Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara
seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara
pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada
pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan
pernikahan.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat
penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan
perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam
perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.

Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang
sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing.

Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai
realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan
antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai
akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya.
Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal
Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan
Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi
Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha,
dan masih banyak lagi.




2


Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi
jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap
mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap
ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak
dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.

Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama,
menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari
permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan
Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.

Perumusan Masalah

1. Pengertian Pernikahan
2. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
3. Contoh Kasus Beda Agama















3




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan
Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang
sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.

Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain
adalah :
a. Buku I KUH Perdata
b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
d. PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974
e. Instruksi Presiden Np. !/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

A. Pengertian Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian
perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu
pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa perkawinan adalah
suatu persetujuan kekeluargaan. Dan menurut Scholten perkawinan adalah hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang
diakui oleh negara.
4


Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui
perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat
serta peraturan agama tidak diperhatikan atau di kesampingkan. Menurut Kompilasi Hukum
Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.

Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan
Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya
melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut.

B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-
Undangan
Hakiakat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar
ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai
suami dan isteri.

Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakanya merupakan ibadah. Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan
adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam
perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan
adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang
hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan
KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan
kepada doktrin Kristen (Gereja).
Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut
5

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5
KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian
dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua
calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia
calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah
yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan
kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu
bagi wanita yang janda.

Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas
monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi
wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan.
Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di
dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang
yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian
jika belum lewat waktu 1 tahun.

Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri,
wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu
pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan
berumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sedangkan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia
yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga
negaranya adalah warga negara Indonesia.

Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di
wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena
perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
6


Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal
ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut
dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum
perkawinan Indonesia.

D. Perkawinan di Luar Negeri

Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh
sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara
Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar UU ini.

Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di
wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan
tempat tinggal mereka.















7

BAB III
PEMBAHASAN

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang
berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam
bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan
pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya
bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum
agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat
dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang
bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat
terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan
peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
8

diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika
dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga
penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda
agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat
kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa
perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk
pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan.

B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU
No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil
dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal
8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan
bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa
perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh
agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr.
Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi
mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada
9

pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama.

Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan,
ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.

Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang
yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat
kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang
berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan asal daerahnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam
UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum
diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua
peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan
campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam
UU No. 1/1974.

C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia
bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan
perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda
agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada
Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan
perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor
10

Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan
menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar
agama dalam pasal 2 adalah pernyataan menurut hukum masing-masing agama atau
kepercayaannya. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada
kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya
perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali
menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau
kepercayaan dari calon yang lainnya.

Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara
baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon
yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau
kepercayaan pasangannya.

Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur
tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan
tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.

Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan
tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan
perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan
hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama
oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk
perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang
dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama
masing-masing.

Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan
HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat
lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan
antar agama terjadi kekosongan hukum.

Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang
masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama.
Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut,
sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum,
akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama
11

berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif,
maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.

Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah
bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil
sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua
calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar
agama.

Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan
tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara
tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.

Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi,
sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan
tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan
atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan
perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya.
Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.
Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut
bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama,
tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara
melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri.
Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda
agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu berlangsung.

Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu
tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri
yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
12

D. Contoh Kasus Beda Agama

Kasus Perceraian Karena Alasan Beda Agama di Bali
A. Kasus Posisi
Pada tanggal 22 April 1986, Hamid disingkat MD () dan Eni silistia disingkat ES
() melangsungkan perkawinan. Sebelum perkawinan MD beragama Hindu Bali, tetapi
meninggalkannya dan memilih untuk memeluk agama Islam demi melangsungkan
perkawinan dengan ES. Awalnya, perkawinan mereka berlangsung dengan rukun, tenteram
dan damai, sehingga telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu: (1) Widya Anik () usia 20
tahun; (2) Ahmad Rizal () usia 14 tahun; (3) Kadek Kustanti () usia 5 tahun. Sekitar bulan
Februari 2006 keharmonisan rumah tangga mereka mulai goyah dan sering terjadi
pertengkaran yang disebabkan karena: (1) suaminya (MD) kembali menjalankan ibadah
menurut agama Hindu Bali; (2) suami cemburu terhadap istrinya tanpa sebab yang jelas; (3)
suami tidak mau, enggan, dan jarang bersilaturahim dengan keluarga isterinya; (4) suami
lebih mementingkan keluarganya, berbuat tidak adil atau berat sebelah dalam perhatian
terhadap keluarga isterinya dan sering bertindak tanpa kompromi. ES sebagai istri, telah
berusaha bersikap sabar terhadap perilaku suaminya guna mempertahankan keutuhan rumah
tangga dengan harapan suatu saat suaminya akan mengubah sifat dan perilakunya. Namun
ternyata tidak ada perubahan perilaku dan bahkan menyakiti hatinya, sehingga timbul
pertengkaran yang memuncak pada tanggal 12 April 2006, ketika itu MD membawa pisau.
Untuk menyelamatkan dirinya, ES pergi dan pindah ke rumah orang tuanya. Sejak
pertengkaran itu, ES dan MD telah pisah ranjang atau hidup terpisah dan juga sudah tidak
ada lagi hubungan lahir dan bathin. Bahkan, MD tidak lagi memberi nafkah atau apa pun
yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah. Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 4
Mei 2006, ES mengajukan gugat cerai terhadap MD ke Kepaniteraan Pengadilan Agama
Kelas IA Tanjung Karang. Penggugat dalam surat gugatan mengajukan tuntutan (petitum)
primair dan subsidair. Dalam tuntutan primair, dimohonkan agar hakim mengambil
keputusan sebagai berikut:
Mengabulkan gugatan penggugat;
Menyatakan perkawinan penggugat dan tergugat putus karena perceraian;
Menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak penggugat dan tergugat bernama
KAR sekarang berumur 5 tahun, kepada penggugat sebagai ibu kandungnya sampai
anak tersebut mumayyiz atau berumur sekurang-kurangnya 12 tahun;
Membebankan biaya perkara kepada penggugat. Kemudian apabila majelis hakim
berpendapat lain, penggugat dalam tuntutan subsidair memohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
Temuan Fakta di Persidangan
Di persidangan penggugat mengajukan dua alat bukti surat dan didukung oleh dua
orang saksi. Ada dua macam alat bukti surat yang diajukan oleh penggugat, yaitu: (1)
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama penggugat (bukti Pg.1); (2) kutipan akta
nikah (bukti Pg.2). Sebaliknya, tergugat tidak mengajukan alat bukti apa pun di
13

persidangan. Foto copy dari kedua surat itu sudah diperiksa keasliannya oleh majelis
hakim. Berdasarkan kedua alat bukti surat itu dapat diketahui tentang identitas
penggugat yang telah terikat perkawinan yang sah dengan tergugat sesuai dengan akta
nikah yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1986 (vide, bukti Pg.2). Keterangan dari
dua orang saksi yang diajukan saling bersesuaian dan mendukung dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatan. Kedua orang saksi itu masih
saudara kandung penggugat. Saksi pertama adalah kakak kandung penggugat dan
saksi kedua adalah adik kandung penggugat.
Fakta yang diperoleh dari keterangan kedua orang saksi tersebut, antara lain yaitu:
Orang tua penggugat awalnya tidak menyetujui hubungan antara penggugat dan
tergugat karena berbeda agama, namun setelah tergugat memeluk agama Islam,
akhirnya direstui;
Saksi mengetahui hubungan antara penggugat dan tergugat tidak harmonis ketika
bertemu penggugat di rumah orang tuanya dan menerima laporan dari penggugat
bahwa tergugat telah kembali memeluk agama Hindu Bali dan mempunyai tempat
sembahyang agama Hindu Bali di rumahnya. Bahkan mempengaruhi penggugat agar
mengikutinya dan juga melarang ketiga anaknya menjalankan ibadah agama Islam
seperti sholat dan mengaji;
Tergugat pernah datang ke rumah orang tua penggugat untuk didamaikan, tetapi tidak
tercapai karena tergugat tetap akan memeluk agama Hindu. Berkenaan dengan
keterangan kedua orang saksi tersebut, baik penggugat maupun tergugat
membenarkan dan tidak membantahnya. Selanjutnya dalam kesimpulan, penggugat
tetap pada gugatannya untuk bercerai dari tergugat dan mohon putusan yang seadil-
adilnya ex aequo et bono). Demikian pula dengan tergugat dalam kesimpulan
menyatakan bersedIa bercerai dengan penggugat.
Pertimbangan Hukum
Alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan hukum bagi majelis hakim untuk
mengambil keputusan adalah sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan bukti berupa Jurnal Yudisial Vol-I/No 03/Desember/2007 186
foto copy KTP (bukti Pg.1) atas nama penggugat, perkara ini termasuk bidang tugas
dan wewenang Pengadilan Agama Kelas IATanjungkarang;
Bahwa berdasarkan bukti diatas dihubungkan dengan keterangan saksi terbukti
penggugat dan tergugat terikat perkawinan sah yang menikah pada tanggal 22 April
1986 dan belum pernah bercerai;
Bahwa telah ditemukan fakta-fakta di persidangan sebagai berikut:
i) rumah tangga penggugat dan tergugat telah tidak harmonis, sehingga sering terjadi
pertengkaran dan perselisihan sejak bulan Februari 2006;
ii) penyebab ketidakharmonisan karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan
saat ini telah kembali ke agama Hindu Bali, bahkan Tergugat telah melarang anak-
anaknya sholat dan belajar mengaji;
14

iii) penggugat dan tergugat telah berpisah selama 2 bulan, yaitu sejak bulan April
2006 sampai sekarang; Bahwa usaha untuk mendamaikan penggugat dan tergugat
telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan telah pula memberikan kesempatan
kepada keduanya untuk melakukan upaya perdamaian di luar persidangan melalui
upaya mediasi, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil;
Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat benar-benar telah pecah sedemikian rupa dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, dan apabila perkawinan penggugat dan tergugat
tersebut tetap dipertahankan dan tidak diceraikan niscaya tidak akan dapat terlaksana dengan
baik, bahkan akan menambah semakin beratnya beban penderitaan, sehingga tujuan
perkawinan yang diharapkan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah tidak akan dapat diwujudkan;
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Huruf (f)
PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Huruf (f) dan Huruf (h) Kompilasi Hukum Islam
Indonesia, alasan perceraian telah terbukti, karenanya gugatan patut dikabulkan dengan
menfasakh perkawinan antara penggugat dan tergugat;
Bahwa terhadap gugatan penggugat pada petitum ketiga tentang hak pengasuhan anak telah
dicabut olehnya sendiri dalam persidangan, maka gugatan penggugat tersebut harus
dinyatakan selesai karena dicabut;
Bahwa perkara ini masuk dalam bidang perkawinan dan segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan dengan perkara ini.
Pertimbangan hukum di atas melandasi keputusan majelis hakim yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
i) Mengabulkan gugatan penggugat;
ii) Memfasakh perkawinan penggugat dengan tergugat;
iii) Menyatakan gugatan penggugat petitum 3 tentang hak asuh anak penggugat dan
tergugat yang ke-3 selesai karena dicabut;
iv) Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara







15

B. Analisis Kasus
Peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Ketentuan dalam UU 1/1974 secara tegas
menunjuk kepada hokum agama sebagai syarat keabsahan suatu perkawinan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU 1/1974. Oleh karena itu, keberadaan dan keberlakuan
hukum Islam dalam mengatur perkawinan antar umat muslim, harus dijadikan pedoman
dalam menyelesaikan kasus-kasus atau perkara perkawinan. Ketentuan hukum Islam yang
mengatur perkawinan antara lain terdapat dalam kitab suci Al Quran, Hadis Rasul, dan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI). Perkawinan menurut hukum Islam dapat ditinjau
dari tiga aspek,
Pertama, ialah aspek-aspek hukum, sosial, dan agama. Ditinjau dari aspek hukum,
perkawinan merupakan suatu perjanjian. Menurut Al Quran Surat An Nisaa, Ayat (21),
dinyatakan perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut dengan kata-kata
miitsaaghan ghaliizhan. Ditinjau dari aspek sosial, perkawinan mengubah kedudukan dan
status perempuan di masyarakat sebagaimana diatur dalam Al Quran Surat An Nisaa Ayat
(3), berbunyi: ... jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja.
Perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah
dalam upacara perkawinan.
Ketentuan-ketentuan dalam Al Quran kemudian diatur lebih lanjut ke dalam Kompilasi
Hukum Islam. Dalam Pasal 2 KHI ditegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam
merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci
yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah,mawaddah, warahmah. Perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak ada
halangan pada masing-masing mempelai. Halangan tersebut berupa larangan perkawinan.
Dalam Pasal 44KHI dengan tegas ditentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi
pria Islam menurut Pasal 40 Huruf c KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dalam praktiknya, masyarakat menafsirkan ketentuan dalam UU 1/1974 bahwa perkawinan
yang sah harus dilakukan menurut hukum agama masing-masing dalam konteks perkawinan
beda agama1, yaitu dilakukan upacara perkawinan menurut masing-masing agamanya.
Kedua, Ada perbedaan pendapat dari para ulama tentang perkawinan beda agama2. Sebagian
besar ulama membolehkan pria muslim menikah dengan wanita dari kalangan ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani). Tetapi pakar fikih dari madzhab Hanafi, Syafii, dan sebagian ulama
Malikiah berpendapat makruh hukumnya perkawinan antara pria muslim dan wanita ahli
kitab. Pendapat yang lebih tegas dikemukakan secara formal oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam Musyawarah Nasional II tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 (11-17 Rajab 1400 H)
menetapkan fatwa yang intinya menyatakan haram suatu perkawinan antara wanita Islam dan
16

pria non-Islam, begitu juga dengan pria Islam dan wanita non-Islam, atas dasar
pertimbangan mashlahat.
Demikian pula, pendapat dari organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Keputusan dari
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (BMNU) dalam Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar
Thariqah Muktabarah tahun 1968 menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak
sah.
Muhammadiyah dalam Muktamar Tajrih Muhammadiyah di Malang tanggal 11-16 Februari
1989 (6-10 Rajab 1409 H) menetapkan bahwa perkawinan antara orang Islam dan orang yang
bukan Islam adalah haram. Ketetapan itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu
pertimbangan akademik dan sosiologis.
Ketioga, Menurut pertimbangan akademik adalah kalangan ahli kitab ialah Yahudi dan
Nasrani sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Quran sudah tidak ada lagi setelah kerasulan
nabi Muhammad SAW3. Pertimbangan sosiologis ialah potensi terjadinya pemurtadan
terhadap muslimah yang dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Perkawinan beda agama
merupakan hal yang prinsip dalam hukum Islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan,
sebelum perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani perkawinan
salah satu mempelai memeluk agama non-Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal
116 Huruf k KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan
terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian terhadap anak-anak,
menurut Pasal 105 KHI ditentukan: (a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (b) pemeliharaan anak yang
sudah mumayyizdiserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya
sebagaipemegang hak pemeliharaannya; (c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perkawinan antarumat Islam merupakan ketentuan yang
mengikat, sehingga harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten di dalamkasus-
kasus hukum perkawinan yang terjadi di pengadilan agama Islam. Dalam hal ini, sudah
menjadi ketentuan hukum agar hakim-hakim di pengadilan agama untuk menggunakan
ketentuan-ketentuan dalam KHI, sebagaimana telah dituangkan dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Sementara itu, peraturan hukum
yang mengatur tentang penegakan hukum Islam
Pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang, dalam hal ini adalah
hukum Islam yang bersumber dari Al Quran, Hadis Rasul, peraturan-peraturan hukum,
yurisprudensi atau putusan hakim agama Islam, doktrin atau pendapat dari para ulama. Asas-
asas dalam hukum acara di atas bersifat khusus bagi peradilan agama yang menjadi pedoman
dan pegangan bagi hakim-hakim di peradilan agama dalam memeriksa dan memutus perkara.
Berdasarkan asas-asas, peraturan hukum Islam, dan doktrin yang telah diuraikan di atas dapat
digunakan sebagai pisau analisis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Kelas IA
Tanjungkarang No. 159/Pdt.G/2006/PA.Tnk. sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Putusan hakim untuk mengabulkan permohonan (petitum) penggugat untuk bercerai dengan
17

tergugat sudah tepat, karena berdasarkan doktrin dan peraturan hukum Islam yang dituangkan
dalam KHI ditetapkan, bahwa peralihan agama atau murtad dapat menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga sehingga dapat menjadi penyebab atau alasan
terjadinyaperceraian. Kasus ini juga membuktikan kekhawatiran dari Muhammadiyah tentang
pemurtadan terhadap muslimah terjadi dalam praktik di masyarakat. Suatu gugatan tidak
dapat ditambah selama persidangan, namun dapat dikurangi atau dicabut. Dalam perkara ini,
penggugat telah mencabut petitum ke-3, yaitu permintaan agar majelis hakim menetapkan
hak pengasuhan dan pemeliharaan anak bernama KAR yang masih berumur 5 tahun kepada
penggugat sebagai ibu kandungnya sampai anak tersebut mumayyiz atau berumur sekurang-
kurangnya 12 tahun. Hal ini dapat dibenarkan dari segi hukum acara perdata.
Namun ditinjau dari segi hukum Islam, pencabutan itu berisiko karena
menurut KHIpemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya. Jika ibunya diberikan hak mengasuh, maka diharapkan tidak terjadi pemurtadan.
Apalagi, ternyata ayahnya yang telah memeluk agama Hindu Bali telah melarang anaknya
untuk sholat dan mengaji. Pencabutan atas petitum itu, terkesan bersifat kompromi antara
penggugat dan tergugat, karena dari ketiga orang anak mereka, dua orang telah berusia di atas
12 tahun, sehingga menurut KHI dapat menentukan sendiri, apakah akan ikut dengan ayah
atau ibunya, sedangkan yang berusia 5 tahun tidak dimintakan; hal ini dapat diartikan seolah-
olah ayahnya yang akan diberi hak pemeliharaan. Majelis hakim sesungguhnya dapat
mengambil putusan yang lebih sesuai dengan asas atau prinsip dan ketentuan hokum Islam,
khususnya dalam hal pemeliharaan anak. Apalagi, dalam gugatan itu penggugat secara
tersurat memohon apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya. Permohonan semacam ini lazim disebut dengan ex aequo et bono yang berarti,
majelis hakim diberi wewenang untuk memutus perkara secara adil, patut, dan wajar.
Menurut Sudargo Gautama, apabila ada pihak yang menghendaki penyelesaian sengketa
secara ex aequoet bono, maka penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan hukum,
melainkan berdasarkan apa yang adil dan patut (alsgoede mannen naar bilijkheid).
Dalamkasus atau perkara perceraian ini, penggugat mengharapkan majelis hakim dapat
melakukan pilihan (optional)4, yaitu berpedoman pada ketentuan UU atau peraturan hukum
Islam tentang perkawinan atau jika memiliki pendapat yang berbeda diharapkan dapat
memutuskan berdasarkan keadilan, kepatutan, dan kewajaran. Oleh karena itu, opsi untuk
memeriksa secara ex aequo et bono diajukan, tetapi sayangnya tidak digunakan. Pemeriksaan
atas perkara ini sudah mengacu pada hukum acara peradilan agama. Majelis hakim telah
berusaha mencoba untuk mendamaikan, namun karena peralihan agama atau murtad menurut
hukum Islam dalam KHI dan doktrin dari para ulama merupakan prinsip dan syarat yang
berat untuk dilanggar. Pengenaan biaya perkara kepada penggugat atau pemohon sudah
sesuai dengan ketentuan hokum acara peradilan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 89
UU 7/1989.
Putusan hakim dalam perkara ini lebih bersifat kompromi. Khususnya, berkenaan dengan
status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz. Memang betul, pihak penggugat
membatalkan permohonan atau tuntutannya yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu,
menurut majelis hakim tidak perlu diberikan putusan. Dengan demikian, putusan dapat
18

diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Seolah-olah ada kompromi tidak hanya
antara penggugat dan tergugat, tetapi juga dari pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan
terhadap hak pemeliharaan anak, karena pencabutan dilakukan ketika proses pemeriksaan
sedang berlangsung. Akibat dari tindakan pencabutan petitum itu akan berdampak psikologis
bagi anak tersebut. Secara tersirat, tergugat menginginkan agar anaknya yang bungsu, agar
dapat dipengaruhi untuk ikut memeluk agama Hindu Bali. Posisi anak menjadi obyek dari
kepentingan orang tuanya. Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena
diberikan pemahaman agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentangan dengan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Ditinjau dari aspek hukum Islam, sejak awal para ulama telah mensinyalir unsure
perpindahan agama dalam perkawinan digunakan sebagai faktor permutadan. Dalam hal ini,
para ulama telah memperkirakan tentang larangan perkawinan yang berbeda agama dan
dampaknya terhadap anak. Oleh sebab itu, jika terjadi perpindahan agama dalam perkawinan
menjadi salah satu syarat terjadinya perceraian. Konsekuensi yuridisnya, hukum Islam
menentukan hak pemeliharaan anak mengikuti ibunya. Maksudnya, agar kepentingan anak
tetap terpelihara oleh ibunya. Apalagi, dalam perkara ini perpindahan agama oleh tergugat
yang menjadi faktor penyebabnya.
Keadilan dalam perspektif Islam menurut Husein Muhammad5, merupakan gabungan antara
nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan,
dan kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan manusia
dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas, maupun penyelenggara
negara. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu secara
proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya.












19

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan,
sebagai berikut :

1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang
perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10
PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya
tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib
menerima permohonan perkawinan antar agama.

3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan
perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa
dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status
agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk
dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi
beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka
yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya.

4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang
berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.


20

B. Saran


a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No.
1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar
agama.

b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum
bagi mereka yang ingin melakukan perkawin anantar agama.
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama
sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini kami
sarankan bahwa : A. KesimpulanPerkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama
yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan
suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama
yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya
menganut agama calon lainnya tersebut.Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga
negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara
tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam
waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka
perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka
(pasal 84 KUHPerdata).












21

DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/111659224/perdata-perkawinan
paper oleh Raimond Flora Lamandasa dalam mata kuliah Hukum Keluargasaat penulis kuliah
di Program Magister Kenotariatan UGM-Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai