tetanus berubah dari bentuk spora kedalam bentuk vegetatif.
Pada keadaan itu, Clostridium tetani mengeluarkan eksotoksin yang menyebabkan
penyakit tetanus. Pada waktu Clostridiumtetanidalam bentuk vegetative maka akan sangat
sensitive terhadap panas dan beberapa antibiotic dan tidak dapat bertahan karena adanya
oksigen. Sebaiknya dalam bentuk spora sangat resisten pada keadaan panas dan antiseptic
biasa. Spora ini dapat hidup pada pemanasan autoklaf 1210C selama 10-15 menit dan
relative resisten terhadap phenol dan bahan-bahan kimia lain.Umumnya infeksi terjadi
akibat proses partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril.Penyakit ini khususnya
terjadi pada bayi dengan ibu yang belum mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya .

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan gejala klinisnya :
1. Tetanus Generalisata
Tetanus Generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang
ditandai dengan kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi, yang mengakibatkan
trismus (rahang terkunci), spasmeglotis, spasme otot umum, opistotonus, spasme
respiratoris, serangan kejang dan paralisis. (Dorland, 2002)
2. Tetanus Lokal
Tetanus local termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan
(twitching) otot local dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera, atau dapat
memburuk menjadi bentuk umum (generalisata). (Dorland, 2002)
3. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah
saraf ke-7. Dysphagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. (Aru W, 2004)
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk tetanus infeksius yang berat dan
terjadi selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor
seperti tindakan perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau pada sirkulasi
bayi laki-laki dan kekurangan imunisasi maternal. (Dorland, 2002)
Klasifikasi Tetanus menurut tingkat keparahannya diklasifikasikan oleh Ablett menjadi
4 stadium.

Tabel 1. Klasifikasi tetanus oleh Ablett berdasarkan tingkat keparahannya


Stadium

GejalaKlinis

1. Ringan

Trismus ringan, spastic tanpa spasme, tanpa disertai disfagia

2. Sedang

Trismus sedang, spasme mulai muncul, disfagia ringan, mulai ada gangguan
respiratori, Jumlah napas> 30 x/menit

3. Berat

Trismus berat, spastic dan spasme seluruh tubuh, disfagia berat, jumlah
napas>140x/menit, mulai muncul apneu dan system simpatis mulai tergangu
ditandai takikardi>120x/menit

4. Sangatberat

Stadium 3 ditambah dengan gangguan system saraf simpatis berat termasuk


system kardiovaskuler

4. PATOFISIOLOGI
Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal
(aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel
neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmitter dan
dikeluarkan menggunakan suatu protein membrane (synaptobrevin) menuju saraf motorik.
Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan
merangsang serat otot untuk bereaksi.
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter
(cth: Asetilkolin) untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang
merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan
menghasilkan neurotransmitter (cth: GABA) untuk membatasi dan memodulasi kontraksi
yang terjadi, di mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat
otot lain yang relaksasi (antagonis refleks).
Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal mengeluarkan
neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi
otot yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan
tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang menjadi gambaaran khas pada tetanus.
Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan kondisi anaerobik
untuk dapat berkembang. Jaringan yang nekrosis atau mengalami infeksi merupakan lokasi
yang sangat mendukung bagi tumbuhnya bakteri ini. Bakteri ini biasanya masuk ke situs
luka dan setelah melalui proses germinasi (berkisar antara 3-21 hari), bakteri ini akan
menghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini
dengan merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka.Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian
menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.
Tetanospasmin kemudian masuk ke dalam sel hingga mencapai sistem saraf pusat
secara intra-aksonal. Setelah mencapai daerah intrasel, tetanospasmin dapat berdifusi
keluar dari sel dan berikatan dengan reseptor interneuron inhibitorik (pada medulla
spinalis). Tetanospasmin akan diendositosis ke dalam sel intraneuron inhibitorik ini.

Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan berat akan rusak
akibat suasana asam, rantai polipeptida ringan kemudian akan masuk ke sitoplasma sel
intraneuron. Kandungan zinc metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini
kemudian akan merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam proses
transportasi neurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf motorik. Hal ini
menyebabkan pelepasan neurotransmitter inhibitori (terutama Gamma Amino Butric
Acid/GABA) tidak dapat dilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan
refleks antagonis otot skeletal menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak
terkontrol dan spasme dari otot-otot skeletal.
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem musculoskeletal, pada
tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis sistem saraf simpatik, sehingga pada
kondisi tersebut, pelepasan katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik.
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-10
hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua
pasca persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the
seventh day). Hal ini membantu membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit lain
pada neonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama
kehidupan.
5. GEJALA KLINIS
a) Anamnesis
Dari Riwayat Penyakit Sekarang, manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus
neonatorum dapat dilihat ketika bayi malas minum dan menangis yang terus
menerus.Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya
mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini.
Kekakuan rahang (trismus) mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
dan akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik kearah lateral,
dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia dan
kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsanganrangsangan sensoris (suara

atau sentuhan). Kemudian kejang akan terjadi secara

spontan dan akhirnya terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau terus menerus
yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi

pada saluran napas dan bisa menyebabkan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis.
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada
siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos).
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya pada kasus
tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset ini, semakin buruk
prognosisnya.Pada riwayat penyakit sekarang, bisa juga ditemukan bahwa bayi
mengalami luka sebelumnya. Pada Anamnesis juga perlu ditanyakan bagaimana
dengan riwayat persalinan, riwayat imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu, dan riwayat
Imunisasi DT/DPT.
b) Pemeriksaan Fisik
1.1. Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari tetanus, bayi
normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari berikutnya bayi sukar
menetek, mulut mecucu seperti mulut ikan. Risus sardonikus dan kekakuan
otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi tali pusat kotor. Terdapat hipoksia dan
sianosis. Bisa juga terjadi Demam ringan pada pasien, namun kesadaran
biasanya baik.
1.2. Pada bayi keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan kesukaran
untuk membuka mulut (trismus).
1.3. Pada wajah :Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat kekakuan otototot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit, sudut mulut
keluar dan kebawah.
1.4. Opistho tonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot punggung, otot
pinggang, semua trunk muscle.
1.5. Pada perut :otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi
setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.
1.6. Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan
binatang.

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Lab darah: tidak spesifik, kemungkinan leukositosis ringan
2. Pemeriksaan Darah :kadar kalsium dan fosfat
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
1. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan
nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah. Tetapi pemeriksaan
mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani.
2. Pemeriksaan cairan serebro spinalis dalam batas normal, walaupun kadang
kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
3. Pemeriksaan EEG adalah normal dan pada pemeriksaan EMG hasilnya tidak
spesifik
8. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus

lebih

sering

ditegakkan

berdasarkan

manifestasi

klinis

dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada


daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran
yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.
Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien
memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat
imunisasi tetanus toksoid yang jelas.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar
sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani
dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi
isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan
memanaskan satu set spesimen pada suhu 80C selama 15 menit untuk menghilangkan
bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur
diinokulasi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil
elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis.
Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat
menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis
tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih

injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk
memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar,
Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu
prognosis.

9. DIAGNOSIS BANDING
Tetanus neonatorum memilki cirri khas, namun demikian, beberapa kelainan lainnya
dapat menyebabkan kejang pada neonates dan harus dapat dibedakan dari tetanus
neonatorum.Secara umum penyebab kejang pada neonatus dapat dibagi menjadi 3 kategori:
1. Kongenital (anomaly cerebral)
2. Perinatal (komplikasi persalinan, trauma perinatal, anoxia, perdarahan intracranial)
3. Postnatal (infeksi dan gangguan metabolisme)
Kerusakan otak oleh karena gangguan kongenital atau perinatal dapat menyebabkan
spasticity, gerakan tubuh yang jerky, dan kejang. Cerebral contusion, umumnya
berhubungan dengan trauma pada saat persalinan atau kesulitan obstetrik lainnya, dan
terjadi pada bayi cukup bulan. Sindrom kerusakan otak sering menyebabkan laxness of
mouth and tongue; refleks hisap hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak lahir. Tidak ada
kondisi yang menyebabkan trismus seperti tetanus.
Infeksi terpenting saat neonatus adalah meningitis, umumnya berhubungan dengan
septicemia. Meningitis neonatorum dapat disebabkan oleh Streptococcus grup B,
Escherichia coli, Lysteria monocytogenes, atau Klebsiella-Enterobacter-Serratia. Dua
infeksi pertama mencakup 70% penyebab infeksi sistemik oleh bakteri pada neonatus. Bayi
dengan meningitis datang dengan letargi, kejang, episode apneu, sulit minum, hipotermi
atau hipertermi, dan, kadang, respiratory distress pada minggu pertama. Gejala yang sering
ditemukan adalah ubun-ubun besar yang tegang.
Infeksi streptococcus grup B dapat mengenai bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Onset gejala dapat awal, dalam 48 jam pertama kehidupan, atau telat, antara 10
hari sampai 4 bulan. Apneu merupakan gejala pertama yang sering ditemukan dan
pneumonia dengan gagal napas dapat terjadi.

Trismus tidak terdapat pada penyakit-penyakit di atas, dan sifat kejang berbeda
dengan yang disebabkan oleh tetanus. Kejang pada kondisi di atas umumnya terjadi dengan
gerakan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih singkat dan umumnya hanya mengenai
satu bagian tubuh. Pada tetanus neonatorum, tidak ditemukan ubun-ubun tegang.
Gangguan metabolik meliputi hipoglikemi terutama pada bayi BBLR atau bayi dari ibu
dengan diabetes dan hipokalsemi. Insidens hipokalsemi pada neonatus tinggi pada hari
pertama, kedua, atau ketiga kehidupan, dan akhir minggu pertama. Hypocalcemic tetany
pada bayi baru lahir dapat menimbulkan kejang dan laringospasme. Kejang berbeda dengan
yang disebabkan oleh tetanus, dan umumnya disertai tremor dan muscle twitching,
sedangkan hipokalsemi tidak menimbulkan trismus atau rigiditas seluruh tubuh yang dilihat
pada tetanus. Bayi dengan hypocalcemic tetany kelihatan normal di antara episode kejang.

10.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus lainnya, yaitu
meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama tubuh berusaha memtabolisme
neurotoxin, mencegah bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha membunuh
kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi tetanospasmin yang
berkelanjutan.Perawatan di NICU mutlak diperlukan.
Eliminasi kuman dalam bentuk vegetatif dilakukan dengan membersihkan situs
luka; debridement merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk
membersihkan luka, diharpakan dengan tindakan tersebut, suasana anaerobik yang
dibutuhkan kuman untuk germinasi dapat dihilangkan.Pemberian antibiotik diperlukan
untuk membunuh kuman bukan untuk netralisasi toksin. Penicillin G (100.000 U/kg/24 jam
IV dibagi menjadi 4-6 kali pemberian selama 10-14 hari) merupakan salah satu antibiotik
pilihan,namun studi terbaru menemukan bahwa penicillin merupakan suatu antagonis
GABA sehingga dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh karenanya saat ini
antibiotik pilihan adalah Metronidazole IV (30 mg/kg/hari, dengan dosis maksimal 4 g/hari
selama 10-14 hari).
Netralisasi

toksin

dalam

sirkulasi

dilakukan

dengan

pemberian

Tetanus

Immunoglobulin (TIG) 3000-6000 unit dosis tunggal intramuskular.Pada suatu penelitian


ditemukan bahwa dosis sebesar 500 unit memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian
dosis yang lebih besar, namun hingga saat ini pemberian dosis TIG 3000-6000 unit (IM)

masih menjadi rekomendasi resmi WHO.Jika sediaan TIG tidak tersedia, pemberian antitetanus serum (ATS) dapat menjadi pilihan alternatif. ATS dapat diberikan dengan dosis
10.000 unit dan pemberiannya dibagi menjadi 2 dosis ( IM, IV).Di negara-negara
miskin dan berkembang, TIG masih sulit didapatkan karena harganya yang mahal,
sedangkan ATS karena harganya yang lebih murah lebih banyak digunakan. Penggunaan
ATS harus didahului dengan uji desensitisasi terhadap antigen serum yang terkandung di
dalamnya karena sering menimbulkan reaksi alergi pada penderita.Pemberian TIG ataupun
ATS harus dilakukan secepatnya (maksimal 24 jam setelah didiagnosis), karena toksin tidak
dapat lagi dinetralisir oleh TIG atau ATS apabila sudah mencapai medula spinalis.
Terapi Suportif
Terapi suportif mutlak diperlukan dan memegang peranan penting dalam
menentukan tingkat mortalitas yang terjadi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
penanganan jalan napas. Penggunaan ventilator merupakan pilihan utama. Selain itu
pemberian muscle-relaxant atau sedative dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus
melebarkan jalan napas. Obat yang terbukti cukup efektif adalah benzodiazepine (cth:
diazepam, midazolam). Diazepam memiliki efek pelemas otot, anti anxietas dan sedasi. Hal
itu menyebabkan diazepam efektif digunakan dalam penanganan tetanus neonatorum.
Pemberian diazepam 10 mg/kg/harisecara IV,

ataudengan bolus IV setiap 3-6 jam

dengandosis 0,1-0,2 mg/kg/kali pemberian.Dosismaksimaldiazepam : 40 mg/kg/hari.


Pemberian via pipa nasogastric ataupun rectal dapatdiberikanapabilajalur infuse
belumterpasang (dosissamadengan IV). Bilafrekuensinapas< 30x/menit, danalat bantu
napastidaktersedia, pemberian diazepam harusdihentikan. Setelah 5-7 hari, dosis diazepam
dapatdikurangisecarabertahapdandiberikanmelaluipipanasogastrik
(denganasumsipasienmengalamiperbaikan
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit.
Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh karena
itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT). Pada kkasus
neonatus dengan jalan napas yang tidak berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10
hari dapat ddilakukan Trakeostomi.
11.

KOMPLIKASI
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkan

10

gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanus
neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan
yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan
tulang masih belum sempurna
3. Hiperadrenergik menyebabkan hipera
4. kitifitas sistem saaraf otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi
yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan
penyebab kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
5. Sepsis akibat infeksi nosokomial (cth: Bronkopneumonia)
6. Pneumonia Aspirasi (sering kali terjadiakibataspirasimakananataupunminuman yang
diberikansecara oral padasaatkejangberlangsung)
Komplikasi Jangka Panjang
Pada sebuah penelitian, ditemukan deficit neurologis pada sebagian penderita
tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul dapat berupa cerebral palsy,
gangguan perkembangan intelektual maupun gangguan perilaku.Gejala tersebut didapatkan
pada anak-anak berusia 7-12 tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoxia yang terjadi
semasa kejang yang terjadi. Namun demikian presentasi terjadinya sequalae pada penyakit
ini belum dapat dipastikan.
12.

PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi spora
hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga spasme tetanik
yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang
mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%.

13.

PENCEGAHAN
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis
yang mendukung
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan
sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat
vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas.
11

3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus
neonatorum.
Vaksinasi Tetanus
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai antigen.
Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein spesifik. Pemberian
vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat vaksin tidak diketahui atau
kurang dari 3 kali imunisasi TT.
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun) atau
sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang paling mudah
dan efektif. Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap infeksi tetanus mencapai
lebih dari 90%.
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis tetanus
toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus) dengan jarak
antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan kemudian, dosis ke 4 satu
tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.
Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td, atau DPT, dapat
diberikan booster setiap 10 tahun.
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan vaksin
pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum melahirkan.
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya harus
diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat memberikan
perlindungan hingga 5 tahun.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.
Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung,
2005 ; 209-213.
2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
vNeurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871.
3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD,
Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1 17 th edition W.B. Saunders Company.
2004.
4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305.

13

5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus :
progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

14

Anda mungkin juga menyukai