Anda di halaman 1dari 56

1

1. DESKRIPSI LIMBAH

1.1. Data Sampel Limbah
1.1.1. Jenis Limbah
Jenis limbah yang digunakan adalah limbah cair dari rumah makan masakan Padang.

1.1.2. Waktu Pengambilan
Limbah cair diambil pada tanggal 1 September 2014, pukul 10.30 WIB

1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah
Limbah cair masakan Padang didapatkan di rumah makan masakan Padang Murah Meriah, Jl.
Karangrejo no. 46 Gajah Mungkur, Semarang.

1.1.4. Debit Limbah per Hari
Debit limbah yang dihasilkan rumah makan tersebut yaitu sekitar 100 liter/hari.

1.2. Karakteristik Limbah
1.2.1. Karakteristik Umum
Air limbah yang berasal dari usaha, kegiatan pemukiman (real estate), rumah makan
(restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama sering kita sebut dengan air limbah
domestic, hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik pasal 1 tahun 2003. Air limbah domestik terbagi menjadi 2
kelompok yaitu yang berasal dari air buangan tubuh manusia termasuk tinja dan urine (black
water) dan air limbah yang berasal dari buangan dapur dan kamar mandi (gray water) yang
sebagian besar terdiri dari bahan-bahan organik hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Veenstra (1995). Suryo (2009) mengatakan bahwa limbah domestik juga dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan tidak hanya limbah industri. Dari uji pendahuluan yang sudah dengan
skala laboratorium, diketahui bahwa limbah rumah makan Padang ini memiliki beban cemaran
yang melebihi ambang baku mutu yang sudah ditetapkan (MENLH, Nomor 112 tahun 2003).
Masalah ini akan menimbulkan masalah pada pencemaran lingkungan apabila tidak ditangani
2

secara seksama, karena dari limbah cair ini tersusun dari berbagai bahan organik yang larut
dalam air dan sukar mengalami penguraian dan pembusukan secara alami.

Komposisi dari limbah cair sendiri memiliki berbagai bervariasi tergantung dari darimana asal
limbah tersebut di dapatkan. Namun, secara garis besar limbah cair dikelompokkan menjadi air
(99,9%) dan padatan (0,1%). Padatan yang biasanya ada dalam Limbah cair terdiri dari bahan
organik seperti protein, karbohidrat, dan lemak dan bahan Anorganik seperti butiran, garam,
logam hal ini sesuai dengan pendapat Sugiharto (1987). Limbah yang dihasilkan dari rumah
makan dapat digolongkan menjadi 4, yang pertama adalah limbah organik cepat busuk dimana
limbah tersebut bersifat padat dan mudah busuk atau terurai oleh mikroorganisme seperti sisa
makanan, sampah sayuran, kulit buah-buahan, daun-daunan, dan lainnya. Pembusukan pada
limbah organic tersebut dapat diakibatkan oleh mikroorganisme yang membentuk gas metana
(CH
4
) yang dapat menimbulkan masalah lingkungan. Kedua adalah limbah anorganik, limbah
yang berasal dari benda mati dan bersifat tidak mudah busuk seperti kertas, plastik, dan bahan-
bahan sintetis / buatan. Ketiga, adalah limbah cair dimana limbah cair yang berasal dari hasil
buangan cucian piring (air deterjen) dan yang ke-4 adalah limbah minyak, minyak merupakan
bahan yang tidak dapat larut air, seperti minyak jelantah sisa penggorengan (Anonim, 2008).
Pada praktikum kali ini digunakan limbah cair dari rumah makan Padang dimana limbah yang
dimaksud tidak mengandung deterjen atau zat pencuci.

Sugiharto (1987) berpendapat bahwa limbah cair yang mengandung bahan kimia berbahaya
dapat memberikan kehidupan terhadap bakteri-bakteri atau kuman penyebab penyakit. Oleh
karena itu dibutuhkan adanya pengolahan air limbah, dimana dilakukannya proses untuk
mengolah limbah cair tersebut dengan berbagai tahapan seperti misalnya secara fisik, kimia dan
biologi. Secara umum, tahapan proses pengolahan limbah adalah:
tahapan pendahuluan (pre treatment),
tahapan ini dilakukan penyaringan dimana alat yang digunakan adalah saringan agak
kasar namun dipilih yang tidak mudah berkarat. Kelemahan yang dimiliki alat ini adalah,
harus dikontrol secara berkala sehingga tidak sampai membuat kemacetan aliran air. Hal
ini dilakukan karena pada umumnya limbah mengandung banyak sekali padatan yang
3

terapung atau melayang. Padatan ini dapat berupa kayu, pasir, sisa pembersih daging dan
lainnya. Namun mudah untuk mengidentifikasi karena terlihat mata.
penanganan primer (primary treatment),
pada tahap ini dilakukan 2 metode yaitu metode fisik dan metode kimia jika diperlukan.
Pengolahan fisik masih dibutuhkan karena ada padatan lebih halus yang masih terlarut
atau terbawa oleh air sehingga padatan halus, zat warna yang larut maupun tersuspensi ini
perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan tahap selanjutnya. Metode kimia juga
dilakukan untuk mengendapkan bahan padatan dengan penambahan bahan kimia. Reaksi
antara senyawa kimia dengan bahan pengendap akan mengakibatkan bahan butiran
tambah besar sehingga memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada berat jenis dari air.
Pengendapan yang terjadi dapat dilakukan bila senyawa pencemar limbah terdiri dari
bahan-bahan organik seperti alumunium, besi, nikel. Bahan pengendap yang diberikan
akan menambah alkalinitas dari air sehingga buangan air akan lebih netral. Dalam skala
industri umumnya keberhasilan pengendapan tergantung selama operasi antara lain yaitu
ukuran partikel, konsentrasi padatan, berat jenis partikel, suhu air limbah, retention time,
banyaknya udara yang kontak dengan air limbah dan pilihan koagulan yang digunakan,
karena koagulan yang digunakan mempengaruhi keasaman air limbah.
penanganan sekunder (secondary treatment),
pada penanganan limbah ini digunakan metode biologis dimana mikroorganisme pasti
berperan dalam proses ini. Tahapan ini memiliki tujuan untuk menghilangkan bahan
organik melalui biokimia oksidasi. Alat yang digunakan pada proses ini biasanya seperti
reaktor lumpur aktif dan trickling filter. Dalam proses lumpur aktif, maka air buangan
masuk ke dalam tangki aerasi tempat mikroorganisme mengkonsumsi buangan organis
untuk membentuk sel-sel baru dan hal ini mengakibatkan adanya endapan pada dasar
bak. Dan kemudian endapan pada bagian dasar bak diambil.
penangan tersier (tertiary treatment),
pada tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik yang masih
ada dalam limbah cair, oleh karena itu pada tingkat lanjutan dilakukan proses untuk
menghilangkan senyawa kimia anorganik seperti penggunaan kalium, phosphor untuk
proses eutrofikasi. Tidak hanya senyawa kimia anorganik terkadang senyawa organik
juga masih terkandung didalamnya. Proses kimia, fisika dan biologis juga dapat
4

dilakukan pada proses pengolahan ini seperti misalnya filtrasi, destilasi, pengapungan,
pembekuan, Striping dll. Sedangkan proses kimia yang dilakukan meliputi adsorbs
pengendapan kimia, elektro kimia, karbon aktif, pertukaran ion, dan oksidasi juga
reduksi. Serta proses biologis meliputi proses penelitian bakteri dan algae nitrifikasi.
disinfeksi
tahapan ini ada karena besar kemungkinan adanya mikroorganisme pathogen yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia maka perlu dilakukan disinfeksi yaitu upaya untuk
menurunkan atau menghilangkan mikrobia yang bersifat pathogen pada limbah cair
pangan. Hal ini penting karena proses ini adalah proses dimana semua virus, bakeri
penyebab penyakit akan dibatasi dan dikendalikan, dan hal yang dituju adalah kerusakan
agen-agen pathogen. Mekanisme pembunuhan yang dilakukan oleh desinfektan ini sangat
bergantung pada kondisi dari zat pembunuhnya dan mikroorganisme itu sendiri. seperti
klorin (salah satu pembunuh kimia) mematikan bakteri dengan cara merusak atau
menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan dinding sel seperti yang
dilakukan apabila menggunakan bahan radiasi atau panas.
penanganan lanjutan (ultimate disposal)
hasil akhir dari pengolahan limbah pada tiap penanganan adalah lumpur. Sehingga
lumpur tersebut juga perlu untuk dimanfaatkan kembali untuk keperluan yang
bermanfaat, seperti misalnya dapat diolah untuk menjadi pupuk, membuat kolam
penimbunan dan pengisian tanah yang cekung (land filling) (Janie & Rahayu, 1993).

Janie & Rahayu (1993) berpendapat bahwa limbah cair pengolahan pangan merupakan tempat
yang sangat nyaman bagi mikroorganisme untuk tumbuh karena limbah cair pengolahan pangan
memiliki kandungan nitrogen yang rendah, BOD dan padatan tersuspensi tinggi. pH yang
didapat juga akan mendekati. Selain itu limbah cair mengandung nutrient yang dibutuhkan oleh
ganggang untuk tumbuh sehingga dapat mengakibatkan ledakan populasi ganggang yang
berakibat kadar oksigen dalam air menjadi berkurang sehingga makhluk biota laut seperti ikan
yang hidup akan kekurangan oksigen dan akhirnya mati. Tujuan dari proses pengolahan limbah
ini adalah menurunkan nilai BOD (Biochemichal Oxigen Demand), partikel terlarut, dan juga
membunuh mikroorganisme pathogen. Dan kemudian nutrisi yang masih tertinggal dalam
limbah cair tersebut dapat dihilangkan, karena nutrisi tersebut merupakan salah satu komponen
5

sebagai sumber kehidupan bagi mikroorganisme. Selain nutrisi yang akan dihilangkan pada
proses pengolahan lanjutan maka komponen beracun dan bahan tidak terdegradasi juga perlu
dihilangkan dengan tujuan menurunkan konsentrasi.

Secara umum, air yang tercemar maka akan terlihat dari karakteristik air tersebut baik secara
fisik, kimia maupun biologi. Perubahan air yang dapat diamati yaitu adanya perubahan suhu air,
adanya perubahan pH, perubahan warna, bau, rasa serta timbulnya endapan merupakan indikator
air tersebut tercemar atau tidak,hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Suriawiria (1996).
Bau yang timbul dalam air tercemar disebabkan karena adanya aktivitas mikroorganisme dalam
menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu, juga reaksi kimia yang terjadi dapat
menghasilkan gas yang tidak enak untuk dibau bagi hidung manusia. Unsur N penyusun asam
amino yang merupakan penyusun protein apabila diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob
maka akan menghasilkan bau busuk. Kekeruhan juga dapat menjadi salah satu indikator pada
limbah cair yang tercemar. Hal ini disebabkan karena adanya zat-zat koloid yaitu zat yang
terapung, terurai secara halus, jasad-jasad renik atau benda lain yang tidak mengendap dengan
cepat. Warna pada air yang tercemar juga akan mengalami perubahan jika dibandingkan dengan
air yang bersih dan belum tercemar.

Mahida (1992) berpendapat mengenai syarat limbah yang akan dibuang ke saluran umum
misalnya pH yang tidak boleh terlalu asam atau terlalu basa (5,5-9), suhu yang tidak boleh terlalu
tinggi (100-110F), konsentrasi zat yang berlemak tidak boleh melebih 100 mg/l, limbah tidak
boleh mengandung gas-gas beracun, berbau tengik dan menghasilkan bau yang keras atau
mengandung gas yang dapat terbakar atau meledak, tidak mengandung zat-zat padat yang dapat
mengendap (seperti : pasir), juga ukuran yang dimiliki hendaknya seragam dari kecepatan
hidrolisisnya dan komposisi lainnya.

Praktikum pengolahan limbah kali ini menggunakan limbah cair rumah makan Padang yang pada
saat diambil suhu yang terukur adalah 28C. Maka jika dilihat dari segi suhu limbah, limbah ini
masih tergolong aman karena tidak memiliki suhu yang terlalu tinggi. Selanjutnya, limbah cair
rumah makan Padang juga diukur pHnya dengan pH meter dalam lab dan dihasilkan pH sekitar
6,22 yang berarti pH limbah cair ini bersifat asam dan tidak aman bila dibuang ke saluran
6

umum. Juga jika dilihat dari segi fisik maka air limbah berwarna keruh. Selain itu terlihat pula
lapisan lemak yang ada dipermukaan sampel yang menutupi air dibawahnya. Oleh karena itu,
limbah cair ini tidak layak jika dibuang ke perairan. Hal ini sesuai dengan teori dari Metcalf &
Eddy (1991) dimana limbah restoran memiliki kandungan lemak dan minyak yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan jenis limbah domestik lain.

Baku mutu limbah domestik (dimana termasuk limbah dari rumah makan) yang telah ditetapkan
oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 adalah pH (8-9), BOD
dengan kadar maksimum adalah 100 mg/l, TSS dengan kadar maksimum adalah 100 mg/l dan
minyak dan lemak dengan kadar maksimum adalah 10 mg/l.

1.2.2. Karakteristik Fisikawi
Sifat fisik suatu limbah dapat dibedakan berdasarkan jumlah padatan terlarut, tersuspensi dan
total padatan, alkalinitas, kekeruhan, warna, salinitas, daya hantar listrik, bau dan temperatur.
Sifat fisik ini beberapa diantaranya dapat dikenali secara visual tapi untuk mengetahui secara
lebih pasti maka digunakan analisa laboratorium (Gintings, 2008). Keseluruhan sifat-sifat fisik
limbah antara lain :
a. Suhu
Penentuan makhluk apa yang akan hidup di air sangat dipengaruhi oleh suhu yang diukur serta
mempengaruhi tingkat oksigen yang terlarut. Metode pengukuran yang lebih baik menggunakan
permistor yang skala sudutnya dinyatakan dalam derajat Fahrenheit dan Celcius. Menurut (Jenie
& Rahayu, 1993) permistro memiliki kelebihi yaitu dapat menentukan suhu air di berbagai
kedalaman. Kondisi udara sekitar ataupun air panas yang dibuang ke saluran dari rumah /
industry menurut Sugiharto (1987) dapat menyebabkan temperature air limbah berbeda satu
sama lain. Temperatur air limbah akan mempengaruhi kecepatan reaksi kimia serta tata
kehidupan dalam air. Untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis,
pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, dan
gas dapat kita ketahui dengan menggunakan temperature. Pengentalan biasa dipakai untuk
mengatur sedimentasi karena pada suhu tinggi, pengentalan berkurang dan sedimentasi dapat
meningkat. Suhu yang tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas
7

biologis menurun (Mahida, 1992). Pembusukan dan tingkatan oksidasi zat organik jauh lebih
besar terjadi pada suhu yang tinggi (Gintings, 1992).

Proses pengolahan biasanya menggunakan suhu yang tinggi dan hal ini dapat menyebabkan suhu
limbah menjadi lebih tinggi daripada suhu normal. Pada limbah sisa pencucian pada umumnya
memiliki suhu yang tinggi, hal itu dikarenakan adanya reaksi eksotermis dengan penggunaan
deterjen, sabun, dan bahan kimia lain. Suhu yang tinggi pada buangan atau limbah ini harus
diwaspadai karena dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga
dapat memicu perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan (Sastrawijaya, 1991). Suhu
limbah domestik biasanya mempunyai suhu antara 15-25
o
C dan mendekati netral. Suhu ini ada di
bawah suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri namun bukan hambatan dalam rancangan unit
atau operasinya (Jenie & Rahayu, 1993).

b. Warna
Benda terlarut seperti sisa organik dari daun dan tanaman (kulit, gula, besi) serta buangan
industri (Sugiharto, 1987) dapat menyebabkan terbentuknya warna pada limbah cair, selain itu
merupakan bahan pewarna tertentu yang berpeluang mengandung logam berat (Utomo, 1998).
Warna air dapat menunjukkan jumlah benda yang tersuspensi dan terlarut. Komparator warna
dan skala standar dapat digunakan sebagai penentu karakteristik limbah cair tersebut
(Sastrawijaya, 1991). Warna air limbah juga menunjukkan kekuatannya. Secara umum warna air
limbah bersifat mencolok (Mahida, 1981).
Bahaya atau tidaknya suhu limbah juga dapat dilihat dari warna limbah (Jenie & Rahayu, 1993).
Warna hitam pada limbah memiliki kandungan Pb yang tinggi, warna limbah kuning memiliki
kandungan Fe yang tinggi, dan apabila warna limbah biru maka memiliki kandungan Cu yang
tinggi. Adapun standar dari karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan.

c. Kekeruhan
Ukuran yang memanfaatkan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air sungai
disebut dengan kekeruhan oleh Sugiharto (1987). Kekeruhan terjadi karena adanya limbah padat,
garam, tanah liat, bahan organik halus dari buah (Sugiharto, 1987). Sedangkan menurut Gintings
(1992), kekeruhan dikarenakan adanya bahan terapung dan terurainya zat tertentu seperti bahan
8

organik, lumpur tanah liat,, jasad renik dan benda lain yang sangat halus. kekeruhan air dapat
dilihat dengan mata telanjang karena ukuran partikel kolodial berdiameter 10-8 mm yang
terdiri dari kwartz, tanah liat, protein, sisa bahan-bahan dan ganggang yang terdapat dalam
limbah (Gintings, 2008). Semakin keruh air, maka akan semakin banyak pula padatannya. Untuk
mengetahui banyak atau tidaknya padatan organik atau anorganik yang berada dalam limbah cair
tersebut dapat dilihat dengan melihat tingkat kekeruhan limbah cair, hal ini sesuai dengan
pendapat Jenie & Rahayu (1993). Tingkat kekeruhan dapat diukur dengan spektrofotometer.
Apabila masih keruh maka harus dijernihkan dengan diendapkan, kemudian setelah itu diukur
kembali dengan menggunakan spektrofotometer (Suhardi, 1991).

d. Kandungan padatan
Padatan terdiri dari bahan padat organik maupun anorganik yang larut, mengendap maupun
tersuspensi. Banyaknya lumpur yang terkandung dalam limbah cair dapat ditunjukkan dengan
adanya banyak padatan yang ada (Gintings, 1992). Padatan total meliputi padatan tersuspensi
total yaitu yang tertahan filter, dan padatan terlarut total yaitu dapat melewati filter 2,0 m atau
lebih kecil dari ukuran pori-pori filter. Jumlah total endapan terdiri dari benda-benda yang
mengendap, terlarut dan tercampur (Sugiharto, 1987). Jumlah padatan di dalam limbah cair
dapat diukur melalui analisa total padatan, total padatan tersuspensi, dan total padatan terlarut.

Total padatan / Total Solid / TS merupakan bahan yang tertinggal setelah evaporasi sampel air
atau air limbah dan pengeringan dalam oven. Pada analisa total padatan, sejumlah volume air
limbah tertentu diletakkan dalam cawan porselen. Air kemudian diuapkan dari cawan melalui
pengeringan dalam oven sedikitnya 1 jam pada suhu 103-105 C, kemudian didinginkan dalam
desikator hingga beratnya konstan. Miligram total residu sama dengan pengurangan antara berat
cawan setelah didinginkan dengan berat cawan kosong (Hammer & Hammer, 1996). Padatan
yang terendap juga merupakan indikator jumlah padatan limbah yangakan mengendap dalam alat
penjernih dan kolam pengendapan (Jenie & Rahayu, 1993).

Total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan yang tertahan filter
standar. Setelah filtrasi, filter dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan peningkatan berat
sebagai hasil dari residu yang tertahan. Perhitungan total padatan tersuspensi sama dengan
9

perhitungan total padatan (Hammer & Hammer, 1996). Sedangkan menurut Gintings (2008)
Total Suspended Solid merupakan jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang berada dalam air
limbah sesudah mengalami proses penyaringan dengan membran berukuran 0,45 m. TSS yang
tinggi dapat menghalangi masuknya sinar matahari. Air buangan sisa industri mengandung
komposisi jumlah padatan yang tersuspensi dengan jumlah yang sangat bervariasi tergantung
dari jenis industrinya. Air buangantersebut bisa berasal dari industri-industri makanan, terutama
industri fermentasi dan industri tekstil yang sering menghasilkan padatan tersuspensi dalam
jumlah tinggi. Jumlah padatan tersuspensi di dalam air dapat diukur menggunakan alat
turbidimeter.

Total Dissolved Solid adalah padatan terlarut total. Padatan terlarut total ditetapkan dengan berat
contoh yang sudah disaring dan dievaporasi atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah
evaporasi dan berat padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993). Dengan kata lain
perhitungan total padatan terlarut (residu yang tidak tersaring) yaitu mengurangi konsentrasi
padatan total dengan konsentrasi padatan tersuspensi (Hammer & Hammer, 1996). Padatan
terlarut total menggambarkan jumlah kepekatan dalam suatu contoh air, dinyatakan dalam mg
per liter atau dalam bagian per juta. Penentuan padatan terlarut total dapat dengan cepat
menentukan kualitas air limbah (Sastrawijaya, 1991).

Fraksi padatan yang dapat melewati saringan terdiri atas padatan koloid dan padatan terlarut.
Padatan koloid merupakan padatan yang mempunyai diameter sekitar 1 milimikron 1 mikron
sedangkan padatan terlarut tersusun atas ion-ion dan molekul-molekul organik maupun
anorganik yang terlarut dalam air. Fraksi padatan koloid tidak dapat dipisahkan dengan
pengendapan tanpa perlakuan khusus. Umumnya, oksidasi biologi atau koagulasi, yang diikuti
dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan partikel tersebut (Tchobanoglous, 1981).

e. Bau
Sebagian besar limbah industri pangan berupa limbah organik (mengandung karbohidrat dan
protein yang tinggi) dan bersifat biodegradable, yaitu bisa diuraikan oleh alam dengan bantuan
mikroorganisme. Proses penguraian tersebut melibatkan proses pembusukan yang dapat
menimbulkan bau yang kurang enak (Sugiharto, 1987). Dengan kata lain bau yang timbul dapat
10

terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang dapat menguraikan zat organik sehingga
menghasilkan gas tertentu. Selain itu bau juga timbul karena adanya reaksi kimia yang
menimbulkan gas. Menurut Gintings (1992) apabila bau terlalu menyengat atau tidak enak, maka
limbah tersebut banyak mengandung kandungan organik. Unsur N pada limbah dapat
mengakibatkan bau busuk di tempat pembuangan limbah tersebut. Unsur N di dalam limbah bisa
berupa asam amino atau senyawa organik lainnya. Jika senyawa organik tersebut sampai
diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, maka akan menghasilkan bau busuk yang
mengganggu (Sugiharto, 1987). Bau yang paling menyerang berasal dari hidrogen sulfida.
Konsentrasi amoniak kira-kira 0,037 mg/l dapat menimbulkan bau amoniak yang sedikit
menyengat, konsentrasi hidrogen sulfida 0,0011 mg/l menyebabkan bau khas telur busuk, 0,0026
mg/l karbon disulfida menimbulkan bau yang tidak enak dan memuakkan. Bau yang tidak enak
tersebut meskipun tidak menyenangkan, tetapi tidak dapat mengganggu kesehatan masyarakat
kecuali bau-bau tersebut memancar keluar dari gas-gas dan uap yang beracun (Mahida,1992).
Bau dapat diukur dengan cara: 1) Evaluasi sensori menggunakan indera pembau dan 2) GC (Gas
Chromatography) untuk menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau (Suhardi, 1991). Dengan
adanya bau, akan lebih mudah untuk mengetahui adanya bahaya sehingga lebih mudah
menghindarkan tingkat bahaya yang ditimbulkannya (Gintings, 2008).

1.2.3. Karakteristik Kimiawi
Biological Oksigen Demand (BOD), Chemical Oksigen Demand (COD) dan logam-logam berat
yang terkandung dalam air limbah akan sangat menentukan karakteristik kimia air limbah. Test
BOD dalam air limbah adalah salah satu metode yang paling banyak dipakai sampai saat ini.
Metode pengukuran limbah menggunakan cara ini sebenarnya adalah pengukuran secara tidak
langsung dari bahan organik. Pengujian dilakukan dengan temperatur 200C selama 5 hari.
Pengukuran menggunakan COD lebih singkat namun tidak mampu mengukur limbah yang
dioksidasi secara biologis. Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD.

Menurut Gintings (2008) karakter kimiawi air limbah :
a) Biological Oksigen Demand (BOD)
Pengecekan BOD pada air limbah didasari atas adanya reaksi oksidasi zat-zat organis dengan
oksigen dalam air dimana proses tersebut bisa berlangsung karena adanya kegiatan sejumlah
11

bakteri. Sejumlah bakteri menggunakan BOD sebagai kebutuhan oksigen untuk menguraikan
semua zat-zat organik yang terlarut atau suspensi dalam air menjadi bahan organik yang lebih
sederhana. Nilai BOD ini merupakan jumlah bahan organik yang dikonsumsi bakteri. Dengan
aktifnya bakteri-bakteri mengoksidasi bahan organik mengakibatkan oksigen di dalam air habis
terkonsumsi. Dengan habisnya oksigen yang terkonsumsi menyebabkan biota lainnya yang
membutuhkan oksigen menjadi kekurangan dan tidak dapat hidup.

b) Chemical Oksigen Demand (COD)
Bentuk lain pengukuran oksigen dalam air yaitu dengan mengukur COD. Metode ini lebih
singkat waktunya dibandingkan dengan analisa BOD. Pengukuran tersebut menerangkan bahwa
kebutuhan oksigen akan kimia, dengan senyawa-senyawa yang diukur merupakan bahan-bahan
yang tidak dapat dipecah secara biokimia. Untuk mengatasinya lebih tepat menggunakan analisa
COD. Chemical Oksigen Demand (COD) merupakan sejumlah oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi zat-zat anorganis dan organis sebagaimana BOD. Angka COD yaitu ukuran untuk
pencemaran air oleh zat anorganik. Semakin dekat nilai BOD terhadap COD menunjukkan
bahwa semakin sedikit bahan anorganik yang dapat dioksidasi dengan bahan kimia.

c) Oksigen Terlarut (Demand Oxygen)
Keberadaan oksigen terlarut (DO) akan berlawanan dengan BOD. Apabila semakin tinggi nilai
BOD akan semakin rendah oksigen yang terlarut. Keadaan oksigen yang terlarut dalam air bisa
menjadi tanda kehidupan ikan dan biota dalam perairan. Angka DO yang tinggi menunjukkan
keadaan air semakin baik.

d) Methan
Penguraian zat-zat organik dalam kondisi anaerob pada air limbah akan membuka peluang
terbentuknya gas methan. Gas ini dihasilkan dari lumpur yang membusuk pada dasar kolam tidak
berwarna, tidak berdebu, dan mudah terbakar. Suatu kolam limbah yang memiliki sedikit lumpur
bisa ditandakan bahwa kolam itu tidak menghasilkan gas methan, sebab lumpur habis terpakai
menjadi gas methan, air, dan CO2.


12


e) Keasaman Air
Keasaman diukur dengan pH meter. Keasaman ditentukan berdasarkan tinggi rendahnya
konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air buangan sisa yang memiliki pH terlalu tinggi atau rendah
menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh mikroorganisme air yang diperlukan
untuk keperluan biota tertentu. Air yang memiliki pH rendah membuat air menjadi korosif
terhadap bahan-bahan konstruksi besi yang kontak dengan air.

f) Alkalinitas
Senyawa karbonat, kalsium, garam-garam hidroksida, magnesium, dan natrium dalam air
menentukan tinggi rendahnya alkalinitas.

g) Lemak dan Minyak
Kandungan lemak dan minyak yang terdapat dalam limbah berasal dari industri yang mengolah
bahan baku mengandung minyak bersumber dari proses klasifikasi dan proses perebusan. Lemak
dan minyak adalah bahan organis yang bersifat tetap dan sukar diuraikan bakteri. Limbah ini
membentuk lapisan pada permukaan air sehingga membentuk selaput. Dikarenakan berat
jenisnya lebih kecil dari air oleh sebab itu minyak tersebut berbentuk lapisan tipis di permukaan
air dan menutup permukaan yang mengakibatkan terbatasnya oksigen masuk dalam air.

1.2.4. Karakteristik Biologis
Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam air terdiri dari berbagai macam senyawa. Salah
satunya adalah protein yang merupakan senyawa kimia organik yang membentuk rantai
kompleks, mudah terurai menjadi senyawa-senyawa lain seperti asam amino. Sebagai bahan
organik mengandung hydrogen, sulfur, oksigen, karbon, nitrogen, dan fosfor. Penyebab
timbulnya bau busuk pada suatu limbah disebabkan karena adanya dekomposisi dari zat-zat
tersebut. Karbohidrat dengan rumus kimia (CH2O)n yang mempunyai komposisi karbon,
hydrogen dan oksigen merupakan suatu polimer yang tersusun dari senyawa monomer-
monomer. Bahan-bahan seperti gula, pati, sellulosa, serat kayu, adalah merupakan karbohidrat
yang dapat terurai melalui bantuan enzim maupun mikroba (Gintings, 2008).

13

2. MATERI DAN METODE
2.1. Pengolahan Pendahuluan (Pre-Treatment)
2.1.1. Materi
2.1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kain saring, kertas saring, gelas ukur,
corong, erlenmeyer dan baskom/ ember.

2.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pre-treatment ini adalah limbah cair rumah makan padang
sebanyak 2 liter.
2.1.2. Metode
Limbah diambil sebanyak 2 liter lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan ditampung
dalam baskom. Setelah itu air limbah hasil penyaringan pertama ini disaring kembali dengan
menggunakan kain saring. Filtrat yang terakhir inilah yang akan digunakan pada proses
pengolahan selanjutnya.

2.2. Pengolahan Pertama (Primaty Treatment)
2.2.1. Materi
2.2.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain bekker glass, timbangan, corong, kain saring, kertas saring,
magnetic stirrer, erlenmeyer, dan pH meter.

2.2.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain limbah yang telah mengalami pre-treatment, alum,
Ca(OH)
2
, dan aquades.

2.2.2. Metode
Agar pengolahan berjalan efektif, maka terlebih dahulu dilakukan Jar Testing. Jar Testing
dilakukan dengan menggunakan enam sampel limbah yang masing-masing diambil sebanyak
200 ml. Sampel 1 memiliki konsentrasi sebesar 0 ppm, sampel 2 sebesar 10000 ppm, sampel 3
sebesar 20000, sampel 4 sebesar 30000 ppm, sampel 5 sebesar 40000 ppm, dan sampel 6 sebesar
14

50000 ppm. Agar dapat mencapai konsentrasi yang telah ditentukan, maka dilakukan
perhitungan untuk banyaknya koagulan sebagai berikut :
Koagulan yang ditambahkan =
L
OH Ca mg
2 , 0
) (
2

Berdasarkan perhitungan, maka secara berturut-turut, koagulan yang ditambahkan adalah 0
gram, 2 gram, 4 gram, 6 gram, 8 gram, dan 10 gram. Selanjutnya dilakukan pengadukan dan
penyaringan. Kemudian untuk mengetahui banyaknya koagulan yang paling efektif dilakukan
pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 525 nm. Koagulan pada larutan dengan
absorbansi terkecil akan digunakan dalam pengolahan limbah. Setiap kelompok dapat
menggunakan banyaknya koagulan yang berbeda-beda.

Limbah cair yang telah mengalami pre-treatment diambil sebanyak 2000 ml dan diletakkan
dalam bekker glass. Sebanyak 40 gram koagulan Ca(OH)
2
ditambahkan ke dalam limbah
tersebut. Lalu, pada campuran tersebut dilakukan jar test dengan kecepatan 100 rpm selama 1
menit. Setelah itu, kecepatan batang pengaduk diturunkan menjadi 25 rpm. Kondisi ini
dipertahankan selama 15 menit hingga terbentuk flokulasi-flokulasi yang lebih besar. Limbah
tersebut didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, limbah tersebut disaring (filtrasi) dengan
menggunakan kain saring dan kemudian menggunakan kertas saring ke wadah lain. Kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan difoto. Setelah itu dilakukan uji turbidimetri dan
pembuatan kurva.

2.3. Pengolahan Kedua (Secondary Treatment)
2.3.1. Materi
2.3.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu wadah, aerator, kain saring.

2.3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah cair yang telah mengalami primary treatment.

2.3.2. Metode
15

Air limbah yang sudah diberi perlakuan primer dimasukkan dalam wadah, kemudian diberi
perlakuan aerasi. Selang aerator dimasukkan ke dalam cairan limbah hingga dasar wadah.
Aerator dinyalakan dan ditunggu hingga terjadi gelembung-gelembung udara. Proses aerasi ini
dilakukan selama 30 menit. Setelah itu air limbah tersebut disaring dengan kain saring sehingga
diperoleh reduksi dan filtrat.

2.4. Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)
2.4.1. Materi
2.4.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain kertas saring, corong, timbangan analitik, gelas ukur,
baskom, sendok/ pengaduk dan erlenmeyer.

2.4.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain limbah yang telah mengalami secondary treatment dan
karbon aktif.

2.4.2. Metode
Untuk melakukan hal ini, maka pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu bahwa untuk 200
ml air limbah digunakan 3 gram karbon aktif. Karbon aktif yang digunakan oleh kelompok F1
dan F3 adalah karbon aktif berbentuk granula, sedangkan kelompok F2 menggunakan karbon
aktif serbuk. Limbah yang digunakan adalah sebesar 800 ml sehingga karbon aktif yang
digunakan adalah sebanyak 12 gram. Karbon aktif kemudian dicampurkan ke dalam air limbah,
lalu diaduk selama 10 menit dan didiamkan selama 5 menit. Selanjutnya, limbah cair tersebut
disaring menggunakan kain saring (kelompok F1 dan F3) dan kertas saring (kelompok F2).

2.5. Pengolahan Tambahan
2.5.1. Desinfeksi
2.5.1.1. Materi
2.5.1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah beaker glass, gelas ukur, pengaduk, plastik, wadah.

16



2.5.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sampel limbah rumah makan padang yang telah mengalami
tertiary treatment dan desinfektan klorin.

2.5.1.2. Metode
Limbah yang telah disaring pada proses penambahan karbon aktif diukur kembali. Setelah
diukur, dapat diketahui bahwa limbah cair yang tersisa adalah 800 ml. Penambahan klorin yang
dilakukan adalah sebesar 10% dari limbah yang tersisa sehingga klorin yang digunakan adalah
sebesar 80 gram. Klorin ditambahkan dan kemudian diaduk-aduk hingga rata. Selanjutnya,
limbah cair yang telah diberi klorin dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup rapat dengan
menggunakan plastik. Limbah tersebut kemudian didiamkan selama 1 malam.

2.5.2. Netralisasi
2.5.2.1. Materi
2.5.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada tahap netralisasi ini adalah gelas ukur dan pH meter.

2.5.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses netralisasi adalah limbah hasil pengolahan tertiary
treatment, HCl.

2.5.2.2. Metode
Pertama-tama dilakukan pengukuran pH limbah hasil pengolahan tertiary treatment terlebih
dahulu dengan pH meter. Melalui pengukuran tersebut, dapat diketahui bahwa pH limbah cair
yang telah mengalami treatment adalah basa sehingga dilakukan penambahan HCl. Penambahan
HCl dilakukan hingga pH meter menunjukkan angka 7,00.

2.6. Pengujian Parameter Akhir
17

Setelah dilakukan tahapan-tahapan pengolahan limbah, maka kemudian akan dilakukan
pengujian parameter akhir limbah. Pengukuran parameter akhir ini dimaksudkan untuk
membandingkan karakteristik limbah sebelum treatment dan setelah dilakukan treatment serta
untuk membandingkannya limbah hasil treatment dengan baku mutu limbah (BML) yang ada.
Pengujian parameter akhir dilakukan seperti pengujian pada pengujian awal limbah.

2.6.1. Pengukuran Fisik
2.6.1.1. Pengukuran Suhu
2.6.1.1.1. Materi
2.6.1.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah termometer dan beaker glass.

2.6.1.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.1.1.2. Metode
Suhu limbah hasil treatment diukur dengan menggunakan termometer sebanyak 2 kali ulangan.

2.6.1.2. Warna dan Kekeruhan
2.6.1.2.1. Materi
2.6.1.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah beaker glass.

2.6.1.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.1.2.2. Metode
Dilakukan pengamatan visual langsung terhadap warna dan kekeruhan sampel limbah hasil
treatment.

2.6.1.3. Bau
18

2.6.1.3.1. Materi
2.6.1.3.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah beaker glass.
2.6.1.3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.1.3.2. Metode
Dilakukan pengamatan bau secara langsung dengan indera penciuman pada sampel limbah hasil
treatment.

2.6.2. Analisa Padatan
2.6.2.1. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
2.6.2.1.1. Materi
2.6.2.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, kertas saring, corong, oven, desikator,
erlenmeyer, pipet volume, dan pompa pilleus.

2.6.2.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.2.1.2. Metode
Kertas saring dioven pada suhu 105C selama 1 jam dan kemudian dimasukkan ke dalam
desikator selama 15 menit. Selanjutnya kertas saring ditimbang hingga berat konstan. Sampel
limbah diambil sebanyak 50 ml lalu disaring dengan kertas saring tersebut. Kertas saring berisi
residu penyaringan limbah kemudian dikeringkan dalam oven selama semalam. Esok harinya,
kertas saring diambil dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang
hingga berat konstan. Analisa TSS ini dilakukan dengan dua kali ulangan.
Rumus perhitungan TSS:
TSS =

) (
1000
ml sampel volume
A B

A = berat kertas saring kosong (mg)
19

B = berat kertas saring berisi residu (mg)
TSS = Total Suspended Solid (ppm)
2.6.2.2. Analisa Total Solid (TS)
2.6.2.2.1. Materi
2.6.2.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, cawan porselin, oven, desikator, pipet volume,
dan pompa pilleus.

2.6.2.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.2.2.2. Metode
Cawan porselin kosong dioven selama 1 jam, kemudian dimasukkan dalam desikator selama 15
menit. Cawan tersebut ditimbang hingga berat konstan. Kemudian sebanyak 2 ml sampel limbah
dimasukkan ke dalam cawan porselin. Cawan porselin berisi sampel dikeringkan ke dalam oven
selama semalam. Setelah dikeringkan, cawan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit
dan ditimbang hingga berat konstan. Analisa TS ini dilakukan dengan dua kali ulangan.
Rumus perhitungan TS:
TS =

) (
1000
ml sampel volume
A B

A = berat cawan kosong (mg)
B = berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg)
TS = Total Solid (ppm)

2.6.3. Pengukuran Kimiawi
2.6.3.1. Pengukuran pH
2.6.3.1.1. Materi
2.6.3.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah pH meter dan beaker glass.

2.6.3.1.1.2. Bahan
20

Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment.

2.6.3.1.2. Metode
pH limbah hasil treatment diukur dengan pH meter. Pengukuran ini dilakukan pengulangan
sebanyak 2 kali.

2.6.3.2. Uji COD (Chemical Oxygen Demand)
2.6.3.2.1. Materi
2.6.3.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah labu takar, erlenmeyer, buret, statif, pipet tetes, pipet volume,
pompa pilleus, dan pemanas.

2.6.3.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah limbah hasil treatment, aquades, HgSO
4
, K
2
Cr
2
O
7
, KI 10%,
amilum, dan Na
2
S
2
O
3.
0,1 N.

2.6.3.2.2. Metode
Pertama sebanyak 10 ml limbah hasil treatment diencerkan hingga 100 ml dengan aquades
hingga 100 ml dengan labu ukur. Kemudian 10 ml hasil pengenceran tersebut diambil dan
ditambah dengan 1 ml HgSO
4
pekat dan 20 ml K
2
Cr
2
O
7
. Selanjutnya, larutan tersebut
dipanaskan pada suhu 100C selama 10 menit. Kemudian 10 ml larutan tersebut ditambah
dengan 1,5 ml KI 10 % dan 2 ml amilum. Larutan kemudian dititrasi dengan Na
2
S
2
O
3
0,1 N
hingga berubah warna menjadi biru bening. Untuk uji COD ini, dilakukan pengulangan
sebanyak 2 kali. Selain itu, dibuat juga blanko dari aquades dengan cara yang sama namun tanpa
diberi perlakuan pemanasan.
Rumus perhitungan COD adalah:
COD (ppm) =

sampel ml
n pengencera x x O S Na N x ml sampel blanko 8000
3 2 2



2.6.3.3. Uji BOD (Biological Oxygen Demand) Titrasi
2.6.3.3.1. Materi
21

2.6.3.3.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah aerator, pipet volume, pompa pilleus, botol BOD gelap,
erlenmeyer, buret dan statif.

2.6.3.3.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah aquades, buffer fosfat, MgSO
4,
CaCl
2
, FeCl
3
, limbah hasil
treatment, limbah sebelum treatment, KI, MnSO
4,
H
2
SO
4
pekat 98%
,
indikator amilum, dan
Na
2
S
2
O
3
.

2.6.3.3.2. Metode
Analisa kandungan BOD dilakukan dengan titrasi Winkler. Sebelum percobaan, disiapkan air
aerasi dengan mencampurkan 1 liter aquades dengan 1 ml buffer fosfat, 1 ml larutan MgSO
4
, 1
ml CaCl
2
, dan 1 ml FeCl
3
. Larutan tersebut kemudian diaerasi dengan aerator selama semalam.
Sampel limbah sebanyak 100 ml diencerkan dengan air aerasi hingga 1000 ml. Kemudian
sebanyak 600 ml hasil pengenceran tersebut dimasukkan ke dalam botol BOD gelap dan
disimpan dalam ruangan gelap selama 5 hari (BOD
5
) dengan suhu 20
o
C. Sedangkan 400 ml sisa
hasil pengenceran ditambah 3 ml KI dan 3 ml MnSO
4
dan didiamkan selama 15 menit. Sampel
kemudian ditambah dengan 3 ml H
2
SO
4
pekat. Setelah itu sampel dibagi menjadi dua bagian dan
masingmasing diambil 200 ml kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Masingmasing
sampel tersebut ditambah 2 ml amilum dan dititrasi dengan larutan Na
2
S
2
O
3
0,01 N hingga warna
larutan menjadi bening. Percobaan BOD ini dilakukan dengan 2 kali pengulangan. Perlakuan
yang sama seperti di atas juga dilakukan untuk sampel BOD
5
. Percobaan ini juga dilakukan pula
pada sampel limbah sebelum mengalami treatment. Selanjutnya, nilai BOD dapat dihitung
dengan menggunakan rumus berikut:
BOD = (Vol titrasi BOD
o
Vol titrasi BOD
5
) x Faktor Pengenceran
Keterangan: 1 ml Na
2
S
2
O
3
= 1 mg/L BOD

22

3. HASIL PENGAMATAN

3.1. Data Hasil Pengukuran Parameter Awal
3.1.1. Karakteristik Fisikawi
Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisikawi Sebelum Treatment
Kelompok Bau Warna Kekeruhan
Suhu (
o
C)
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
F1 Agak berbau Kuning Agak keruh 28 28 28
F2 Agak berbau Kuning Agak keruh 28 28 28
F3 Agak berbau Kuning Agak keruh 28 28 28
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa semua kelompok hasilnya agak berbau, berwarna kuning,
agak keruh, dan suhunya baik ulangan 1, ulangan 2 adalah 28
o
C.

3.1.2. Analisa Jar Testing
Tabel 2. Hasil Pengamatan Analisa Jar Testing
Kelompok
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
(ntu)
F1
0
2
734
807
F2
4
6
773
751
F3
8
10
665
751
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai turbidimetri tertinggi adalah 807 ntu pada konsentrasi
10.000 ppm. Sedangkan nilai turbidimetri terendah adalah 665 ntu pada konsentrasi 40.000 ppm.












23

Grafik 1. Grafik Limbah Masakan Padang

Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa konsentrasi tidak banyak berpengaruh terhadap turbiditas
limbah masakan padang. Diawal nilai turbiditas sedikit naik, namun setelah itu terjadi
penurunan, dan pada akhirnya kembali meningkat.

3.1.3. Karakteristik Kimiawi
3.1.3.1. Kelompok F1
3.1.3.1.1. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 3. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel V. Sampel (ml) Berat Cawan Cawan+Padatan Padatan (g) TS (mg/L)
Ulangan 1 2 22,36 22,4 0,04 20.000
Ulangan 2 2 23,38 23,4 0,02 10.000
Rata-rata 2 22,37 22,4 0,03 15.000
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa volume sampel awal adalah 2 ml, dan rata-rata TS yang
dihasilkan adalah 0,03 mg/L.

3.1.3.1.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 4. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel Volume Sampel (ml) Kertas Saring
Kertas
Saring+Padatan
Padatan TSS (mg/L)
Ulangan 1 50 0,78 1,9 1,12 22.400
Ulangan 2 50 0,79 1,6 0,81 16.200
Rata-rata 50 0,785 1,75 0,965 19.300
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa volume sampel awal adalah 50 ml, dan rata-rata TSS yang
dihasilkan adalah 19.300 mg/L.

24

3.1.3.1.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 5. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/L) TSS (mg/L) TDS (mg/L)
Ulangan 1 20.000 22.400 -2.400
Ulangan 2 10.000 16.200 -6.200
Rata-rata 15.000 19.300 -4.300
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS 15.000 mg/L, rata-rata TSS 19.300
mg/L, dihaasilkan TDS sebesar -4.300 mg/L.

3.1.3.1.4. Analisa Pengaruh pH
Tabel 6. Hasil Analisa Pengamatan Pengaruh pH
Sampel pH
Ulangan 1 5,62
Ulangan 2 5,68
Rata-rata 5,65
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata pH yang dihasilkan adalah sebesar 5,65.

3.1.3.1.5. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 7. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel Volume Sampel (ml) Na
2
S
2
O
3
COD (mg/L)
Blanko 10 88

Ulangan 1 10 75 10.400
Ulangan 2 10 74 11.200
Rata-rata 10 74,5 10.800
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, dihasilkan COD rata-
rata sebesar 10.800 mg/L.

3.1.3.2. Kelompok F2
3.1.3.2.1. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 8. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel V.sampel
(ml)
Berat cawan
(gr)
Cawan+padatan
(gr)
Padatan
(gr)
TS
(mg/l)
Ulangan. I 2 25,51 25,6 0,09 45.000
Ulangan.II 2 22,78 22,9 0,12 60.000
Rata-rata 2 24,15 24,25 0,10 50.000
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 2 ml dihasilkan rata-rata
padatan sebesar 0,1 gram danTS sebesar 50.000 mg/L.

25

3.1.3.2.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 9. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel V.sampel
(ml)
Kertas saring
(gr)
Kertas+padatan
(gr)
Padatan
(gr)
TSS
(mg/l)
Ulangan.I 50 0,78 1,6 0,82 16.400
Ulangan.II 50 0,79 1,7 0,91 18.200
Rata-rata 50 0,785 1,65 0,865 17.300
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan sampel sebanyak 50 ml, didapat rata-rata padatan
0,865 gram dan TSS sebanyak 17.300 mg/L.

3.1.3.2.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 10. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/l) TSS (mg/l) TDS (mg/l)
Ulangan.I 45.000 16.400 28.600
Ulangan.II 60.000 18.200 41.800
Rata-rata 50.000 17.300 32.700
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS sebesar 50.000 mg/L, dan rata-rata
TSS sebesar 17.300 diperoleh rata-rata TDS sebesar 32.700 mg/L.

3.1.3.2.4. Analisa Pengaruh pH
Tabel 11. Hasil Analisa Pengamatan Pengaruh pH
Sampel pH
Ulangan.I 5,62
Ulangan.II 5,68
Rata-rata 5,65
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pH ulangan 1 adalah 5,62; pH ulangan 2 adalah 5,68.
Sehingga diperoleh rata-rata sebesar 5,65.

3.1.3.2.5. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 12. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel V.sampel (ml) Na
2
S
2
O
3
(ml) COD (mg/l)
Blanko 10 88
Ulangan.I 10 52 28.800
26

Ulangan.II 10 53 28.000
Rata-rata 10 64,33 18.936
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, dihasilkan rata-rata
kandungan COD sebesar 18.936 mg/L.

3.1.3.3. Kelompok F3
3.1.3.3.1. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 13. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel
Vol. sampel
(ml)
Berat cawan
(gr)
Cawan +
padatan (gr)
Padatan
(gr)
TS (mg/l)
Ulangan I 2 19,04 18,10 0,06 30000
Ulangan II 2 20,52 20,60 0,08 40000
Rata-rata 2 19,78 19,85 0,07 35000
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 2 ml, didapatkan rata-rata
padatan 0,07 gram dan rata-rata TS sebesar 35.000 mg/L.

3.1.3.3.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 14. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel
Vol sampel
(ml)
Kertas
saring (gr)
Kertas saring +
padatan (gr)
Padatan
(gr)
TSS (mg/l)
Ulangan I 50 0,78 1,5 0,72 14400
Ulangan II 50 0,79 1 0,21 4200
Rata rata 50 0,785 1,25 0,465 9300
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan sampel sebanyak 50 ml, didapat rata-rata padatan
0,465 gram dan TSS sebanyak 9.300 mg/L.

3.1.3.3.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 15. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/l) TSS (mg/l) TDS (mg/l)
Ulangan I 30000 14400 15600
Ulangan II 40000 4200 30700
Rata-rata 35000 9300 23150
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS sebesar 35.000 mg/L, dan rata-rata
TSS sebesar 9.300 diperoleh rata-rata TDS sebesar 23.150 mg/L.







27

3.1.3.3.4. Analisa Pengaruh pH
Tabel 16. Hasil Pengamatan Analisa Pengaruh pH
Sampel pH
Ulangan I 5,62
Ulangan II 5,68
Rata-rata 5,65
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada ulangan 1 didapat pH sebesar 5,62; ulangan 2 sebesar
5,68. Sehingga didapat rata-rata sebesar 5,65.

3.1.3.3.5. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 17. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel
Vol sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3
(ml) COD (mg/l)
Blanko 10 88
Ulangan I 10 50 30400
Ulangan II 10 53,5 27600
Rata-rata 10 51,75 29000
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, dihasilkan rata-rata
kandungan COD sebesar 29.000 mg/L.

3.2. Data Hasil Pengukuran Parameter Akhir (Setelah Treatment)
3.2.1. Karakteristik Fisikawi
Tabel 18. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisikawi Setelah Treatment
Kelompok Bau Warna Kekeruhan
F1 Berbau Kuning Agak keruh
F2 Berbau Bening Sangat keruh
F3 Agak berbau Bening Tidak keruh

3.2.2. Karakteristik Kimiawi
3.2.2.1. Kelompok F1
3.2.2.1.1. Analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Tabel 19. Hasil Pengamatan Analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Sampel Vol Sampel (ml)
Na
2
S
2
O
3

BOD (mg/L)
Titrasi 1
(BOD
0
)
Titrasi 2
(BOD
5
)
Ulangan 1 100 17,5 18,1 -6
Ulangan 2 100 20,5 16,9 36
Rata-rata 100 19 17,5 15
28

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai BOD pada ulangan 1 adalah -6 mg/L, sedangkan pada
ulangan 2 adalah 36 mg/L. Sehingga diperoleh rata-rata nilai BOD sebesar 15 mg/L.

3.2.2.1.2. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 20. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel Volume Sampel (ml) Berat Cawan Cawan+Padatan TS (mg/L)
Ulangan 1 2 22,387 22,5 56.500
Ulangan 2 2 23,08 23,21 65.000
Rata-rata 2 22,784 22,855 60.500
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 2 ml, diperoleh rata-rata TS
sebesar 60.500 mg/L.

3.2.2.1.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 21. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel Volume Sampel (ml) Kertas Saring
Kertas
Saring+Padatan
Padatan TSS (mg/L)
Ulangan 1 50 0,577 0,65 0,073 1.460
Ulangan 2 50 0,574 0,63 0,056 1.120
Rata-rata 50 0,576 0,64 0,064 1.280
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 50 ml, diperoleh rata-rata
padatan sebesar 0,064 gram dan rata-rata total suspended solid sebesar 1.280 mg/L.

3.2.2.1.4. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 22. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/L) TSS (mg/L) TDS (mg/L)
Ulangan 1 56.500 1460 55.040
Ulangan 2 65.000 1120 63.880
Rata-rata 60.500 1280 59.220
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS 60.500 mg/L, rata-rata TSS 1.280
mg/L, diperoleh TDS sebesar 59.220 mg/L.

3.2.2.1.5. Analisa Pengaruh pH
Tabel 23. Hasil Pengamatan Analisa Pengaruh pH
Sampel pH
Ulangan 1 7,1
Ulangan 2 7,4
Rata-rata 7,25
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pH pada ulangan 1 adalah 7,1 dan pada ulangan 2 adalah
7,4. Sehingga diperoleh rata-rata pH sebesar 7,25.


29

3.2.2.1.6. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 24. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel Volume Sampel (ml) Na
2
S
2
O
3
COD (mg/L)
Blanko 10 36,5

Ulangan 1 10 112 -60.400
Ulangan 2 10 104 -54.000
Rata-rata 10 108 -57.200
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, diperoleh rata-rata
COD sebesar -57.200 mg/L, dan rata-rata kebutuhan Na
2
S
2
O
3
sebesar 108 ml.

3.2.2.2. Kelompok F2
3.2.2.2.1. Analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Tabel 25. Hasil Pengamatan Analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Sampel Vol Sampel (ml)
Na
2
S
2
O
3
(ml)
BOD (mg/l)
Titrasi 1 (BOD
0
) Titrasi 2 (BOD
5
)
Ulangan I 100 37 6,5 315
Ulangan II 100 42 7,6 344
Rata-rata 100 39,5 6,55 329,5
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai BOD pada ulangan 1 adalah 315 mg/L, sedangkan
pada ulangan 2 adalah 344 mg/L. Sehingga diperoleh rata-rata nilai BOD sebesar 329,5 mg/L.

3.2.2.2.2. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 26. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel
Vol Sampel
(ml)
Berat Cawan
(gr)
Cawan +
Padatan (gr)
Padatan (gr) TS (mg/l)
Ulangan I 2 25,875 26,06 0,185 92.500
Ulangan II 2 25,127 25,26 0,133 66.500
Rata rata 2 25,501 25,66 0,159 79.500
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 2 ml, diperoleh rata-rata
padatan 0,159 gram, dan rata-rata TS 79.500 mg/L.







30

3.2.2.2.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 27. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel
Vol Sampel
(ml)
Kertas Saring
(gr)
Kertas Saring +
Padatan (gr)
Padatan (gr)
TSS
(mg/l)
Ulangan I 50 0,505 0,60 0,095 1.900
Ulangan II 50 0,520 0,61 0.09 1.800
Rata rata 50 0,513 0,61 0.097 1.940
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 50 ml, diperoleh rata-rata
padatan sebesar 0,097 gram dan rata-rata total suspended solid sebesar 1.940 mg/L.

3.2.2.2.4. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 28. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)

Sampel TS(mg/l) TSS(mg/l) TDS(mg/l)
Ulangan I 92.500 1.900 90.600
Ulangan II 66.500 1.800 64.700
Rata rata 79.500 1.940 77.560
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS 79.500 mg/L, rata-rata TSS 1.940
mg/L, diperoleh TDS sebesar 77.560 mg/L.

3.2.2.2.5. Analisa Pengaruh pH
Tabel 29. Hasil Pengamatan Analisa Pengaruh pH
Ulangan pH
I 7,05
II 7,01
Rata-rata 7,03
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pH pada ulangan 1 adalah 7,05; pada ulangan 2 adalah
7,01. Sehingga diperoleh rata-rata pH sebesar 7,03.








31

3.2.2.2.6. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 30. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel Vol Sampel (ml) Na
2
S
2
O
3
(ml) COD (ppm)
Blanko 10 36,5
Ulangan I 10 25 9.200
Ulangan II 10 26,3 8.160
Rata-rata 10 25,65 8.680
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, diperoleh rata-rata
COD sebesar 8.680 mg/L, dan rata-rata kebutuhan Na
2
S
2
O
3
sebesar 25,65 ml.

3.2.2.3. Kelompok F3
3.2.2.3.1. Analisa Total Solid (TS)
Tabel 31. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel
Vol. sampel
(ml)
Berat cawan
(gr)
Cawan +
padatan (gr)
Padatan
(gr)
TS (mg/l)
Ulangan I 2 25,875 26,060 0,185 92500
Ulangan II 2 25,127 25,260 0,133 66500
Rata-rata 2 25,501 25,660 0,159 79500
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 2 ml, diperoleh rata-rata
padatan 0,159 gram, dan rata-rata TS 79.500 mg/L.
3.2.2.3.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Tabel 32. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel
Vol sampel
(ml)
Kertas
saring (gr)
Kertas saring +
padatan (gr)
Padatan
(gr)
TSS (mg/l)
Ulangan I 50 0,505 0,600 0,095 1900
Ulangan II 50 0,520 0,610 0,090 1800
Rata - rata 50 0,513 0,605 0,092 1840
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 50 ml, diperoleh rata-rata
padatan sebesar 0,092 gram dan rata-rata total suspended solid sebesar 1.840 mg/L.

3.2.2.3.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Tabel 33. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/l) TSS (mg/l) TDS (mg/l)
Ulangan I 92500 1900 90600
Ulangan II 66500 1800 64700
Rata-rata 79500 1840 77660
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan rata-rata TS 79.500 mg/L, rata-rata TSS 1.840
mg/L, diperoleh TDS sebesar 77.660 mg/L.

32

3.2.2.3.4. Analisa Pengaruh pH
Tabel 34. Hasil Pengamatan Analisa Pengaruh pH
Sampel pH
Ulangan I 7,2
Ulangan II 7,3
Rata-rata 7,25
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pH pada ulangan 1 adalah 7,2; pada ulangan 2 adalah 7,3.
Sehingga diperoleh rata-rata pH sebesar 7,25.

3.2.2.3.5. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Tabel 35. Hasil Pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel
Vol sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3
(ml) COD (mg/l)
Blanko 10 36,5
Ulangan I 10 27,2 7440
Ulangan II 10 26,4 8080
Rata-rata 10 26,8 7760
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan volume sampel awal 10 ml, diperoleh rata-rata
COD sebesar 7.760 mg/L, dan rata-rata kebutuhan Na
2
S
2
O
3
sebesar 26,8 ml.
3.3. Perbandingan Data Keseluruhan
3.3.1. Kelompok F1
Tabel 36. Hasil Pengamatan Perbandingan Data Keseluruhan Kelompok F1
Parameter Sebelum Treatment Sesudah Treatment
Bau Agak berbau Berbau
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Agak keruh Agak keruh
Suhu 28
o
C 29
o
C
pH 5,65 7,25
COD 10.800 -57.200
BOD

15
TS 15.000 60.500
TSS 19.300 1.280
TDS -4.300 59.220
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa setelah treatment terjadi peningkatan suhu dari 28
o
C
menjadi 29
o
C, pH dari 5,65 menjadi 7,25; nilai TS dari 15.000 mg/L menjadi 60.500 mg/L dan
nilai TDS dari -4.300 mg/L menjadi 59.220 mg/L. Selain itu juga terjadi penurunan nilai COD
dari 10.800 mg/L menjadi -57.200 mg/L, dan nilai TSS dari 19.300 mg/L menjadi 1.280 mg/L.






33

3.3.2. Kelompok F2
Tabel 37. Hasil Pengamatan Perbandingan Data Keseluruhan Kelompok F2
Parameter Sebelum Treatment Sesudah Treatment
Bau Agak berbau Berbau
Warna Kuning Bening
Kekeruhan Agak keruh Sangat keruh sekali
Suhu 28
o
C 29
o
C
pH 5,65 7,03
COD 18.936 8.680
BOD

329,5
TS 50.000 79.500
TSS 17.300 1.940
TDS 32.700 77.560
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa setelah perlakuan treatment, terjadi peningkatan suhu dari
28
o
C menjadi 29
o
C, pH dari 5,65 menjadi 7,03; nilai TS dari 50.000 mg/L menjadi 79.500 mg/L,
dan nilai TDS dari 32.700 mg/L menjadi 77.560 mg/L. Selain itu juga terjadi penurunan pada
nilai COD dari 18.936 mg/L menjadi 8.680 mg/L, dan nilai TSS dari 17.300 mg/L menjadi 1.940
mg/L.

3.3.3. Kelompok F3
Tabel 38. Hasil Pengamatan Perbandingan Data Keseluruhan Kelompok F3
Parameter Sebelum Treatment Sesudah Treatment
Bau Agak berbau Agak berbau
Warna Kuning Bening
Kekeruhan Agak keruh Tidak keruh
Suhu 28
o
C 29
o
C
pH 5,65 7,25
COD 29.000 7.760
BOD

75
TS 35.000 79.500
TSS 9.300 1.840
TDS 23.150 77.600
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa setelah perlakuan treatment, terjadi peningkatan suhu dari
28
o
C menjadi 29
o
C, pH dari 5,65 menjadi 7,25; nilai TS dari 35.000 mg/L menjadi 79.500 mg/L,
dan nilai TDS dari 23.150 mg/L menjadi 77.600 mg/L. Selain itu juga terjadi penurunan pada
nilai COD dari 29.000 mg/L menjadi 7.760 mg/L, dan nilai TSS dari 9.300 mg/L menjadi 1.840
mg/L.

34

4. PEMBAHASAN

Dalam praktikum yang dilakukan, bahan utama yang digunakan adalah limbah cair yang berasal
dari rumah makan padang. Pada umumnya limbah cair memiliki kandungan nitrogen yang
rendah, kandungan BOD dan padatan tersuspensinya tinggi, serta proses dekomposisi limbah
tersebut berlangsung dengan cepat (Sugiharto, 1987). Proses-proses treatment yang dilakukan
dalam praktikum ini meliputi beberapa proses seperti proses penyaringan, proses adsorbsi,
koagulasi, aerasi, desinfeksi dan netralisasi. Selain itu dilakukan uji secara fisik yang meliputi
suhu, pH, TSS, TDS, TS, bau, warna serta kekeruhan dan uji kimia seperti COD dan BOD.
Sebenarnya tujuan dari perlakuan-perlakuan diatas adalah untuk mengelolah limbah cair menjadi
limbah yang memenuhi standar baku mutu sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan dan
tidak mencemari lingkungan (Sugiharto, 1987).

Perlakuan pendahuluan atau yang biasa disebut dengan pretreatment merupakan proses awal
yang diberikan pada limbah cair sebelum limbah tersebut memasuki tahap selanjutnya. Pada
praktikum ini pretreatment yang dilakukan adalah dengan penyaringan atau filtrasi dengan
menggunakan kain saring. Penyaringan akan mengurangi kotoran, benda yang terapung maupun
yang mengendap yang ada pada limbah tersebut. Perlakuan yang dilakukan pada percobaan ini
sudah sesuai dengan pendapat dari Sugiharto (1987) yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan
pengolahan limbah, pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan penyaringan sehingga
kotoran atau padatan yang besar dapat hilang dan memperlancar pengolahan selanjutnya.

Setelah dilakukannya pretratment, proses selanjutnya adalah primary treatment. Proses ini
bertujuan untuk menghilangkan suatu padatan yang halus, zat warna yang terlarut yang tidak
tersaring pada proses pretreatment. primary treatment dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan
metode pengolahannya yaitu secara fisik dan secara kimia. Pengolahan secara fisik merupakan
pengolahan yang tidak dengan menambahkan bahan kimia seperti dengan dilakukannya
pengendapan secara gravitasi. Sedangkan dalam pengolahan kimia, limbah ditambahkan dengan
bahan-bahan kimia seperti proses koagulasi (Gintings,1992).

35

Pengolahan tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat-zat terlarut dari air limbah yang
tidak dapat dihilangkan dengan proses fisik biasa. Peralatan pengolahan yang umum digunakan
pada pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated
lagoon, stabilization basin, rotating biological contactor serta anaerobic contactor and filter
(Sucipta et al, 2009). Secondary treatment yang kami lakukan untuk limbah restoran masakan
Padang adalah dengan aerasi. Dalam praktikum ini, aerasi dilakukan selama 30 menit.

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa limbah restoran atau limbah dapur memiliki kandungan
bahan organik yang cukup tinggi dimana di dalamnya terdapat gula terlarut, pati, lipid, protein,
selulosa, dan bahan-bahan lain yang bersifat biodegradable (dapat diuraikan) (Hafid et al, 2010).
Sifat biodegradable dari limbah tersebut menunjukkan bahwa limbah ini mudah diuraikan oleh
mikroorganisme dan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi merupakan suatu sistem
oksigenasi melalui penangkapan O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Pemasukan
oksigen ini bertujuan agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air
olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan okasidasi logam yang sukar larut dalam air
sehingga dapat mengendap. Selain itu pemasukan O2 ke dalam limbah cair juga akan
menciptakan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme aerob yang terdapat di dalam limbah, di
mana mikroorganisme ini akan menguraikan zat-zat organik yang terdapat di dalam air limbah
(Sugiharto, 1987).

Perlakuan ini dilakukan karena limbah masih mengeluarkan aroma busuk yang dapat
mengganggu lingkungan. Tujuan dilakukannya proses aerasi ini adalah untuk mengurangi aroma
busuk dan tidak sedap pada limbah, meningkatkan kandungan oksigen terlarut di dalam limbah
cair serta meningkatkan efektifitas proses selanjutnya.

Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and
sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation serta
thickening gravity or flotation (Sucipta et al, 2009). Dalam pengolahan ketiga ini, digunakan
Absorbent terhadap limbah. Adsorbent ini akan menjernihkan air limbah dengan cara
mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan,
ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa.
36


Adsorbent yang digunakan adalah karbon aktif. Karbon ini dipergunakan untuk mengurangi
kadar benda organik terlarut yang ada. Di samping inti dari pengotakan karbon dengan air maka
benda-benda partikel juga bisa ikut dihilangkan. Penambahan karbon aktif juga dilakukan
dengan tujuan untuk menjernihkan warna limbah (mengurangi kekeruhan) (Mahida, 1992).
Menurut Sugiharto (1987), pengolahan air limbah dengan menggunakan karbon aktif biasanya
digunakan sebagai proses kelanjutan dari pengolahan secara biologis. Dalam praktikum ini,
adsorbent yang digunakan adalah 3 gram untuk 200 ml, sehingga bila jumlah limbah yang
digunakan bukan 200 ml harus dilakukan perhitungan untuk melakukan konversi.

Perlakuan ini dilakukan karena limbah restoran Padang ini masih memiliki bau yang tidak sedap,
warna yang kehitaman dan keruh sehingga mengindikasikan bahwa limbah ini belum cukup baik
untuk dibuang ke saluran umum. Selain itu, proses adsorbsi ini adalah untuk mengurangi
kekeruhan dan bau dari limbah dengan cara mengurangi kadar senyawa organik terlarut yang
ada.

Pengolahan Tambahan
Disinfeksi
Limbah cair yang akan dibuang harus dipastikan tidak membahayakan lingkungan bila dibuang.
Limbah rumah makan yang berupa sisa-sisa makanan merupakan media yang kaya nutrisi dan
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Keberadaan mikroba ini dapat mengakibatkan
terjadinya pembusukan secara cepat. Jadi, pada penanganan limbah rumah makan perlu
dilakukan proses penanganan lebih lanjut yaitu desinfeksi untuk meminimalkan pembusukan
tersebut. Selain itu menurut teori Volk & Wheeler (1993), desinfeksi bertujuan penting dalam
pengendalian penyakit, yaitu menurunkan atau menghilangkan mikrobia patogen pada limbah
pangan. Penanganan tambahan disinfektan ini bersifat optional dan dilakukan dengan maksud
untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.

Alasan dari perlakuan ini yaitu bahwa limbah rumah makan yang berupa sisa-sisa makanan
merupakan media yang kaya nutrisi dan baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan. Tujuan desinfeksi ini adalah untuk
37

menghilangkan mikroba terutama yang bersifat patogen yang terdapat dalam limbah rumah
makan padang sehingga nantinya limbah yang akan dibuang sudah tidak lagi mengandung
mikroba patogen yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Dalam praktikum ini,
desinfektan yang digunakan adalah Klorin. Menurut Stone (____), klorin merupakan senyawa
desinfektan yang kuat sehingga dapat membunuh mikroorganisme.

Netralisasi
Proses netralisasi sangat diperlukan dalam tahap akhir pengolahan limbah rumah makan Padang.
Hal ini dimaksudkan agar limbah yang akan dibuang memenuhi ketentuan baku mutu limbah
mengenai pH air limbah yang harus mendekati pH netral, yaitu pH 7. Dengan demikian maka
limbah rumah makan padang yang pHnya belum mencapai pH 7 harus dinetralisasi
(Sastrawijaya, 1991).

Dalam praktikum ini, netralisasi dilakukan dengan menggunakan HCl karena sifat dari limbah
cair yang telah diolah adalah basa. HCl ditambahkan sedikit demi sedikit hingga pH meter
menunjukkan nilai 7,00. Limbah cair yang telah netral pH-nya dianggap cukup aman untuk
dibuang ke perairan biasa.

BAU
Salah satu percobaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan parameter bau. Ada beberapa
hal yang dapat menyebabkan suatu limbah menjadi bau, karena adanya senyawa organik dan
hydrogen sulfida. Pemecahan senyawa organik tersebut menimbulkan bau yang tidak enak
(Mahida,1922). Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, pada kelompok F1-F3 bau limbah
setelah proses pengolahan lebih berbau dibandingkan dengan sebelum dilakukan pengolahan.
Hal ini tidak sesuai dengan dasar teori, seharusnya proses pengolahan limbah akan
menghilangkan bau limbah tersebut karena dalam treatment dilakuka proses aerasi yang dapat
mengurangi senyawa organik dalam limbah sehingga akan mengurangi bau limbah tersebut
(Jenie & Rahayu, 1993). Selain itu, proses adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif dapat juga
menyerap senyawa organik dan bau.

WARNA DAN KEKERUHAN
38

Parameter kedua adalah warna dan kekeruhan pada limbah cair rumah makan padang tersebut.
Warna dan kekeruhan ini diuji secara visual. Semakin keruh suatu cairan limbah dan warnanya
semakin gelap atau pekat maka mengidikasikan bahwa limbah tersebut juga semakin kotor
(Mahida,1992). Pada sebelum dilakukan proses treatment, warna limbahnya adalah kuning
sedangkan sesudah dilakukan proses treatment, warna limbahnya menjadi jernih. Namun pada
kelompok F1 terjadi kesalahan warna limbah sesudah dan sebelum dilakukan proses treatment
warnanya kuning. Seharusnya setelah limbah diolah warnanya menjadi jernih. Pada kelompok
F2 dan F3 sudah sesuai dengan baku mutu limbah rumah makan padang yaitu sebelum dibuang
ke lingkungan, warna limbah harus sudah jernih atau bening. Selain itu hal ini juga didukung
oleh pendapat dari Sugiharto yang menyatakan bahwa proses treatment akan mengurangi warna
dari limbah sehingga seharusnya limbah tersebut berwarna bening.
Selain warna, kekeruhan limbah juga diuji. Penjernihan air limbah sebenarnya bertujuan untuk
mengurangi pengotoran bahan organik, partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan
(nonbiodegradable) ataupun gabungan antara bau, warna dan rasa. Pada percobaan ini,
kekeruhan diuji dengan menggunakan indra penglihat atau secara visual. Dari percobaan yang
telah dilakukan pada kelompok F1 dan F2 limbah setelah dan sebelum dilakukan treatment
masih tetap keruh. Sedangkan kelompok F3, tingkat kekeruhan setelah dilakukan treatment
menjadi lebih kecil atau tidak keruh dibandingkan dengan limbah sebelum dilakukan proses
pengolahan. Hanya kelompok F3 yang sesuai dengan dasar teori dari Sugiharto (1987) yang
mengatakan bahwa proses adsorbsi dengan menggunakan karbon aktif tersebut akan membuat
limbah cair tersebut menjadi jernih hal ini dapat disebabkan karena karbon aktif dapat digunakan
untuk mengurangi zat pengotor bahan organik, partikel seperti benda yang tidak dapat diuraikan
atau gabungan antara bau, warna, dan rasa. Karbon aktif alamiah merupakan butiran karbon dan
bubuk karbon untuk pengolahan air limbah dan setelah dipergunakan diaktifkan kembali
(Sugiharto, 1987).
Persiapan karbon digunakan melalui pembuatan arang dari bahan kayu atau batu bara. Bahan ini
kemudian dibakar sampai berwarna merah. Partikel batu bara kemudian diaktifkan dengan
menambah gas oksigen pada tekanan tinggi. Gas ini mengambangkan struktur rongga yang ada
pada batu bara/arang sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perluasan permukaan. Hal inilah
yang membuat karbon aktif mempunyai daya serap yang baik, dan dapat mengikat benda-benda
organik dan partikel-partikel lain dengan baik (Sugiharto, 1987).
39




SUHU
Parameter selanjutnya yang diuji adalah suhu limbah cair dari rumah makan padang. Tujuan dari
mengukur suhu limbah adalah agar dapat mengetahui kecenderungan aktivitas kimiawi dan
biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan maupun penjernihan benda padat serta
gas (Mahida, 1992). Karena apabila suhu limbah terlalu tinggi maka hal ini akan memeberikan
dampak yang buruk pada kelangsungan biota di perairan serta akan muncul mikroorganisme
yang tidak dibutuhkan atau diinginkan (Sastrawijaya,1991). Suhu sangat berperan penting dalam
kehidupan makhluk hidup. Selain itu suhu akan mempengaruhi tingkat oksigen terlarut. Oleh
karena itu perlu dilakukannya pengukuran suhu. Biasanya limbah domestik memiliki suhu antara
15 25
o
C. Suhu tersebut berada dibawah suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri, tetapi
bukan hambatan utama dalam rancangan unit atau operasinya (Jenie & Rahayu, 1993).
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, hasil pengukuran suhu kelompok F1-F3 dari bahan
limbah cair rumah makan padang suhunya adalah 29
0
C. Hasil yang sama ini dikarenakan karena
pengambilan limbah berasal dari tempat yang sama. Menurut Gintings (1992), temperatur air
limbah akan dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan dalam air.

ANALISA TOTAL SOLID (TS)
Analisa padatan yang diamati pada limbah dari masakan padang adalah Total Solid (TS), Total
Suspended Solid (TSS), dan Total Dissolved Solid (TDS). Analisa pertama yang dilakukan
adalah mengenai analisa total solid atau total padatan. Prinsip dari analisa ini adalah bahan yang
tertinggal setelah evaporasi sampel air limbah dan pengeringan dalam oven
(Hammer&Hammer,1996).
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan oleh kelompok F1-F3 dengan menggunakan
limbah cair dari rumah makan padang, didapatkan hasil total padatan seseudah treatment lebih
tinggi dibandingkan dengan limbah yang belum diberi treatment. Hal ini tidak sesuai dengan
dasar teori yang menyatakan bahwa seharusnya proses treatment dapat membuat padatan total
menjadi menurun (Mahida,1992). Hal ini mungkin dapat disebabkan karena adanya penambahan
koagulan yang menyebabkan padatan dalam limbah menjadi semakin banyak, seperti partikel-
40

partikel yang berasal dari zat-zat yang ditambahkan dalam proses koagulasi, seperti Ca(OH)
2
serta FeCl
3
yang berfungsi sebagai koagulan (Jenie & Rahayu, 1993). Selain itu penyaringan
yang kurang baik dapat menyebabkan padatan masih ikut terlarut ke filter. Selain itu Gintings
(1992) juga menambahkan peningkatan nilai total padatan memungkinkan adanya partikel
karbon aktif yang ikut terlarut dan partikel-partikel limbah yang terurai sehingga menyebabkan
terlarut. Karbon aktif yang digunakan pada proses adsorpsi memiliki atom-atom yang bersifat
saling tarik menarik. Ketika karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah cair pemotongan ayam,
tidak ada partikel padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut yang menarik atom
karbon aktif tersebut, sehingga karbon aktiflah yang menarik padatan-padatan tersuspensi dan
padatan-padatan terlarut.

ANALISA TOTAL SUSPENDED SOLID
Prinsip dari TSS ini adalah menyaring filtrat dari limbah cair rumah makan padang dengan
menggunakan kertas saring kemudian kertas saring yang menampung endapan tersebut
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105
o
C selama 24 jam (Sugiharto,1987). Berdasarkan
pendapat dari Sastrawijaya (1991) mengatakan bahwa padatan terlarut dapat mempengaruhi
warna dari air limbah tersebut. Semakin sedikit padatan terlarutnya maka warna dari limbah cair
tersebut semakin bening. Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan. Pada kelompok F1-F3
didapatkan hasil TSS sesudah treatment lebih kecil dibandingkan dengan hasil TSS sebelum
dilakukan treatment. Nilai TSS ini dapat turun karena dalam pengolahan limbah dilakukan
proses adsorpsi, koagulasi dan netralisasi yang menyebabkan total padatan tersuspensinya
menjadi berkurang (Gintings,1992).
Berdasarkan nilai baku mutu limbah cair rumah makan padang, nilai TSS yang diperbolehkan
adalah 100 mg/L. Hasil uji TSS yang dilakukan selama praktikum tidak sesuai dengan ketentuan
baku mutu limbah. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena masih adanya beberapa padatan
yang masih bisa lolos saat proses treatment dilakukan (Sugiharto, 1987). Selain itu, proses
penyaringan yang kurang baik dapat menyebabkan padatan masih bisa lolos (Jenie & Rahayu,
1993).

ANALISA TOTAL DISSOLVED SOLID
41

Padatan terlarut todal atau TDS merupakan sebagai perbandingkan antara berat residu setelah
evaporasi dan berat padatan tersuspensi total (Sugiharto,1987). Menurut pendapat dari Sugiharto
(1987), proses penyerapan dalam proses treatment yang dilakukan bertujuan untuk
mengumpulkan padatan terlarut yang terdapat dalam larutan. Bahan yang diserap disebut sebagai
adsorbate sedangkan bahan penyerap dikenal sebgai adsorbent. Bahan penyerap berfungsi untuk
mengurangi kekeruhan dari suatu cairan yang berupa bahan organik dan partikel termasuk bahan
nonbiodegradable. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, nilai TDS setelah mengalami
treatment nilainya lebih besar dibandingkan dengan sebelum treatment. Hal ini tidak sesuai
dengan dasar teori yang mengatakan bahwa proses treatment dapat berperan dalam mengurangi
jumlah padatan terlarut yang ada pada suatu limbah (Sugiharto,1987).
Menurut pendapat dari Sastrawijaya (1991), TDS menunjukan jumlah kepekatan padatan dalam
suatu contoh air, dimana dinyatakan dalam mg/lt atau bagian/juta (Bpj). Jenie & Rahayu (1990)
mengungkapkan bahwa padatan terlarut total atau residu yang dapat disaring ditetapkan dengan
berat yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagi perbedaan antara residu setelah evaporasi
den berat padatan tersuspensi total. Maka dari itu, polutan sulit dihilangkan dari air limbah.
Penanganan total padatan terlarut dengan menggunakan mikroorganisme yang umumnya
terdapat dalam air limbah, bertujuan untuk konversi bahan partikulat.

pH
Pengukuran pH pada limbah adalah hal yang penting, dikarenakan air buangan dari limbah
tersebut mempunyai pH tinggi dan rendah dapat mematikan mikroorganisme air yang
diperlukan. Keadaan air normal, jika tingkat keasamannya pada range 6,5 8,5 (Gintings, 1992).
Keasaman limbah cair bisa ditentukan dari banyaknya ion hydrogen yang dapat larut air. Air
yang memiliki tingkat keasaman tinggi membuat kehidupan biota yang hidup didalam air
menjadi terancam. Air menjadi asam sebab terdapat buangan yang sifatnya basa sumbernya
berasal dari buangan yang terdapat kandungan bahan organik contohnya senyawa karbonat,
bikarbonat dan hidrolisa (Hammer & Hammer, 1996).
Sugiharto (1987) menambahkan bahwa limbah cair yang memiliki pH asam dapat mengganggu
proses biologis pada badann air. Agar pH limbah cair netral, maka dapat menggunakan Ca(OH)
2
,
sedangkan untuk mengkondisikan pH limbah cair yang bersifat basa agar nantinya menjadi netral
digunakan FeCl
3
. Netralisasi tang digunakan dengan penambahan Ca(OH)
2
atau dengan FeCl
3

42

dilakukan ditahap akhir tujuannya untuk mengefektifkan proses penetralan dengan alasan adanya
penambahan koagulan seperti FeSO
4
.7H
2
O dan dengan penambahan klorin sebagai desinfektan,
maka pH limbah menjadi semakin asam. Mahida (1992), mengatakan bahwa intensitas keasaman
pH atau alkalinitas pada suatu cairan yang encer, dan bisa mewakili konsentrasi dari hydrogen
ionnya.
pH awal limbah cair pada kelompok F1, F2, dan F3 yang menggunakan limbah cair Rumah
Makan Padang adalah basa. Pada kelompok F1 adalah 7,25, kelompok F2 adalah 7,03, dan
kelompok F3 adalah 7,25. Konsentrasi air limbah normal tingkat keasamannya adalah berkisar
6,5 8,5 (Volk & Wheeler, 1993). Satrawijaya (1991) mengatakan, jika limbah yang terlalu
asam ataupun terlalu basa yang dibuang secara langsung ke air, akan mengganggu kehidupan air.
pH air limbah yang masih asam seharusnya ditambahkan senyawa basa, lalu untuk limbah yang
basa dapat ditambahan senyawa asam.

Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand BOD merupakan banyaknya O
2
didalam air yang digunakan
bakteri untuk menguraikan organic melalui proses oksidasi biologis. Limbah cair pengolahan
pangan biasanya mempunyai kandungan Nitrogen yang cukup rendah, BOD dan padatan
suspensi tertinggi dan berlangsusng dengan proses dekomposisi cepat. Sifat limbah yang perlu
diketahui yaitu volume aliran, konsentrasi organik dan karakteristik limbah. Uji BOD adalah
salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam penanganan limbah dan pengendalian
polusi (Jenie & Rahayu, 1993)
Nilai BOD yang tinggi pada limbah cair memperlihatkan semakin buruknya mutu air tersebut,
sehingga banyaknya O
2
terlarut dalam limbah menjadi sedikit dan kemudian menyebabkan
terganggunya kehidupan makhluk hidup dalam badan air jika limbah tersebut hanya dibuang
begitu saja tanpa diproses terlebih dahulu (Sugiharto, 1987).
Angka BOD merupakan jumlah oksigen yang dapat digunakan hampir zat organik yang terlarut
dan sebagaimana zat organik tersuspensi dalam air. Pengujian BOD digunakan untuk
menentukan beban pencemaran system-sistem pengolahan air yang diperlukan untuk
mengoksidasi senyawa organik secara biokimawi atau mengukur banyaknya O
2
yang diperlukan
populasi mikrobia heterogen untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik selama masa
inkubasi (Suhardi, 1991).
43

Pengujian BOD merupakan salah satu metode analisis yang paling banyak digunakan pada
penanganan limbah dan pengendalian polusi. Pengujian ini menentukan kekuatan polusi dari satu
limbah maksudnya kebutuhan mikroba akan oksigen dan merupakan ukuran tak langsung dari
bahan organik dalam limbah. Uji ini distandarisasikan pada periode 5 hari suhu 20
o
C. dan sampel
yang digunakan disimpan dalam botol kedap udara. Jumlah kecil pada botol uji BOD, 2-3 mg
menunukan bahwa limbah yang mempunyai kekuatan besar (Jenie & Rahayu, 1993).
BOD 5 (Biochemical Oxygen Demand) adalah banyaknya O
2
dalam ppm atau milligram/liter
(mg/l) yang diperlukan untuk dapat menguraikan benda organic oleh bakteri sehingga limbah
terseut menjadi jernih kembali. Diperlukan waktu 100 hari pada suhu 20
o
C. Namun di
laboratorium menggunakan waktu 5 hari sehingga dikenal dengan BOD 5 (Sugiarto, 1987). Akan
tetapi menurut teori (Tchobanoglous, 1981) pengukuran BOD paling akurat adalah selama 20
hari, karena proses oksidasi akan berlangsung secara baik sebesar 95-99%. Sehingga hal ini
kurang sesuai dengan praktikum yang dilakukan. Karena dalam praktikum ini hanya selama 5
hari.
Pengujian BOD yang bisa diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang akan dihabiskan
dalam waktu 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobic dalam suatu volume limbah pada
suhu 20
o
C. hasilnya dinyatakan dalam bpj (ppm). Sebagian larutan ditentukan di ruangan gelap
untuk 5 hari dan ditentukan lagi O
2
terlarutnya. Permintaan O
2
biokimianya (BOD) dihitung dari
selisih kedua perhitungan (Sastrawijaya, 1993). Tetapi, nilai BOD selama 5 hari itu hanya dapat
mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara lengkap. BOD 5 bukan merupakan suatu
ukuran yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah (Mahida, 1992).
Terlihat nilai BOD pada kelompok F1 adalah -6 dan 36 mg/L. kemudian kelompok F2 adalah
315 mg/L dan 344 mg/L, lalu untuk kelompok F3 adalah 75. Nilai paling tinggi adalah pada
kelompok F2 dan terendah adalah F1. Pada F1 mendapatkan nilai (minus) pada ulangan 1.
Perbedaan yang sangat menonjol dan jauh ini dapat diakibatkan adanya perbedaan dalam
menentukan Titik Nilai Titrasi (TAT) dalam melihat warna yang terbentuk setelah dilakukan
titrasi dengan menggunakan Na
2
S
2
O
3
0,1 N hingga warna yang dihasilkan adalah bening.
Pertama-tama air aerasi dibuat terlebih dahulu dimana setiap 1000 ml aquades ditambahkan
dengan 1 ml buffer phosphate, 1 ml MgSO
4
, I ml CaCl
2
, dan 1 ml FeCl
3
. Hal ini sesuai dengan
teori Suhardi (1991) dimana dalam memaksimalkan aerasi penting ditambahkan 1 ml larutan
MgSO
4
untuk setiap 1 liter air suling ke dalam air suling untuk aerasi dan buffer fosfat. Suhu
44

pada aquades yang digunakan dalam proses aerasi juga harus dikontrol pada suhu 20 1C.
Kemudian, dilakukan aerasi dengan aerator. Air limbah sebanyak 100 ml diencerkan dengan
menggunakan air aerasi hingga volumenya mencapai 1000 ml. Pengenceran yang dilakukan
berfungsi untuk dapat mengantisipasi jika limbah berkekuatan tinggi seperti limbah hewan dan
pengolahan pangan (Jenie & Rahayu, 1993). Pengenceran menggunakan air aerasi ini fungsinya
untuk menjaga ketersediaan udara dan menghambat terbentuknya endapan. Jika endapan
terbentuk akan mengganggu pemberian oksigen ke sel mikroorganisme sehingga suasana aerob
akan terbentuk (Sugiharto, 1987).
600 ml sampel air limbah yang sudah diencerkan, dimasukkan ke dalam botol BOD warna gelap
kedap udara (sampel BOD). Sampel BOD ini lalu disimpan di dalam ruang gelap 5 hari.
Penyimpanan sampel limbah dalam botol gelap dan kedap udara sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Alaerts & Santika (1984) yang mengatakan jika penyimpanan tidak dilakukan
dengan baik maka pengukuran BOD akan terhambat karena adanya O
2
yang keluar dalam botol
dan terjadi proses nitrifikasi. Kemudian 400 ml sisa sampel limbah yang telah diencerkan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer selanjutnya ditambahkan 3 ml KI dan 3 ml MnSO
4
(sampel
BOD
0
). Larutan KI dan MnSO
4
yang ditambahkan dapat membebaskan iodin yang ekuivalen
dengan oksigen terlarut. Prinsipnya oksigen mengoksidasi MnSO
4
pada larutan dengan keadaan
alkalis sehingga dapat terbentuk endapan MnO
2
(Anonim, 2002). Sampel BOD ini kemudian
dilakukan pengadukan dan didiamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit, ditambah dengan 3 ml
H
2
SO
4
pekat 98% lalu dikocok perlahan. Asam sulfat pekat yang ditambahkan bertujuan untuk
menyamakan jumlah iodin dan O
2
yang dibebaskan (Alaerts & Santika, 1984).
Setelah itu dari larutan tersebut dibagi sebanyak masing-masing 20 ml ke dalam 2 buah
Erlenmeyer. Dan dilakukan titrasi dengan larutan Na
2
S
2
O
3
0,01 N hingga warna pucat. Langkah
berikutnya masing-masing ditambah dengan 2 ml indikator amilum. Dilakukan titrasi kembali
dengan larutan Na
2
S
2
O
3
0,1 N sampai warna akhir larutan menjadi bening. Dan sampel limbah
yang disimpan dalam botol gelap selama 5 hari juga dilakukan titrasi. Hasil akhir titrasi dengan
Na-thiosulfat berwarna bening, maka O
2
yang terlarut dan iodin bebas dapat diketahui (Anonim
2002).

Chemical Oxygen Demand (COD)
45

Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang
diperlukan untuk mengurai atau mengoksidasi bahan organik yang terkandung dalam 1 liter air.
Hal ini kaena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan
oksidator kuat seperti kalium bikromat (K
2
Cr
2
O
7
) yang digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent) pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala
macam bahan organik, baik yang mudah terurai maupun yang kompleks dan sulit terurai akan
teroksidasi.
Menurut Muthawali (2013) angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat
organis yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut didalam air. Analisa COD berbeda dengan analisa
BOD namun perbandingan antara angka COD dan angkat BOD dapat ditetapkan. COD
merupakan parameter untuk menentukan bahan-bahan organik yang ada di dalam air limbah baik
yang mudah dirombak maupun yang sukar dirombak oleh mikroba. Pengukuran COD juga
melibatkan penambahan HgSO
4
yang bertujuan untuk menghilangkan adanya gangguan dari ion
klorida. Ion merkuri akan bergabung dengan ion klorida membentuk merkuri klorida. Sehingga
dengan adanya ion Hg
2+
ini, konsentrasi dari ion klorida menjadi sangat kecil dan tidak
mengganggu oksidasi senyawa organik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Hg
2+
+ 2 Cl
-
HgCl
2
Menurut Irmanto dan Suyata (2010) untuk menentukan jumlah oksigen yang terpakai dengan
titrasi iodometri menggunakan tiosulfat (Na
2
S
2
O
3
) dan indikator amilum. Sebelum dilakukan
titrasi warna air sampel yang mengandung bahan buangan organik sebelum mengalami rekasi
oksidasi adalah berwarna kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka warna akan berubah
menjadi biru bening (Nurhasanah, 2009).
Berdasarkan data hasil pengamatan dari kelompok F1 dapat diketahui angka COD sebelum
treatment memiliki angka COD yang lebih besar dari angka COD setelah treatment. Angka COD
sebelum treatment ini juga lebih besar daripada angka BOD
5
. Sebelum treatment F1 memperoleh
angka COD sebesar 10.400 mg/L pada perlakuan pertama dan 11.200 mg/L pada perlakuan
kedua. Sedangkan setelah dilakukan treatment, kelompok F1 memperoleh angka COD sebesar -
60.400 mg/L dan -54.000 mg/L. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya angka COD
merupakan angka yang menjadi ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara
46

alamiah dapat dioksidasi dengan proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut dalam air.
Kelompok F1 memiliki angka COD lebih kecil bila dibandingkan dengan F2 dan F3. Angka
COD yang rendah pada kelompok F1 tersebut meliputi sebelum dan sesudah treatment.
Kelompok F2 memiliki angka COD rata-rata sebelum treatment 18.936 mg/L. Sedangkan setelah
treatment mengalami penurunan menjadi 8.680 ppm. Pada kelompok F3 memiliki angka COD
rata-rata sebelum treatment 29.000 mg/L dengan penurunan setelah treatment menjadi 7760
ppm. Sedangkan kelompok F1 memiliki rata-rata angka COD sebesar 10.800 mg/L untuk
sebelum dilakukan treatment dan -57.200 ppm untuk setelah dilakukan treatment. Angka COD
kelompok F1 yang baik sebelum maupun setelah treatment dapat terjadi karena tingkat turbiditi
kelompok F1 lebih rendah dari F2 dan F3, tingkat keefektifan senyawa kimia yang digunakan
pada larutan, jumlah mikroorganisme, dan angka titrasi blanko. Dilihat dari tingkat turbiditi atau
kekeruhan dari larutan, kelompok F1 tidak lebih keruh dibanding F2 dan F3. Dilihat dari
keefektifan senyawa kimia yang digunakan dalam mengoksidasi sampel, senyawa kimia yang
digunakan seperti kalium bikromat, lebih mampu mengoksidasi pada sampel F2 dan F3, yang
berarti semakin sedikitnya kandungan mikroorganisme pada larutan sampel.
Pada kelompok F1 juga terjadi penurunan angka COD pada sampel limbah setelah dilakukan
treatment. Terjadinya pengurangan tersebut dikarenakan bakteri aerobik yang ada di dalam
reaktor menguraikan senyawa-senyawa organik yang ada di dalam limbah cair rumah tangga
(Sudaryati dkk., 2007 dalam Mulyana et al, 2013). Terurainya senyawa-senyawa organik
tersebut mengakibatkan nilai COD menurun, karena menurut Fatha (2007) dalam Mulyana et al.
(2013) tingginya nilai COD dalam limbah cair rumah tangga sebagian besar disebabkan oleh
adanya senyawa-senyawa organik seperti protein, karbohidrat dan lemak. Kandungan COD dari
limbah cair rumah tangga mengalami penurunan setelah proses aerasi. Berkurangnya kandungan
COD tersebut disebabkan kandungan karbon dalam zat organik di dalam limbah terurai menjadi
karbondioksida yang dikeluarkan ke lingkungan, hal inilah yang menyebabkan kandungan COD
setelah proses aerasi menurun dibandingkan kandungan awalnya.
Menurut Inoki (2012) kadar COD yang besar berhubungan dengan kadar BOD yang kecil. Hal
ini terjadi karena semakin banyak senyawa kimia yang dapat teroksidasi, maka semakin sedikit
mikroorganisme yang hidup. Selain itu senyawa kimia mudah sekali teroksidasi dibandingkan
dengan cara biologis yang mmbutuhkan waktu lama. Namun berdasarkan hasil pengamatan F1
47

kadar COD sebelum treatment lebih besar dari COD setelah treatment
.
Hal ini dapat terjadi
karena setelah dilakukan serangkaian treatment, senyawa kimia yang dapat teroksidasi semakin
sedikit. Akibat semakin sedikitnya bahan organik yang terkandung dalam sampel maka semakin
sedikit senyawa kimia yang mampu teroksidasi ini menyebabkan angka titrasi yang semakin
tinggi pada perlakuan setelah treatment. Angka titrasi COD setelah treatment yang tinggi bila
dikurangi dengan blanko akan menghasilkan angka COD yang negatif. Selain angka titrasi yang
digunakan tinggi, terdapat banyak mikroorganisme yang hidup pada larutan BOD
5
yang
mengakibatkan nilai BOD
5
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada COD setelah treatment.
Banyaknya mikroorganisme yang tumbuh pada BOD dapat terjadi karena adanya perlakuan
aerasi dan setelah dilakukan aerasi, larutan dimasukkan kedalam botol gelap yang kemudian
disimpan selama 5 hari. Sehingga setelah dilakukan pengukuran angka BOD, angka BOD yang
diperoleh lebih besar daripada angka COD meskipun telah dilakukan perlakukan secara kimia.
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No KEP-51/MENLH/10/1995 tentang
baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri menyatakan bahwa baku mutu limbah cair industry
merupakan batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan. Limbah
cair yang dibuang ke lingkungan diduga dapat mencemari lingkungan. Menurut KEP-
51/MENLH/10/1995 dalam Enjarlis (2012) mengenai baku mutu limbah cair yang berasal dari
restoran beserta dengan hasil yang didapat dari percobaan yang dilakukan denggan sampel
limbah cair dari restoran padang:

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa baku mutu limbah cair restoran dengan
parameter analisa COD (mg/L) sebesar 200 mg/L. Menurut Enjarlis (2012) angka COD yang
tinggi pada sampel limbah cair restoran padang disebabkan adanya protein, karbohidrat, dan
lemak sehingga bahan organik yang terkandung dalam limbah masih tinggi. Berdasarkan hasil
praktikum kelompok F1, didapatkan angka COD rata-rata sebesar 10.800 ml/L untuk sebelum
dilakukan treatment dan -57.200 ppm untuk setelah dilakukan treatment. Bila hasil percobaan F1
48

dibandingkan dengan baku mutu maka dapat diketahui dua hasil. Hasil yang pertama mengenai
angka COD sebelum treatment. Angka COD yang tinggi pada sampel limbah sebelum treatment
terjadi karena kandungan bahan organik dalam sampel limbah memiliki jumlah yang sangat
tinggi serta belum mengalami perlakuan atau treatment. Sedangkan hasil yang kedua, yakni
mengenai angka COD setelah treatment. Rendahnya angka COD setelah treatment dibanding
baku mutu memiliki arti bahwa treatment dan perlakuan yang dilakukan telah berhasil. Aerasi
yang diberikan mampu menumbuhkan mikroba aeobik dalam limbah itu sendiri sehingga
kandungan bahan organik dalam sampel limbah menjadi menurun drastis. Hal ini ditunjukkan
dengan baanyaknya natrium tiosulfat yang digunakan untuk mentitrasi sampel.

49

5. KESIMPULAN

Treatment yang dilakukan dalam mengolah limbah cair dari pencucian rumah makan padang
adalah filtrasi, koagulasi, aerasi, adsorbsi, desinfeksi, dan netralisasi.
Filtrasi bertujuan untuk memisahkan benda terapung (kotoran) dan yang mengendap (pasir),
sehingga dapat mengurangi jumlah padatan dan kekeruhan limbah.
Koagulasi bertujuan untuk menghilangkan zat-zat padat organik yang ada di dalam limbah
melalui pengendapan menggunakan koagulan.
Faktor faktor yang dapat mempengaruhi proses koagulasi diantaranya adalah pengadukan,
pH, garam, logam berat dan solven organik.
Pengukuran bertujuan untuk menentukan jenis koagulan yang akan digunakan dalam proses
koagulasi.
Aerasi merupakan penambahan oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk dapat
menguraikan komponen-komponen organik dalam air limbah.
Adsorbsi merupakan proses mengumpulkan benda-benda terlarut yang terdapat dalam larutan
antara dua permukaan.
Desinfeksi merupakan suatu proses untuk membunuh jasad renik yang mempunyai sifat
patogenik.
Desinfeksi dilakukan dengan penambahan klorin
Proses netralisasi merupakan penambahan senyawa asam atau basa ke dalam air limbah
sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7.
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau mg/l yang
dibutuhkan untuk menguraikan benda organik secara kimiawi.
Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen terlarut yang dikonsumsi
atau digunakan oleh kegiatan kimia atau mikrobiologik.
Setelah dilakukan treatment, limbah menjadi tidak berbau dikarenakan limbah telah melalui
berbagai tahapan treatment seperti adsorbsi, aerasi dan desinfeksi.
Warna gelap pada limbah menunjukkan bahwa limbah tersebut mengandung banyak padatan
tersuspensi dan terlarut
Semakin keruh limbah cair maka limbah tersebut memiliki beban yang lebih berat.
50

Air limbah yang sudah mengalami treatment warnanya menjadi lebih muda karena padatan
tersuspensi berkurang sehingga kandungan TSS dapat mengalami penurunan.

Semarang, 28 September 2014
Kelompok F1 Asisten Dosen :
Praktikan,
Riko Hermawan 11.70.0001
Dina Octawira 11.70.0063
Stephanie W.W. 12.70.0012 Jong, Epha Yosia
Michelle Darmawan 12.70.0016
Galih Aji P. 12.70.0116
Destya P 12.70.0170

51

6. DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. & S.S.Sanika. (1984). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Anonim. (2002). Determination of Iodine in Iodine Salt.
http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono /v48je08.html pada tanggal 13
September 2014.

Anonim. (2008). Penanganan Limbah Restoran. Diakses di
http://kulinologi.biz/preview.php?view&id=231 pada tanggal 11 September 2014.

Anonim. 1995. KEP-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Industri. Indonesia.

Birdi, G.S. (1979). Water Supply and Sanitary Engineering. Dhanpat Rai & Sons. New Delhi.

Buckle, K.A.; R. A. Edwards; G.H. Fleet;& N.Wooton. (1987). Ilmu Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. Gramedia. Jakarta

Gintings, P. (1992). Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta

Hafid, S. H; Rahman, N.A.A; Omar, F.N; Yee, P.L; Abd-Aziz, Suraini; Hassan, M.A. (2010). A
Comparative Study of Organic Acids Production from Kitchen Wastes and Simulated
Kitchen Waste.

Hammer, M. J & M. J Hammer. (1996). Water and Wastewater Technology 3
rd
ed. Prentice-Hall,
Inc. New Jersey.

52

Inoki, Muhammad. 2012. Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit Kota Bogor secara Biologis.
IPB. Bogor.

Irmanto dan Suyata. 2010. Optimasi Penurunan Nilai BOD, COD, dan TSS Limbah Cair Industri
Tapioka Menggunakan Arang Aktif dari Ampas Kopi. Universitas Jendral Soedirman.

Jenie, B. S. L. dan W. P. Rahayu (1993). Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius.
Yogyakarta

Kusnaedi. (1998). Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Mahida, U. N. (1992). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV. Rajawali. Jakarta.

Metcalf & Eddy. (1991). Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Reuse. 3rd Edition.
New York. McGraw-Hill.

Mulyana, Yunita, Rizki Purnaini, dan Berlian Sitorus. 2013. Pengolahan Limbah Cair Domestik
untuk Penggunaan Ulang (Water Reuse). Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Muthawali, Dede Ibrahim. 2013. Analisa COD dari Campuran Limbah Domestik dan
Laboraturium di balai Riset dan Standarisasi Industri Medan. Universitas Sumatera Utara.

Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD (Chemical Oxygen Demand) pada Limbah Cair
Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet, dan Domestik. Universitas Sumatra Utara. Medan.

Otto. (1986). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV.Rajawali. Jakarta.

Sastrawijaya, A. T. (1991). Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

53

Stone, John .( - ). The Chemistry of Chemical Oxygen Demand. Diakses di
www.envexp.com/download/techsupport/articles/COD%20Article.pdf pada tanggal 13
September 2014.

Sucipta et al. (2009). Rancangan Pengolahan Limbah Industri Rumah Makan. Diakses di
http://dc360.4shared.com/doc/5ToCNv-w/preview.html pada tanggal 11 September
2014.

Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Suhardi, (1991). Petunjuk Laboratorium Analaisa Air dan Penanganan Limbah. PAU Pangan dan
Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Tchobanoglous, G (1981). Waste wter Engineering : Treatment, Disposal, Reuse. Tata McGraw.
Hill Publishing Company Ltd. New Delhi.

Veenstra. (1995). Wastewater Treatment, IHE Delf.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Winarno, F. G. (1986). Pangan Gizi Teknologi & Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta.


54

7. LAMPIRAN
7.1. Foto
7.1.1. Pre-Treatment

0 gram 2 gram

Sebelum di titrasi Blanko setelah dititrasi Setelah dititrasi (F3)

7.1.2. Setelah Treatment

Setelah pH netral Sebelum di titrasi (1) Sesudah dititrasi (1)

Sebelum di titrasi (2) Sesudah dititrasi (2) Hasil



55

7.2. Perhitungan

( )


A = berat cawan setelah pengeringan sampel air limbah (mg)
B = berat cawan tanpa air limbah (mg)
Ulangan ke 1
()

mg/L
Ulangan ke 2
()

mg/L
Rata-rata
()

mg/L

( )


A = berat kertas saring kosong (mg)
B = berat kertas saring berisi residu (mg)
Ulangan ke 1
()

mg/L
Ulangan ke 2
()

= 1120 mg/L
Rata-rata
()

mg/L
TDS = TS TSS
Ulangan ke 1 TDS = 56500-1460 = 55040 mg/L
Ulangan ke 2 TDS = 65000 1120 = 64880 mg/L
Rata-rata TDS = 60500 1280 = 59220 mg/L
COD (ppm)
()
( )





Ulangan ke 1
()
( )


Ulangan ke 2
()
( )


Rata-rata
()
( )


56

BOD
5
=(v titrasi BOD
0
- v titrasi BOD
5
)
Ulangan ke 1= (17,5-18-1) x 10 = -6
Ulangan ke 2= (20,5-16,9) x 10 = 36
Rata-rata= (19-17,5) x 10 = 15

7.3. Jurnal
7.4. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai