Anda di halaman 1dari 68

MAKALAH

Implementasi Pancasila Dengan UUD NKRI Tahun1945 Dan Batang Tubuh


UUD NKRI Tahin 1945



DISUSUN OLEH:
Kelompok 2

EDI PURNAMA ( NIM: 131211065 )

IWAN NUROHMAN (NIM;)

TEDY DAPUTRA (NIM;)

Kelas : 2 MC
D3 Teknik Mesin

MATA KULIAH
PANCASILA



POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jl. Gegerkalong Hilir, Ds. Ciwaruga Kotak Pos 1234 Bandung 40012
Telp. 022-2013789, Fax. 022-2013889
Email : polban@polban.ac.id
2014




PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena berkat Ridho dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Implementasi Pancasila Dalam Kebijakan Negara
Dalam Bidang Politik, Ekonomi,Sosial Budaya Dan Hankam. Sholawat serta salam semoga tetap
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada para keluarga nya, para sahabat nya,
dan semoga kepada kita selaku Umat nya.
Makalah ini kami buat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai dari Mata
Kuliah Pancasila . Makalah ini berisi tentang penjelasan pancasila sebagai dasar Negara,
Implementasi Pancasila Dalam Kebijakan Negara Bidang Politik, Ekonomi, Sosial - Budaya Dan
Hankam. Kami berharap dengan terbuatnya Makalah ini akan mempermudah pembaca untuk
memahami serta mengInplementasikan nilai- nilai pancasila dalam kehidupan sehari hari.
Kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
kami memohon agar bagi para pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
kepada kami semua agar kami bisa memperbaiki dalam proses pembuatan makalah ini untuk ke
depannya.




Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Pancasila telah menjadi kesepakatan nasional bangsa Indonesia sebagai dasar negara Negara Kesatuan Republik
Indonesia, namun dalam upaya implementasinya mengalami berbagai hambatan, baik pada masa Pemerintahan
Presiden Soekarno maupun pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto, dan lebih-lebih lagi pada era
reformasi.dewasa ini. Gerakan reformasi yang digulirkan sejak tumbangnya kekuasaan Pemerintahan Presiden
Soeharto, pada hakikatnya merupakan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi di segala bidang, menegakkan
hukum dan keadilan, menegakkan hak asasi manusia (HAM), memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
melaksanakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta menata
kembali peran dan kedudukan TNI dan POLRI.
Dalam perkembangannya, gerakan reformasi yang sebenarnya memang amat diperlukan itu, tampak seolah-olah
tergulung oleh derasnya arus eforia kebebasan, sehingga sebagian masyarakat seperti lepas kendali dan tergelincir ke
dalam perilaku yang anarkis, timbul berbagai konflik sosial yang tidak kunjung teratasi, dan bahkan di berbagai
daerah timbul gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI. Bangsa Indonesia
sedang dilanda krisis multidimensional di segenap aspek kehidupan masyarakat dan bangsa, bahkan menurut
beberapa pakar dan pemuka masyarakat, yang sangat serius ialah krisis moral, masyarakat dan bangsa sedang
mengalami demoralisasi.
Hal ini sebenarnya dapat dihindari apabila setiap anggota masyarakat, utamanya para penyelenggara negara dan para
elit politik, dalam melaksanakan gerakan reformasi secara konsekuen, mewujudkan Indonesia Masa Depan yang
dicita-citakan, senantiasa berdasarkan pada kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap Pembukaan UUD 1945,
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai Pancasila yang harus dijadikan pedoman. Selama beberapa tahun terakhir
ini, Pancasila, yang mengandung nilai-nilai budaya bangsa dan bahkan menjadi roh bagi kehidupan bangsa serta
menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang bermartabat, nampak dilupakan, sehingga bangsa ini seolah-olah
kehilangan norma moral sebagai pegangan dan penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila yang
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, tidak saja mengandung nilai budaya bangsa, melainkan juga menjadi
sumber hukum dasar nasional, dan merupakan perwujudan cita-cita luhur di segala aspek kehidupan bangsa. Dengan
perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga harus dijabarkan menjadi norma moral, norma
pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan berbangsa. Dengan demikian, sesungguhnya secara formal
bangsa Indonesia telah memiliki dasar yang kuat dan rambu-rambu yang jelas bagi pembangunan masyarakat
Indonesia masa depan yang dicita-citakan. Masalahnya ialah bagaimana mengaktualisasikan dasar dan rambu-rambu
tersebut ke dalam kehidupan nyata setiap pribadi warga negara, sehingga bangsa ini tidak kehilangan norma moral
sebagai penuntun dan pegangan dalam melaksanakan gerakan reformasi, mengatasi krisis multidimensional
termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara untuk menjangkau masa depan yang dicita-
citakannya.
1.2. POKOK PERMASALAHAN.
Untuk mengatasi krisis multidimensional termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara
harus diawali dengan pembangunan moral dan karakter bangsa, yaitu mendorong penumbuhan dan pengembangan
nilai-nilai Pancasila oleh masyarakat sendiri dan selanjutnya mengaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam hal ini pokok permasalahannya adalah bagaimana menjabarkan nilai-nilai Pancasila yang telah
disepakati bersama sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi Pedoman Umum sebagai
tuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.3. MAKSUD DAN TUJUAN.
Maksud penyusunan Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara ini ialah agar
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat diaktualisasikan oleh setiap warga negara, utamanya para
penyelenggara negara, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tujuan dapat dijadikan tuntunan dalam
merumuskan dan melaksanakan setiap kebijakan pembangunan segenap aspek kehidupan bangsa menuju
terwujudnya cita-cita nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
1.4. SISTEMATIKA
Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara ini disusun dengan sistematika sebagai
berikut :
Pengantar.
Memberikan gambaran bagaimana Pancasila yang telah merupakan kesepakatan nasional bangsa Indonesia sebagai
dasar negara NKRI masih mengalami berbagai hambatan dalam upaya implementasinya, baik pada masa
Pemerintahan Presiden Soekarno maupun pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dan lebih-lebih lagi pada
masa reformasi. Oleh karena itu perlu disusun suatu pedoman bagi warga negara untuk implementasinya di segenap
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bab I Pendahuluan.
Berisi latar belakang pemikiran, pokok permasalahan, maksud dan tujuan serta sistematika penyusunan Pedoman
Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara.
Bab II Pancasila.
Bab ini dimaksudkan untuk memahami makna dan hakikat Pancasila, serta memahami dan mendalami peran,
kedudukan dan fungsinya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
bab ini dibahas :
s- Pancasila kesepakatan bangsa Indonesia, yang memiliki keabsahan ditinjau dari berbagai justifikasi baik
yuridik, filsafati dan teoritik maupun sosiologik dan historik;
- Pancasila ideologi nasional bangsa Indonesia;
- Pancasila dasar negara dari NKRI;
- Pancasila pandangan hidup bangsa Indonesia;
- Pancasila ligatur bangsa Indonesia;
- Pancasila jatidiri bangsa Indonesia; dan
- Konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Bab III Pedoman Umum Implementasi Pancasila.
Bab ini memberikan pemahaman bagaimana konsep, prinsip dan nilai Pancasila diterapkan dalam berbagai bidang
kehidupan, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
bab ini dibahas :
- Perlunya Pedoman Implementasi Pancasila, sistem, struktur dan strategi implementasi;
- Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bidang Politik;
- Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bidang Ekonomi;
- Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bidang Sosial Budaya; dan
- Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bidang Keamanan Nasional.
Bab IV Penutup.
Bab ini berisi harapan dan langkah berikutnya yang akan segera diambil sebagai tindak lanjut dari buku Pedoman
Umum Implementasi Pancasila dalam kehidupan bernegara.


BAB II
1. Ketentuan Hukum mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara
Mencermati hal-hal yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.,
berikut dikutipkan secara lengkap Pembukaan UUD dimaksud.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pembukaan
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak tercantum kata Pancasila, namun bangsa Indonesia bersepakat lima prinsip
yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia, seperti yang tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945
itulah yang disebut Pancasila. Kesepakatan ini tercantum dalam berbagai Ketetapan MPR RI di antaranya sebagai
berikut:
1. Tap MPR RI No. XVIII/MPR/1998, menyebutkan pada pasal 1, Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Catatan : Berdasar TAP MPR RI No. I/MPR/2003, TAP dimaksud tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut, baik karena bersifateinmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
b. Tap MPR RI No. III/MPR/2000, di antaranya menyebutkan : Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia, . .
Ketetapan MPR RI tersebut jelas menyatakan bahwa lima prinsip yakniKetuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesial, yang tercantum dalam Pambukaan
UUD 1945 itulah Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Republik Indonesia.
2. Pancasila Sumber Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sebagai dasar Negara maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Segala
peraturan perundang-undangan harus merupakan penjabaran atau derivasi dari prinsip yang terkandung dalam
Pancasila. Segala peraturan perundang-undangan yang tidak kompatibel dengan atau tidak sesuai dan tidak mengacu
pada Pancasila batal demi hukum. Oleh karena itu untuk dapat memahami ketepatan suatu peraturan perundang-
undangan maka perlu difahami dengan mendalam konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara ditransformasikan menjadi norma hukum yang bersifat memaksa, mengikat dan
mengandung sanksi. Barang siapa yang tidak melaksanakan atau tidak mematuhinya akan ditindak sesuai dengan
hukum yang berlaku. Oleh karena itu perlu diselenggarakan law enforcement terhadap segala hukum yang
merupakan penjabaran dari dasar Negara Pancasila.
3 . Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Manusia dalam hidupnya selalu berhadapan dengan berbagai fenomena, atau gejala yang tiada jarang fenomena
tersebut berpengaruh atau memiliki akibat bagi kehidupannya. Untuk menghindari terjadinya akibat yang tidak
diinginkan maka manusia memiliki kepedulian terhadap fenomena tersebut, bahkan ada juga yang ingin mengetahui
lebih jauh, yakni memahami esensi dan makna fenomena tersebut baginya.
Dengan selalu terjadinya fenomena yang sama secara berulang-ulang, manusia akhirnya dapat menemukan
ketentuan yang berlaku bagi fenomena tersebut, yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia dalam mengantisipasi
fenomena tersebut. Pepatah petitih yang biasanya dipergunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku
suatu masyarakat pada umumnya lahir seperti yang digambarkan di atas. Kita kenal pepatah Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, berkembang dari suatu fenomena
akibat upaya manusia dalam ingin mencapai sukses. Bahwa suatu sukses harus dicapai dengan kerja keras dan
dengan usaha, dan bahwa sukses tidak datang dengan sendirinya.
Apabila pepatah tersebut kemudian diyakini, dan dijadikan pegangan dalam hidup seseorang, maka berkembanglah
menjadi pandangan hidup, yang oleh Bung Karno disebut sebagai levensbeschouwing. Apabila pandangan hidup
seseorang memiliki kebenaran dan diyakini akan dapat mengantar kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia,
dapat saja berkembang menjadi pandangan hidup masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dunia. Pandangan hidup
ini akhirnya berkembang menjadi pandangan dunia, yang oleh Bung Karno disebut Weltanschauung. Terdapat
beberapa Welt- anschauung yang kemudian dijadikan dasar bagi negara-bangsa seperti Jerman pada zaman Hitler
mengangkatnational-sozialistische Weltanschauung sebagai dasar negaranya, Jepang Tennoo Koodoo Seishin, Cina
pada masa Sun Yat Sen San Min Chui, dan bagi bangsa Indonesia Pancasila Weltanschauung.
Pancasila ini berkembang dari pandangan hidup yang terdapat dalam masyarakat yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke, yang esensinya terdapat dalam Pancasila. Berikut disampaikan beberapa contoh pandangan hidup yang
kemudian hakikatnya diangkat menjadi sila Pancasila.
Hidup hendaknya rilo, narimo dan sabar, serta narimo ing pandum yang merupakan inti dari keimanan dan
ketaqwaan, berserah diri pada Tuhan, yang merupakan nilai yang terdapat dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat suatu lagu, tembang Mijil, yang populer sebagai pandangan hidup bagi suku Jawa yang ingin sukses dalam
mencapai cita-cita sebagai berikut : Dedalane guna lawan sekti, kudu andap asor. Wani ngalah, luhur wekasane.
Tumungkulo lamun den dukani. Bapang den simpangi, ana catur mungkur. Terjemahan bebas : Jalan orang yang
hendak mencapai ilmu, harus rendah diri (low profile). Berani mengalah, akhirnya akan berjaya. Jangan membantah
bila dikritik, dimarahi. Bila ada beda pendapat lebih baik dihindari. Dengan gampang dapat kita temukan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya yang terdapat pula dalam Pancasila.
Terdapat pula suatu pandangan hidup yang berupa tembang Sinom karya R.Ng. Ronggowarsito, pujangga keraton
Sala, sebagai pegangan dalam menghadapi situasi yang bergolak, kacau, terjadi banyak penyimpangan dalam
masyarakat, sebagai berikut: Amenangi jaman edan, ewuh oyo ing pambudi. Melu edan ora tahan, yen tan melu
anglakoni. Ora keduman milik, kaliren wekasanipun. nDilalah kerso Allah, begjo-begjane kang lali. Isih begjo sing
eling lan waspodo. Terjemahan bebas : Mengalami jaman gila, hati menjadi bingung, bimbang. Mengikuti gila
tidak sampai hati. Tetapi kalau tidak ikut gila tidak mendapat apa-apa, akhirnya menjadi nestapa. Tetapi kehendak
Tuhan, bahwa seuntung-untungnya yang lupa, menggila, lebih baik yang selalu ingat pada Tuhan. Pandangan hidup
semacam ini dapat diterapkan dalam menghadapi situasi yang koruptif, kolutif dan nepotis.
Di samping itu banyak sekali ungkapan-ungkapan yang menggambarkan pandangan hidup suatu masyarakat, yang
mengandung nilai yang dapat diangkat menjadi nilai-nilai Pancasila, seperti :Bulat air di pembuluh, bulat kata di
mufakat. Tujuan hidup itu tiada lain adalah : memayu hayuning bawono. Janganlah bersikap adigang, adigung,
adiguno. Hendaklah selalu bersikap ber budi bowo laksono, dan masih banyak lagi.
Karena nilai yang terkandung dalam Pancasila itu tiada lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang terdapat dalam
berbagai pandangan hidup masyarakat, maka Pancasila itu mencerminkan pandangan hidup bagi bangsa Indonesia
itu sendiri. Nilai-nilai tersebut nyata-nyata hidup dalam masyarakat, dan dipergunakan sebagai pegangan dalam
bersikap dan bertingkah laku serta menentukan tindakan dalam menghadapi berbagai persoalan. Sangat mungkin
dalam menerapkan nilai-nilai tersebut berlangsung dengan tidak sadar lagi, karena telah membudaya dalam
hidupnya.
Namun dengan berkembangnya teknologi komunikasi yang begitu canggih, bukan mustahil nilai-nilai yang terdapat
dalam pandangan hidup masyarakat akan luntur, karena terguyur oleh nilai-nilai dari luar, yang sangat mungkin
bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam pandangan hidupnya. Oleh karena itu apabila kita memang yakin
akan kebenaran dan ketepatan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka satu-satunya cara adalah selalu
mengadakan revitalisasi dengan jalan mengimplementasikan Pancasila secara sadar dalam kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara sehingga Pancasila menjadi semakin kokoh.
4. Pancasila Jatidiri Bangsa Indonesia
Dalam upaya untuk membahas dan memahami Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia, terdapat beberapa
permasalahan mendasar yang memerlukan klarifikasi lebih dahulu, agar memudahkan dalam usaha implementasinya
dalam kehidupan nyata. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama-tama perlu difahami dan dibahas makna jatidiri, apakah jatidiri itu, apakah suatu bangsa memerlukan
jatidiri untuk melestarikan eksistensinya. Apa kedudukan jatidiri bagi suatu bangsa. Bagaimana suatu bangsa yang
tidak memiliki suatu jatidiri.
Masalah yang kedua adalah menyangkut persoalan bangsa, apakah pada era globalisasi ini masih pada tempatnya
untuk membicarakan peran dan kedudukan bangsa dalam percaturan global yang berindikasi tak bermaknanya batas-
batas antar negara. Ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa dengan globalisasi ini berakhirlah peran dan
kedudukan negara bangsa. Apakah bangsa Indonesia perlu tetap eksis dalam menghadapi era globalisasi ini.
Masalah ketiga adalah menyangkut Pancasila itu sendiri. Benarkah Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Apakah Pancasila ini bukan hanya sekedar suatu rekayasa politik yang tidak memenuhi syarat sebagai suatu jatidiri.
Prinsip dasar dan nilai dasar mana saja yang terdapat dalam Pancasila.
Masalah terakhir adalah bagaimana implementasi Pancasila ini dalam kehidupan yang nyata. Kalau Pancasila
memang merupakan jatidiri bangsa Indonesia, seharusnya telah ada dalam kehidupan yang nyata dalam masyarakat.
Mengapa masih memerlukan sosialisasi.
Kebijaksanaan adalah sikap yang menggambarkan hasil olah fikir dan olah rasa yang bersumber dari hati nurani dan
bersendi pada kebenaran, keadilan dan keutamaan. Bagi bangsa Indonesia hal ini sesuai dengan nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

BAB III
PEDOMAN UMUM IMPLEMENTASI PANCASILA
A. Pedoman Umum Implementasi
1. Perlunya Pedoman Implementasi Pancasila
Setelah hakikat Pancasila dapat dipahami secara tepat, benar dan mendalam terutama mengenai konsep, prinsip dan
nilai yang terkandung di dalamnya, maka Pancasila diyakini memiliki kapasitas yang handal untuk mengarahkan
perjuangan mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.
Di depan telah diuraikan bahwa kebenaran dan ketangguhan Pancasila tidak perlu diragukan lagi. Namun tanpa
pemahaman oleh masyarakat luas secara mendalam terhadap konsep, prinsip dan nilai yang terkandung di dalamnya,
disertai dengan sikap, kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan serta mengantisipasi perkembangan zaman,
Pancasila akan memudar dan tidak dapat bertahan. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan melalui
implementasi Pancasila perlu dilaksanakan secara tepat dan benar, sehingga masyarakat dapat bersikap dan
bertindak secara tepat dalam memperkokoh dan mempertahankan Pancasila. Untuk itulah diperlukan suatu pedoman
yang dapat dipergunakan oleh masyarakat, sebagai pegangan mengimplementasikan Pancasila dengan baik dan
benar dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sistem, Struktur dan Strategi Implementasi Pancasila.
Setiap upaya untuk mengimplementasikan Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,
pertama-tama perlu didasari oleh pemahaman terhadap maksud dan tujuannya, selanjutnya apa dan bagaimana
implementasi tersebut diselenggarakan, siapa saja yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana cara yang sebaiknya
diterapkan, serta bentuk kelembagaan yang diperlukan. Hal ini perlu dicantumkan dalam Pedoman Umum agar
semua pihak faham mengenai siapa melakukan apa, kapan dan bagaimana.
a. Maksud dan Tujuan Implementasi Pancasila
Maksud Implementasi Pancasila :
1) Mengembangkan pola fikir dan pola tindak berdasar pada konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
2) Mengembangkan sikap dan perilaku dalam mempertahankan dan menjaga kelestarian Pembukaan UUD 1945.
3) Mengembangkan kemampuan mengoperasionalisasikan demokrasi dan HAM berdasarkan Pancasila.
4) Mengembangkan kemampuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang sejalan dan tidak
bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.
5) Mengembangkan kemampuan mengoperasionalisasikan perekonomian nasional berdasarkan Pancasila.
6) Mengembangkan pola pikir Bhinneka Tunggal Ika yang berwujud sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
kehidupan bangsa yang pluralistik.
7) Mengembangkan pemikiran baru dalam menghadapi perkembangan zaman tentang Pancasila tanpa
meninggalkan jatidirinya.
Tujuan implementasi Pancasila :
1) Masyarakat memahami secara mendalam konsep, prinsip, dan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2) Masyarakat memiliki keyakinan akan ketangguhan, ketepatan, dan kebenaran Pancasila sebagai ideologi
nasional, pandangan hidup bangsa, dan dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Masyarakat memiliki pemahaman, kemauan dan kemampuan mengimplementasi-kan Pancasila dalam
berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Sasaran Implementasi
Berdasarkan kesepakatan bangsa, Pancasila adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
konsekuensinya setiap warganegara harus memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila. Pada dasarnya setiap warga negara telah memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila, dengan latar belakang pengalaman dan pendidikan masing-masing. Demi efektivitas
dan efisiensi, perlu dipilih kelompok sasaran yang strategis yang mempunyai dampak ganda (multiplier effect)yang
tinggi, antara lain :
elit politik;
insan pers;
anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif pusat dan daerah;
tokoh agama, pendidikan, cendekiawan, pemuda, wanita, adat dan masyarakat; serta
pengusaha;
dengan harapan agar mereka menjadi teladan dalam mengimplementasikan Pancasila. Sasaran berikutnya baru
masyarakat secara luas.
c. Pendekatan dan Metoda Implementasi
1). Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam implementasi Pancasila adalah pendekatan kontekstual, yakni menerapkan
konsep, prinsip dan nilai Pancasila langsung pada permasalahan aktual yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk maksud ini diperlukan ketentuan standar yang menggambarkan pola pikir, sikap,
tingkah laku dan perbuatan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan Pancasila.
Dengan ketentuan standar tersebut, masyarakat secara mudah dan cepat dapat menilai suatu sikap atau tindakan
sesuai atau tidak sesuai dengan Pancasila.
Diseminasi dan sosialisasi implementasi Pancasila ditempuh melalui tahapan sebagai berikut :
Artikulasi, pemberian penjelasan yang mantap tentang isi, kandungan, kebenaran rasional, struktur dan
tujuan implementasi Pancasila.
Internalisasi, usaha memasukkan gagasan tersebut dalam hati sanubari setiap warganegara, sehingga benar-
benar mamahami dan bersedia menerimanya sebagai suatu kebenaran.
Aktualisasi, aplikasi gagasan tersebut dalam berbagai bidang kehidupan secara nyata, baik dalam pemikiran
maupun perbuatan.
Agar implementasi Pancasila dapat mencapai sasaran maka perlu ditempuh proses pendekatan sebagai berikut:
Menimbulkan atensi, sajian mengenai Pancasila diupayakan menarik perhatian setiap orang, sehingga
khalayak sasaran (target audience) tidak merasa terpaksa, tetapi dengan senang hati, ikhlas dan sukarela
menerimanya.
Mengembangkan komprehensi, upaya untuk memahami substansi konsep, prinsip dan nilai
Pancasila secara mendalam, sehingga faham akan makna, esensi, maksud dan tujuan gagasan yang apabila
dilaksanakan bermanfaat dalam menjangkau masa depan yang lebih baik.
Menimbulkan akseptasi, pengakuan secara jujur dan menerima secara sadar kebenaran konsep, prinsip dan
nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Menimbulkan retensi, terbentuknya keyakinan akan kebenaran dan ketangguhan gagasan tersebut, sehingga
dapat dijadikan pegangan atau pedoman dan panduan dalam menentukan pilihan tindakan.
Mengadakan aksi, menerapkan konsep, prinsip dan nilai Pancasila untuk memecahkan berbagai
permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2). Metoda
Metoda yang diterapkan dalam implementasi Pancasila adalah diskusi dan workshop. Metoda lecturing, terbatas
untuk memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan cara ini maka implementasi
Pancasila menjadi lebih aktual sehingga menjadi lebih menarik.
d. Bahan Implementasi
Untuk pedoman implementasi Pancasila diperlukan bahan :
1) Pancasila;
2) Implementasi Pancasila dalam kehidupan bidang Politik;
3) Implementasi Pancasila dalam kehidupan bidang Ekonomi;
4) Implementasi Pancasila dalam kehidupan bidang Sosial Budaya;
5) Implementasi Pancasila dalam kehidupan bidang Keamanan Nasional.
Untuk aktualisasinya, bahan implementasi Pancasila dilengkapi dengan buku pedoman pelaksanaan antara lain berisi
tabel dan check list yang menggambarkan keberhasilan atau kegagalan implementasi. Dengan demikian
implementasi ini bersifat self-evaluating. Di samping itu perlu disiapkan daftar masalah yang mungkin timbul untuk
setiap bidang kehidupan dan profesi.
Perlu dicermati bahwa dalam menyusun bahan tersebut, diupayakan agar konsep, prinsip dan nilai yang terkandung
dalam Pancasila tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan konsep yang menyatu, sehingga saling mengisi dan
tidak boleh bertentangan yang satu dengan yang lain.
e. Penyelenggara Implementasi
Implementasi Pancasila diselenggarakan di masing-masing lembaga atau kantor, dan dikelola oleh masing-masing
lembaga atau instansi. Untuk pelaksanaannya diperlukan fasilitator yang terlatih dan kompeten. Pelatihan bagi
fasilitator diselenggarakan oleh lembaga yang mempunyai kompetensi dan telah melakukan kajian secara mendalam
tentang Pancasila.
B. Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
1. Bidang Politik
1. a. Kehidupan Partai Politik.
1). Pengertian Partai Politik.
Partai politik adalah organisasi sekelompok warganegara yang hendak mencapai tujuan politik tertentu, melalui
perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan politik, agar dapat mewujudkan kesejahteraan bersama sesuai dengan
pandangan politiknya, dalam kerangka yang ditetapkan oleh konstitusi.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, eksistensi partai politik diakui negara dan berperan sebagai
penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan menghormati hak partai-partai lainnya
dan melalui cara ini diharapkan akan tercipta stabilitas dalam pemerintahan.
Partai politik berbeda dengan gerakan politik, yang kadang-kadang memiliki tujuan yang sama, yakni merebut
kekuasaan politik, tetapi gerakan politik bukan organisasi politik secara formal; berbeda pula dengan kelompok
penekan atau pressure group yang memiliki maksud tertentu untuk mencapai kepentingannya.
2). Peran Partai Politik
a). Sarana komunikasi dan sosialisasi keanekaragaman aspirasi dan kepentingan yang berkembang dalam
masyarakat agar dapat dirumuskan, dipahami dan diwujudkan.
b). Sarana pendidikan politik rakyat agar rakyat memahami bagaimana aspirasi rakyat dapat disampaikan,
disepakati, ditaati serta bagaimana kesepakatan bersama tersebut diperjuangkan dan disalurkan ke lembaga
kekuasaan negara.
c). Sarana rekrutmen politik untuk membentuk kader-kader bangsa dari rakyat secara demokratis dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
d). Sarana penyelesaian konflik mengenai masalah-masalah yang berkembang baik di internal maupun eksternal
partai.
3). Perkembangan Partai Politik di Indonesia.
a). Zaman penjajahan Belanda.
Tumbuh dan berkembangnya partai politik pada zaman penjajahan Belanda merupakan pencerminan bangkitnya
kesadaran dan semangat bangsa, diawali dengan kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi
Oetomo pada tahun 1908. Pada waktu itu semua organisasi, baik yang bertujuan sosial ekonomi maupun politik,
sangat berperan dalam perkembangan pergerakan nasional. Pola kepartaian waktu itu sudah menunjukkan adanya
keanekaragaman bangsa.
b). Zaman penjajahan Jepang.
Kegiatan politik pada waktu penjajahan Jepang dilarang. Partai politik yang telah berdiri pada zaman penjajahan
Belanda dilarang melakukan kegiatan dan dibubarkan. Tetapi golongan Islam di Indonesia diberi kesempatan
membentuk organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
c). Zaman kemerdekaan.
Sesudah Proklamasi kemerdekaan Indonesia kesempatan mendirikan partai politik dibuka kembali. Dengan
Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945, muncul kembali partai yang telah didirikan sebelum penjajahan
Jepang, ditambah partai baru. Pola kepartaian waktu itu berbentuk sistem multipartai. Pola multipartai yang telah
dimulai sejak zaman penjajahan Belanda ternyata tidak menguntungkan bagi perkembangan pemerintahan yang
stabil. Kabinet hanya mampu bertahan selama satu tahun, bahkan ada kabinet yang hanya berumur dua bulan.
Kehidupan politik menjadi tidak sehat sehingga tidak sempat melaksanakan pembangunan.
d). Tahun 1955.
Pemilihan umum yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, secara alami terjadi seleksi dan
penyederhanaan kepartaian. Sesudah pemilihan umum tersebut jumlah partai menjadi empat partai besar, yaitu :
Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tetapi keempat partai besar itu tidak melaksanakan fungsi partai sebagaimana diharapkan.
e). Periode tahun 1959 1965.
Periode tersebut dikenal sebagai masa demokrasi terpimpin. Ruang gerak partai politik terbatas dan dipersempit.
Bahkan sebagian partai politik yang tidak sejalan dan tidak mendukung demokrasi terpimpin dibubarkan.
f). Periode Tahun 1966 1998
(1). Tahun 1966 1971
Pada masa Orde Baru partai politik kembali mendapat keleluasaan untuk melakukan kegiatan. Pemilihan umum
tahun 1971 diikuti oleh 10 partai, dan terjadi lagi seleksi secara alami yang memunculkan tiga partai politik besar
yakni NU, Parmusi dan PNI serta satu golongan karya (Golkar) sebagai pemenang.
(2). Tahun 1973 1998.
Sepuluh partai politik termasuk empat besar tersebut menyadari dan harus menerima kenyataan bahwa peran mereka
dalam proses pembuatan keputusan dalam kehidupan bernegara sangat terbatas. Maka pada waktu pemerintah
menawarkan penyederhanaan kepartaian, mereka menerima sebagai konsensus nasional. Nahdlatul Ulama, Partai
Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Perti, berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan.
Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba dan Partai Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia, sehingga terbentuk tiga kekuatan politik yang
terdiri dari dua partai politik yakni PPP dan PDI dan satu Golongan Karya (Golkar). Oleh sebab itu peserta
pemilihan umum yang diselenggarakan sejak tahun 1977 1998 terdiri dari dua partai yakni PPP dan PDI serta
Golkar.
g). Era Reformasi.
Pada era reformasi pola kepartaian kembali ke multipartai. Menjelang pemilihan umum 1999 tercatat 130 partai
politik namun yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum hanya 40 partai politik tidak ada partai
politik pemenang pemilu dengan suara terbanyak.
Tahun 2004 tercatat sekitar 400 partai politik tetapi yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 2004 hanya 24
partai politik dan tidak ada partai politik yang memperoleh suara sebagai mayoritas tunggal.
Sementara itu di masyarakat timbul kekecewaan terhadap kinerja partai-partai politik; masyarakat mendirikan dan
membina partai bukan sebagai wahana mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, tetapi sebagai wahana
memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan. Sedang di dalam intern partai sendiri bila terjadi pertentangan
yang tidak bisa diatasi lalu timbul partai baru yang merupakan sempalannya; ini menunjukkan ketidakmampuan
partai menyelesaikan konflik internalnya.
Di masyarakat timbul kesan terhadap para elit politik, terutama yang berada di badan-badan perwakilan (DPR,
DPRD) telah dijangkiti penyakit KKN dan money politics. Dalam melaksanakan tugas, sikap dan perilaku elit politik
dinilai arogan, belum dewasa dan lepas kendali serta mengabaikan kesantunan politik dan etika kehidupan
berbangsa.
4). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam kehidupan Partai Politik.
Partai politik di Indonesia selain sebagai pilar demokrasi yang memiliki peran sebagai sarana artikulasi, komunikasi
dan sosialisasi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, sebagai arena pendidikan politik rakyat dan pembentuk
kader bangsa serta sebagai sarana penyelesaian konflik, kegiatannya harus selalu dalam kerangka acuan (frame of
reference)Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian partai politik di Indonesia harus bertujuan sesuai dengan cita-
cita dan tujuan nasional yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pedoman yang perlu dijadikan pegangan dalam
kehidupan partai politik adalah :
a). Mengaktualisasikan kebersamaan dalam kemajemukan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
b). Mengaktualisasikan budaya demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c). Penyampaian aspirasi rakyat dan segenap perilaku partai politik harus menjamin tegaknya keselarasan dan
kerukunan serta budi luhur. Penyampaian aspirasi rakyat melalui partai politik harus sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Segala aspirasi hendaknya mengarah pada harmoni atau keselarasan, menghindari
polarisasi kawan dan lawan serta mengembangkan semangat inklusivistik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Penyampaian pendapat bersendi pada akhlak mulia, budi luhur dan beradab. Pernyataan dan ungkapan
yang berisi hujatan, caci-maki, tidak senonoh dan mendiskriditkan orang lain agar dihindari. Aspirasi harus
mengarah pada perkuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dihindari konflik yang mengarah perpecahan
(disintegrasi), separatisme dan sikap radikalistik.
d). Pengambilan keputusan harus sejalan dengan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam
proses pengambilan keputusan bersama tidak boleh bertentangan dengan prinsip Pancasila : Ketuhanan yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keputusan
bersama mengikat dan mengandung sanksi; penyimpangan karena penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang harus
dihindari.
e). Mengaktualisasikan supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasar Pancasila.
f). Segenap perilaku partai politik selalu bersendi pada keputusan bersama yang mengikat dan mengandung sanksi
terhadap penyimpangan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
g). Pengawasan bermaksud memberikan koreksi dan peringatan agar pelaksana bersikap jujur, adil, transparan dan
untuk kepentingan rakyat.
h). Program partai politik harus mengarah pada kokohnya Pancasila sebagai dasar negara, utuh dan kuatnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang berpemerintahan presidensial dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.
b. Kehidupan Demokrasi
1). Pengertian Demokrasi
Berbicara tentang demokrasi orang akan selalu mengkaitkan dengan kegiatan pemerintahan, karena demokrasi
berasal dari kata Yunanidemos yang berarti rakyat dan cratos atau kratia yang berarti pemerintahan. Sampai-sampai
seorang presiden Amerika Serikat yang bernama Abraham Lincoln memberi makna demokrasi sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government from the people, by the people, and for the
people).
Demokrasi merupakan hasil konstruksi nalar manusia, atau argumentasi manusia bahwa keabsahan suatu
pemerintahan adalah apabila kedaulatan yang akan menjelma menjadi kekuasaan dan wewenang untuk memerintah
itu bersumber dari rakyat, dari yang diperintah. Pada umumnya menjabarkan demokrasi adalah selalu dari sisi:
a) Bagaimana proses penyaluran kedaulatan rakyat untuk menjadi bentuk kekuasaan dan wewenang. Bentuk
penyaluran kedaulatan antara lain melalui proses pemilihan umum.
b) Bagaimana kekuasaan diatur ke dalam kewenangan kelembagaan pemerintahan, agar tidak tercipta suatu
kekuasaan yang otoriter.
c) Bagaimana pengawasan terhadap lembaga pemegang kekuasaan diselenggarakan dengan sejauh mungkin
mengikut sertakan masyarakat.
Penyaluran kedaulatan rakyat pada dasarnya melalui beberapa tingkat yakni:
(1) Penyampaian aspirasi atau pendapat rakyat. Rakyat bebas mengemukakan aspirasi yang berupa pendapat,
harapan, cita-citanya. Rakyat berhak untuk memberikan argumentasi untuk meyakinkan pihak lain terhadap apa
yang menjadi cita-cita atau pendapatnya. Sebagai akibatnya akan terjadi berbagai perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat ini justru merupakan ciri dari demokrasi, suatu pengakuan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia. Persoalan yang harus difikirkan adalah bagaimana penyampaian aspirasi ini agar dapat berkembang
menjadi suatu keputusan bersama. Bagaimana mekanisme dan prosedur yang perlu diambil dalam menyampaikan
aspirasi ini.
(2) Pengambilan keputusan bersama. Dalam kehidupan bersama diperlukan suatu kesepakatan yang merupakan
keputusan bersama, yakni perkara-perkara yang menjadi acuan atau pegangan dalam melaksanakan hidup bersama.
Perkara ini dapat mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, dapat mengenai tata cara mencapainya, dapat
mengenai peraturan yang mengikat warga agar pelaksanaan pencapaian tujuan dapat berlangsung secara tertib,
efektif dan efisien, dapat mengenai lembaga pelaksana, atau mungkin
mengenai orang yang akan ditugasi untuk melaksanakan kesepakatan dimaksud. Demokrasi liberal mengajarkan
bahwa bila terjadi perbedaan pendapat tentang sesuatu hal, maka untuk mencapai suatu
kesepakatan diselenggarakan pemungutan suara. Hal yang mendapatkan suara 50 % lebih, ditetapkan sebagai
keputusan bersama. Semua fihak harus berjiwa besar untuk menerima keputusan ini.
(3) Pelaksanaan keputusan bersama. Demokrasi merupakan proses kehidupan bersama dengan berpegang pada
prinsip give and take. Pelaksanaan demokrasi memerlukan kedewasaan. Semua pihak harus berjiwa besar. Berani
mengakui kekalahan, untuk kemudian bangkit dan memperjuangkan aspirasinya pada kesempatan berikutnya.
Dengan demikian semua kesepakatan atau keputusan bersama mengikat semua pihak tanpa kecuali; dan semua
pihak wajib untuk mematuhinya. Barang siapa yang melanggarnya maka akan terkena sanksi.
(4) Mengawasi pelaksanaan. Salah satu kegiatan yang sangat penting adalah mengawasi pelaksanaan keputusan
bersama, agar apa yang telah disepakati atau disetujui dapat dilaksanakan dengan semestinya.
Dengan demikian hakikat demokrasi berkaitan dengan harkat dan martabat manusia yang paling hakiki, yakni hak
dan kewenangan dalam (a) menyampaikan gagasan, (b) penyusunan suatu keputusan, (c) pelaksanaan suatu
keputusan, dan (d) pengawasan terhadap pelaksanaan suatu keputusan.
Demokrasi memberikan pegangan bahwa:
(1). Setiap individu memiliki hak yang sama dalam menyampaikan gagasan, dan berperan sama dalam mengambil
keputusan;
(2). Setiap individu memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan keputusan dimaksud, serta bertanggung
jawab terhadap terselenggaranya keputusan, sehingga ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilannya.
2) Prinsip umum yang melandasi pelaksanaan Demokrasi
a) Kebebasan
Kebebasan adalah keleluasaan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri, atau dapat
pula diartikan sebagai hak dan kemampuan manusia untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihannya.
Hakikat kebebasan dalam demokrasi adalah :
Kebebasan tidak identik dengan demokrasi. Hal ini didasarkan suatu pemikiran bahwa kebebasan penuh
hanya akan terjadi dalam suatu masyarakat anarkis, sehingga kebebasan tanpa batas adalah ciri anarkisme.
Lawan kebebasan adalah keterikatan dan ketergantungan penuh yang merupakan ciri pemerintahan yang
totaliter, suatu sistem pemerintahan yang tidak memberikan peluang kebebasan pada masyarakatnya.
Pemerintahan yang menganut sistem demokrasi akan terletak di antara dua kutub tersebut, sehingga dapat
ditemukan suatu sistem demokrasi yang mendekat pada totaliterisme, ada yang mendekat pada anarkisme.
Demokrasi yang ideal adalah yang mengakomodasi keseimbangan antara kebebasan dan keterikatan.
Demokrasi adalah kesamaan hak warganegara dalam membuat keputusan bersama, dan kesamaan
kewajiban dalam mematuhi keputusan bersama.
Sementara pihak beranggapan bahwa kadar atau kualitas demokrasi diukur dari tingkat kebebasan masyarakat dalam
menyampaikan aspirasi, tanpa memandang bentuk atau cara menyampaikannya.
b) Pluralisme
Salah satu faham yang mendasari pelaksanaan demokrasi adalah faham pluralisme. Pluralisme berasal dari kata
Latin plural yang berarti majemuk, yang bermakna bahwa setiap entitas diakui seperti apa adanya, dan keberadaan
setiap entitas tidak perlu digantikan oleh entitas yang lain.
Pluralisme mengakui adanya perbedaan individu. Perbedaan yang terdapat dalam setiap individu merupakan suatu
hal yang hakiki serta diakui dan dihormati. Eksistensi setiap individu diakui seperti apa adanya.
Pluralisme menolak totaliterisme, suatu faham yang ingin mensubstitusi keaneka ragaman menjadi satu entitas saja.
Kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara memerlukan konsensus, tanpa konsensus tidak akan terjadi
gerak bersama. Oleh karena itu dalam masyarakat yang menganut faham pluralisme, warganya dituntut bersikap
toleran agar dapat tercipta kesepakatan. Tanpa toleransi yang terjadi hanya pertentangan yang tiada berkesudahan,
manusia memandang manusia yang lain laksana serigala dan perang semua melawan semua (homo homini
lupus dan bellum omnium contra omnes).
c) Faham individualisme
Dasar lain demokrasi adalah faham individualisme, suatu faham yang mendudukkan dan menjunjung tinggi individu
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Individualisme adalah doktrin etik atau asas moral yang
menyatakan bahwa kepentingan individu atau pribadi diletakkan di atas kepentingan golongan dan negara-bangsa.
Kepentingan individu atau pribadi dijadikan acuan utama dalam menentukan pembawaan diri seseorang.
Menurut faham individualisme bahwa konsep tentang nilai, hak dan kewajiban bersumber pada pribadi atau
individu; dan masyarakat tidak memiliki makna nilai dan etik. Pendapat ini bersumber dari suatu anggapan bahwa
pada dasarnya alam ini adalah baik dan teratur, demikian juga manusia yang merupakan bagian dari alam yang
merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Penyimpangan dan perbuatan yang tidak terpuji bersumber dari ulah
masyarakat. Masyarakatlah yang mambuat kerusakan-kerusakan di dunia. Oleh karena itu kehidupan hendaklah
dikembalikan pada fitrah manusia.
Sebagai akibat lebih lanjut, individualisme merupakan doktrin yang berpegang pada anggapan bahwa tujuan utama
kehidupan adalah untuk menumbuh-kembangkan kesejahteraan individu, dan tujuan akhir dari hukum moral adalah
perkembangan tabiat atau karakter perorangan.
Faham individualisme mendasari pula penerapan hak asasi manusia yang tercermin dalam kebebasan dan
kesetaraan, yang dijadikan landasan pelaksanaan demokrasi. Secara ekstrim faham individualisme beranggapan
bahwa kebebasan individu hanya dibatasi oleh kebebasan pihak lain, tidak dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan
atau negara-bangsa. Dengan kata lain kebebasan individu hanya akan terhenti bila menyentuh, mengganggu atau
bertabrakan dengan kebebasan individu yang lain.
d) Kesetaraan
Kesetaraan bermula dari konsep bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kesetaraan. Konsep ini di antaranya
tertera dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dan Republik Perancis, yang menyatakan :That all men are
created equal, dan Men are born and remain free and equal in rights.
Kesetaraan ini bersendi pada konstruksi nalar manusia bahwa Tuhan adalah adil, oleh karena itu tidak akan
membeda-bedakan umat-Nya. Timbulnya perbedaan adalah disebabkan oleh ulah dan usaha manusia dalam
mempertahankan status, kedudukan dan kemapanan, yang didukung oleh kemampuan dan kesempatan manusia
dalam memanifestasikannya. Dengan demikian, perbedaan yang terjadi pada manusia bukan hal yang hakiki dalam
kehidupan manusia.
Masalah kesetaraan ini makin mencuat dalam wacana global setelah berakhirnya perang dunia kedua. Diskriminasi
yang diciptakan oleh manusia dalam bentuk dehumanisasi, utamanya selama perang dunia kedua, mencerminkan
suatu kondisi bahwa manusia tidak didudukkan secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hal ini
mendorong manusia untuk memperbaiki diri dalam memperlakukan manusia dari tindak kesewenang-wenangan.
Akhirnya pada bulan Desember 1948 lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal.
Pasal 2 dari Deklarasi tersebut yang memberikan hak kesetaraan kepada manusia berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dicanangkan dalam Deklarasi, tanpa perbedaan apa pun,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik, atau opini lain, kewarganegaraan atau asal
usul sosial, kekayaan, keturunan atau status lainnya.
Selanjutnya tidak boleh ada pembedaan orang berdasarkan status politik, yurisdiksional atau internasional yang
dimiliki negara atau wilayah asalnya, yang independent, yang berada di bawah pemerintahan perwalian, atau yang
berada di bawah pembatasan kedaulatan lainnya.
Pasal 2 Deklarasi ini menjadi dasar kesetaraan manusia dalam berbagai hal yang diatur dalam Deklarasi tersebut,
yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai instrument dalam bentuk covenant atau perjanjian internasional,
seperti International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights, dan sebagainya.
e) Keadilan
Prinsip lain yang melandasi penerapan demokrasi adalah konsep keadilan. Dengan mendudukkan manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya, khususnya dalam memberikan kebebasan dan kesetaraan dipandang adil, karena
manusia diperlakukan sama dalam berpendapat, mengambil keputusan bersama dan dalam melaksanakan kewajiban
dalam mematuhi keputusan bersama tersebut. Setiap warganegara memiliki kedudukan sama di hadapan hukum.
Keputusan yang akan mengikat setiap warganegara adalah buatan sendiri, sehingga dipandang adil bila diwajibkan
untuk mematuhinya. Bila suatu keputusan yang merupakan kesepakatan bersama dinilai kurang adil, yang akan
menimbulkan kenestapaan, maka rakyat dapat mengubahnya melalui prosedur yang disepakatinya pula. Kondisi
yang semacam ini dinilai akan memberikan jaminan terciptanya keadilan.
Dari hakikat demokrasi dan prinsip umum yang melandasinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya
pelaksanaan demokrasi adalah sebagai berikut:
(1) Kekuasaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan bersumber dari rakyat. Rakyatlah
yang berdaulat dalam negara demokrasi.
(2) Setiap warganegara didudukkan dalam kesetaraan. Mereka memiliki hak yang sama dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Diskriminasi dalam bentuk apapun tidak dibenarkan.
(3) Hak asasi manusia diakui, dihormati, dijunjung tinggi dan dijamin oleh Negara.
(4) Keaneka-ragaman sifat kehidupan warganegara diakui; perbedaan individu dihormati. Kehidupan masyarakat
dalam berbangsa dan bernegara memerlukan kebersamaan dan kesepakatan, sehingga perlu penyelarasan terhadap
keaneka-ragaman pribadi. Penyelarasan pada hakikatnya berupa pembatasan yang diatur dalam norma hukum yang
disepakati bersama. Prinsip pluralistik dihargai dalam membentuk kesepakatan bersama. Dalam pembentukan
kesepakatan bersama diperlukan kontrak sosial.
(5) Dalam menyusun kesepakatan bersama bersendi pada suara terbanyak, hak minoritas harus tetap terjaga dan
terjamin dalam pemerintahan.
(6) Penyelenggaraan demokrasi berlangsung secara bebas, jujur dan adil. Oleh karena itu setiap warganegara
dituntut untuk dapat bekerja sama, toleran, mau dan mampu berpartisipasi dengan positif dalam membentuk
kesepakatan bersama.
(7) Pemungutan suara dibenarkan, apabila tidak dapat diwujudkan kesepakatan melalui permufakatan.
3) Konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Pancasila menjamin terselenggaranya demokrasi di Indonesia, karena di dalam Pancasila mengandung konsep,
prinsip dan nilai demokrasi yang modern dan rasional untuk diterapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini ditunjukkan oleh:
a) Sila keempat Pancasila, menyatakan :Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,yang menjadi dasar penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Kerakyatan menjamin
terwujudnya mufakat melalui permusyawaratan, yang dilandasi hikmat kebijaksanaan (meliputi keadilan, kebenaran,
keutamaan dan rasionalitas). Bila tidak tercapai keputusan secara mufakat dengan permusyawaratan, dapat diambil
keputusan dengan suara terbanyak.
b) Sila kedua Pancasila, menyatakan :Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang bermakna bahwa bangsa
Indonesia mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, menjunjung tinggi hak asasi manusia
secara adil dan beradab. Oleh karena itu keaneka ragaman individu dihormati, sifat pluralistik masyarakat
didudukkan secara proporsional dalam kehidupan bernegara.
c) Sila ketiga Pancasila, menyatakan :Persatuan Indonesia, yang bermakna bahwa bangsa Indonesia menjamin
terselenggaranya keutuhan wilayah dan kesatuan seluruh rakyat Indonesia dengan menghindari terjadinya
perpecahan.
d) Sila kelima Pancasila, menyatakan :Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bermakna bahwa
bangsa Indonesia menjamin terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
e) Sila pertama Pancasila, menyatakan :Ketuhanan Yang Maha Esa,yang bermakna bahwa bangsa Indonesia
dalam bernegara mendasarkan hidupnya pada keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4) Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam kehidupan demokrasi
Konsep, prinsip dan nilai Pancasila harus diimplementasikan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal tersebut
harus nampak antara lain dalam penyampaian pendapat, pembuatan keputusan bersama dan dalam mengadakan
pengawasan pelaksanaan keputusan bersama.
a). Penyampaian pendapat
Dalam penyampaian pendapat ada ketentuan yang bersumber dari sila-sila Pancasila dan tidak boleh dilanggar.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, sebagai khalifah Tuhan di bumi wajib menjaga kelestarian segala ciptaan-
Nya. Segala kegiatan manusia hendaknya mengarah pada terwujudnya harmoni atau keselarasan, dan oleh karena itu
menghindari terjadinya polarisasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Dalam penyampaian pendapat selalu bersendi pada akhlak mulia, budi luhur, dan beradab serta menghormati harkat
dan martabat sesamanya, sehingga dapat diwujudkan suasana kebersamaan yang menjamin persatuan dan kesatuan
bangsa.
Dalam penyampaian pendapat tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan melainkan mengutamakan
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga tercegah terjadinya perpecahan, separatisme,
dan sikap radikalistik.
b) Pembuatan keputusan bersama
Dalam pembuatan keputusan bersama harus berdasar pada konsep, prinsip dan nilai Pancasila, dilandasi oleh sila
keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Suara
terbanyak bukan merupakan satu-satunya kriteria dalam pembuatan keputusan bersama.
Keputusan bersama bukan keputusan pribadi-pribadi, tetapi merupakan kontrak sosial yang harus dipatuhi oleh
semua pihak, termasuk pihak yang usulnya tidak disetujui. Keputusan bersama mengikat dan mengandung sanksi.
Sikap mau mengakui pendapat yang diputuskan bersama harus dikembangkan. Dengan demikian Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan adalah suatu demokrasi yang bersifat
normatif, etis dan teleologis.
c) Pengawasan pelaksanaan keputusan bersama
Dalam pengawasan pelaksanaan keputusan bersama pada dasarnya bukan untuk mencari kesalahan, melainkan
untuk memberikan peringatan dini kepada pelaksana agar dalam melaksanakan tugas bersikap jujur, adil, transparan
dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kegiatan rakyat yang menyampaikan pendapat dan pembuat keputusan bersama, para pelaksana kesepakatan
bersama dan pengawas pelaksanaan keputusan bersama harus bersinergi sesuai dengan fungsi masing-masing.
c. Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
1). Hakikat Hak Asasi Manusia
Hak adalah konsep moral, sehingga penerapannya sangat dipengaruhi oleh kesadaran manusia. Apabila hak tertentu
sudah dipandang sangat urgen, sehingga perlu campur tangan negara dan pemerintah, maka hak tersebut dapat
diangkat menjadi norma hukum. Di sisi lain hak merupakan kualitas moral atau etik yang ideal mengenai
kepemilikan sesuatu dengan berbagai atribut, yang secara moral dipandang sah dan adil untuk diperjuangkan dan
dipertahankan.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kebebasan, perkembangan manusia
dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, tidak boleh dirampas dan diganggu gugat oleh siapa pun.
Menurut James W. Nickel dalam bukunya Making Sense of Human Rights, ciri-ciri Hak Asasi Manusia adalah :
a). merupakan hak yang berisi norma yang sudah pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat
wajib.
b). bersifat universal, yang dimiliki manusia semata-mata dan dapat diterapkan di seluruh dunia.
c). dianggap ada dengan sendirinya, tidak bergantung pada pengakuan pihak lain, dan akan efektif setelah
dijadikan norma hukum.
d). dipandang sebagai norma yang penting atau prima facie rights,yang mempunyai kekuatan yang cukup dalam
menghadapi benturan dengan norma lokal atau nasional.
e). mengaplikasikan kewajiban bagi individu dan pemerintah, tidak tergantung pada penerimaan, pengakuan dan
penerapan terhadapnya.
f). menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak.
2). Perkembangan Hak Asasi Manusia.
a). Hak Asasi Manusia Kuno
Hak Asasi Manusia Kuno (ancient human rights) ditandai dengan lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun
1215 disusul denganHabeas Corpus Act (1679) dan Bill of Rights (1689); Di Amerika Serikat berturut-turut telah
ditetapkan Declaration of Independence (1776) danBill of Rights (1791); Di Prancis telah ditetapkan Declaration
des Droit de lHomme et du Citoyen (1789), dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Mengupayakan perlindungan terhadap hak-hak individu/ perorangan;
Perlindungan individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa (raja, kaisar, pemerintah), seperti tindakan
kekerasan, kedzoliman, kebiadaban dan amoral;
Menuntut diselenggarakan kebebasan, keadilan dan kedamaian.
b). Hak Asasi Manusia Kontemporer
Hak Asasi Manusia Kontemporer secara embrional ditandai dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Franklin
D. Roosevelt (1941) mengenai The Four Freedoms, yakni kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan
beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan. Hak asasi manusia kontemporer
secara resmi dimulai dengan ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.
Deklarasi tersebut diikuti dengan ditetapkannya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,;
International Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol to the International Covenant on Civil
and Political Rights oleh Badan dunia tersebut.. Kedua Covenant dan Protokol telah diterima oleh sidang umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1966, melalui resolusi No. 2200A(XXI) dan dinyatakan
berlaku sejak tanggal 31 Desember 1972. Hingga saat ini telah dikeluarkan kira-kira 40 buah instrumen
internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Ciri-ciri hak asasi manusia
kontemporer adalah sebagai berikut :
Lebih bersifat egalitarian atau kesetaraan, termasuk gender, dengan menuntut dihapuskannya segala bentuk
diskriminasi, seperti perbedaan warna kulit, agama, jenis kelamin, opini politik dan sebagainya.
Hak asasi manusia dijadikan kepedulian internasional sejak lahirnya Universal Declaration of Human
Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, dengan segala instrumen yang telah
dikembangkan.
Dalam perkembangan implementasinya terdapat empat arena hak asasi manusia, yaitu hak sipil, hak politik, hak
untuk menikmati hasil pembangunan dan hak ekonomi dan kesejahteraan sosial. Negara dan warga masyarakat
seharusnya menikmati ke-empat arena hak asasi dalam keseimbangan, sehingga terjadi keharmonisan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam aplikasi di negara maju, yang ditonjolkan adalah hak sipil dan
hak politik, sehingga negara berkembang mengajukan hak solidaritasnya dalam menumbuhkan kesejahteraan dan
ekonominya. Untuk menanggapi keinginan negara berkembang, PBB menyepakati dalam bentuk program
pembangunan yang disusun dalam Millennium Development Goals.
3). Hak Asasi Manusia menurut Pancasila
Secara filsafati Pancasila memandang bahwa, manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani
yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing
dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya. Dalam menggunakan akal budi dan
nuraninya, manusia dibekali oleh Tuhan Yang Maha Esa kebebasan untuk dapat memutuskan sendiri sikap dan
perilakunya, serta memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab dalam menentukan sikap dan tindakannya.
Hak asasi manusia menurut Pancasila tidak saja berisi kebebasan dasar, tetapi juga berisi kewajiban dasar yang
melekat secara kodrati. Hak dan kewajiban asasi ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak dan kewajiban
tersebut berarti mengingkari martabat manusia. Oleh karena itu negara, pemerintah dan organisasi apapun
mengemban kewajiban untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi manusia.
Dengan demikian hak asasi manusia harus menjadi titik tolak dan tujuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai dasar negara mengandung konsep, bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa bersifat
monodualistik, yakni sebagai makhluk individu yang bersifat perorangan dan makhluk sosial yang bersifat
kemasyarakatan. Oleh karena itu kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti setiap orang
mengemban kewajiban menjunjung tinggi hak asasi orang lain.
Kewajiban menjunjung tinggi hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, yang menjiwai seluruh
pasal-pasalnya, antara lain yang berkaitan dengan : persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran,
kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, hak dan wajib melakukan pembelaan negara.
Menurut Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005, hak dasar meliputi : (1)Hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan
yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk
memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan)
yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk
berpartisipasi dalam politik dan perubahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; dan (10) Hak rakyat untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
4). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia.
a). Manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara
seimbang dan serasi dalam keimanan dan ketakwaan. Dalam mengelola alam, manusia berkewajiban dan
bertanggung jawab menjamin kelestarian eksistensi, harkat dan martabat, kemuliaan, serta menjaga
keharmonisannya.
b). Pancasila memandang bahwa, hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia bersumber dari ajaran agama,
nilai moral universal, nilai budaya bangsa serta pengalaman kehidupan politik nasional.
c). Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang tidak boleh dirampas atau diabaikan
oleh siapa pun.
d). Perumusan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dilandasi oleh pemahaman bahwa kehidupan manusia
tidak terlepas dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan lingkungannya.
e). Bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menghormati dan menjamin hak asasi orang lain sebagai suatu
kewajiban. Hak dan kewajiban asasi terpadu dan melekat pada diri manusia, sebagai pribadi, anggota keluarga,
anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan anggota masyarakat bangsa-bangsa.
f). Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak asasi yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap
orang/warga negara.
g). Bangsa dan Negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban menghormati ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dengan semua instrumen
yang terkait, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila.
1. d. Sistem Kelembagaan Negara.
1). Pengertian sistem kelembagaan negara.
Sumber kekuasaan negara adalah kedaulatan rakyat, yang meliputi seluruh warganegara sebagai suatu kebulatan.
Kekuasaan atau otoritas negara termanifestasi dalam sistem kelembagaan negara, yang pada umumnya dibagi
menjadi tiga bidang, yakni bidang penyusun peraturan perundang-undangan atau bidang legislatif, bidang pelaksana
peraturan perundang-undangan atau bidang eksekutif, dan bidang pengawas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan atau bidang yudikatif, masing-masing merupakan lembaga negara yang berdiri sendiri.
Ketiga kelembagaan negara tersebut yakni lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif lazim disebut sebagai sistem
pemerintahan negara. Sistem ini mengatur tentang kekuasaan atau wewenang, kedudukan, tugas dan hubungan
antara lembaga-lembaga negara dalam usahanya mencapai tujuan negara.
2). Sistem Pemerintahan
Dikenal dua sistem pemerintahan yang berbeda yaitu sistem pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan
Parlementer.
a). Sistem Pemerintahan Presidensial, seperti yang dipraktekkan di Amerika Serikat mempunyai ciri-ciri antara
lain :
(1) Adanya pemisahan secara tegas antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
(2) Eksekutif tidak berkuasa membubarkan legislatif dan eksekutif tidak harus mengundurkan diri apabila
kehilangan dukungan di Kongres sebagai lembaga legislatif.
(3) Presiden dan Kabinetnya tidak bertanggungjawab kepada legislatif. Para menteri diangkat oleh dan
bertanggung jawab kepada presiden.
(4) Presiden sebagai kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat secara electorate.
b). Sistem Pemerintahan Parlementer, seperti yang dipraktekkan di Inggris mempunyai ciri-ciri antara lain:
(1) Didasarkan atas pemisahan kekuasaan negara antara legislatif dan eksekutif.
(2) Adanya saling pertanggungjawaban antara eksekutif dan legislatif; eksekutif dapat membubarkan legislatif
(parlemen), dan sebaliknya eksekutif jika tidak mendapat dukungan dari parlemen harus membubarkan diri.
(3) Kepala pemerintahan (Perdana Menteri) dan para menteri (Kabinet) mempunyai pertanggungjawaban
bersama.
(4) Perdana menteri diangkat oleh Raja/Ratu berdasarkan dukungan mayoritas suara di parlemen.
c). Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia
Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia menganut asas checks and balances. Antara Presiden sebagai
penyelenggara kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang) dan DPR sebagai penyelenggara kekuasaan
legislatif (pembuat undang-undang) saling melakukan pengawasan dan peringatan terhadap kegiatan yang dilakukan
dan tidak saling menjatuhkan. Kedudukan antara keduanya sama, dalam pengertian keduanya mendapat mandat dari
rakyat sebagai pengemban kedaulatan.
3). Sistem pemerintahan negara berdasarkan Pancasila
a). Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945, menyatakan:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia .. . . , maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Konsep, prinsip dan nilai Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 terwujud dalam
empat pokok pikiran sebagai berikut:
(1). Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas
persatuan dan kesatuan;
(2). Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
(3). Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan; dan
(4). Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Empat pokok pikiran tersebut menjiwai kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia yang meliputi:
Cita-cita bangsa Indonesia mengenai kebersamaan yang bertumpu pada keadilan;
Asas kerohanian dalam pengorganisasian negara; dan
Moral penyelenggara negara.
Sistem pemerintahan negara sebelum diadakan perubahan UUD 1945:
(a). Negara Indonesia berdasar atas hukum.
(b). Pemerintahan berdasarkan konstitusi.
(c). Kekuasaan negara, di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Majelis mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Presiden sebagai mandataris Majelis bertanggung jawab kepada
Majelis.
(d). Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis.
(e). Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus mendapatkan
persetujuan DPR untuk membentuk undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(f). Menteri negara adalah pembantu Presiden. Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri negara.
Mereka tidak bertanggung jawab kepada DPR.
(g). Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Presiden harus memperhatikan suara DPR dengan sungguh-sungguh.
4). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam sistem kelembagaan negara.
a). Sumber kedaulatan dan kekuasaan politik di Indonesia adalah seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu kebulatan
meliputi seluruh individu, golongan dan kelompok yang ada dalam masyarakat di seluruh wilayah negara. Dalam
kelembagaan negara berwujud Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merupakan penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia.
b). MPR melaksanakan kedaulatan rakyat, dan berkedudukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara
Republik Indonesia yang bertugas menetapkan dan mengadakan perubahan UUD, menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. MPR berhak meminta pertanggungjawaban
Presiden dan apabila MPR berpendapat Presiden sungguh telah melanggar UUD dan haluan negara, MPR berhak
memberhentikan.
c). Dalam melaksanakan kedaulatan dan kekuasaan, MPR membagi dan mendelegasikan kekuasaan kepada
lembaga negara sebagai berikut :
(1). Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif.
(2). DPR sebagai penyelenggara kekuasaan legislatif.
(3). Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai penyelenggara kepenasihatan untuk Presiden.
(4). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai penyelenggara pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara.
(5). Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan lain sebagai penyelenggara kekuasaan yudikatif.
d). Lembaga negara dalam melaksanakan tugasnya harus selalu mengutamakan kepentingan seluruh rakyat
sehingga semua keputusannya dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat.
e). Dalam menyelenggarakan tugasnya setiap lembaga negara harus dapat bekerja sama dan saling mengawasi
secara proporsional.
f). Dalam menyelenggarakan tugasnya setiap lembaga negara mengemban amanat rakyat berdasarkan etika
kehidupan berbangsa, dengan penuh kejujuran dan disiplin tinggi.
Catatan :
Dengan adanya perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan negara mengalami perubahan sehingga tidak lagi
mencerminkan konsep, prinsip dan nilai dalam Pancasila yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
e. Sistem Pemilihan Umum
1). Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan pengaturan kekuasaan dan wewenang dalam negara yang
menerapkan sistem demokrasi. Pemilu merupakan realisasi kedaulatan yang dimiliki rakyat untuk menentukan
pilihan masa depan hidupnya secara bebas dan bertanggung jawab. Pemilu merupakan perwujudan hak asasi
manusia serta mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Tujuan Pemilu adalah memilih wakil rakyat dan wakil daerah, yang mencerminkan aspirasi rakyat dan kepentingan
daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan.
Asas-asas Pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dengan maksud agar Pemilihan Umum
terselenggara secara demokratis, transparan dan berkualitas.
Pada umumnya Pemilu tidak terpisahkan dari sistem kepartaian di suatu negara, karena partai politik merupakan
agregat yang diharapkan sebagai tempat penyaluran aspirasi rakyat. Dalam memilih wakil-wakilnya, rakyat
menyalurkan aspirasi dan pilihannya melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam partai politik tertentu.
2). Pemilihan Umum di Indonesia
Bagi bangsa Indonesia Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam kehidupan kenegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan terjadinya perubahan Undang-
Undang Dasar 1945, penyelenggaraan Pemilu mengalami perubahan yang mendasar, yakni dengan telah
dilaksanakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung.
Pencalonan Anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam
Pemilu dilakukan melalui partai politik.
3). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam Pemilihan Umum.
a) Apabila direnungkan secara mendalam, penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) itu sendiri sebenarnya
merupakan implementasi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung di dalam Pancasila, utamanya sila Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hal itu diungkapkan dalam makna
Pemilu itu sendiri, yang merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Pemilu diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Ralyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, serta Presiden dan Wakil Presiden. Namun di sini diartikan juga untuk memilih Gubernur Kepala
Daerah, Bupati/Wali Kota Kepala Daerah, serta Wakil-wakilnya yang penyelenggaraannya sesuai dengan kebutuhan
daerah yang bersangkutan.
c) Tujuan Pemilu yaitu untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, tujuan Pemilu ini
benar-benar merupakan wujud dari religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas, dan sosialitas yang
didambakan bangsa Indonesia.
d) Pemilu ditinjau dari segi asasnya yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, benar-benar
menggambarkan implementasi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
e) Asas langsung dan bebas menggambarkan pengakuan dan penghormatan adanya harkat dan martabat manusia
yang dimiliki warganegara yang berhak dan wajib mengikuti Pemilu sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Warganegara
sebagai pemilih mempunyai hak memberikan suaranya secara bebas dan langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya. Asas ini merupakan implementasi dari konsep, prinsip dan nilai kerakyatan yang dijiwai oleh nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas ini mendapat jaminan terlaksananya dengan adanya asas rahasia, sehingga pemilih
benar-benar dapat secara bebas dan lansung menentukan pilihannya tanpa diketahui pihak lain yang mungkin dapat
mempengaruhi kebebasannya.
f) Asas jujur dan adil menggambarkan bahwa implementasi konsep, prinsip dan nilai kerakyatan juga dijiwai oleh
nilai kebersamaan dan keadilan bagi semuanya. Jujur dimaksudkan adalah setiap orang atau lembaga yang
bersangkutan dan terkait dengan penyelenggaraan Pemilu harus bertindak jujur dan mendapatkan perlakuan yang
sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga bebas kecurangan dari pihak
mana pun.
1. f. Kehidupan Pers atau Media Massa
1). Pengertian
Pers meliputi semua media massa yang digunakan untuk terwujudnya atau terselenggaranya komunikasi massa,
melalui media cetak maupun media elektronik.
Komunikasi massa ialah proses penyusunan dan penyampaian pesan oleh media massa kepada publik. Dengan
proses tersebut, pesan itu dicari, digunakan dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca, pendengar dan pemirsa.
Media massa adalah organisasi yang mendistribusikan hasil budaya dan informasi sebagai pesan secara simultan
kepada khalayak luas yang heterogen. Pesan tersebut dapat mencerminkan dan mempengaruhi budaya masyarakat.
Media massa adalah bagian dari kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara seperti kehidupan politik,
ekonomi, sosial budaya dan kehidupan lainnya yang melembaga.
2). Kekuatan Media Massa sebagai Kelompok Penekan (pressure group)
Khalayak yang luas dan heterogen dari media massa itu tidak berbentuk, tidak terorganisasi dan tidak terikat antara
khalayak yang satu dengan yang lain. Khalayak media massa juga tidak mengelompok dalam satu lokasi yang sama
dan sebagian tidak dalam waktu yang sama pula. Tetapi jika khalayak itu memberikan tanggapan terhadap pesan
yang berisi isu yang sama, maka akan terbentuk menjadi apa yang disebut dengan pendapat umum, opini
publik. Pesan tersebut menimbulkan kemauan dan sikap bersama terhadap beberapa orang dan mempengaruhi
sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu.
Pers sebagai media massa menyampaikan pesan (berita, isu atau opini) kepada khalayak. Jika pesan tersebut
disampaikan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan dapat menjelma menjadi opini publik. Opini
publik yang makin lama makin menjadi luas, besar dan kuat akan berubah menjadi penekan publik atau public
pressure. Penekan publik ini walaupun masih belum berbentuk dan terorganisasi, tetapi sudah mempunyai kekuatan
menekan. Penekan publik yang kuat dan berpengaruh dapat mendorong terbentuknya kelompok penekan (pressure
group), yang memiliki bentuk dan terorganisasi, meskipun sifatnya sementara. Demikian kuat dan besarnya
pengaruh kelompok penekan dengan kekuatan yang nyata dan besar yang didukung massa dan kemudian mendapat
pula dukungan rakyat, mampu menumbangkan kekuasaan pemerintahan negara.
Pers sebagai pembentuk kelompok penekan yang mempunyai kekuatan yang dahsyat, dalam teori komunikasi massa
ada yang menyebut sebagai kekuatan keempat (the fourth estate). Kekuatan ini bukan wewenang berdasar supra
struktur dan infra struktur dalam suatu negara melainkan berdasar teori komunikasi khususnya teori terbentuknya
opini publik.
3). Kebebasan Pers.
Kebebasan mengeluarkan pikiran dan perasaan dengan lisan, tulisan dan peragaan adalah hak dasar manusia
(natural rights) yang dijamin oleh negara dan diatur dengan undang-undang. Eksistensi manusia dalam kebersamaan
menjadi berarti jika ia mampu mengekspresikan pikiran dan gagasannya dengan bebas kepada sesama manusia.
Kebebasan pers adalah wujud dari kebebasan mengeluarkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan, tertulis maupun
peragaan. Kebebasan pers artinya setiap warga negara bebas berpendapat, berbicara, menulis dan memperagakan
apa saja yang dipandang benar berdasarkan apa yang diyakini dan dipercayai. Namun karena manusia itu senantiasa
hidup dalam kebersamaan, maka apa yang ia kemukakan secara lisan tulisan maupun peragaan harus tidak
bertentangan dengan aturan, etika dan kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bersama.
Kebebasan pers hendaknya dapat dikendalikan (controlled) oleh hati nurani pers sendiri yang dijelmakan dalam
kode etik jurnalistik sebagai profesi.
4). Tugas Pers.
Pers bertugas menyelenggarakan komunikasi dengan khalayak. Pesan yang dibawakan atau ditransformasikan dapat
berupa pengalaman, pengetahuan, ilmu teknologi dan pendidikan yang dapat dicakup dengan pengertian
kebudayaan. Pesan yang ditransformasikan itu juga dapat berupa pengalaman dan ingatan bersama suatu masyarakat
atau suatu bangsa secara historik. Ditinjau dari isi pesan yang disampaikan, pers bertugas pula menstranformasikan
warisan budaya, sejarah bangsa dan membentuk opini publik serta kekuatan penekan dari publik.
5). Fungsi Pers.
a) Fungsi komunikasi.
Menstranformasikan pesan tertentu kepada khalayak. Mewujudkan komunikasi antar generasi bangsa masa lalu
kepada generasi bangsa di massa sekarang maupun di masa datang.
Menyelenggarakan komunikasi antar bangsa dan antar manusia.
b) Fungsi informasi.
Mengungkapkan kebenaran dan akurasi suatu peristiwa, permasalahan ataupun persoalan yang menjadi isu publik.
c) Fungsi edukasi.
Menyampaikan pesan yang berupa usaha memotivasi khalayak supaya berpikir, berkehendak atau berperilaku sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh penyampai pesan.
d) Fungsi hiburan.
Melipur hati atau menghibur khalayak dengan menyampaikan sajian dan liputan yang menyenangkan dan
menyejukkan khalayak.
e) Fungsi ekonomi.
Memberikan motivasi terwujudnya hubungan antara pembeli dan penjual. Mendorong terwujudnya transaksi
ekonomi dengan menyampaikan pesan yang berisi data spesifikasi barang yang diperlukan oleh pembeli maupun
penjual. Fungsi ini kemudian berkembang menjadi usaha memberikan informasi khusus yang bersifat promosi
dalam dunia bisnis dan perdagangan untuk menarik minat pembeli ataupun memasarkan suatu produk, barang atau
jasa kepada pembeli. Penyampaian pesan periklanan pada masa sekarang ini menjadi kegiatan bisnis tersendiri
dengan menggunakan ilmu dan teknologi yang bertujuan memotivasi serta mengubah sikap perilaku dan pendapat
terhadap suatu produk barang yang mempunyai nilai ekonomi.
f) Fungsi kontrol sosial.
Melakukan kontrol sosial kepada pemerintah yang berkuasa sebagai penyelenggara dan pelaksana kegiatan
pemerintahan negara, kepada wakil rakyat sebagai institusi pengemban kedaulatan rakyat, serta kepada lembaga
yudikatif sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman maupun kepada para pengusaha sebagai pelaku kegiatan
ekonomi yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata serta kontrol sosial terhadap pers
sendiri.
6). Lingkup Pers.
Pers atau media massa meliputi :
a) Media cetak, terdiri atas surat kabar (koran), majalah, buletin, leaflet, pamflet, plakat, buku, booklet,
tabloid dan terbitan lainnya.
b) Media elektronik, terdiri atas radio, televisi dan bentuk rekamannya (seperti : kaset, CD, VCD, CD rom, DVD)
serta internet.
c) Media film, terdiri atas sinema, fotografi, mikro film dan sebagainya.
d) Media panggung, terdiri atas panggung teater modern maupun tradisional, berbagai jenis wayang, teater boneka
dan sebagainya.
e) Media periklanan, terdiri atas periklanan yang menggunakan berbagai media seperti tersebut di atas serta
media tetap (fixed media) seperti billboard dan sebagainya.
7). Pers Indonesia dalam menghadapi globalisasi
Abad kedua puluh satu adalah abad globalisasi, yaitu suatu era proses makin menyatunya eksistensi bangsa-bangsa
di dunia menjadi suatu masyarakat dunia atau masyarakat global. Kecenderungan terbangunnya masyarakat global
itu dipacu oleh revolusi teknologi di bidang komunikasi dan transportasi. Jarak bukan lagi menjadi hambatan dalam
komunikasi dan transportasi global. Oleh karena itu jangkauan pers juga telah menembus batas teritori suatu negara,
sehingga berita bersumber dari dan tersebar ke seluruh pelosok dunia. Agar Pers Indonesia tetap eksis dalam
menghadapi arus globalisasi, harus tetap berpijak di atas kepribadian Indonesia.
8). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam kehidupan pers atau media massa.
Penyelenggaraan pers atau media massa Indonesia harus berlandaskan lima prinsip Pancasila.
a) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tidak dibenarkan :
(1). Bertentangan dengan etika dan moral agama.
(2). Melecehkan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ataupun ajarannya.
(3). Menghujat Tuhan menurut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b). Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tidak dibenarkan :
(1) Merampas kehormatan dan martabat kemanusiaan.
(2) Merampas kehormatan dan martabat pribadi seseorang.
(3) Menghina ras, etnik atau bangsa tertentu.
(4) Menghina keturunan atau status sosial seseorang.
(5) Menghina pekerjaan maupun profesi seseorang.
c). Persatuan Indonesia.
Tidak dibenarkan :
(1) Menyebabkan atau memfasilitasi terjadinya perpecahan nasional, yang meliputi perpecahan bangsa maupun
perpecahan daerah atau wilayah.
(2) Mendorong atau memfasilitasi konflik antar etnik dan sub-etnik yang mengganggu persatuan dan kesatuan
Indonesia.
(3) Mendorong atau memfasilitasi pemisahan diri suatu daerah atau wilayah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Memihak atau mendukung pihak yang berlawanan atau bertentangan secara konstitusional dengan Pemerintah
Republik Indonesia yang sah.
(5) Memihak atau mendukung negara lain yang bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia.
d). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Tidak dibenarkan :
(1) Bersikap, berperilaku dan bertindak otoriter.
(2) Memihak atau mendukung sifat dan sikap otoriter suatu pihak tertentu.
(3) Membentuk opini publik untuk memvonis atau memojokkan pihak yang tidak disukai, tanpa mengungkapkan
kebenaran secara akurat, rasional dan adil.
(4) Menyelesaikan suatu masalah tanpa melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
(5) Bersikap sepihak tanpa memperhatikan pendapat pihak lain meskipun pendapat itu berbeda atau berlawanan
dengan pendapat pers sendiri.
(6) Bersikap netral dalam hal mengemukakan kebenaran, melainkan harus memihak kepada kebenaran yang jujur
dan adil.
e). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak dibenarkan :
(1) Bertentangan dengan keadilan sosial.
(2) Memberikan atau mewujudkan kesejahteraan untuk kelompok atau golongan masyarakat tanpa
mempertimbangkan kesejahteraan bagi rakyat yang lebih besar dan luas.
(3) Mengabaikan usaha mewujudkan kesejahteraan secara adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
(4) Menyebarkan pesan yang provokatif dan menimbulkan keresahan masyarakat.
(5) Menyebarkan pesan yang bersifat adu domba dan menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal.
f). Pancasila harus dijadikan pedoman pers Indonesia dalam menghadapi gelombang globalisasi serta dijadikan
instrumen penyaring dalam memilih dan menyeleksi nilai-nilai global yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa
Indonesia. Nilai global yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia hendaknya tidak dijadikan sebagai etika
moral pers Indonesia. Etika moral pers Indonesia harus tetap bertumpu pada etika moral lima prinsip Pancasila.
1. g. Organisasi Non-Pemerintah
1). Pengertian
Organisasi non pemerintah ialah suatu badan atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh para anggotanya dengan
tujuan ikut serta bertanggung jawab dalam penyelenggaraan urusan publik (public affairs). Pada hakikatnya urusan
publik tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah.
Organisasi non pemerintah adalah perwujudan dari sistem penyelenggaraan keikutsertaan masyarakat atau warga
negara dalam pemerintahan yang merupakan salah satu hak dasar warga negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2). Kebebasan berserikat dan berkumpul
Organisasi non pemerintah adalah pranata sosial atau social institutionyang merupakan sarana mewujudkan
kebebasan berserikat dan berkumpul yang menjadi hak dasar bagi setiap warga negara. Berserikat dan berkumpul
adalah sifat hakiki manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa hidup dalam kebersamaan. Eksistensi manusia
akan mempunyai arti jika ia ada dalam kebersamaan. Dalam kehidupan bersama timbul kewajiban dan hak bagi
setiap anggotanya, kewajiban saling memberi dan menerima bagi setiap anggotanya, dan kewajiban saling hormat
menghormati bagi setiap anggotanya. Jika kewajiban dan hak setiap anggota dapat terpenuhi secara serasi sesuai
dengan fungsi serta kegiatan masing-masing anggota maka akan berkembang keadilan yang berdasar penghormatan
dan penghargaan martabat manusia.
3). Tujuan
Berbeda dengan partai politik yang bertujuan ikut serta mengendalikan, mempengaruhi perumusan kebijakan dan
penyelenggaraan pemerintahan, organisasi non pemerintah bertujuan ikut serta menjamin tercapainya program-
program penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Seperti misalnya
dalam fungsi penyelenggaraan perlindungan hukum bagi warga negara, pelindungan terhadap perempuan,
perlindungan terhadap anak, perlindungan lingkungan hidup dan sebagainya.
4). Fungsi
Organisasi non pemerintah berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan keadilan sosial,
penyelenggaraan mencerdaskan kehidupan bangsa, penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Kegiatan
tersebut memang telah menjadi kewajiban pemerintah yang merupakan bagian dari fungsi pemerintahan, akan tetapi
kegiatan tersebut akan lebih efektif jika dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat. Pada tingkat
perkembangan kemampuan masyarakat pada taraf dan saat tertentu, memungkinkan masyarakat secara mandiri
mampu menyelenggarakan kegiatan tersebut. Dalam keadaan seperti itu pemerintah hanya memfasilitasi kegiatan
tersebut melalui penetapan kebijakan dan perencanaan program, sedang masyarakat sendiri yang akan melaksanakan
kegiatan tersebut. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah belum dapat menjangkau seluruh kegiatan
yang menjadi perhatian masyarakat. Dalam terminologi manajemen pembangunan hal itu disebut Community based
development atau pembangunan berbasis masyarakat. Oleh sebab itu program kegiatan organisasi non pemerintah
tidak dapat terpisah dari program pemerintah. Pada dasarnya program organisasi non pemerintah mengacu pada
kebijakan pemerintah, yang dalam hal ini kebijakan pemerintah dirumuskan dan diputuskan bersama melalui
lembaga perwakilan rakyat. Lembaga perwakilan itulah yang secara konstitusional mempunyai hak untuk
mengendalikan atau mengontrol pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
5). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi non pemerintah
Kegiatan organisasi non pemerintah tidak harus bertentangan atau berlawanan dengan kegiatan pemerintah,
melainkan sebagai mitra kerja pemerintah. Kegiatan organisasi non pemerintah justru harus sejalan dengan kegiatan
pemerintah.
a). Dalam pelaksanaan kegiatannya organisasi non pemerintah harus berpegang pada asas kebersamaan. Kehidupan
bersama dapat terselenggara dengan baik, dalam arti dapat mewujudkan keadilan jika hak dan kewajiban
diaktualisasikan secara bersama-sama. Bila dalam kehidupan bersama hanya ada hak saja tanpa ada kewajiban,
maka hak yang demikian tidak memiliki arti apapun. Keadilan dapat terwujud kalau hak dan kewajiban dapat
dipenuhi secara seimbang dan selaras. Warganegara memiliki hak untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan,
negara memiliki hak untuk mentertibkan dan menuntut ketaatan warganegara. Negara mempunyai kewajiban
distributif kepada warganegaranya, sedang warganegara mempunyai kewajiban taat kepada negara.
b). Untuk implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila selain dorongan lahir batin, diperlukan pula kesadaran
akan kewajiban bagi setiap warganegara untuk taat kepada Pancasila sebagai dasar negara, secara rinci diuraikan
pada paragraf 8) tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan pers atau media massa.
1. h. Pelaksanaan Otonomi Daerah
1). Pengertian
Pembagian dan pendistribusian kekuasaan atau wewenang dalam suatu pemerintahan diatur secara horisontal dalam
bentuk kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif; sedang pendistribusian secara vertikal
diatur dalam bentuk pelimpahan kekuasaan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Otonomi Daerah merupakan pola
pendistribusian kekuasaan atau wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah.
Untuk dapat memahami secara lebih mendalam mengenai penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk
memahami pengertian yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi dimaksud, di ataranya adalah sebagai
berikut:
a) Otonomi
Menurut etimologi, otonomi berasal dari kata Latin authos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti
mengatur dan mengurus. Beberapa penulis memberi arti bahwa otonomi ini adalahzelfwetgeving atau pengaturan
perundang-undangan sendiri atau pemerintahan sendiri. Pengertian secara etimologis ini belum memberikan
gambaran lengkap mengenai apa yang dimaksud dengan otonomi.
Menurut kamus Webster, autonomy diberi makna the degree of self-determination or political control possessed by
minority group, territorial division, or political unit in its relations to the state or political community of which it
forms a part and extending from local self-government to full independence
Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, otonomi diberi pengertian sebagai hak mengatur
sendiri kepentingan dan urusan intern daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri.
b). Sentralisasi dan Desentralisasi
Pengertian otonomi berkaitan erat dengan pengertian sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan. Oleh karena itu perlu
difahami makna sentralisasi dan desentralisasi.
Menurut kamus Webster, centralization memiliki arti concentration of the powers and agencies of government in
the central or national organization; concentration of authority and power into the hands of a few.
Sentralisasi adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik, ekonomi dan sosial di
Pusat. Seringkali pula Pusat hanya merupakan kelompok terbatas. Bagian-bagian Negara tidak memiliki arti secara
politis, ekonomis dan sosial.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah otonom, berupa
penyerahan urusan tertentu untuk diselenggarakan sendiri oleh Daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya
sendiri.
Dalam penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah terdapat beberapa bentuk atau ketentuan
sebagai berikut:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah dan/atau Desa dan dari Pemerintah
Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau Desa serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa untuk
melaksanakan tugas tertentu, yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung-jawabkannya kepada yang menugaskan.
Merujuk pada pengertian di atas, otonomi bermakna sebagai pelimpahan hak untuk mengatur sendiri dan
menentukan sendiri urusan intern Daerah dengan menyusun peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan
kepentingan Daerah. Tingkat pelimpahan hak mengatur sendiri tergantung dari sistem dan ideologi yang diterapkan
dalam Negara yang bersangkutan.
2) Perkembangan penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, Otonomi Daerah telah menjadi salah satu
subsistem ketatanegaraan Indonesia (Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945). Secara konstitusional Pemerintahan
Daerah dan otonomi daerah diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Lebih lanjut Penjelasan UUD 1945 (yang telah
dihapus dengan Perubahan UUD 1945), memberikan ketentuan mengenai pengaturan secara struktural dan
perwilayahan pemerintah daerah. Pada tingkat operasional kebijakan tentang desentralisasi, otonomi dan
pemerintahan daerah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan masanya, di
antaranya:
a). Periode 1945-1950
(1). Undang-undang No. 1 Tahun 1945, tentang Kedudukan Komite Nasional sebagai Badan Perwakilan Daerah;
(2). Undang-undang No. 22 Tahun 1948, tentang Pemerintahan Daerah;
b). Periode 1950-1965
(1). Undang-undang No. 1 Tahun 1957, tentang Pemerintahan Daerah;
(2). Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan No 5 Tahun 1960, tentang Pemerintahan Daerah;
(3). Undang-undang No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah;
c). Periode 1965-1998
(1). Undang-undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;
(2). Undang-undang No. 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa;
d). Periode 1998-sekarang
(1). Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2). Undang-undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah;
(3). Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
(4). Undang-undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah;
(5). Undang-undang No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan pelaksanaan dan pengembangan demokratisasi pemerintahan yang
memberikan kesempatan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah, bangsa Indonesia berprinsip bahwa Indonesia adalah merupakan satu
Negara Kesatuan, oleh karena itu tidak mengenal dan tidak mempunyai Daerah yang bersifat atau berkedudukan
sebagai Negara. Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang telah diserahkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Pengertian otonomi daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah hak, wewenang dan
kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat. Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
3). Prinsip Otonomi Daerah
a) Otonomi adalah pemberian keleluasaan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah
secara mandiri (self governing) sesuai situasi, kondisi dan karakteristik Daerah dalam lingkup wilayah negara.
Otonomi berkaitan dengan kemampuan Daerah untuk mengatur sendiri permasalahan Daerah yang merupakan
kepentingan umum Daerah yang bersangkutan. Meskipun demikian ada Daerah yang mampu menyelesaikan
permasalahannya sendiri, ada yang memerlukan bantuan Pemerintah Pusat atau Daerah lain.
b) Otonomi Daerah menerapkan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan
mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan Daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
c) Dalam menerapkan otonomi seluas-luasnya, didasarkan pada prinsip otonomi yang nyata, bertanggung jawab,
dinamis dan serasi. Otonomi nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi daerah harus didasarkan pada faktor-faktor
keadaan setempat yang memang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan mampu secara nyata
mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap Daerah tidak selalu sama
dengan Daerah lainnya. Otonomi yang bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian otonomi benar-benar sejalan
dengan tujuannya untuk melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, yang pada
akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Otonomi yang dinamis dalam arti bahwa
otonomi daerah tidak tetap, tetapi dapat berubah, bertambah apabila Pemerintah Pusat menambah penyerahan
urusannya kepada Daerah, dan berkurang apabila urusan Daerah yang bersangkutan sudah menyangkut urusan
Nasional atau Daerah tidak mampu lagi mengurusi urusan yang sudah diserahkan, maka urusan tersebut dapat
ditarik menjadi urusan pusat kembali. Otonomi yang serasi dalam arti bahwa pelaksanaan pembangunan tetap dijaga
keseimbangannya antara daerah dengan pemerintah pusat, dan jangan sampai terjadi ketimpangan satu daerah
dengan daerah lain. Otonomi daerah harus mampu menjamin keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
d) Dalam menjalankan otonomi daerah, baik pemerintah pusat maupun daerah memegang teguh prinsip berkeadilan
dan beradab, kegotong royongan membangun kesejahteraan daerah dan masyarakat, permusyawaratan dan
meniadakan ketimpangan sosial ekonomi serta ketimpangan antar daerah.
4). Tujuan Otonomi Daerah
a) Tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tujuan otonomi daerah adalah menjamin eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara mantap.
Oleh karena itu, pemerintah pusat selalu mempertimbangkan secara sungguh-sungguh berbagai macam pelimpahan
kewenangan kepada daerah. Dalam menjamin eksistensi NKRI, pemerintah pusat perlu mengembangkan pola
pengawasan yang sistematis dan efektif yang mampu meniadakan ekses yang dapat menganggu penyelenggaraan
pemerintahan NKRI. Pola pengawasan tersebut tetap dapat memberikan keleluasaan, kebebasan dan pengembangan
dinamika sosial ekonomi dan politik daerah serta menempatkan daerah yang patut dihormati dan diakui memiliki
hak dan kewajiban dalam turut menyelenggarakan pemerintahan nasional NKRI, untuk menghindari timbulnya
gerakan separatisme dan terjadinya proses disintegrasi.
b) Perwujudan demokrasi dalam pemerintahan daerah.
Perwujudan demokrasi dalam pemerintahan daerah berarti bahwa masyarakat daerah dilibatkan dalam perumusan
kebijaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi pada
aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan daerah akan membentuk mekanisme pemerintahan
daerah yang realistis dan efektif.
c) Perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial daerah.
Perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial daerah dengan memanfaatkan dukungan kapasitas pemerintah
daerah dan masyarakat dalam menggarap potensi sumber daya daerah secara optimal, dengan dukungan kemampuan
teknologi dan pendanaan dari pemerintah pusat dan investor, dalam kerangka keberhasilan pembangunan nasional.
d) Pengembangan Kreativitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Daerah.
Pengembangan kreativitas dan dinamika SDM di daerah perlu dilakukan antara lain melalui motivasi politik,
ekonomi, sosial budaya dan teknologi yang semuanya dapat didorong oleh penyelenggaraan otonomi daerah. Potensi
daerah perlu ditampilkan dan dikembangkan dalam wujud kegiatan produktif secara profesional untuk menunjang
pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat daerah. Pengembangan kreativitas SDM daerah juga mendukung
terwujudnya kesempatan kerja bagi masyarakat setempat atau daerah lain.
e) Pengembangan Karakteristik Daerah
Karakteristik yang dimaksud adalah karakteristik daerah yang bersifat fisik seperti keadaan geologi dan letak
geografi, maupun non fisik seperti keadaan sosial budaya (tatanan sosial, adat istiadat). Setiap daerah secara otonom
dapat mengembangkan karakteristik daerah yang dapat dijadikan faktor penggerak penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan di daerah.
5). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam Otonomi Daerah
a). Otonomi daerah diselenggarakan dalam rangka memperkokoh NKRI, bersendi pada kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan disesuaikan dengan kondisi, situasi dan
karakteristik daerah. Pemberian kewenangan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah harus bersendi kepada
otonomi nyata, bertanggung jawab, dinamis dan serasi.
b). Secara politis pemberian otonomi kepada daerah merupakan pelaksanaan dan pengembangan demokratisasi
pemerintahan yang memungkinkan daerah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.
c). Otonomi daerah merupakan suatu keharusan bagi penyelenggaraan pemerintahan NKRI mengingat luasnya
wilayah dengan keanekaragaman yang ada serta luasnya rentang kendali pemerintahan.
d). Otonomi daerah dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan daerah untuk menjamin efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraannya, dengan tetap menjaga terpeliharanya keserasian dan keseimbangan antara pusat
dan daerah serta antar daerah.
e). Otonomi daerah diselenggarakan dengan mengembangkan pola pengawasan yang memberikan keleluasaan,
kebebasan dan pengembangan dinamika sosial ekonomi dan politik daerah, dilaksanakan secara sistematis dan
efektif untuk meniadakan ekses yang mengarah timbulnya gerakan separatisme dan mencegah terjadinya proses
disintegrasi.
f). Otonomi daerah diselenggarakan dengan berorientasi pada kepentingan masyarakat dan daerah yang bertumpu
pada aspek sosial budaya, adat istiadat dan kondisi karaktersitik lainnya, yang perlu didekati dengan toleransi dan
diperlukan jaminan kelestariannya.
g). Otonomi daerah diselenggarakan atas dasar kepentingan yang mengacu pada kesejahteraan dan keadilan sosial
dalam bentuk kehidupan yang lebih baik dan bertumpu pada sumber daya daerah yang dapat menjamin pertumbuhan
dan perkembangan daerah.
h). Otonomi daerah di Indonesia dapat berhasil apabila penyelenggara pemerintahan daerah (kepala daerah/wakil
kepala daerah dan anggota DPRD) dan seluruh jajarannya secara konsisten melaksanakan tugas, wewenang dan
kewajibannya, sesuai konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang diwujudkan dalam
peningkatan pelayanan pada masyarakat, dengan :
(1) Melaksanakan ketentuan-ketentuan yang mengacu pada Pancasila, serta mempertahankan dan memelihara
NKRI, dengan memahami, mendalami dan mengimplementasikan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
(2) Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka mengimplementasikan Pancasila harus mampu meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
(3) Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Dalam rangka mengimpelementasikan Pancasila harus
mampu menerapkan semua sila-sila Pancasila demi terwujudnya ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(4) Melaksanakan kehidupan berdemokrasi.
Dalam rangka mengimplementasikan Pancasila harus mampu menerapkan sila keempat Pancasila yaitu : Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
1. i. Hubungan Internasional
1). Pengertian.
Semua bangsa di dunia merindukan terwujudnya sebuah kondisi internasional yang bebas dari penjajahan dan
penindasan, bebas dari ancaman peperangan atau konflik bersenjata serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat
yang adil dan merata tanpa melihat besar kecilnya suatu negara atau bangsa, atau singkatnya merdeka, damai dan
adil.
Kerinduan tersebut masih menghadapi rintangan dan hambatan dalam realitas hubungan internasional, antara lain
disebabkan karena setiap negara selalu mendahulukan kepentingan nasionalnya, sehingga dalam hubungan antar
negara tidak memperhatikan kepentingan negara lain. Kenyataan tersebut justru datang dari negara besar yang kuat
dalam percaturan dunia.
Berdasarkan kenyataan tersebut, setiap negara harus semaksimal mungkin membangun kekuatan nasional yang
tangguh untuk bisa bertahan diri (survival) secara terhormat di tengah percaturan internasional, agar kedaulatannya
tidak diremehkan dan didikte oleh negara lain. Sebuah negara, bagaimanapun kecil dan lemahnya, untuk
mempertahankan eksistensinya, harus memiliki ideologi nasional yang bebas, memperkuat kedaulatan dan otoritas
politiknya, meningkatkan kualitas penduduknya, memperbaiki kapasitas pemerintahannya, meninggikan moril
nasionalnya, dan bahkan kemudian membangun kekuatan angkatan bersenjatanya di samping memperkuat jajaran
diplomasinya.
Untuk membangun kekuatan nasional dan ketangguhan eksistensinya agar bisa bertahan hidup secara terhormat,
suatu negara tidak cukup hanya mengandalkan tradisi maupun kultur tinggi warisan bangsanya, tetapi harus
memperhatikan perangkat fisik dan material negara yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan konsep yang
dikembangkan baik oleh Prof. Hans J. Morgenthau maupun oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
2). Konsep membangun kekuatan nasional
a) Hans J. Morgenthau menekankan sembilan unsur penting untuk membangun kekuatan nasional suatu negara,
ialah :
(1) Stabilitas geografi, bahwa kondisi geografi, letak strategis geopolitik dan batas wilayah teritori yang unik,
sebagai modal kekuatan pertama;
(2) Kekuatan sumber daya alam, bahwa seluruh sumber daya alam, baik yang di darat, laut, udara maupun yang
terkandung di dalam bumi, sangat menentukan daya tahan dan kekuatan negara, bila dikelola secara benar dan baik;
(3) Kapasitas industri, bahwa sumber daya alam tersebut harus dieksploitasi oleh penduduk yang terampil dengan
memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam kegiatan industri nasionalnya sehingga bisa membanjiri pasar global;
(4) Kesiapan militer, bahwa demi kekuatan defensibilitas, setiap negara berhak untuk membangun angkatan
bersenjata yang kuat dan siap siaga setiap saat untuk mempertahankan negaranya;
(5) Kemampuan penduduk, bahwa penduduk warganegara, selain cukup kuantitasnya, harus berkualitas baik dalam
segi moral, karakter, intelektual maupun kemampuan, untuk setiap saat siap apabila diperlukan negara dalam
keadaan apapun;
(6) Karakter bangsa yang berkualitas, bahwa karakter bangsa yang berkualitas tinggi akan menjadi andalan
bagi kekuasaan negara dan kekuatan moril bangsa dalam menghadapi masalah domestik maupun global;
(7) Moril nasional yang kuat, bahwa semangat dan keberanian yang tinggi, di samping etika moralitas yang kuat dan
kesiapsiagaan diperlukan dalam menghadapi semua tantangan dan gangguan yang mencoba menggoyang negara;
(8) Kualitas diplomasi, bahwa diplomasi yang berkualitas, diisi insan-insan genius yang dimiliki bangsa, selalu
menjadi pengawal bagi sebuah negara berdaulat;
(9) Kualitas pemerintahan, bahwa sebuah negara yang kuat memiliki susunan dan mutu pemerintahan yang kuat,
yang mampu mensinergikan sumber daya nasional yang kuat dengan kebijakan politik yang ditetapkan.
b). Lemhannas mengembangkan konsep Ketahanan Nasional (National Endurance) yang berisi daya keuletan
(tenacity) dan daya tahan (resistence atau resilience). Konsep ini menyatakan agar bangsa Indonesia mampu
mengembangkan kekuatan nasionalnya dengan mensinergikan delapan elemen (Asta Gatra), yang terdiri dari Tri
Gatra dan Panca Gatra.
Tri Gatra yakni :
(1) Letak geografi negara,
(2) Keadaan dan kekayaan alam,
(3) Keadaan dan kemampuan penduduk; dan
Panca Gatra yakni :
(1) Ideologi Nasional,
(2) Politik,
(3) Ekonomi,
(4) Sosial dan Budaya,
(5) Pertahanan dan Keamanan (atau militer, angkatan bersenjata).
Apabila Morgenthau tidak mengemukakan unsur ideologi, Lemhannas menjadikan ideologi sebagai unsur pertama
dalam Panca Gatra.
3). Kedaulatan Negara dan Konstitusionalisme.
Kedaulatan negara sebagai konsep modern yang mengedepan bersamaan dengan makin menonjolnya
konsep Negara Bangsa diikuti dengan konsep geopolitik, melahirkan otoritas politik atau kekuasaan tertinggi yang
diperlukan negara yang harus diakui sama derajat dengan negara lain. Dengan kedaulatan tersebut, sebuah negara
berhak secara bebas, tanpa tekanan dari manapun membuat peraturan hukum dan konstitusinya bersumber dari
rakyat yang mendiami teritori negara.
Kedaulatan negara memberikan legitimasi etika politik yang mandiri, berarti tidak ada kekuasaan lain di atasnya,
sekalipun itu kekuasaan dari Perserikatan Bangsa-bangsa atau gabungan kekuasaan negara adidaya. Kedaulatan
memberikan hak bagi negara berdaulat memberlakukan Rule of Law di tengah pergaulan internasional. Berdaulat
berarti memegangLegibus Solutus atau bisa menjalankan kekuasaan tertinggi di wilayahnya sendiri. Hukum
internasional mengakui kedaulatan tiap negara dan tanpa campur tangan negara lain, yang dikenal sebagai
prinsipImpenetrability.
Dalam hubungan internasional prinsip diplomasi harus dijalankan sebagai perwujudan kedaulatan yang setara antar
negara. Semua masalah antar bangsa diselesaikan melalui perangkat diplomasi secara damai. Pergaulan
internasional juga menetapkan tiga prinsip tata krama pergaulan, yang harus dijadikan pedoman dalam menjaga
tegaknya kedaulatan negara. Pertama, prinsip kebebasan atau independence, bahwa setiap negara bebas mengatur
dirinya dan dalam mengadakan perjanjian dengan negara lain. Dalam hal ini PBB berkewajiban menjaga
kemungkinan intervensi atau pemaksaan kehendak dari bangsa lain. Kedua, prinsip persamaan atau equality, bahwa
setiap negara memiliki soverenitas tertinggi, tidak dimungkinkan adanya subordinasi negara atas negara lain. Ketiga,
prinsip kesepakatan pendapat atau unanimity, bahwa setiap negara, baik besar maupun kecil, memiliki kedudukan
yang sedarajat dalam mengambil keputusan.
Kedaulatan suatu negara dapat hilang, ketika negara yang bersangkutan lengah menjaga dan tidak mampu
mempertahankan eksistensi dirinya, sehingga kinerja politik sebenarnya menjadi hilang. Hal ini dapat secara
temporer atau bahkan permanen, yang mengakibatkan fungsi kedaulatan berpindah di tangan negara lain.
Di samping kedaulatan yang sangat penting bagi sebuah negara, konstitusionalisme menduduki urutan penting
berikutnya dalam masalah hubungan internasional.
Konstitusionalisme berakar dari bahasa Latin Constitutus, yang berarti membentuk atau menyusun bersama (Con =
bersama, statuere = membentuk/menyusun). Sehingga konstitusionalisme berarti prinsip penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan konstitusi, yang dalam negara demokrasi berdasar kemauan umum rakyat pemilih yang
berdaulat. Konstitusi berperan sebagai pengawas dan pembatas bagi kekuasaan negara, serta sebagai pengawal
berlakunya Rule of Law. Dalam ketata-negaraan modern konstitusionalisme menjadi karakteristik eksistensi negara
bangsa. Karakteristik tersebut berupa jaminan terselenggaranya supremasi hukum, kebebasan dan persamaan hak,
pemilihan umum secara reguler, sistem partai politik yang sehat, transparansi, kejujuran, akuntabilitas publik, dan
lain-lain prinsip yang baik dan bermanfaat bagi rakyat, serta tidak adanya diskriminasi ras, gender maupun agama.
Dengan demikian, kedaulatan negara dan konstitusionalisme merupakan dua sisi dari satu mata uang yang menjadi
ukuran kualitas dan kekuatan sebuah negara dalam hubungan internasional.
Kedaulatan dan konstitusionalisme sering dihubungkan dengan gerakancivil society dalam
menyukseskan terwujudnya HAM, yakni dihormatinya martabat manusia, ditegakannya hak dasar manusia dan
diwujudkannya keadilan sosial.
4). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam Hubungan Internasional.
Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia berketetapan tekad untuk ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial., berarti Indonesia akan
secara aktif bersama bangsa-bangsa lain ingin mewujudkan dunia yang tertib, di atas landasan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tiga landasan ini sejalan denganUnited Nations Universal Declaration of
Human Rights yang lahir kemudian (1948).
a). Dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, bangsa Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas aktif di
tengah pergaulan internasional, dalam mewujudkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial di seluruh
penjuru global. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya bangsa Indonesia tidak memihak baik pada blok
Barat maupun pada blok Timur. Sejarah membuktikan kebenaran prinsip ini, antara lain Indonesia mempelopori dan
menjadi tuan rumahKonferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 serta mempelopori terbentuknya ASEAN
pada tahun 1967.
b). Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional bangsa Indonesia merupakan filsafat yang mendasari sikap
dan karakteristik bangsa Indonesia dalam melaksanakan hubungan internasional. Pedoman implementasinya adalah
sebagai berikut :
Prinsip pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan landasan kuat pada pokok pikiran religiositas sebagai
sumber moralitas dan kebaikan yang mendasari hubungan antar manusia dan antar negara. Prinsip tersebut
diwujudkan dalam bentuk hubungan ko-eksistensi secara damai, harmoni dan membangun saling mempercayai.
Prinsip kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan landasan kuat pada pokok pikiran humanitas, yang
juga telah menjadi pedoman moral sejalan dengan United Nations Universal Declaration of Human Rights.
Apabila Ketuhanan dianggap sebagai sumber moral yang absolut, maka humanitas akan merupakan sumber moral
yang relatif, artinya menurut hati nurani kemanusiaan juga sekaligus sebagai kesepakatan universal.
Prinsip humanitas juga mempersyaratkan adil dan beradab, artinya bahwa kehormatan manusia harus berlaku bagi
semua tanpa diskriminasi rasial, agama, warna kulit, jenis kelamin, kelompok, status dan lain-lainnya. Perbuatan
yang tidak manusiawi seperti kekerasan, penganiayaan, pembunuhan termasuk pembunuhan massal ataugenocide,
perilaku yang tidak mengenal peradaban, pemenjaraan tanpa proses hukum, penculikan, serta perbuatan lain yang
melawan hukum dan hak asasi manusia, dalam pergaulan antar bangsa harus dicegah.
Prinsip ketiga, Persatuan Indonesia memberikan landasan kuat pada pokok pikiran kebangsaan atau nasionalitas.
Hal ini tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia tetapi juga bagi bangsa lain. Semua bangsa harus dapat hidup
berdampingan secara damai, tidak dibenarkan saling mengintervensi, sehingga semua bangsa dapat
mempertahankan hidup tanpa gangguan dalam persatuan global.
Dengan demikian implementasi prinsip ketiga ini memberikan dukungan kepada usaha PBB dalam menciptakan
ketertiban dan perdamaian dunia serta kesejahteraan umat manusia.
Prinsip keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
memberikan landasan kuat pada pokok pikiran soverenitas, yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan mengandung arti bahwa demokrasi yang berlandaskan
kedaulatan di tangan rakyat didasarkan pada kebenaran, ketepatan dan keadilan dari pemikiran, kebijakan dan
pengetahuan manusia, sedang proses pencapaiannya melalui permusyawaratan dan atau perwakilan.
Prinsip kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memberikan landasan kuat pada pokok
pikiran sosialitas yakni semangat kebersamaan dalam kehidupan komunitas masyarakat, bangsa dan komunitas
dunia dalam mewujudkan kesejahteraan bersama berdasarkan keadilan sosial.
Implementasi Pancasila dalam kehidupan hubungan internasional, utamanya dalam pelaksanaan politik bebas aktif,
mempersyaratkan sumber daya manusia yang berkualitas, yakni perangkat diplomasi yang handal termasuk diplomat
genius, profesional, berdedikasi serta memahami dan menghayati konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam
menunaikan tugasnya.
1. j. Bidang Hukum
1). Pengertian
a). Hukum dan Perundang-undangan
Hukum adalah kumpulan ketentuan, ditetapkan oleh otoritas pemerintahan atau kebiasaan masyarakat, yang
mengatur warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketentuan tersebut bersumber
dari kesadaran masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan, bersifat mengikat dan menuntut setiap
warganegara untuk mematuhinya.
Hukum dapat tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan hasil kesepakatan rakyat yang
dirumuskan melalui suatu proses legislasi dan kemudian berbentuk peraturan perundang-undangan, sedang hukum
tidak tertulis merupakan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi masyarakat. Legislasi adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan proses dan tata cara penyusunan undang-undang, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
b). Negara hukum dan sistem hukum
Negara hukum adalah suatu negara yang mengatur segala kegiatan dan kehidupan warganegara serta kelembagaan
pendukungnya bersendi pada hukum. Hal ini sesuai dengan faham konstitusionalisme, yakni pemerintahan berdasar
atas sistem konstitusi. Ciri negara hukum adalah
(1). Supremasi hukum, pembagian kekuasaan dengan kedudukan peradilan bebas (Supremacy of law)
(2). Asas legalitas, dalam arti kesamaan di depan hukum (Equality before the law)
(3). Pengaturan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (Human Rights)
(4). Peradilan tata usaha negara.
Sistem hukum adalah seperangkat hukum yang mengatur segala pranata kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan
bernegara, yang membentuk suatu kesatuan yang utuh sedemikian, sehingga tidak terjadi kontradiksi antar
ketentuan, dan ketentuan yang lebih rendah merupakan derivasi dari ketentuan di atasnya. Sistem hukum ini
biasanya mengikuti faham tertentu, ialah faham anglosakson atau faham kontinental.
c). Kedudukan hukum dalam NKRI
Kedudukan hukum dalam NKRI adalah merupakan dasar, pedoman dan pengaturan dalam segala bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2). Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila di bidang hukum
Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila di bidang hukum mengharuskan pembuat undang-undang untuk
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan inspirasi dan kesadaran hukum masyarakat yang
berkembang. Dalam hal telah disepakati bahwa nilai-nilai Pancasila bersifat universal, yang menjadi persoalan
pokok adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila yang universal itu dijabarkan dalam bentuk norma-norma yang jelas
dikaitkan dengan tingkah laku masyarakat dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan
pada hakikat sifat kodrat manusia bahwa setiap manusia adalah sebagai individu dan sekaligus makhluk sosial,
konsekuensinya kita harus mengimplementasikan Pancasila dalam setiap aspek penyelenggaraan negara dan setiap
sikap dan tingkah laku masyarakat dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu bagi bangsa
Indonesia mengimplementasi-kan Pancasila adalah suatu keharusan baik moral maupun yuridis.
Dalam hubungan ini kita diingatkan oleh kata-kata yang bijak dariProf.Drs.Notonagoro, S.H yang berbunyi :
Apabila pelanggaran moral Pancasila itu terus-menerus dilakukan banyak orang, akan merusakkan derajat hidup
seluruhnya tidak hanya moral tetapi juga kultural, religius, sosial ekonomi dan akan tidak terhindar keburukan
akibatnya bagi bangsa, rakyat dan negara.
Ditinjau dari segi filsafat hukum, maka hukum digunakan untuk mencapai keserasian, kedamaian, dan keadilan.
Dengan menegaskan bahwa Pancasila adalah sendi keserasian hukum, maka harus terbukti bahwa keserasian
tersebut memang terdapat dalam tiap-tiap silanya.
a). Keserasian dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama mengungkapkan hubungan yang serasi antara Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Manusia yang
mengakui dan yakin akan kebenaran Pancasila akan berikhtiar memantapkan dan tidak mengganggu hubungan yang
serasi antara Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Karena itu wajarlah jika hukum tidak hanya menjadi pedoman hidup
antar manusia, tetapi juga pedoman bagi berlangsungnya keserasian antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya.
b). Keserasian dalam sila Kemanusian yang Adil dan Beradab
Sila kedua menunjuk pada hubungan serasi antar manusia perseorangan, antar kelompok ataupun antara
perseorangan dengan kelompok. Hubungan serasi tersebut harus mampu mewujudkan penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia secara adil dan beradab.
Kemanusiaan yang adil dan beradab harus dijadikan sendi keserasian hukum, termasuk hukum tata negara, hukum
administrasi negara, hukum pidana dan hukum perdata serta aturan hukum yang tidak tertulis.
c). Keserasian dalam sila Persatuan Indonesia
Sila ketiga Persatuan Indonesia maksudnya ialah persatuan suku, ras dan golongan yang menjelma menjadi satu
bangsa, sehingga tidak dibenarkan satu sama lain saling meniadakan, tetapi harus membangun keserasian
hubungan sinergis sehingga dapat terwujud satu kesatuan bangsa dalam kehidupan nasional. Kehidupan nasional
dimaksud merupakan kehidupan kebangsaan yang tidak sempit atau chauvenistic,melainkan benar-benar
merupakan perwujudan bhinneka tunggal ikadan membuka diri dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.
Dalam hukum, sila ketiga ini diwujudkan dengan adanya prinsip faham unifikasi, terutama dalam Hukum Tata
Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Benda (zakenrecht) dan Hukum Pidana yang terjalin dalam suatu
sistem hukum Nasional. Namun juga mengakui adanya prinsip faham pluralisme, khususnya dalam hukum keluarga
dan hukum waris.
d). Keserasian dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan
Sila keempat Pancasila mengamanatkan bahwa demi mempertahankan kesebersamaan dalam perbedaan diperlukan
upaya untuk mencapai konsensus atau kesepakatan.
Apabila terjadi ketidakserasian antara kepentingan penguasa dan kepentingan warganegara yang pada dasarnya
adalah ketidakserasian hubungan antara kekuasaan dan kepatuhan, maka harus diselesaikan dengan musyawarah
untuk mencapai mufakat.
e). Keserasian dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima Pancasila terarah pada tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara
serasi rohaniah dan jasmaniah serta merata dan berkesinambungan.
Dalam hukum harta kekayaan atau hukum ekonomi harus diutamakan keserasian rohaniah dan jasmaniah serta
keselarasan antara kebebasan dan ketertiban demi terwujudnya keadilan sosial.
1. 2. Bidang Ekonomi
1. Pengertian
Ekonomi diangkat dari kata Yunani oikonomia yang berarti keahlian mengurus (nemein) rumahtangga (oikos) secara
bijaksana dan teratur. Selanjutnya dapat dirumuskan sebagai tindakan atau proses penciptaan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Ekonomi memusatkan perhatiannya pada masalah produksi, distribusi dan konsumsi
barang dan jasa. Demikian juga membahas masalah kegiatan dunia usaha, lapangan kerja, kesempatan kerja, serta
rumah tangga manusia yang memproduksi, mengonsumsi dan membiayai hasil produksi yang dimanfaatkannya.
Kenyataan yang selalu dihadapi dalam kehidupan ekonomi adalah, di satu pihak kelangkaan sumber daya termasuk
sumber daya alam untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, di lain pihak kebutuhan manusia
yang tidak terbatas. Pada hakikatnya ialah bagaimana mengatur agar persediaan (supply) dan permintaan (demand)
dalam kondisi seimbang dalam hal ini persoalannya adalah bagaimana menentukan barang dan jasa yang akan
diproduksi, siapa yang akan mendapatkannya dan berapa jumlahnya. Ekonomi dapat pula diartikan sebagai
kebijakan yang dibuat secara sadar yang diaplikasikan dalam kegiatan usaha maupun dalam kegiatan pemerintahan.
Keputusan yang diambil pemerintahan negara untuk mengatur ekonomi disebut Ekonomi Normatif atau Politik
Ekonomi. Ekonomi normatif menentukan pilihan yang jelas, disertai justifikasi tertentu tentang keuntungan
sebagai akibat pilihan tersebut. Dalam kaitan ini politik ekonomi bangsa Indonesia adalah ekonomi berdasarkan
Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, pilihan Pancasila sebagai panduan normatif dalam mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia, sudah merupakan pilihan yang tepat.
b. Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam bidang ekonomi.
1). Perwujudan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945,
merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, gunamemajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber
daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan umum yang terus
berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor
yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara
politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk
gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4)
Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep,
prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud secara sempurna.
2). Sistem Ekonomi Nasional.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tujuan kebijakan politik ekonomi nasional, yang secara populer
disebut masyarakat adil dan makmur. Kebijakan politik ekonomi nasional tersebut dijabarkan dalam Pasal 33 UUD
1945, ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, ayat (2) Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, ayat
(3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan Pasal 34 menegaskan : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara.
Demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi nasional Indonesia menganut prinsip produksi harus dikerjakan oleh
semua dan untuk semua, di bawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat, bahwa kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang, sebab itu perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang mengarah pada pembangunan negara kesejahteraan (Welfare
State), dengan peran negara yang dominan. Usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan akan efektif dengan
bimbingan negara.
Lima peran negara yang sangat penting dalam proses perekonomian nasional, yakni : (1) Menguasai produksi yang
penting bagi negara, (2) Menguasai seluruh kekayaan alam nasional, (3) Memeliharan fakir miskin dan anak-anak
terlantar, (4) Menyelenggarakan sistem jaminan sosial, (5) Menyediakan fasilitas dan pelayanan umum.
Semua kegiatan perekonomian nasional bermuara pada muara tunggal, yakni kesejahteraan umum dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembangunan demokrasi ekonomi terdapat enam prinsip yakni : (1) Kebersamaan, sebagai intinya; (2)
Efisiensi yang berkeadilan; (3) Berkelanjutan; (4) Berwawasan lingkungan; (5) Kemandirian; (6) Keseimbangan
antara kemajuan dan kesatuan nasional. Kemajuan yang dicapai oleh ekonomi bangsa tidak boleh membahayakan
kesatuan nasional.
Sistem ekonomi nasional yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
menerapkan demokrasi ekonomi, menciptakan sebuah bangunan negara kesejahteraan yang berkeadilan sosial yang
dapat disebut sebagai the social justice state.
3). Kelembagaan Ekonomi Nasional.
Pokok pikiran Bung Hatta yang kemudian menjadi kesepakatan nasional menyatakan bahwa bangunan ekonomi
nasional Indonesia terdiri dari berbagai pelaku ekonomi yang diwujudkan dalam kelembagaan ekonomi dengan
kedudukan dan fungsi masing-masing yakni : (1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikelola Pemerintah,
(2) Koperasi yang dibentuk oleh rakyat maupun Pemerintah (3) Swasta kecil maupun besar, dan (4) Usaha
perorangan, yang semuanya tunduk pada peraturan perundang-undangan.
Dalam mengimplementasikan demokrasi ekonomi, Pemerintah wajib menjadi motor perekonomian Indonesia.
Dalam hal ini dapat dibentuk kelembagaan ekonomi campuran antara BUMN dan swasta. Industri rakyat dipacu
pelaksanaan dan pertumbuhannya di samping terus memacu pekerjaan publik yang dilaksanakan Pemerintah, seperti
perlistrikan, gas, air minum, kereta api, pos dan telekomunikasi, perbankan, pertambangan, serta pengelolaan
kekayaan alam lainnya. Usaha koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM) didorong untuk mengembangkan diri,
misalnya dibantu dengan permodalan, keahlian dan pengelolaan serta dikembangkan melalui sistem kemitraan.
Pengawasan pemerintah terhadap dunia usaha dilaksanakan melalui peraturan pembentukan perusahaan, koordinasi,
bimbingan produksi, peraturan ketenagakerjaan, serta jika diperlukan pengendalian harga dan lain-lainnya, dengan
tetap memperhatikan efisiensi dalam perekonomian.
Khusus mengenai koperasi, sebagai soko-guru ekonomi nasional dan menjadi gerakan nasional yang diperingati
setiap tahun, memang dimaksudkan untuk mengangkat perekonomian Indonesia yang masih terpuruk sampai saat
ini. Koperasi Indonesia berfungsi ganda, yakni sebagai kegiatan ekonomi, dan sebagai kegiatan sosial
kemasyarakatan. Perlu sikap baru yang lebih tegas, agar koperasi bisa berfungsi efektif sebagai lembaga ekonomi
masyarakat, dengan lebih menitik beratkan bobot ekonominya, misalnya dengan lebih menanamkan
jiwaentrepreneurship atau kewira-usahaan. Pemerintah wajib mengembangkan koperasi menjadi lembaga ekonomi
nasional Indonesia yang oleh Prof. Mubyarto disebut sebagai ekonomi kerakyatan.
Usaha besar maupun konglomerasi, baik yang dijalankan Pemerintah melalui BUMN maupun usaha swasta
korporasi harus memperhatikan terwujudnya kesejahteraan rakyat, bukan untuk kelompoknya sendiri, bukan
hanya profit making dan private property, tetapi juga harus memperhatikan terwujudnya keadilan sosial, misalnya
dengan menyelenggarakan jaminan sosial, maupun bentuk-bentuk lain yang saling menguntungkan.
Mengenai kegiatan pasar, harus dikaitkan dengan negara kesejahteraan yang dibangun bangsa Indonesia. Pasar harus
berfungsi sebagai pencipta ekonomi kesejahteraan sosial. Indonesia dengan The Social Justice Sate-nya, seharusnya
mampu secara komprehensif dan seimbang menempatkan tiga pelaku ekonomi nasional yakni BUMN, perusahaan
swasta dan koperasi, untuk bersama-sama mendukung program perekonomian nasional sesuai dengan aturan main
yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan berdasarkan konsep, prinsip dan nilai Pancasila.
4). Operasionalisasi kebijakan perekonomian nasional
a) Kebijakan perekonomian nasional mengacu pada efektivitas ekonomi pasar, dengan tetap menjaga
terwujudnya prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pada dasarnya ekonomi kesejahteraan berkeadilan sosial
adalah bentuk campuran dari pola kegiatan pasar yang seimbang dengan peran tegas pemerintah dalam mengatur
perekonomian nasional. Pemerintah berperan untuk mengarahkan perekonomian nasional termasuk peran pasar.
Peran pasar dalam alokasi sumber daya alam, produksi barang dan jasa, penyediaan SDM berkualitas, peluang
kesempatan kerja yang luas, daya saing yang cukup tinggi sampai ke tingkat percaturan global, penjagaan
keseimbangansupply dan demand dalam pasar yang kompetitif, harus berjalan seiring dengan peran pemerintah
dalam menata sarana umum, meredistribusi kekayaan nasional, penyediaan kompensasi dan jaminan sosial,
penyelenggaraan pelayanan publik maupun segala usaha pemberantasan kemiskinan. Oleh karenanya akan selalu
terdapat hubungan keterkaitan yang erat antara pasar dan pemerintah.
b) Eratnya hubungan keterkaitan antara peran pasar dan peran pemerintah serta tanggung jawab negara,
diaktualisasikan dengan : (a) Tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan meningkatkan
pemerataan hasil pertumbuhan. (b) Perbedaan penghasilan perorangan tetap dimungkinkan, selama perbedaan
tersebut mampu memberikan kemanfaatan bagi yang kurang beruntung, sebagai beban tanggung jawab sosial. (c)
Peran pemerintah atau negara tidak bertentangan dengan hukum ekonomi, namun mampu secara baik mengatur
terselenggaranya kesejahteraan yang berkeadilan sosial. (d) Setiap pelaku ekonomi baik perorangan maupun
lembaga ekonomi memiliki peluang yang sama untuk memperoleh akses terhadap kelangkaan sumber daya yang
tersedia, di samping berkewajiban menanggung beban sosial yang seimbang dengan manfaat yang diperoleh. (e)
Berpihak kepada yang kurang beruntung, tidak harus berarti merugikan bisnis masyarakat mapan, tetapi mengacu
pada pemberdayaan potensi SDM secara optimal.
c) Peran pemerintah dan negara : (a) Menyediakan pelayanan dan sarana bagi kemanfaatan publik, seperti energi,
air minum, transportasi umum, pertambangan dan industri strategis. Pembiayaan melalui APBN, ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan. (b) Menjaga APBN agar tetap seimbang, sehingga dapat menciptakan kondisi
perekonomian yang sehat bagi investasi dan usaha. (c) Menyelenggarakan pemerataan pendapatan nasional secara
adil, menjaga kestabilan ekonomi makro dan fasilitas pengembangan ekonomi mikro.
Karena peran pemerintah dalam menata kehidupan perekonomian nasional begitu besar, maka sangat diperlukan
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
d) Tiga pelaku ekonomi nasional, BUMN, usaha swasta dan koperasi, didorong dan dipacu sama kuat secara
proporsional, sehingga mempunyai peluang yang sama dalam meningkatkan kemampuan secara vertikal maupun
horizontal, dengan fokus masing-masing, antara lain : (a) BUMN, pada penciptaan barang dan jasa bagi kepentingan
publik, sarana umum, industri strategis, dan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. (b) Usaha swasta
nasional, pada kegiatan perdagangan dan industri umum yang belum di tangani BUMN, kegiatan investasi yang
padat modal serta teknologi tinggi, termasuk kegiatan ekspor maupun impor, juga penanganan bisnis skala global.
(c) Badan-badan koperasi, pada kegiatan yang menyangkut kepentingan bersama, sebagai penyangga ekonomi
berkeadilan, menyerap sebanyak mungkin SDM yang terus ditingkatkan mutunya, bergerak dari usaha mikro,
menengah secara kooperatif, dan berpeluang meningkat pada usaha besar sampai raksasa, melalui tabungan yang
dibangun bersama.
Ketiga badan usaha tersebut, dengan semangat menyukseskan negara kesejahteraan perlu terus meningkatkan
potensi entrepreneurship masing-masing, terus meningkatkan pencarian pemupukan modal investasi demi masa
depan yang lebih gemilang.
e) Pengembangan ekonomi nasional memperhatikan lingkungan hidup dengan memelihara kelestarian alam dan
sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, termasuk menjaga kesehatan lingkungan kerja sehingga tercapai
kondisi usaha yang berkualitas dan kehidupan masyarakat yang sehat.
1. 3. Bidang Sosial Budaya
1. Pengertian
Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan ide, aktivitas dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada
naluri, yang menjadi milik bersama untuk menciptakan kemudahan hidup, diwariskan melalui proses sosialisasi dan
transformasi.
Sosial budaya merupakan salah satu bidang kehidupan manusia dalam mengembangkan kebudayaan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup manusia khususnya dalam
memenuhi kepuasan batiniah, material dan sosial.
Sejak abad ke-20 dengan terjadinya keanekaragaman yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa di negara-negara
berkembang, masyarakat dunia mengakui bahwa keanekaragaman sosial budaya atau pluralisme merupakan masalah
yang hakiki. Masyarakat pluralistik adalah masyarakat yang terdiri atas sejumlah golongan suku bangsa yang
terwujud dalam satuan-satuan masyarakat dengan kebudayaannya yang berdiri sendiri, dan menyatu menjadi bangsa
dalam sebuah negara.
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat pluralistik, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang
harus diwujudkan dalam membangun jiwa kebangsaan yang kuat, berdiri di atas perbedaan kultur, agama, adat-
istiadat, ras, etnis dan bahasa. Keanekaragaman tersebut tidak boleh meretakkan kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia. Itulah bentuk kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang juga mewarnai kehidupan bidang politik,
ekonomi dan keamanan nasional.
b. Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam bidang sosial budaya
1). Bangsa yang berbudaya Pancasila adalah bangsa yang berpegang pada prinsip religiositas, pengakuan bahwa
manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka
manusia hendaknya mampu menempatkan diri secara tepat dalam hubungan dengan Tuhannya. Pertama ia harus
yakin akan adanya Tuhan sebagai kekuatan gaib, yang menjadikan alam semesta termasuk manusia, yang mengatur
dan mengelolanya sehingga terjadi keteraturan, ketertiban dan keharmonian dalam alam semesta. Kedua, sebagai
akibat dari keyakinannya itu, maka manusia wajib beriman dan bertakwa kepada-Nya, yakni mematuhi segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
2). Bangsa yang berbudaya Pancasila berpandangan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan dikaruniai berbagai
kemampuan dasar, dengan kapasitas rasional dan memiliki hati nurani, yang membedakan manusia dari makhluk
lain ciptaan Tuhan. Kemampuan dasar tersebut adalah cipta, rasa, karsa, karya dan budi luhur. Di samping itu
manusia juga dikarunia kebebasan untuk memanfaatkan potensi tersebut. Dengan kemampuan ini manusia dapat
memahami segala hal yang berkembang di sekitar dunianya, mampu menangkap maknanya, mampu memberikan
penilaian dan selanjutnya menentukan pilihan terhadap hal-hal yang akan dilaksanakan atau dihindarinya, yang
harus dipertanggung jawabkan.
3). Bangsa yang berbudaya Pancasila menghendaki berlangsungnya segala sesuatu dalam suasana yang selaras,
serasi dan seimbang. Hal ini hanya mungkin terjadi apabila setiap warga masyarakat menyadari akan hak dan
kewajibannya, menyadari akan peran, fungsi dan kedudukannya sesuai dengan amanah Tuhan Yang Maha Esa.
4). Dalam menunjang hidup manusia, Tuhan menciptakan makhluk lain seperti makhluk jamadi, makhluk nabati,
dan makhluk hewani baik di darat, laut maupun udara, untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan penuh
kearifan. Segala makhluk tersebut perlu didudukkan sesuai dengan peruntukannya, sesuai dengan fungsinya, peran
dan kedudukannya dalam menciptakan harmoni, dan kelestarian ciptaan-Nya. Setiap makhluk mengemban amanah
dari Tuhan untuk diamalkan dengan sepatutnya.
5). Di samping kemampuan dasar tersebut di atas, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan nafsu, akal dan
kalbu yang merupakan pendorong dalam menentukan pilihan dan tindakan. Tanpa nafsu, akal dan kalbu tersebut
maka manusia sekedar sebagai makhluk nabati, yang tidak memiliki semangat untuk maju, mencari perbaikan dan
kesempurnaan dalam hidupnya. Dalam memanifestasikan nafsu tersebut maka perlu dipandu oleh akal dan budi
luhur, sehingga pilihan tindakan akan menjadi arif dan bijaksana. Di sini letak martabat seorang manusia dalam
menentukan pilihannya; dapat saja yang berkuasa dalam menentukan pilihan ini adalah hawa nafsu, sehingga pilihan
tindakannya menjadi bermutu rendah; dapat pula pilihan ini didasarkan oleh pertimbangan akal sehat dan dilandasi
oleh budi luhur dan bimbingan keyakinan agama, sehingga pilihan tindakannya menjadi berbudaya dan beradab.
6). Bangsa yang berbudaya Pancasila menciptakan masyarakat yang demokratis, suatu masyarakat yang
pluralistik, menghargai segala perbedaan yang dialami manusia, menghargai perbedaan pendapat, sportif, yang pada
akhirnya bermuara pada suatu masyarakat yang selalu mengutamakan kesepakatan dalam menentukan keputusan
bersama, dan selalu mematuhinya. Keputusan bersama ini dapat berupa kesepakatan yang bersifat informal, sosial
maupun kultural oleh masyarakat, dapat pula bersifat formal maupun yuridis, seperti peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh negara. Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang anggotanya menjunjung tinggi
kesepakatan bersama dan menjunjung tinggi peraturan hukum. Hal ini berarti bahwa penegak hukum dan warga
masyarakat sama-sama mematuhi hukum sesuai dengan peran dan kedudukan masing-masing.
7). Bangsa yang berbudaya Pancasila menghargai harkat dan martabat manusia. Dengan kata lain hak asasi
manusia dijunjung tinggi. Manusia didudukkan dan ditempatkan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hak-hak
sipil dan politik warga masyarakat dihormati, demikian pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam
masyarakat yang demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi warganya maka akan tercipta keadilan, kesetaraan
gender, kebenaran dan keutamaan hidup, nilai yang sangat didambakan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat
yang berbudaya dan beradab.
8). Bangsa yang berbudaya Pancasila menuntut berlangsungnya disiplin, transparansi, kejujuran dan tanggung
jawab sosial dalam segala penyelenggaraan kehidupan. Dengan nilai-nilai tersebut akan tercipta keteraturan,
ketertiban, ketentraman, kelugasan, saling percaya mempercayai, kebersamaan, anti kekerasan dan kondisi lainnya
yang memperkuat kesatuan dan persatuan masyarakat sehingga terhindar dari berbagai penyimpangan termasuk
korupsi, kolusi dan nepotisme dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan, termasuk penyelenggaraan
pemerintahan.
9). Bangsa yang berbudaya Pancasila mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, tanpa mengesampingkan
kepentingan pribadi dan kelompok masyarakat. Berbagai kepentingan ini perlu diatur begitu rupa sehingga tercipta
ke-harmonian.
1. 4. Bidang Keamanan Nasional
1. Pengertian
1). Penggunaan istilah keamanan selama ini mempunyai konotasi tertentu dengan pengertian yang sempit, dalam
hal ini hanya dikaitkan dengan fungsi kepolisian khususnya yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hakikatnya keamanan nasional (national security), mempunyai makna yang luas, menyangkut kelangsungan hidup
bangsa dan negara, merupakan masalah yang amat kompleks dan penuh dengan ketidakpastian, oleh karena itu harus
dikelola secara terus menerus tiada hentinya.
Penyelenggaraan keamanan nasional (kamnas) bertujuan untuk menjamin terwujudnya tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, agar
mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Penyelenggaraan kamnas merupakan fungsi negara, diwujudkan dalam fungsi pemerintahan yang mencakup hal-hal
sebagai berikut :
a) Penegakan hukum dan ketertiban umum (Law and Order), untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban
masyarakat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan melalui penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum ;
b) Keselamatan publik (public safety) dan perlindungan masyarakat(community protection), untuk terjaminnya
kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat melalui upaya mencegah, melindungi, menanggulangi dan
merehabilitasi akibat berbagai wabah, musibah, malapetaka, bencana alam, bencana buatan dan kerusakan akibat
perang ;
c) Keamanan dan ketertiban masyarakat (public security), untuk terjaminnya kenyamanan dan kedamaian
masyarakat ; dan
d) Pertahanan negara (national defence) untuk terjaminnya kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan
bangsa dan negara dari berbagai ancaman baik militer maupun non-militer.
2). Dengan pengertian yang benar tentang kamnas, dapat pula difahami bahwa ancaman terhadap NKRI dapat
berupa ancaman militer atau ancaman bersenjata dan ancaman non militer, walaupun keduanya tidak dapat dipisah-
pisahkan secara hitam putih. Pengklasifikasian ancaman hanya dimaksudkan untuk optimalisasi penanganannya
(pencegahan, penindakan dan rehabilitasi), dengan penetapan unsur penanggung jawab utamanya. Penyelenggaraan
kamnas dapat dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan dapat dicapai secara optimal, apabila dikembangkan
suatu sistem keamanan nasional (national security system), yang mengacu pada karakteristik geografi Indonesia,
sebagai negara kepulauan (archipelagic nation state), yang memiliki wawasan nasional yakni Wawasan Nusantara,
dengan tetap memperhatikan hukum internasional, serta mampu mewujudkan ketahanan nasional. Untuk itu seluruh
potensi dan kekuatan kamnas, baik militer maupun non-militer perlu didayagunakan secara menyeluruh, terpadu dan
sinergik.
1. Implementasi konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam bidang Kamnas
1). Sistem keamanan nasional (siskamnas) yang dikembangkan harus melibatkan seluruh potensi bangsa. Setiap
ancaman, baik militer maupun non-militer, harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa secara proporsional sesuai
dengan tugas, fungsi, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing. Siskamnas yang demikian itu biasa disebut
sebagai Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Keterlibatan seluruh potensi bangsa
sekaligus menggambarkan suatu bentuk persatuan dan kesatuan bangsa sebagai aktualisasi prinsip dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Sishankamrata pada hakikatnya juga sebagai salah satu bentuk aktualisasi konsep
inklusivitas gotong-royong atau kekeluargaan dalam masyarakat bangsa Indonesia yang pluralistik, secara dinamik
disesuaikan dengan perkembangan teknologi pendukungnya.
2). Penyelenggaraan Sishankamrata yang melibatkan seluruh potensi bangsa tersebut harus diatur dengan
peraturan perundang-undangan tentang Kamnas, yang meliputi antara lain tentang : POLRI, TNI, Mobilisasi dan
Demobilisasi, tugas bantuan TNI kepada POLRI, Komponen Kekuatan Kamnas lainnya sesuai kebutuhan, Anti
Terorisme, Intelijen Negara, Penanggulangan Bencana Alam, dan lain sebagainya.
3). Sishankamrata yang melibatkan seluruh warga negara harus diselenggarakan bersamaan dengan upaya
pengembangan nation and character building, yaitu menumbuh kembangkan jiwa kebangsaan pada setiap warga
negara sehingga timbul kesadaran akan hak dan kewajiban bela negara sebagai suatu kehormatan dan kebanggaan.
4). Pengambilan keputusan nasional tertinggi merupakan fungsi, tanggung jawab dan wewenang Presiden, dalam
kondisi normal dan terutama dalam kondisi kritis, akan lebih optimal apabila pengambilan keputusan tersebut
dibantu oleh suatu institusi yang melekat pada Presiden. Institusi ini dapat sebagai lembaga Persidangan yang
dipimpin atau diketuai Presiden dan dapat diberi nama Dewan Keamanan Nasional (national security council). yang
keanggotaannya terdiri dari anggota inti para Menteri (ex-officio) dibantu oleh unsur birokrasi yang dipandang perlu
oleh Presiden. Dewan keamanan nasional (Wankamnas) agar dapat berfungsi secara optimal, perlu difasilitasi oleh
Kantor di bawah Presiden, yang selalu siap dengan berbagai informasi terkini yang berkembang seputar masalah
Kamnas. Kantor ini dapat berupa Sekretariat Jenderal (Setjen) yang dikepalai oleh seorangSekretaris
Jenderal (Sekjen), merupakan pejabat setingkat Menteri, yang dapat sekaligus merangkap sebagai penasihat
Presiden tentang Kamnas. Sekjen Wankamnas mengkoodinir para pakar di bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
militer dan kepolisian yang sepenuhnya ditunjuk oleh Presiden, didukung oleh staf administrasi dan logistik.
BAB IV
PENUTUP
Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara ini dimaksudkan agar konsep, prinsip dan
nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat diaktualisasikan oleh setiap warganegara terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pedoman Umum ini dapat dipakai sebagai acuan perumusan berbagai kebijakan publik,
agar tujuan implementasi Pancasila dalam segenap bidang kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dapat
secara bertahap terwujud sehingga masyarakat, bangsa dan negara dapat mewujudkan tujuan nasional yang
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Untuk penerapan Pedoman Umum ini secara langsung pada setiap pemecahan permasalahan aktual yang
berkembang, perlu disiapkanpedoman khusus sebagai derivasi dari Pedoman umum yang disesuaikan dengan
sasaran, kebijakan dan strategi dengan melibatkan institusi yang kompeten dan terkait dengan permasalahannya.
Untuk itu semua, diperlukan komitmen yang kuat, kerja keras dengan penuh kearifan dari segenap komponen
bangsa, demi terwujudnya masa depan yang cerah dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai penutup, kiranya tepat sekali dikutipkan bagian dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai
berikut :
Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, . janganlah lupa
akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagiperjuangan. Jangan mengira
bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak ! Bahkan saya
berkata : di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan
perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila .
Catatan :
Naskah awal dipersiapkan oleh seluruh anggota LPPKB
DAFTAR PUSTAKA
Ananda B. Kusuma, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei 1945 22 Agustus 1945, Jakarta, 2005.
Anderson Martin, Phd, The Political Economyof Welfare Reform in the United States, Stanford University &
Columbia State University, 1978.
Andrew J. Hoffman, Phd. Prof. From Heresy to Dogma, An Institusional History of Corporate
Environmetalism, The Lexington Press, 1997. Library of Congress, USA.
Bambang Noorsena, Religi dan Religiositas Bung Karno Keberagaman Mengokohkan ke Indonesiaan, Bali
Jagadhito Press, Denpasar Bali 2001,
Binder, Leornado, James S., Colman, Joseph La Palombara, Lucian W. Pye, Sindey Verba and Myran
Weiner, Crisis and Sequences in Political Development, Pricenton University Press, 1971.
Canterbury E. Ray, The Making of Econimics, Wadworth Publishing Coy, Library of Congress, Belmont California,
1987
Corwin Edward S, Corwin on the Contitution,Princeton University, 1963.
Delia Noer, Prof. Biografi Politik Mohammad Hatta, LP3ES, Jakarta,1990.
Donald Eugene Smith, Prof., of Political Science, University of Pensylvania. Religion, Politics and Social Change in
the Third World.The Free Press, N.Y., Collier Mc. Millen Ltd, London, 1971,
Duchacek, Ivo D., Prof. in Politics, Rights and Liberties, World Today, Constitutional Promis and Reality, Halliday
Lithograph, N.Y. USA. 1973.
Edward, Richard C., and Michael Reich, and Thomas E. Weisskoff, The Capitalist System, A Radical Analysis of
American Society, Prentice Hall International, UK Ltd. London, Sydney, Tokyo, Canada, India, Singapore,
Wellington. 1986.
Hartojo Kadjat, Harry Tjan Silalahi dan Hadi Susanto, Nalar dan Naluri, Tujuhpuluh Tahun Daoed Joesoef,
Perpustakaan Nasional Indonesia, Jakarta 1996.
Hasil lokakarya nasional tentang Implementasi Pancasila dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang
diselenggarakan oleh LPPKB bekerjasama dengan Yayasan Sinar Wijaya Indonesia Cs, di Jakarta tanggal 9 Oktober
2004.
Hasil semiloka nasional tentang Aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk Panduan Umum Kehidupan Masyarakat
dalam Berbangsa dan Bernegara yang diselenggarakan LPPKB bekerjasama dengan LKPKB di Jakarta tanggal 13
Oktober 2003.
Hasil seminar nasional tentang Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi yang diselenggarakan
LPPKB di Jogyakarta tanggal 5 April 2003.
Hertz Noreena, Dr., The Silent Takeover, Global Capitalism and the Death of Demoracy, Harper Callins Publisher
Inc. N.Y. 2003.
Hook Sidney, Humanist Philosophy, S. Hook, Philosopher of Demoracy and Humanism, By Paul Kurtz, 1983.
Ikhsan, Mohammad, Chris Maning dan Hadi Susastro, Delapanpuluh Tahun Mohammad Sadli Ekonom Indonesia
di Era Politik Baru,Penerbit Kompas, Jakarta, 2002,
Katoppo Aristides, Delapanpuluh Tahun Bung karno. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1994
Leftwich, Richard H. & Ansel M. Sharp. Economics of Social Issues, Business Publication Inc., Plano, Texas. 1974-
1982, Library of Congress, Catalog Card 81-70520.
Merk, Ronald L., Prof., Smith, Marx and After, Ten Essays in the Development of Economic Thoubhts, John Witey
& Sons, New York, and Chapman & Hall, London 1977
Moerdiono dkk, Citra Negara Persatuan Indonesia, BP-7 Pusat, Jakrta 1996.
Moerdiono dkk, Disunting Oetojo Oesman, SH dan Alfian, Pancasila sebagai Ideologi, BP-7 Pusat 1996,
Morgenthau, Hans J., Prof. & Prof. Kenneth W. Thomson, Politics Among Nations, The Strunggle for Power and
Peace, Miller Center of Public Affairs., Sixth Edition, By Alfred A. Knopf. Inc. 1978.
Mubyarto, Prof. Ekonomi Pancasila, Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 2002.
Pamoe Rahadjo dan Islah Gusmian, Bung karno dan Pancasila, Galang Press 2002.
Schnitzer, Martin C., Prof. of Management, and James W Nordyke,Comporative Economic System, New Mexico
State University, 1983.
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI PPKI 28 Mei 1945 22 Agustus 1945, Jakarta, 1995.
Steiner, Henry J. Prof. of Law, and Prof. Philip Alston, International Human Rights in Contexts (Law, Politics,
Moral), Harvard University, Europen University Institute, Plorence. 2000.
Stiglitz, Joseph E., Nobel Price Winner in Economics, Globalization and its Discontents WW Norton & Company,
New York London 2003..
Swasono Meutia Farida, Bung Hatta, pribadinya Dalam Kenangan,Penerbit Sinar Harapan dan Universitas
Indonesia 1981.
Tiga Undang-Undang Dasar RI, UUD RI 1945, Konstitusi RIS 1950 dan UUDS 1950, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
Tsurutami Taketsugu, Prof. The Politics of National Deveopment Political Leadership in Transitional
Societies, Washington State University, 1973.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Williams, Robin M. Jr., Prof., Mutual Accommodation Ethnic Conflict and Cooperation, University of Minnesota
Press, Mineapolis, 1974.

Anda mungkin juga menyukai