Anda di halaman 1dari 27

Tugas Seminar Ilmu Faal 1

Gangguan Indra Pengecap


Akibat Paparan Herpes Simplex Virus
pada Penyakit Bells Palsy



Oleh:



KELOMPOK 1:
Elita Wijayanti 020810002
Saka Winias 020810003
Urdona Proteksia N 020810004
Yuni Dita 020810005
Meircurius Dwi C.S 020810007
Belinda P 020810008
Ayunda Kharizka I.H 020810009
Jessica Santoso 020810010
Christian V B 020810011
Apriyanti Khairina 020810014

ILMU FAAL 1 DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL
Fakultas Kedokteran Gigi UNAIR
Semester Genap 2008/2009

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah serta
kemudahan yang telah diberikan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Dalam memenuhi tugas Seminar Ilmu Faal 1, makalah ini kami beri judul
Gangguan Indra Pengecap Akibat Paparan Virus Herpes Simplex pada
Penyakit Bells Palsy. Makalah ini akan dijelaskan secara rinci tentang
pengaruh Herpes Simplex Virus (HSV) terhadap indra pengecap, serta
menjelaskan mekanisme hubungan keduanya.
Kami berharap, dengan ditulisnya makalah ini, kami bisa membantu
teman-teman mahasiswa kedokteran gigi untuk lebih memperdalam
pengetahuan tentang penyakit- penyakit yang menyerang sistem saraf,
khususnya bells palsy. Selama proses pengerjaan makalah ini, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Jenny Sunariani, drg., MS, yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
2. Dosen-dosen Ilmu Faal yang telah memberikan kami pengetahuan lebih
tentang sistem saraf.
3. Anggota kelompok 1 yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan
makalah ini.
4. Teman-teman angkatan 2008 yang telah setia berjuang bersama.
Kritik dan saran yang membangun akan membantu kami agar makalah ini
lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami
maupun para pembaca.

Surabaya, 28 Mei 2009


Penulis



ABSTRACT


Bells palsy is the paralysis of cranial nerve especially for facial nerve (N.VII)
resulting in inability to control facial muscles on the affected side. The main cause of
bells palsy is Herpes Simplex Virus (HVS), that activated by bad condition in human, like
stress and decreasing of immunity. Bells palsy is connected with gustatory system, as
the sensory system for the sense of taste. Gustatory system is the one of sense that can
catch the stimulation of chemistry substance. Gustatory system, ,controlled by facial
nerve (N.VII), glossopharyngeal nerve (N.IX) and vagus nerve (N.X), has shown some
effect that caused by bells palsy, especially, decreasing of sensivity in taste, even taste
loss in gustatory system. Knowing the appropriate causes, symptomps, and right handling
will be very required to prevent and heal this disease.

Keyword : bells palsy, Herpes Simplex Virus (HSV), gustatory system





















DAFTAR ISI


Halaman Judul
Kata Pengantar i
Abstract ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar v
Bab 1 Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penulisan 2
1.3. Manfaat Penulisan 2
Bab 2 Tinjauan Pustaka 3
2.1. Syndrome Bells Palsy 3
2.1.1. Penyakit Bells Palsy 3
2.1.2. Facial Nerve 3
2.1.3. Epidemiologi Bells Palsy 4
2.1.4. Etiologi dan Patologi Bells Palsy 5
2.1.5. Gejala Bells Palcy 6
2.1.6. Penanganan Bells Palcy 8
2.2. Indra Pengecap 10
2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Indra Pengecap 11
2.2.2. Mekanisme Gustatory System 15
Bab 3 Conceptual Mapping 17
Bab 4 Pembahasan 19
Bab 5 Penutup 20
5.1. Kesimpulan 20
5.2. Saran 20
Daftar Putaka 21

DAFTAR GAMBAR


Gambar 2.1. Wajah Penderita Syndrome Bells Palsy 8
Gambar 2.2. Anatomi Lidah 11
Gambar 2.3. Letak Papilla pada Lidah 13
Gambar 2.4. Struktur Taste Buds 14
Gambar 2.5. Lokasi Pengecapan Rasa pada Lidah 14
Gambar 3.1. Taste Pathway 15
Gambar 3.3. Mekanisme Pengaruh Penyakit Bells Palsy
Terhadap Indra Pengecap 17
























BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Makalah Gangguan pada Indra Pengecap Akibat Paparan Herpes
Simplex Virus pada Penyakit Bells Palsy ini dikembangkan dari 2 topik
berbeda yang kemudian dihubungkan oleh beberapa sebab akibat. Topik
pertama adalah bells palsy. Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan
facialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervous facial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya akibat paparan herpes simplex virus
(HSV). Lokasi cedera facial nerve pada bells palsy adalah di bagian perifer
nukleus facial nerve (N.VII). Cedera tersebut terjadi di dekat geniculate
ganglion. Salah satu gejala bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup
dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke
atas dan matanya tetap kelihatan.
Topik kedua adalah gangguan indra pengecap. Indra pengecap adalah
salah satu indra yang mampu menangkap rangsangan berupa zat kimia.
Pengecapan adalah fungsi utama dari taste buds di dalam rongga mulut
tepatnya pada lidah. Pada indra pengecap dikendalikan oleh 3 cabang
cranial nerve, yaitu facial nerve (N.VII), glossopharyngeal (N.IX), dan vagus
nerve (N.X). Facial nerve (N.VII )tersebut tentu akan ikut terpengaruh bila
penderita mengalami bells palsy, yang artinya salah satu keluhan yang
diakibatkan adalah berkurangnya atau hilangnya daya pengecapan. Pada
penderita bells palsy, facial nerve (N.VII) diserang oleh herpes simplex virus
(HSV) sehingga mengalami gangguan pada indra pengecap. Mekanisme
lebih lanjut akan dijelaskan pada bab pembahasan.
Setelah mempelajari fakta-fakta yang disajikan, dapat disimpulkan
beberapa poin penting berupa penyebab, gejala, serta cara penanganan
bells palsy, dan ide tentang hal-hal yang dapat ditempuh untuk upaya
pencegahan.




1.2. Tujuan Penulisan
Mengetahui gangguan atau kelainan pada indra pengecap sebagai akibat
dari paparan herpes simplex virus (HSV) pada penderita bells palsy.

1.3. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun untuk menambah wawasan pembaca tentang
ganguan atau kelainan indra pengecap akibat herpes simplex virus (HSV) pada
penderita bells palsy serta upaya pencegahannya.
























BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Syndrome Bells Palsy
2.1.1 Penyakit Bells Palsy
Bells palsy adalah nama penyakit yang menyerang facial nerve
(N.VII), sehingga menyebabkan kelumpuhan pada otot wajah disalah
satu sisi. Ditandai dengan susahnya menggerakkan otot wajah dibagian
yang terserang, seperti mata tidak bisa menutup. Penyebab kelumpuhan
ini masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli menyatakan penyebabnya
adalah karena terpapar angin dingin disalah satu sisi wajah secara terus
menerus, ada juga yang menyatakan hal itu disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) yang menetap ditubuh dan aktif kembali karena
trauma, faktor lingkungan, dan stress. Sebagian penderita bisa sembuh
tanpa pengobatan, tapi disarankan untuk menjalani terapi dan
pengobatan agar bisa segera sembuh.
1

2.1.2 Facial Nerve (N.VII)
Facial nerve (N.VII) memiliki fungsi sensorik dan motorik terhadap
wajah. Sensorik facialis nerve (N.VII) terletak di dalam geniculate
ganglion. Sensorik facialis nerve (N.VII) untuk reseptor indera pengecap
terdapat pada dua pertiga lidah bagian anterior, dan motorik facialis nerve
(N.VII) berasal dari nuclei motor pada pons, serta berfungsi untuk
menggerakkan otot-otot mimik wajah. Facialis nerve (N.VII) melewati
canalis acustic internal hingga ke canalis facialis dan berakhir pada
foramen stilomastoideus. Facialis nerve (N.VII) bercabang membentuk
cabang temporal, zygomatic, buccal, mandibular, dan cervical.
2
Sensorik facialis nerve (N.VII) mengatur proprioceptor pada otot-
otot mimik, menimbulkan sensasi tekanan yang dalam pada wajah dan
menerima informasi pengecapan dari reseptor di sepanjang dua pertiga
lidah bagian anterior. Serabut motorik somatic dari facialis nerve (N.VII)

mengontrol otot-otot superficial dari scalp (kulit kepala), wajah, dan otot-
otot profundus di dekat telinga. Facial nerve (N.VII) membawa serabut
preganglionc autonomic ke sphenopalatine dan submandibular ganglia.
Serabut postganglionic dari sphenopalatine menginervasi glandula
lacrimalis dan glandula kecil dari cavity nasalis dan pharyng.
Submandibular ganglia menginervasi glandula submandibular dan
sublingualis.
3
Bells palsy adalah kelainan cranial nerve yang disebabkan karena
peradangan pada facial nerve (N.VII). Kondisi ini dapat disebabkan oleh
infeksi virus. Beberapa gejalanya adalah paralisis pada otot facial di sisi
yang terinfeksi dan kehilangan kemampuan untuk mengecap pada dua
pertiga bagian anterior dari lidah. Kondisi ini biasanya tidak menimbulkan
nyeri dan pada kebanyakan kasus menghilang setelah beberapa minggu
atau beberapa bulan.
4

2.1.3 Epidemiologi Bells Palsy
Peluang terjadinya bells palsy setiap tahunnya adalah 20 dari
100.000 populasi, dan meningkatnya kejadian seiring dengan umur. Bells
palsy diderita oleh sekitar 40.000 orang di AS setiap tahun. Ditemukan
juga penyakit turunan pada sekitar 4 sampai 14% kasus. Bells palsy lebih
rentan 3 kali menyerang wanita yang tak hamil, serta 4 kali lebih sering
diderita orang dengan penyakit diabetes dibandingkan pada kondisi
normal.
5
Bells palsy adalah penyebab umum dari kelainan facial unilateral.
Kejadian rata-rata adalah 10 sampai dengan 30 kasus untuk setiap
100.000 orang dalam satu populasi. Tak ada batasan umur bagi
seseorang untuk beresiko terkena penyakit ini, namun penyakit ini
umumnya menyerang antara usia 15-45, baik pria maupun wanita
memiliki peluang yang sama, begitu juga sisi wajah kiri maupun kanan
berpeluang sama untuk terkena bells palsy. Sekitar 7-10% kasus
menyerang bagian wajah secara ipsilateral maupun kontralateral. Ada 8-
10% pasien yang positif menderita bells palsy karena keturunan.
6




2.1.4 Etiologi dan Patologi Bells Palsy
Menurut perkiraan para ahli penyebab bells palsy adalah virus.
Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini
secara logis karena pada umumnya kasus bells palsy sekian lama
dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simplex Virus (HSV)
dalam geniculate ganglion penderita bells palsy. Dahulu yang kita ketahui
sebagai pemicu bells palsy adalah terpapar angin atau suhu yang
ekstrem misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela
terbuka dianggap sebagai pemicu bells palsy. Selain itu penyebab yang
lain adalah perubahan tekanan atmosfir yang tiba-tiba seperti menyelam
dan terbang, serta otitis media akut atau inflamasi di telinga tengah. Akan
tetapi, sekarang banyak yang meyakini Herpes Simplex Virus (HSV)
sebagai penyebab bells palsy.
7
Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan Herpes
Simplex Virus (HSV) sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan
analaogi bahwa Herpes Simplex Virus (HSV) ditemukan pada keadaan
masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis
bahwa Herpes Simplex Virus (HSV) bisa tetap dorman dalam geniculate
ganglion. Sejak saat itu, penelitian memperlihatkan adanya Herpes
Simplex Virus (HSV) dalam geniculate ganglion pasien bells palsy.
Dengan melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural facial nerve (N.VII), penderita bells palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan Herpes Simplex Virus (HSV)
dalam cairan endoneural. Apabila Herpes Simplex Virus (HSV)
diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen
virus dalam facial nerve (N.VII) dan geniculate ganglion.
8
Herpes Simplex Virus (HVS), Cytomegalo yang banyak ditularkan
lewat ciuman. Virus Herpes Simplex (HVS) ditularkan antara lain lewat
berciuman (juga pada anak-anak oleh orang tua), handuk, saputangan,
dan sariawan, lalu membawanya sebagai pembawa (carrier). Dalam
tubuh pembawa, virus dalam keadaan tenang tanpa mengganggu. Baru
jika tubuh yang ditumpangi sedang menurun kondisinya, virus berubah
jadi ganas, dan menyerang tubuh yang ditumpanginya. Selain virus dan
bakteri, infeksi telinga tengah bisa juga menjadi penyebab penyakit bells
palsy, termasuk kondisi autoimun. Kemunculan faktor penentu virus ini
menyerang adalah seperti sedang sakit menahun dan ada trauma fisik
maupun mental. Facial nerve (N.VII) mengalami peradangan, lalu
membengkak, dan terjepit di liang tulang bawah telinga yang dilaluinya.
Jepitan pada saraf yang sedang membengkak ini yang menimbulkan
gejala bells palsy yang khas itu.
9

2.1.5 Gejala Bells Palsy
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan
kompleks, kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat
mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan
gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering
terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup
dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa
pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang
disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang
berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal
tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari.
Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang
seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau
paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang letih,
Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan
minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau
berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap,
air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata
bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.
1

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh
penyakit ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di
mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum
atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup
kelopak matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas.
Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air
akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan
tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi..
10,11


a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul
di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang, lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
10

b. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen
stylomastoideus, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan
lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
intermedius nerve, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan
titik di mana chorda tympani bergabung dengan facial nerve (N.VII) di
canalis facialis.
8

c. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus
stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen
stylomastoideus, lesi di canalis facialis, ditambah dengan adanya
hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen
stylomastoideus. Lesi di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan
nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat
terjadi pasca herpes di tympani membrane dan conchae.
11


e. Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen
stylomastoideus, lesi di canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi
lagi, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai
akibat dari terlibatnya vagus nerve (N.X).
8

f. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan
tanda terlibatnya trigeminus nerve (N.V), vagus nerve (N.X), dan kadang-
kadang juga abducens nerve (N.VI), accessory nerve (N.XI), dan
hypoglossal nerve (N.XII).
10















2.1.6 Penanganan Bell,s Palsy

1. Istirahat terutama pada keadaan akut.
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa
pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk
menangani bells palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya
terutama pada kasus bells palsy yang secara elektrik menunjukkan
denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat
reinervasi.
12
Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada
perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.




Gambar 2.1 : wajah penderita sindrom bells palsy
11

1. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian
khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam
sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap
malam.
13
b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam
optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan
minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama
daripada kuantitasnya.
14
Sehingga latihan wajan ini harus
dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai
dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini
berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-otot wajah.
Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah
tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi
sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan
ini dilakukan di depan cermin. Gerakan yang dapat dilakukan
berupa:
a. Tersenyum
b. Tertawa
c. Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
d. Mengatupkan bibir
e. Menutup dan membuka mulut
f. Mengerutkan hidung
g. Mengerutkan dahi
h. Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut
mulut secara manual
i. Mengangkat alis secara manual dengan keempat
jari

2. Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak
karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
3. Terapi penyinaran atau pemanasan ditujukan pada daerah bawah
telinga yang mengalami penyumbatan atau pembengkakan
dimana aliran darah menjadi tidak lancar.
4. Denyut setrum yang tujuannya agar syaraf muka yang tidak aktif
dapat aktif lagi.
12,13,14



2.2. Indra Pengecap
Indra pengecap merupakan indra yang penangkap rangsangan
berupa zat kimia. Rangsangan yang diterima oleh indra pengecapan
tersebut diatur oleh gustatory system. Gustatory system adalah sistem
sensoris bagi indera pengecapan. Pengecapan adalah fungsi utama dari
taste buds di dalam rongga mulut, lebih tepatnya pada lidah. Reseptor
pengecapan terdiri dari kurang lebih 50 sel-sel epitel yang telah
termodifikasi, dan membentuk kelompok di dalam taste buds. Beberapa
diantaranya disebut sebagai sel sustentakular dan lainnya disebut
sebagai sel pengecap. Sel-sel pengecap terus menerus digantikan
melalui pembelahan mitosis dari sel-sel epitel disekitarnya, sehingga
beberapa diantaranya adalah sel muda dan dan lainnya sel matang yang
terletak ke arah bagian tengah inderadan akan segera terurai dan larut.
Ujung-ujung luar dari sel pengecap tersusun disekitar pori-pori pengecap
(taste pore) yang sangat kecil. Pada setiap sel-sel pengecap terdapat
rambut pengecap (gustatory hair) atau microvilli, yang menonjol ke luar
menuju ke pori-pori pengecap (taste pore), yang mengarah ke rongga
mulut. Rambut-rambut pengecap (gustatory hair) dapat membangkitkan
aksi potensial ketika mendapat stimulus kimia yang larut dalam saliva.
Oleh karena itu, reseptor ini dikategorikan sebagai kemoreseptor.
15,16,17

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Indra Pengecap
1. Struktur dari organ rasa (taste buds) atau organ gustasi
terletak di permukaan dari lidah di dalam papillae, terdiri dari
sel reseptor (gustatory cell) dikelilingi oleh sel penyangga
epitel, ujung yang bebas memiliki microvilli yag disebut
dengan rambut perasa yang diteruskan melalui pembukaan di
dalam taste bud yang dinamakan taste pore.
2. Dapat merasakan lima rasa utama : manis, asam, pahit, asin
dan umami.
3. Pathway gustatory meleburnya bahan kimia menyebabkan
aksi potensial dalam neuron sensorik yang terletak di basis
dari sel gustatorim turun ke cranial nerve menuju medulla
oblongata, dan diterima oleh thalamus, disalurkan ke korteks
cerebri.
18















Taste buds adalah struktur kecil yang terletak pada permukaan
atas dari lidah, palatum lunak, permukaan atas esophagus dan epiglotis
yang menyediakan informasi tentang rasa dari makanan yang masuk ke
dalam tubuh. Struktur ini terlibat dalam pendeteksian lima elemen dari
persepsi rasa: asin, asam, pahit, manis , dan umami (savory). Melalui
celah kecil di dalam epitelium lidah, yang disebut taste pore, bagian dari
makanan yang larut dalam saliva mengalami kontak dengan reseptor
rasa. Hal itu terletak pada puncak dari sel reseptor rasa yang
mengkonstitusi taste buds. Sel reseotir rasa mengirim informasi yang
dideteksi oleh cluster dari berbagai reseptor dan kanal ion ke gustatory
Gambar 2.2 : Anatomi lidah
18

area di otak melalui facial nerve (N.VII), glossopharyngeal nerve (N.IX),
dan vagus nerve (N.X).
19

Lidah manusia mempunyai kira kira 10000 taste buds (papilla
pengecap) yang berbentuk seperti benjolan kecil berwarna merah pada
sebagian besar bagian lidah. Pada mamalia, taste buds terletak pada
pangkal rongga mulut, pada faring, epiglottis laring, dan pintu masuk pada
esofagus. Taste buds pada epitel dorsum lingual merupakan bagian yang
paling banyak. Taste buds tersebut dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Papilla fungiformis, terletak pada bagian lidah paling anterior.
Papilla ini dihubungkan oleh chorda tymphani yang merupakan
cabang dari facial nerve (N.VII). Papilla ini terlihat seperti titik titik
merah pada lidah (berwarna merah karena papilla ini kaya akan
pembuluh darah). Terdapat kira kira 1120 taste buds pada
papilla ini.
b. Papilla foliata, terletak pada ujung lidah agak anterior pada garis
circumvallate. Papilla papilla ini sensitive pada rasa asam.
Papilla papilla ini juga dihubungkan oleh glossopharyngeal nerve
(N.IX). Kira - kira terdapat 1280 taste buds pada papilla ini.
c. Papilla circumvalata, merupakan papilla yang terlihat seperti
tenggelam, dan mempunyai semacam kotak yang memisahkannya
dari dinding dinding sekelilingnya. Taste buds terletak didalam
papilla. Papilla ini juga terletak pada garis circumvalata dan
berperan pada sensitivitas asam dan pada 2/3 bagian posterior
lidah. Papilla ini dihubungkan dengan glossopharyngeal nerve
(N.IX). Pada papilla ini, terdapat kira kira 2200 taste buds.
d. Papila filiformis hanya bersifat mekanik dan tidak berfungsi
sebagai pengecap karena tidak mengandung taste bud.
20









Gambar 2.3 : Letak papilla pada lidah
20





Setiap taste bud berbentuk flask-like, berbasis lebar, bertumpu
pada corium, dan lehernya terbuka, pori gustatori, di antara sel-sel
epithelium. Bud ini terbentuk dari dua macam sel yaitu sel penyangga
dan gustatory cells. Sel penyangga (sustentacular) kebanyakan diatur
seperti staves of cask, dan membentuk amplop luar untuk bud. Sebagian,
ditemukan di bagian interior dari bud di antara gustatory cells. Gustatory
cells, merupakan chemoreseptor, yang mengisi bagian tengah dari bud,
berbentuk spindle, dan masing-masing memiliki nucleus spherical di
dekat bagian tengah dari sel.
19

Akhir periferal dari sel berterminasi di gustatory pore dalam
filamen yang berupa rambut, merupakan gustatory hair. Proses sentral
melewati bud dengan ekstrimitas yang dalam, dan di sana diakhiri dalam
single atau bifurcated varicosities. Fibril saraf setelah kehilangan
medullary sheath memasuki taste bud, dan diakhiri di antara gustatory
cells, saraf fibril lain menjalar di antara sel penyangga dan berterminasi di
fine extremities; Hal ini, dianggap sebagai sensasi biasa dari saraf dan
bukan gustatori.
18














Gambar 2.4 : Struktur Taste Buds.
18

Pada gustatory system terdapat lima sensasi rasa yaitu, rasa
manis, pahit, dan umami ( savory), yang bekerja dengan signal melalui
reseptor dengan aktivasi G-protein serta rasa asam dan asin, yang
berkerja dengan kanal ion.
19












Keterangan :
1. Rasa pahit
2. Rasa asam
3. Rasa asin
4. Rasa manis
19














Gambar 2.5 : Lokasi pengecapan rasa pada lidah
19



2.2.2 Mekanisme Gustatory System






















Serabut saraf sensorik dari taste buds di dua pertigaan anterior lidah
berjalan di dalam cabang chorda tymphani facialis nerve (N.VII) dan serabut dari
dua pertiga posterior lidah mencapai batang otak melalui glossopharyngeal nerve
(N.IX). Serabut dari daerah lain selai lidah mencapai batang otak melalui vagus
nerve (N.X). Disetiap sisi, serabut pengecap yang mengandung myelin tetapi
mengantarkan impuls relative lambat di ketiga saraf tersebut menyatu di bagian
gustatorik nucleus traktus solitarius di medulla oblongata. Dari sini, akson dari
neuron tingkat kedua naik di lemniscus medialis ipsilateral dan pada primate
berjalan langsung ke nucleus postero medial ventral thalamus. Dari thalamus,
akson dari neuron tingkat ketiga berjalan dalam radiasi thalamus ke face area
Gambar 3.1 : Taste Pathways
20
Gyrus Post Centralis Insula
Nucleus Postero Medial Ventral
Thalamus
Akson Nucleus
Soliterius
Akson Tractus
Soliterius
Facialis Nerve Glossopharyngeus &
Vagus
Taste Buds pada
Lidah
korteks somato sensorik di gyrus post centralis ipsilaterral. Aksonakson tersebut
juga berjalan ke bagian anterior insula yang terkait terletak di sebelah anterior
dari face area gyrus post centralis dan mungkin merupakan area yang
memperantarai persepsi sadar pengecapan dan pembagian pengecapan.
20































BAB 3
CONCEPTUAL MAPPING




































































Gambar 3.2 : Mekanisme bells palsy terhadap indra pengecap.
Aktif
Keradangan pada
Facial Nerve di salah satu sisi tubuh
Pembengkakan
Pasokan darah berkurang
Fungsi Sel terganggu
Transmisi impuls ke otak terganggu
Nucleus tractus
Akson nucleus soliterius
Nucleus Postero Medial Ventral
Thalamus
Post Gyrus Insula
Taste Loss Unilateral
Stress
Handuk
Sapu tangan
Sariawan
Herpes Simplex Virus (HSV)
Inaktif
Imunitas menurun
Masuk dalam tubuh
BAB 4
PEMBAHASAN

Penyakit bells palsy disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) yang
masuk ke dalam tubuh melalui handuk, sapu tangan, sariawan, dan ciuman (baik
dari orang tua). Herpes simplex virus (HSV) dalam tubuh umumnya dalam
keadaan tidak aktif. Tetapi pada saat tubuh dalam kondisi imunitas yang
menurun dan mengalami stres baik fisik maupun psikologi, herpes simplex virus
(HSV) menjadi aktif dan menyerang tubuh. Herpes simplex virus (HSV)
ditemukan di geniculate ganglion postmoterm yang ada di endoneural fluid dari
facial nerve (N.VII).
Pada penyakit bells palsy terjadi peradangan pada facial nerve (N.VII)
sehingga terjadi pembengkakan dan facialis nerve (N.VII) terjepit di foramen
stilomastoideus. Jepitan pada saraf ini menimbulkan gejala penyakit bells palsy
diantaranya adalah lesi di luar foramen stilomastoideus, lesi di canalis facialis
(melibatkan chorda tympani), lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan
musculus stapedius), lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum), lesi di daerah meatus acusticus interna.
Virus yang aktif ini dapat menyerang facial nerve (N.VII) dan terjadi
peradangan facial nerve (N.VII) pada salah satu sisi tubuh. Peradangan pada
facial nerve (N.VII) dapat mengakibatkan pembengkakan, sehingga pasokan
darah berkurang. Pada pembengkakan facial nerve (N.VII) terjadi pembesaran
ukuran neuron dan tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan darah.
Sehingga nutrisi dan O
2
untuk aktivitas neuron facial nerve (N.VII) berkurang
yang mengakibatkan fungsi facial nerve (N.VII) menurun. Akibatnya transmisi
impuls yang berasal dari makanan yang merangsang reseptor pada taste buds di
lidah terganggu. Sehingga impuls tidak diteruskan ke traktus solitarius yang
mengakibatkan gyrus post centralis tidak dapat mempersepsikan rasa makanan.
Maka penderita bells palsy akan kehilangan daya pengecapan pada salah satu
sisi tubuhnya.





BAB 5
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Penyakit bells palsy yang disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV)
dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , karena menyerang
facialis nerve (N.VII) pada dua per tiga anterior lidah.

4.2 Saran
Informasi mengenai syndrom bells palsy masih kurang, dan pembaca
diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyakit ini
sehingga dapat diketahui penyebab-penyebab lain dan penanganannya.





















DAFTAR PUSTAKA


1. Anonymous. Bells Palsy. Available from : en.wikipedia.org. Accessed on
May 25
th
2009.
2. Martini. 2001. Fundamemntal of Anatomy and Physiology. 5
th
. New
Jersey: Prentice Hall, Inc. p.469.
3. Tortora, GJ and Grabowski, SR. 1993. Principle of Anatomy and
Physiology. 7
th
ed. New York: Biological Science Textbook, Inc. p. 434.
4. Shier, D, Butler, J, Lewis, R .2002. Human Anatomy and Physiology. New
York. McGrawhill. pp. 429-433
5. Lindsay, DT. 1996. Functional Human Anatomy. USA: Mosby-year book
Inc. pp. 591-594
6. Lee E. Herman, MD. Bells Palsy. Available from :
intmedweb.wfubmc.edu. Accessed on May 25
th
2009.
7. Monnell K. Bells Palsy. 2006. Available from: www.eMedicine.com.
Accesed on May 25
th
2009.
8. Swartz, MH. 1995. Buku Ajar Diagnostic Fisik. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC. Pp. 346-349.
9. Banati R. Neuropathological imaging: in vivo detection of glial activation
as a measure of disease and adaptive change in the brain. 2003.
Vol:65:121-131. Available from:
http://bmb.oxfordjournals.org/cgi/content/full/65/1/121. Accesed on May
25
th
2009.
10. Turana, Yuda. 2009. Kelumpuhan wajah sebelah ,kemungkinan Anda
menderita Bell`s Palsy. Available from www. Medikaholistik.com.
Accesed on June 2
nd
2009.
11. Anonymous. Bells Palsy. Available from:
http://medicastore.com/penyakit/333/Bell%27s_Palsy.html. Accesed on
June 2
nd
2009.
12. Akbar Soltanzadeh, Maryam Sharifi, Yashar Ilkhchoui, Hajir Sikaroodi.
2008. Isolated facial palsy in Iranian multiple sclerosis patients. Neurology
Asia; 13. pp:73-75
13. Hideto Miwa, Tomoyoshi Kondo, Yoshikuni Mizuno. 2002. Bells Palsy-
induced blepharospasm. J.Neurol; 249. pp:452-454
14. Martina Minnerop et all. 2008. Bells Palsy Combined treatment of
famciclovir and prednisone is superior to prednisone alone. J.Neurol; 255
pp:17261730
15. Wiley Publishing, Inc. Taste. Available from : www. Cliffnotes.com.
Accessed on May 20
th
2009.
16. Anonymous. Gustatory Sense. Available from : www.medical-
look.com/human_anatomy. Accesed on May 25
th
2009.
17. Guyton AC and Hall JE .2006. Textbook of medical physiology. 1
1th
ed.
Philadehelpia : Elsevier Saunders. pp. 841-842.
18. Tortora, G. J. 1990. Principles of anatomy and physiology. 6
th
ed. New
York, Harper and Row Publisher. P.432
19. Jacob,Tim. Taste (Gustation). Available from : www.cf.ac.uk. Accesed on
May 26
th
2009.
20. Ganong, W.F. 2005. Review of Medical Physiology. 22
nd
ed. San
Francisco, McGraw-Hill Conpanies. pp. 198-200.

Anda mungkin juga menyukai