Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 68

Hubungan Kadar Logam Berat Merkuri (Hg) pada Sedimen dengan Struktur
Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu
Kabupaten Bombana

Relation of Heavy Metal Levels of Mercury (Hg) in Sediments with Community Structure of
Makrozoobenthos in Tahi Ite River, Rarowatu District of Bombana

Frisca Novia Trisnawaty*), Emiyarti**), dan La Ode Alirman Afu***)

Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo
Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232
E-mail*frisca.mbeng@gmail.com **emiyarti@yahoo.co.id ***laodealirmanafu@yahoo.co.id


Abstrak


Penelitian ini dilaksanakan pada periode bulan November 2012-Februari 2013 di Perairan Sungai Tahi Ite,
Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kadar dan tingkat pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada sedimen hubungannya dengan struktur
komunitas makrozoobenthos di perairan Sungai Tahi Ite. Hasil pengamatan menunjukkan parameter fisika
kimia kualitas air disetiap stasiun dengan suhu (28,33-30,90C), kecepatan arus (0,048-0,672 m/det) dan pH
air (6,5-8), sedangkan untuk kualitas sedimen didapatkan tekstur sedimen (stasiun I pasir, stasiun II pasir
berlempung dan stasiun III lempung berdebu). Kadar logam berat Hg pada sedimen yaitu (0,0001-0,0057 ppm),
kadar tersebut masih dibawah standar baku mutu yang ada berdasarkan Ducth Quality Standars For Metals in
Sediment, IADC/CEDA (1997). Sementara itu komunitas makrozoobenthos yang terdapat pada Sungai Tahi Ite
memiliki kelimpahan yang rendah. Hanya terdapat tiga jenis makrozoobenthos kelas gastropoda yaitu
Littoridina sp., Potamopyrgus sp. dan Melanoides sp.. Tingkat pencemaran yang terjadi di daerah aliran Sungai
Tahi ite masih dalam level target/tercemar ringan.

Kata Kunci: Makrozoobenthos, sedimen dan logam berat merkuri (Hg), Sungai Tahi Ite


Abstract


The research was conducted in November 2012-February 2013 in Tahi Ite River, District of Rarowatu,
Bombana, Southeast Sulawesi Province. This study aimed to determine heavy metal pollution level of mercury
(Hg) in sediment and its relation to macrozoobenthos community structure in Tahi Ite river. Results of chemical
physical parameters showed that temperature ranged 28,33 to 30,90C, flow velocity 0,048-0,672 m/sec and pH
6,5 to 8, while for sediment quality texture was sand on station 1, clay dominte sand on station II, and dusty clay
on station III. Hg levels in sediments ranged 0,0001 to 0,0057 ppm, and it was still tolerance as quality
standards, Ducth Quality Standars For Metals in Sediment, IADC/CEDA (1997). Sructure of the
macrozoobenthos community was poor. There were three species of macrozoobenthos of gastropod i.e
Littoridina sp., Potamopyrgus sp. and Melanoides sp. Middle contamination was occured in the basin and Hg
levels of heavy metals contained in the sediment was still in tolerance levels.

Keywords: Macrozoobenthos, sediment, heavy metal of mercury (Hg), River Tahi Ite

Pendahuluan
Pencemaran logam berat menjadi
ancaman yang ada di perairan. Salah satu
pencemaran logam berat yang dapat
menurunkan kualitas perairan adalah
penggunaan logam berat merkuri akibat
aktivitas manusia yang dilakukan di suatu
wilayah. Logam berat merkuri merupakan
logam berat yang sering digunakan dalam
proses penambangan emas dengan metode
amalgamasi, dimana logam berat merkuri dapat
mengikat bijih emas dan dapat memisahkan
bijih emas dengan logam-logam lainnya.
Sungai merupakan salah satu media yang
menjadi dampak akibat pencemaran logam
berat merkuri, dimana sungai dapat menjadi
tempat pembuangan limbah dari sisa
pengelolaan emas yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar maupun penambang lainnya.
Lemahnya pengawasan terhadap penanganan
(pembuangan) limbah dari sisa pengolahan
mempunyai potensi untuk menciptakan
Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 03 No. 12 Sep 2013 (68 80) ISSN : 2303-3959


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 69
lingkungan yang tercemar. Upaya pengelolaan
emas yang dilakukan oleh masyarakat tidak
diimbangi dengan pemeliharaan lingkungan di
sekitar daerah penambangan emas tersebut,
khususnya daerah aliran sungai (DAS). Akibat
dari penggunaan logam berat merkuri tersebut
tidak hanya menimbulkan pencemaran air
sungai saja, akan tetapi bagian dari sungai
seperti sedimen dan organisme yang hidup di
dalamnya ikut tercemar akibat toksin/racun
yang terkandung dalam logam berat merkuri
tersebut. Salah satu organisme yang terdapat di
sungai adalah makrozoobenthos.
Makrozoobenthos merupakan organisme yang
biasanya sering digunakan sebagai indikator
pencemaran dari suatu perairan karena
hidupnya yang cenderung menetap pada
sedimen tempat hidupnya.
Kabupaten Bombana merupakan salah
satu daerah penghasil tambang emas yang ada
di Sulawesi Tenggara. Sungai Tahi Ite
merupakan sungai yang terletak di wilayah
penambangan emas di Bombana. Namun saat
ini, Sungai Tahi Ite mengalami perubahan
drastis baik secara fisik sungai maupun secara
fungsionalnya, hal ini dikarenakan daerah aliran
sungai (DAS) Tahi Ite mengalami kerusakan
lingkungan khususnya perairan, sedimen
maupun organisme yang hidup pada aliran
Sungai Tahi Ite. Salah satu tempat hidup
organisme adalah sedimen, dimana sedimen
merupakan tempat hidup bagi organisme
makrozoobenthos, ketika logam berat
mencemari sedimen akibat adanya aktivitas
penambangan emas, maka akan menyebabkan
terganggunya kehidupan organisme khususnya
makrozoobenthos. Selain itu, akibat dari
aktivitas penambangan dapat membahayakan
kehidupan organisme, sehingga organisme
tersebut dapat mengalami gangguan,
menghilang dan pada akhirnya mengakibatkan
kematian.
Berdasarkan uraian di ata, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai hubungan kadar
logam berat merkuri (Hg) yang terkandung di
dalam sedimen dengan struktur komunitas
makrozoobenthos yang ada di Sungai Tahi Ite.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
November 2012 sampai Februari 2013 di
perairan Sungai Tahi Ite Kecamatan Rarowatu
Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi
Tenggara. Analisis sampel dilakukan di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari,
sedangkan analisis logam berat dilakukan di
Laboratorium Balai Besar Laboratorium
Kesehatan Makassar, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Stasiun pengamatan ditentukan secara
purposive sampling, berdasarkan karakteristik
lingkungan sekitar aliran Sungai Tahi Ite yang
memiliki aktivitas penambangan yang
memberikan tekanan pada aliran sungai
tersebut.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 70

Alat yang digunakan dalam penelitian di
lapangan yaitu: layangan arus, therommeter,
pH indikator, soil tester, pipa paralon,
saringan, kamera digital dan GPS. Alat yang
digunakan dalam penelitian di laboratorium
yaitu: AAS, saringan bertingkat dan buku
identifikasi (tulisan Dharma, 1988).
A. Metode Pengambilan Sampel
1. Kualitas Air
Pengambilan data kualitas air dilakukan
secara langsung dilapangan dengan melakukan
pengukuran suhu (thermometer), arus
(layangan arus), dan derajat keasaman (pH
indikator). Pengukuran dan pengamatan
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan setiap
stasiun pengamatan.
2. Karakteristik Sedimen dan Bahan
Organik Sedimen
Pengambilan sampel sedimen yang
dilakukan adalah tekstur sedimen, bahan
organik sedimen, sampel sedimen Hg dan pH
sedimen. Pengukuran dan pengamatan pH
sedimen dilakukan dengan cara menancapkan
alat soil tester pada sedimen dengan 3 kali
pengulangan pada setiap stasiun. Pengambilan
sampel tekstur sedimen dan bahan organik
sedimen dilakukan dengan cara menancapkan
pipa paralon kedalam sedimen pada setiap
stasiun dengan panjang pipa paralon 30cm
dan diameter pipa 8,6cm sebanyak 1 kali
pengulangan. Sedangkan, untuk sampel
sedimen Hg dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan, selanjutnya sampel sedimen
dimasukkan kedalam kantung sampel dan
diberi label kemudian dianalisis di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari.
Kadar logam berat merkuri (Hg) pada
sedimen dapat diketahui dengan cara
mengambil sampel sedimen di lapangan pada
setiap stasiun pengamatan. Analisis sampel
sedimen dilakukan di Laboratorium Balai
Besar Laboratorium Kesehatan Makassar,
Provinsi Sulawesi Selatan dengan
menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometri).
3. Makrozoobenthos
Pada setiap stasiun pengamatan
dilakukan pengambilan sampel
makrozoobenthos menggunakan transek
kuadrat dengan ukuran 1m x 1m dengan cara
mengambil makrozoobenthos sebanyak 3 kali.
Kemudian, dilakukan penyortiran sampel
dengan cara penyaringan sedimen dengan
menggunakan saringan berukuran 2 mm.
Sampel makrozoobenthos dimasukkan ke
dalam kantung sampel dan ditambahkan
larutan alkohol 70% sebagai bahan pengawet.
Sampel makrozoobenthos yang diperoleh
selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Halu Oleo Kendari dengan bantuan
buku identifikasi makrozoobenthos tulisan
Dharma (1988).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada hasil
penelitian di Sungai Tahi Ite berupa analisis
deskriptif.
1. Kelimpahan Jenis (K)
Kelimpahan makrozoobenthos dihitung
berdasarkan jumlah individu persatuan luas
(ind/m
2
), biasanya dinyatakan dalam satuan
meter persegi (Odum, 1993) sebagaimana
persamaan berikut :
=
10.000


Dimana :
K = Indeks kelimpahan jenis (ind/m
2
);
a = Jumlah makrozoobenthos yg
diperoleh (individu) dalam b;
b = Luas transek (cm
2
);
10.000 merupakan konversi dari cm
2
ke m
2
.
2. Keanekaragaman Jenis (H')
Untuk melihat indeks keanekaragaman
jenis (Species Diversty Index) (H') digunakan
rumus Shannon-Weiner English et al., (1994)
dalam Emiyarti (2004) dengan persamaan
berikut :

= 2
Dimana :
H' = Indeks keanekaragaman jenis;
pi = ni/N;
ni = Jumlah individu jenis ke-i;
N = Jumlah total individu.

Nilai indeks Shannon-Wiener mempunyai
beberapa kisaran nilai tertentu, yaitu:

H' < 1 : Keanekaragaman Rendah;
1< H' <3 : Keanekaragaman Sedang;
H' > 3 : Keanekaragaman Tinggi.




Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 71
3. Indeks Keseragaman Jenis (E)
Untuk menghitung keseragaman jenis
makrozoobenthos, yaitu penyebaran individu
antar spesies yang berada dalam komunitas
digunakan rumus sebagaimana persamaan
berikut menurut English et al., (1994) dalam
Emiyarti (2004):
=



Dimana :
E = Indeks Keseragaman;
H' = Nilai Indeks Keragaman Jenis;
H maks = Log S;
S = Jumlah jenis yang tertangkap.

Nilai indeks keseragaman jenis ini berkisar
antara 0-1. Semakin kecil nilai indeks
keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah
antar spesies tidak menyebar merata, dan
sebaliknya semakin besar nilai indeks
keseragaman, berarti jumlah antar spesies
semakin menyabar merata.
4. Dominasi Jenis (C)
Untuk menghitung adanya dominansi
jenis tertentu dalam suatu komunitas
makrozoobenthos, digunakan indeks
dominansi Simpson (Odum, 1993)
sebagaimana persamaan berikut:
= (/)
Dimana :
C = Indeks dominasi jenis;
ni = Jumlah individu spesies ke-i;
N = Jumlah total individu setiap jenis.

Nilai indeks dominan (C) mempunyai kisaran
antara 0-1. Semakin mendekati nilai 1 nilai C,
berarti semakin tinggi dominansi oleh spesies
tertentu.
5. Pola Distribusi (I) Makrozoobenthos
Untuk mengetahui pola penyebaran
makrozoobenthos pada suatu habitat digunakan
metode pola sebaran morisita menurut Elliot
(1977) dalam Setiobudiandi dkk. (2009) yaitu
sebagaimana persamaan berikut:
=
( 1)
( 1)

Dimana :
I = Indeks Penyebaran Morisita;
ni =Jumlah Individu pada Pengambilan
Sampel ke-i;
N = Jumlah Total Individu yang
diperoleh;
q = Jumlah Pengambilan Sampel.

Kriteria dari indeks Morisita adalah sebagai
berikut:
I < 1 : Tipe Penyebaran Seragam;
I = 1 : Tipe Penyebaran Acak;
I > 1 : Tipe Penyebaran Mengelompok.

Hasil
A. Hasil penelitian
1. Gambaran umum lokasi penelitian
Aktivitas masyarakat yang menambang
di daerah Bombana di awali dengan
ditemukannya emas di daerah Tahi Ite pada
September 2008. Jumlah penambang yang
tadinya penduduk lokal dengan cepat
bertambah, terutama dengan kedatangan para
penambang dari luar daerah. Daerah Aliran
Sungai (DAS) Tahi Ite dengan luas DAS
1000 ha, kondisi morfologi pada DAS ini
umumnya merupakan daerah dataran
bergelombang dengan anak-anak sungai terjal
berbentuk V dan mengalir sepanjang tahun.
Sungai Tahi Ite sendiri mengalir ke arah
selatan. Pada sungai ini terdapat lokasi
penambangan Padang Bila yang terletak di
bagian hulu sungai dan lokasi penambangan
Tahi Ite yang terletak di hilirnya (Zulkarnain
dan Pudjiastuti, 2008).
Letak geografis wilayah UPT Tahi Ite,
berbatasan langsung dengan daerah lainnya
yakni:
a. Sebelah Utara, berbatasan dengan
Kecamatan Rarowatu Utara dan Kecamatan
Matausu.
b. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa
Pungkuri Kecamatan Rarowatu.
c. Sebelah Barat, berbatasan dengan
Kecamatan Poleang Utara.
d. Sebelah Selatan, berbatasan dengan
Kecamatan Poleang Tenggara.
2. Kualitas Air
Hasil pengukuran kualitas air selama
penelitian pada Sungai Tahi Ite, Kecamatan
Rarowatu, Kabupaten Bombana.







Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 72
a. Suhu

Gambar 2. Grafik suhu pada setiap stasiun selama penelitian.
Hasil pengukuran suhu pada setiap
stasiun selama penelitian menunjukkan kisaran
suhu yang berbeda-beda. Stasiun I berkisar
antara 30,00-30,27C, stasiun II berkisar antara
29,33-30,90C dan stasiun III berkisar 28,33-
29,60C.

b. Arus

Gambar 3. Grafik arus pada setiap stasiun selama penelitian.
Hasil pengukuran kecepatan arus pada
setiap stasiun selama penelitian menunujukkan
kisaran kecepatan arus yang berbeda-beda.
Stasiun I berkisar antara 0,510-0,672 m/det,
stasiun II berkisar antara 0,390-0,529 m/det
dan stasiun III berkisar 0,048-0,084 m/det.

c. pH air

Gambar 4. Grafik pH air pada setiap stasiun selama penelitian.


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 73
Hasil pengukuran pH air pada setiap
stasiun selama penelitian menunjukkan kisaran
pH air yang berbeda-beda. Stasiun I setiap
pengulangan pH air sama yaitu 7, stasiun II
berkisar antara 6,5-7 dan stasiun III berkisar 7-
8.

3. Kualitas Sedimen
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas sedimen selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1
berikut:

Tabel 1. Kualitas sedimen berdasarkan hasil pengamatan pada setiap stasiun penelitian
Stasiun Tekstur Sedimen*
Bahan Organik
Sedimen (%)
pH Sedimen
I Pasir 3,5851 6,8
II Pasir berlempung 4,6099 6,9
III Lempung berdebu 5,21 6,8
Keterangan: * Tekstur Sedimen berdasarkan Segitiga Miller
4. Kadar Logam Berat Hg Pada Sedimen
Berdasarkan hasil pengukuran kadar logam berat merkuri (Hg) pada sedimen Sungai Tahi Ite
dapat dilihat kisaran logam berat Hg pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Kadar logam berat merkuri (Hg) pada sedimen yang terukur pada setiap stasiun
penelitian
Stasiun Kadar Hg pada Sedimen (ppm)
I 0,0001-0,0042
II 0,0002-0,0008
III 0,0007-0,0057


5. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil pengamatan struktur komunitas makrozoobenthos pada setiap stasiun di
Sungai Tahi Ite, maka didapatkan jenis makrozoobenthos seperti pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Jenis makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian
Stasiun
Jenis
Makrozoobenthos
Jumlah
individu
K
(ind/m
2
)
H' E C I
I
Littoridina sp.
11
12 0,1246 0,2611 0,8472 2,5
Potamopyrgus sp. 1
II Littoridina sp.
4
4 0 0 1 3
III Melanoides sp.
86
86 0 0 1 3
Dimana:
K : Kelimpahan;
H' : Keanekaragaman;
E : Keseragaman;
C : Dominasi;
I : Pola Distribusi.
Pembahasan
A. Kualitas Air
Hasil pengukuran kualitas air perairan
Sungai Tahi Ite, selama penelitian adalah
sebagai berikut:

1. Suhu
Berdasarkan hasil pengamatan pada
setiap stasiun menunjukkan bahwa suhu
tertinggi terdapat di stasiun II (29,33-30,90C),
dimana kondisi lingkungan pada stasiun II
tersebut gersang tanpa pepohonan dan lebih di
dominasi semak rerumputan, sehingga


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 74
penetrasi cahaya yang masuk ke perairan
sungai lebih maksimal karena tidak dihalangi
oleh pepohonan. Suhu terendah pada hasil
pengukuran terdapat pada stasiun III (28,33-
29,60C), dimana kondisi lingkungan pada
stasiun III tersebut rindang dengan adanya
pepohonan sehingga lebih mendukung suhu
perairan pada stasiun III lebih rendah
dibandingkan dengan stasiun yang lainya.
Berdasarkan KEP-51/MENLH/10/1995
tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan
industri untuk parameter temperatur/suhu
berkisar antara 38-40C, dengan melihat
kisaran suhu pada setiap stasiun pengamatan
masih dibawah ambang batas dari standar yang
ditetapkan. Organisme yang hidup pada
perairan Sungai Tahi Ite khususnya
makrozoobenthos masih dapat hidup pada
kisaran suhu sungai yang ada karena masih
dapat mentolerir dan masih cocok dengan
kehidupannya. Habashy dan Hassan (2010),
menambahkan bahwa suhu merupakan faktor
penting yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dari organisme.
2. Arus
Berdasarkan hasil pengamatan
kecepatan arus menunjukkan bahwa, kecepatan
arus tertinggi pada stasiun I dengan kisaran
waktu 0,510-0,672 m/det, sedangkan untuk
kecepatan arus terendah pada stasiun III
dengan kisaran kecepatan arus 0,048-0,084
m/det, hal tersebut disebabkan oleh kondisi
lingkungan sungai. Perbedaan kecepatan arus
sangat terlihat jelas pada stasiun I dan III,
dimana kondisi lingkungan pada stasiun III
sangat mendukung arus yang terjadi lambat.
Kecepatan arus yang ada pada Sungai
Tahi Ite, dipengaruhi oleh kedalaman sungai.
Hal ini terlihat pada stasiun I memiliki
kecepatan arus yang tinggi disebabkan oleh
kondisi sungai yang dangkal. Harimurthy
(2001) dalam Hidayah (2003), menyatakan
bahwa kecepatan arus dipengaruhi oleh
kedalaman dan lebar sungai, arus akan
semakin cepat bila perairan makin sempit dan
dangkal. Kecepatan arus juga dapat
mempengaruhi tekstur sedimen dimana pada
arus yang kencang lebih didominasi oleh
partikel yang kasar seperti pasir, sedangkan
untuk arus yang lambat didominasi oleh
partikel lumpur yang lebih halus, hal ini sesuai
dengan pernyataan Purnawan dkk. (2012),
bahwa kecepatan arus mempengaruhi distribusi
sebaran sedimen, dimana butiran sedimen yang
lebih besar ditemukan pada daerah yang
memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi.
Selain itu, kecepatan arus juga dapat
mempengaruhi organisme yang hidup
didalamnya, biota yang hidup pada arus yang
kuat akan berbeda dengan biota yang hidup
pada arus yang lambat.
3. pH Air
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi
pH air yang ada pada aliran Sungai Tahi Ite
berkisar antara 6,5-7. Nilai pH air tertinggi
pada stasiun III berkisra 7-8, sedangkan pH air
pada stasiun II memiliki pH rendah berkisar
6,5-7. Dari kisaran pH air yang ada pada
aliran Sungai Tahi Ite, masih memungkinkan
makrozoobenthos dapat hidup pada sungai
tersebut. Hal ini berdasarkan
KEP/Nomor:202/MENLH/2004, mengenai
baku mutu air limbah bagi usaha dan atau
kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga menunjukkan kisaran pH antara 6-9,
dengan adanya baku mutu tersebut kisaran pH
air untuk Sungai Tahi Ite masih dapat ditolerir
oleh makrozoobenthos sebagai tempat
hidupnya. Ketika pH air dibawah standar
ataupun diatas standar, maka organisme
makrozoobenthos khususnya akan mengalami
tekanan atau stres, hal tersebut didukung
dengan pernyataan Odum (1993), dimana pH
merupakan faktor pembatas bagi organisme
yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan
pH yang terlalu tinggi atau rendah akan
mempengaruhi ketahanan hidup organisme
yang hidup didalamnya.
Connell dan Miller (1995), menyatakan
bahwa kenaikan pH di perairan akan diikuti
dengan penurunan kelarutan logam berat,
sehingga logam berat cenderung mengendap.
Sebaliknya, ketika pH air rendah maka racun
dari logam berat akan meningkat. Rada dan
Puljas (2010), menambahkan bahwa kualitas
perairan sangat menentukan kehidupan bagi
makrozoobenthos, ketika kualitas perairan
berubah maka akan mengganggu kehidupan
organisme tersebut.
B. Kualitas Sedimen
1. Tekstur Sedimen
Berdasarkan hasil analisis sebaran
sedimen yang diperoleh selama penelitian,
menunjukkan ada perbedaan tekstur sedimen
pada setiap stasiun. Tekstur sedimen yang
terdapat pada stasiun I dan II adalah tekstur
pasir dan pasir berlempung. Jenis sedimen
tersebut biasa dijumpai pada sungai yang
memiliki arus cukup kuat karena material yang
banyak terdapat pada sungai lebih didominasi


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 75
dengan pasir seperti yang terdapat pada
sedimen di stasiun I dan II. Sedangkan, pada
stasiun III memiliki tekstur sedimen lempung
berdebu. Tekstur sedimen yang terdapat pada
stasiun tersebut memiliki bahan organik yang
cukup tinggi yang menjadi salah satu makanan
bagi makrozoobenthos. Tekstur sedimen juga
mempengaruhi jenis makrozoobenthos yang
ada di lokasi penelitian yang memiliki tempat
tinggal dan daya tahan yang berbeda pada
setiap stasiunnya.
Selain itu, tekstur sedimen juga
mempengaruhi kadar logam berat yang
terkandung dalam sedimen, dimana sedimen
dengan tekstur lembung berdebu lebih banyak
terjadi pengendapan logam berat khususnya
merkuri (Hg). Tekstur sedimen yang memiliki
bentuk padat dan mudah mengikat logam berat
dalam proses pengendapan. Hal ini
berdasarkan pernyataan Rafni (2004), bahwa
partikel sedimen yang halus biasanya
mempunyai kandungan bahan pencemar yang
tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
gaya tarik menarik elektrokimia antara partikel
sedimen dengan partikel mineral, pengikatan
oleh partikel organik dan pengikatan oleh
sekresi lendir organisme. Harahap (1991)
dalam Rachmawatie dkk. (2009),
menambahkan bahwa logam berat mempunyai
sifat yang mudah mengikat dan mengendap di
dasar perairan dan bersatu dengan sedimen,
sehingga biasanya kadar logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air.
2. Bahan Organik pada Sedimen
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik berkisar antara
3,5851-5,21%. Kandungan bahan organik
tertinggi terdapat pada stasiun III (5,21%),
sedangkan kandungan bahan organik terendah
terdapat di stasiun I (3,5851%). Tingginya
bahan organik yang terdapat pada stasiun III
disebabkan karena kondisi lingkungan yang
rindang dengan banyak pepohonan dapat
mendukung terjadi tingginya bahan organik
dimana kondisi tersebut menjadikan adanya
dekomposisi dan terurainya daun-daun dan
ranting pohon yang ada di sekitar sungai.
Bahan organik yang dihasilkan tersebut
merupakan salah satu satu sumber makanan
bagi makrozoobenthos.
Kandungan bahan organik pada sedimen
menunjukkan banyaknya bahan organik hasil
dekomposisi jasad dari organisme yang telah
mati, serasah (dedaunan) maupun bahan-bahan
organik yang terbawa oleh arus air yang
kemudian mengendap kedasar perairan yang
menjadi sumber makanan bagi
makrozoobenthos. Kandungan bahan organik
umumnya terdapat pada sedimen didasari
lumpur dibandingkan dengan sedimen dengan
tekstur berpasir, hal ini dikarenakan sedimen
berlumpur lebih mengikat bahan organik
dengan teksturnya yang padat dan cenderung
halus, sedangkan tekstur sedimen berpasir
cenderung tidak mengikat begitu banyak bahan
organik karena teksturnya yang kasar dan
bersifat terpisah-pisah. Berdasarkan
pernyataan Wood (1987) dalam Rafni (2004),
bahwa terdapat hubungan antara kandungan
bahan organik dan ukuran partikel sedimen.
Pada sedimen yang halus, persentase bahan
organik lebih tinggi daripada sedimen kasar,
hal tersebut berhubungan dengan kondisi
lingkungan yang tenang sehingga
memungkinkan pengendapan sedimen lumpur
yang diikuti oleh akumulasi bahan organik
kedasar perairan. Van
Dalfsen et al. (2000), menambahkan bahwa
ukuran sedimen mempengaruhi jumlah bahan
organik. Bahan organik rendah pada butiran
pasir dan butiran halus kaya akan bahan
organik.
3. pH Sedimen
Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH
sedimen selama penelitian berkisar antara 6,8-
6,9. Nilai pH sedimen tertinggi terdapat pada
stasiun II dengan nilai 6,9 dan nilai pH
sedimen terendah terdapat pada stasiun I
dengan nilai 6,8.
Kisaran nilai pH sedimen yang diperoleh
ternyata lebih rendah bila dibandingkan
dengan pH perairan. Perubahan pH ini erat
kaitannya dengan proses-proses biologi dan
kimia yang terjadi dalam sedimen seperti
dekomposisi yang menghasilkan ion-ion
hidrogen. Hynes (1978) dalam Hidayah
(2003), menyatakan nilai pH yang aman untuk
makrozoobenthos adalah berkisar antara 5-9.
Pada kisaran ini pengaruh toksisitas bahan
beracun akan sangat kecil. Sedangkan, nilai
pH dibawah 5 atau diatas 9 sangat tidak
menguntungan bagi organisme
makrozoobenthos.
C. Kadar Logam Berat Hg pada
Sedimen
Hasil pengukuran merkuri (Hg) pada
sedimen disetiap stasiun penelitian
menunjukkan bahwa kadar Hg tertinggi pada
sedimen terdapat di stasiun III dengan kisaran
nilai 0,0007-0,0057 ppm dan kadar merkuri


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 76
terendah terdapat pada stasiun II berkisar
antara 0,0002-0,0008 ppm.
Kadar logam berat merkuri (Hg) pada
sedimen yang ada di setiap stasiun,
menunjukkan kisaran yang masih dibawah
standar baku mutu, namun apabila pencemaran
logam berat tersebut terus terjadi maka kadar
merkuri bisa saja akan meningkat seiring
dengan penggunaan logam berat khususnya
merkuri pada pengelolaan bijih emas yang ada
di sekitar sungai tersebut. Akan tetapi, sampai
saat ini di Indonesia belum memiliki standar
baku mutu yang resmi untuk kadar logam berat
pada sedimen khususnya logam berat merkuri
Wulandari (2006), menyatakan bahwa baku
mutu logam berat di dalam lumpur atau
sedimen di Indonesia belum ditetapkan,
sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku
mutu yang dikeluarkan oleh Dutch Quality
Standars For Metals in Sediment
(IADC/CEDA, 1997), mengenai kandungan
logam yang dapat ditoleransi keberadaannya
dalam sedimen sekaligus melihat tingkat/level
dari pencemaran logam berat dalam sedimen,
khusus untuk logam berat Hg pada sedimen di
lokasi penelitian masih dibawah standar baku
mutu yang memiliki tingkat/level dibawah
level target dimana level target jika konsentrasi
kontaminan yang ada pada sedimen memiliki
nilai yang lebih kecil dari nilai level target,
maka distribusi yang ada pada sedimen tidak
terlalu berbahaya bagi lingkungan, dengan
kisaran logam berat Hg pada tingkat/level ini
sebesar 0,3 ppm.
Berdasarkan baku mutu, serta tingkat
pencemaran yang ada kadar logam berat Hg
pada sedimen di aliran Sungai Tahi Ite yang
berkisar 0,0001-0,0057 ppm masih dibawah
standar baku mutu yang ada, maka logam berat
Hg pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi
lingkungan. Namun, kondisi tersebut tidak
bisa dibiarkan begitu saja perlu diadakan
pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut
guna mencegah pencemaran logam berat
khususnya merkuri yang lebih tinggi lagi
karena logam berat merkuri sangat berbahaya
bagi kehidupan manusia maupun organisme
serta lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Shreadah et al. (2012), bahwa
merkuri (Hg) terdaftar sebagai polutan yang
sangat berbahaya karena toksisitasnya dapat
terakumulasi di lingkungan dan dapat
berdampak pada mahluk hidup. Rendahnya
logam berat Hg pada sedimen dikarenakan
penggunaan logam berat Hg pada kegiatan
penambangan emas disekitar aliran Sungai
Tahi Ite sudah jarang ditemukan dan
penambangan emas tersebut sudah cukup lama
berlangsung. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Wulandari (2006), bahwa
rendahnya logam berat Hg dalam sedimen
diduga penggunaan Hg oleh penambang atau
kegiatan lainnya sudah jarang atau tidak sama
sekali. Hal ini karena Hg merupakan logam
berat yang paling berbahaya diantara logam
lainnya serta bersifat kumulatif dan dapat
menyebabkan kematian.
D. Struktur Komunitas
Makrozoobenthos
1. Kelimpahan (K) Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil pengamatan pada
kelimpahan makrozoobenthos di setiap stasiun
pengamatan, dimana dari setiap stasiun hanya
terdapat makrozoobenthos kelas gastropoda.
Stasiun I kelimpahan jenis (K)
makrozoobenthos sebesar 12 ind/m
2
, dimana
pada stasiun tersebut terdapat dua jenis
makrozoobenthos yaitu Littoridina sp. dan
Potamopyrgus sp.. Stasiun II jenis
makrozoobenthos yang didapatkan sama pada
stasiun I yaitu Littoridina sp. dengan nilai
kelimpahan sebesar 4 ind/m
2
. Sedangkan pada
stasiun III jenis makrozoobenthos yang di
dapatkan adalah Melanoides sp. dengan jumlah
kelimpahan jenis (K) sebesar 86 ind/m
2
.
Berdasarkan hasil pengamatan
kelimpahan jenis Melanoides sp. memiliki
kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan
jenis lainnya, kondisi lingkungan seperti
tekstur sedimen lempung berdebu yang
memiliki bahan organik cukup tinggi
merupakan tempat yang cocok untuk
kehidupan dari jenis Melanoides sp..
Makrozoobenthos jenis ini mampu bertahan
dengan kondisi lingkungan yang memiliki
bahan organik tinggi, hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Zulkifli dkk. (2009), bahwa
kandungan bahan organik yang tinggi akan
mempengaruhi kelimpahan organisme, dimana
terdapat organisme-organisme tertentu yang
tahan terhadap tingginya kandungan bahan
organik tersebut, sehingga dominansi oleh
spesies tertentu seperti Melanoides sp..
Setiap jenis makrozoobenthos memiliki
jenis makanan yang berbeda sesuai dengan tipe
sedimen dimana mereka tinggal, hal ini sesuai
dengan pernyataan Covich et al. (2000), bahwa
alam komunitas bentik, bahkan kehidupan
bentik untuk setiap jenis terkait erat dengan
cara mereka memperoleh sumber makanan
mereka yang berbeda sesuai dengan cara
makan dan jenis sedimen.


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 77
2. Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E)
Makrozoobenthos dan Dominansi (C)
Keanekaragaman jenis
makrozoobenthos pada setiap stasiun
pengamatan menunjukkan nilai
keanekaragaman 0-0,1246 (H'<1).
Berdasarkan kriteria nilai indek
keanekaragaman pada setiap stasiun
menunjukkan bahwa keanekaragaman sangat
rendah. Purnama dkk. (2011), menyatakan
bahwa nilai keanekaragaman (H'<1) tergolong
kategori rendah, hal ini menandakan bahwa
terjadi perubahan lingkungan sebagai indikasi
adanya tekanan berat dan ekosistem tidak
stabil. Pernyataan tersebut didukung dengan
hasil penelitian yang hanya mendapatkan tiga
jenis makrozoobenthos pada stasiun
pengamatan.
Keseragaman makrozoobenthos pada
setiap stasiun penelitian berkisar antara 0-
0,2611 yang berarti kurang merata,
keseragaman makrozoobenthos dikatakan
menyebar secara merata ketika nilai kriteria
mencapai 1. Berdasarkan pernyataan Purnama
dkk. (2011), bahwa indeks
kemerataan/keseragaman yang mencapai nilai
1 berarti bahwa semua sampel yang ada di
stasiun tersebut memiliki jumlah jenis
organisme yang sama berdasarkan kriteria
yang ada. Stasiun I terdapat dua jenis
makrozoobenthos yaitu Littoridina sp. dan
Potamopyrgus sp., stasiun II hanya di dapatkan
jenis Littoridina sp. dan pada stasiun III jenis
Melanoides sp. yang ditemukan.
Dominasi (C) makrozoobenthos pada
setiap stasiun penelitian berkisar antara
0,8472-1. Berdasarkan kriteria dominansi nilai
indeks yang mendekati nilai 1 berarti semakin
tinggi dominansi oleh spesies tertentu.
Tingginya nilai dominansi yang ada
menunjukkan keanekaragaman yang rendah
dengan sebaran tidak merata pada setiap
stasiun. Selain itu, tingginya nilai dominansi
pada setiap stasiun menunjukkan adanya
perubahan lingkungan tempat hidup dari
makrozoobenthos. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Purnama dkk. (2011), bahwa
tingginya dominansi menunjukkan tempat
tersebut memiliki kekayaan jenis yang rendah
dengan sebaran tidak merata, berarti didalam
struktur komunitas yang diamati dijumpai
spesies yang mendominasi spesies lainnya.
Dengan demikian, kondisi tersebut
mencerminkan struktur komunitas dalam
keadaan labil atau terjadi tekanan ekologis.
Ketika keanekaragaman jenis rendah,
maka dominansi dari makrozoobenthos yang
ada pada aliran Sungai Tahi Ite akan tinggi,
karena tidak semua organisme mampu
bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang
mengalami perubahan. Hanya organisme jenis
tertentu yang mampu bertahan dengan kondisi
yang ada, sehingga organisme tertentu akan
mendominasi area tersebut.
3. Pola Distribusi (I)
Pola distribusi (I) makrozoobenthos
pada stasiun I dengan nilai 2,5 dan stasiun II
dan III dengan nilai 3, dimana nilai tersebut
sesuai dengan kriteria dispersi yang
menunjukkan distribusi makrozoobenthos pada
setiap stasiun mengelompok.
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada perairan Sungai Tahi Ite, untuk
semua stasiun menunjukkan nilai distribusi
2,5-3 yang artinya distribusi makrozoobenthos
mengelompok. Situasi seperti yang terjadi
pada setiap stasiun dapat dikarenakan adanya
perubahan kondisi lingkungan tempat hidup
makrozoobenthos. Hal tersebut didukung
dengan pernyataan Emiyarti (2004), bahwa
pengelompokkan makrozoobenthos yang
terjadi dalam suatu perairan merupakan reaksi
individu tersebut terhadap kondisi lingkungan
perairan yang berbeda baik fisika-kimia air
serta karakteristik sedimen.
Akibat dari aktivitas penambangan emas
yang ada pada aliran Sungai Tahi Ite, dapat
menjadi salah satu faktor distribusi dari
makrozoobenthos mengelompok. Hidayah
(2003), menambahkan bahwa faktor utama
yang berpengaruh terhadap pola penyebaran
organisme dalam suatu lingkungan perairan
antara lain keadaan parameter fisika dan kimia
dari habitat organisme tersebut dan
kemampuan organisme dalam beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi dalam
lingkungan. Jenis Potamopyrgus sp.
merupakan jenis makrozoobenthos yang hidup
pada sedimen yang ukurannya lebih kasar
seperti pasir atau kerikil berdasarkan
pernyataan Holomuzki dan Biggs (2007),
bahwa ukuran sedimen tempat hidup dari
Potamopyrgus sp. dijumpai pada sedimen
kerikil, berbatu, sampai dengan pasir.
Sementara itu, untuk jenis Melanoides sp.
ditemukan pada sedimen yang lebih halus
dengan bahan orgaik yang tinggi.
Nybakken (1988), menyebutkan bahwa
setiap spesies dalam komunitas mempunyai
daya toleransi tertentu terhadap faktor
lingkungan. Bila di suatu daerah terdapat


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 78
faktor lingkungan yang melampaui batas
toleransi suatu spesies, maka pada daerah ini
spesies tersebut tidak akan ditemui. Setiap
spesies juga mempunyai kebutuhan minimum
terhadap berbagai unsur. Apabila konsentrasi
unsur-unsur yang dibutuhkan ini jumlahnya
dibawah kebutuhan minimum spesies, maka
spesies tersebut akan menghilang. Jika salah
satu faktor lingkungan melewati batas toleransi
spesies, maka spesies tersebut akan
tersingkirkan.
E. Hubungan Logam Berat Merkuri
(Hg) dengan Struktur Komunitas
Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil pengamatan hubungan
kadar logam berat merkuri (Hg) pada sedimen
dengan struktur komunitas makrozoobenthos
maka didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 6. Hubungan kadar logam berat merkuri (Hg) dengan struktur komunitas makrozoobenthos
selama penelitian
Stasiun
Kadar Hg
pada sedimen
(ppm)
Jenis
Makrozoobenthos
Jumlah
individu
K
(ind/m
2
)
H' E C I
I 0,0001-0,0042
Littoridina sp. 11
12 0,1246 0,2611 0,8472 2,5
Potamopyrgus sp. 1
II
0,0002-0,0008 Littoridina sp. 4 4 0 0 1 3
III
0,0007-0,0057 Melanoides sp. 86 86 0 0 1 3
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
secara langsung antara logam berat merkuri
(Hg) dengan struktur komunitas
makrozoobenthos. Hal ini didasarkan pada
nilai merkuri (Hg) berkisar 0,0001-0,0057
ppm. Nilai tersebut belum melampaui standar
baku mutu yang ada yaitu 0,3 ppm berdasarkan
Dutch Quality Standars For Metals in
Sediment (IADC/CEDA, 1997), dalam
Wulandari (2006). Melihat hasil yang
diperoleh tentunya ada faktor lain yang
berpengaruh pada lokasi penelitian.
Berdasarkan hasil pengamatan selama
penelitian bahwa, sedimentasi merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
struktur komunitas makrozoobenthos.
Sedimentasi dari aktivitas penambangan dapat
menutupi dasar perairan tempat hidup
makrozoobenthos, sehingga hanya jenis
tertentu yang mampu bertahan pada perubahan
kondisi lingkungan yang ada. Berdasarkan
pernyataan Zulkarnaian dan Pudjiastuti (2008),
bahwa kegiatan penambang menyisahkan
endapan lumpur yang bercampur dengan
buangan tanah pucuk dan tanah penutup
membentuk hamparan lahan rusak yang luas,
sejumlah vegetasi terutama yang tumbuh di
tepian sungai telah rusak/mati. Selain itu
degradasi lingkungan akan terjadi yang
disebabkan oleh proses penambangan yang
dilakukan di sungai, sebagai akibatnya ampas
(tailing) yang terbuang ke dalam sungai
menjadikan sungai keruh dan tercemar (Andri
dkk,. 2011).
Melihat struktur komunitas
makrozoobenthos yang ada pada berbagai
kondisi perairan menurut Wilhm (1975) dalam
Muhyin (2006), maka struktur komunitas
makrozoobenthos berada pada tingkat tercemar
sedang dimana banyak spesies intoleran yang
hilang atau berkurang dan berbagai spesies
fakultatif dengan satu atau dua jenis spesies
dari kelompok toleran yang mendominasi.
Adanya perubahan lingkungan tempat hidup
dari makrozoobenthos yang menjadi faktor lain
berkurangnya organisme yang ada pada sungai
tersebut, menunjukkan bahwa pencemaran
lingkungan yang terjadi akibat penambangan
emas yang ada tidak serta merta karena faktor
logam berat merkuri yang digunakan dalam
proses penambangan emas, melainkan faktor
kondisi lingkungan yang mengalami perubahan
sehingga kehidupan makrozoobenthos
mengalami penurunan dan jenis
makrozoobenthos tertentu yang mampu
bertahan pada kondisi tersebut.
Adanya perubahan habitat yang menjadi
tempat hidup dari makrozoobenthos secara
langsung mengakibatkan struktur komunitas
makrozoobenthos yang ada akan mengalami
penurunan baik itu kelimpahan,
keanekaragaman, keseragaman, dominasi dan
pola distribusi. Hal ini dapat dilihat pada
setiap stasiun ketika faktor lingkungan
mempengaruhi komunitas makrozoobenthos
maka penyusun dari struktur tersebut akan
mengalami perubahan. Aktivitas
penambangan emas yang terjadi dapat
menutupi dasar perairan sungai yang


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 79
mengakibatkan tempat hidup dari
makrozoobenthos terganggu dengan adanya
sedimentasi yang berlebihan akibat proses
pengolahan emas yang mengakibatkan erosi
tanah atau terkikisnya tanah galian tambang
yang mengakibatkan sedimentasi.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kadar logam berat Hg di sedimen Sungai
Tahi Ite pada setiap stasiun menunjukkan
masih dibawah standar baku mutu yakni
berkisar antara 0,0001-0,0057 ppm.
2. Hasil pengamatan selama penelitian
menunjukkan kelimpahan jenis
makrozoobenthos yang ada pada aliran
Sungai Tahi Ite tergolong rendah.
3. Keanekaragaman dan keseragaman
makrozoobenthos yang rendah dengan
dominasi jenis yang tinggi (0-1), dimana
Keanekaragaman (0-0,1246) dan
keseragaman (0-0,2611).
4. Distribusi makrozoobenthos pada aliran
Sungai Tahi Ite selama penelitian
menunjukkan distribusi yang
mengelompok.
5. Hubungan antara kadar logam berat
merkuri (Hg) pada sedimen dengan struktur
komunitas makrozoobenthos pada perairan
Sungai Tahi Ite, secara langsung tidak
memiliki hubungan namun, adanya faktor
lingkungan seperti sedimentasi yang dapat
merusak habitat lingkungan tempat tinggal
dari makrozoobenthos tersebut.
Persantunan
Penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada kedua orang tua yang telah
memberikan semangat untuk menyelesaikan
studi, kepada para pembimbing ibu Emiyarti,
S.Pi., M.Si dan bapak La Ode Alirman Afu,
S.Pd., M.Si atas bantuannya dalam
menganalisis dan mengoreksi hasil penelitian.
Daftar Pustaka
Andri DH., Anies., H, Suharyo. 2011. Kadar
Merkuri pada Rambut Masyarakat di
Sekitar Penambangan Emas Tanpa
Ijin. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro dan Ikatan Dokter
Indonesia Jawa Tengah. Semarang.
45(3): 181-187.
Connel, D. W., G. J. Miller. 1995. Kimia dan
Ekotoksikologi Pencemaran. UI-
Press. 520 hal.
Covich, P. A., Palmer, A. M., A. D. Crowl.
2000. Zoobenthic species influence
energy flows and nutrient cycling.
The Role of Benthic Invertebrate
Species in Freshwater Ecosystems.
Institute of Biological Sciences.
49(2): 119-127.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia
Indonesia Shelis II. Lipi. 120 hal.
Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia
Sedimen dan Hubungannya dengan
Struktur Komunitas
Makrozoobenthos di Perairan Teluk
Kendari. Tesis, Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 92 hal.
Habashy, M. M., M. M. S. Hassan. 2010.
International Journal of
environmental Science and
Engineering (IJESE), Effects of
temperature and salinity on growth
and reproduction of the freshwater
prawn, Macrobrachium rosenbergii
(Crustacea- Decapoda) in Egypt.
National Institute of Oceanography
and Fisheries. Cairo. 1: 83-90.
Hidayah, Z. 2003. Pengaruh Kondisi Sedimen
terhadap Struktur Komunitas
Makrozoobenthos di Muara Sungai
Donan Cilacap Jawa Tengah. Jurusan
Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
82 hal.
Holomuzki, J. R., Biggs, J. F. Barry. 2007.
Physical microhabitat effects on
3dimensional spatial variability of
the hydrobiid snail, Potamopyrgus
antipodarum New Zealand Journal of
Marine and Freshwater Research.
41(4): 357-367.
Keputusan Menteri Lingungan Hidup RI
Nomor 51 Tahun 1995,
(KEP-51/MENLH/10/1995).
Tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Industri.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
RI Nomor : 202 Tahun 2004.
Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau
Tembaga.
Muhyin, M. 2006. Struktur Komunitas
Makrozoobenthos dan Kaitannya
dengan Karakteristik Sedimen di
Areal Sekitar Penempatan Tailing
PT. Newmont Nusa Tenggara.


Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 80
Program Studi Ilmu dan Teknologi
Kelautan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Pertanian Bogor.
Bogor. 68 hal.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh H. M. Eidman Koesbiono, D. G.
Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo.
P. T. Gramedia. Jakarta. 459 hal.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi
(Terjemahan Samingan, T). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
574 hal.
Purnama, P.R., N.W, Nastiti., M. E. Agustin.,
M, Affandi. 2011. Diversitas
Gastropoda di Sungai Sukamade,
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa
Timur. Departemen Biologi Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas
Airlangga. Surabaya. 16: 143-147.
Purnawan, S., I. Setiawan., Marwantim. 2012.
Studi Sebaran Sedimen berdasarkan
Ukuran Butir di Perairan Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Jurusan Ilmu
Kelautan, Koordinatorat Kelautan
dan Perikanan. Universitas Syiah
Kuala. Banda Aceh. 1(1): 31-36.
Rada, B., S. Puljas. 2010. International Journal
of Speleology. Do Karst Rivers
deserve their own biotic index? A
ten years study on macrozoobenthos
in Croatia. Bologna. Italy. 39(2):
137-147.
Rafni, R. 2004. Kajian Kapasitas Asimilasi
Beban Pencemar di Perairan Teluk
Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa
Tengah. Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 135
hal.
Rahmawatie., Z. Hidayah., I. W. Abida. 2009.
Analisis Konsentrasi Merkuri (Hg)
dan Cadmium (Cd) di Muara Sungai
Porong sebagai Area Buangan
Limbah Lumpur Lapindo. 2(2): 42-
50.
Setiobudiandi, I., Sulistiono., F. Yuliana., C.
Kusmana., S. Hariyadi., A. Damar.,
A. Sembiring., Bahtiar. 2009.
Sampling dan Analisis Data
Perikanan dan Kelautan. Terapan
Metode Pengambilan Contoh di
Wilayah Pesisir dan Laut. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 312 hal.
Shreadah, M. A., S. A. A. Ghani., A. A. E. S.
Taha., A. E. M. M.Ahmed., H. B. I.
Hawash. 2012. Journal of
Environmental Protection Mercury
and Methyl Mercury in Sediments of
Northern Lakes-Egypt. National
Institute of Oceanography and
Fisheries. Department, Faculty of
Science. Alexandria University.
Alexandria. 3: 254-261.
Van Dalfsen, J. A., K. Essink., H. T. Madsen.,
J. Birklund., J. Romero., M.
Manzanera. 2000. Differential
response of macrozoobenthos to
marine sand extraction in the North
Sea and theWestern Mediterranean.
ICES Journal of Marine Science, 57:
14391445.
Wulandari, A. 2006. Keterkaitan Akumulasi
Logam Berat (Hg, Cd, Pb) dalam
Sedimen dan Bioakumulasi pada
Kerang Laut (Anadara granosa,
Trachycardium sp. dan Meritrix
meritrix) di Perairan Ujungpangka,
Jawa Timur. Departemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 68 hal.
Zulkarnain, I., N. T. Pudjiastuti. 2008. Laporan
Kajian Penambangan Emas oleh
Masyarakat di Bombana, Kerjasama
Kementerian Koordinator Ekonomi
RI-LIPI. 8 hal.
Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati.
2009. Struktur dan Fungsi Komunitas
Makrozoobenthos di Perairan Sungai
Musi Kota Palembang: Telaah
Indikator Pencemaran Air. Jurusan
FMIPA. Universitas Sriwijaya. 10
hal.

Anda mungkin juga menyukai