Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Berkarakter Profetik

Dewasa ini ramai diperbincangkan penerapan pendidikan karakter di satuan pendidikan.


Khalayak tentu menanti janji Menteri Pendidikan Nasional untuk mulai memberlakukan
mata pelajaran pendidikan karakter dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi di
tahun ajaran 2011 ini. Awal mula ide pendidikan karakter ini didasari kritik sosial atas
proses pendidikan nasional yang lebih dominan mengasah ranah kognitif peserta didik,
sedangkan sisi afektif dan psikomotorik tidak mendapatkan jatah seimbang.
Tak dapat dimungkiri sistem evaluasi Ujian Nasional (UN) memaksa anak untuk lebih
banyak memberdayakan aspek nalar dalam proses belajarnya. Apalagi hanya tiga mata
pelajaran inti yang berpengaruh kuat mengatrol nilai kelulusan membuat anak berfikir
pragmatis.
Berorientasi hasil (pokoknya lulus) tanpa menghargai proses. Ihwal ini akan membuat
materi pelajaran lain terabaikan, termasuk segi sikap dan nilai serta keterampilan.
Kongkalikong dalam UN antarguru dan murid atau sesama pelajar pun jamak ditemui demi
mewujudkan satu kata, lulus. Inilah salah satu akar penyebab terjadinya demoralisasi
dalam dunia edukasi.



Di termin lain, Muhammad Nuh malah menyebut terjadi gap atau kesenjangan antara
keilmuan yang dimiliki dengan sikap keseharian. Sebagai contoh, hakim yang seharusnya
mengadili malah diadili, pendidik yang seharusnya mendidik malah dididik, pemimpin
yang selayaknya melayani malah minta dilayani. Oleh sebab itu, penerapan pendidikan
karakter amat mendesak untuk diberlakukan. Karakter yang dijadikan rujukan tentunya
ialah karakter kenabian (prophet).
Pendidikan berkarakter profetik menjadikan kesadaran berke-Tuhan-an sebagai basis
dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter siswa. Hal ini dilakukan karena
seluruh kendali pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dilakukan oleh sistem keyakinan
(believe system). Selain itu, proses pendidikan juga berusaha untuk mengembangkan
kesadaran akan adanya pengawasan-Nya dalam setiap ucapan dan perilaku. Inilah alasan
pertama dari pilihan menjadikan nilai profetik sebagai arahan nilai dalam pendidikan
profetik.
Tetapi bukankah pendidikan profetik lebih terfokus pada aspek kognitif juga? Ya jelas,
karena memang akal merupakan anugerah terbaik sebagai pembeda antara manusia dengan
makhluk lain.
Hanya saja kultur lingkungan sekolah dan kampuslah yang nanti akan turut serta
membantu keberhasilan proses pembentukan karakter. Sebab itu, partisipasi aktif seluruh
insan pendidikan mulai kepala sekolah, pendidik, hingga karyawan untuk mewujudkannya,
karena kesuksesan ini akan dipengaruhi faktor keteladanan orang-orang terdekat mitra
didik.
Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan pada proses internalisasi pendidikan karakter
di kelas, yaitu memberikan metode belajar partisipasi aktif siswa untuk meningkatkan
motivasi siswa, menciptakan iklim belajar kondusif agar siswa dapat belajar efektif dalam
suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan. Metode pengajaran harus
memperhatikan keunikan masing-masing siswa, guru harus mampu menjadi teladan
(modelling) bagi praktik implementasi nilai-nilai profetik, membentuk kultur terbuka
saling mengingatkan antara guru dan siswa dengan prinsip kesantunan (Hal 87).
Tentunya seting iklim dan tempat di sekolah juga harus dilakukan para orang tua di rumah.
Kiatnya pihak sekolah dapat merangkul dan melibatkan wali murid untuk bekerja sama
dalam proses pendidikan anak.
Komunikasi intens perlu dijalin, jangan hanya ketika pembagian rapor dan pelajar kena
kasus, karena mau tidak mau lingkungan keluarga merupakan lingkaran elementer
sekaligus parameter berhasil dan gagalnya pembentukan karakter.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Sleman
Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan Profetik Bagi Pemuda Indonesia
Posted by Alvian Ramadhani on February 6th, 2012
Tanpa terasa, hampir 65 tahun bangsa ini melakukan perjalanan dalam mengisi
kemerdekaan sejak dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945. Waktu yang tentu saja tidak sebentar untuk menata sebuah bangsa menuju pada
kondisi yang sudah dicita-citakan. Dan, sedikit menengok kebelakang, perjuangan bangsa
ini mencapai kemerdekaan senantiasa diawali oleh gerakan para pemudanya.
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, pemuda ibarat jam 12 siang ketika matahari bersinar paling
terang dan paling panas. Pemuda mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik,
dibandingkan dengan orang tua dan anak-anak. Kekuatan fisik ini didukung dengan
karakter khas yang spesifik yaitu, revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki
moralitas dan idealisme. Inilah yang membuat pemuda senantiasa mampu membuat
perubahan-perubahan besar.
Perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan telah memunculkan banyak pahlawan dari
golongan muda. Tradisi ini semestinya dilanjutkan di masa-masa sekarang. Di mana
perjuangan mengisi kemerdekaan membutuhkan idealisme, optimisme, pikiran maju,
gagasan besar, dan tenaga anak muda untuk mengusungnya.
Pemuda Indonesia sekarang harus memiliki karakter sebagai modalitas gerakan dalam
mengisi kemerdekaan. Masa sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan menuntut
adanya perjuangan hanya saja bentuk perjuangannya berbeda antara masa dulu dan
sekarang. Namun, yang senantiasa tidak membedakan adalah pemuda sebagai motor
gerakannya.
Namun, masalah moralitas, seks bebas, tawuran dan narkoba pelakunya didominasi oleh
pemuda. Peran pendidikan amatlah penting dalam menempa pemuda agar kembali pada
fitrahnya. Namun, pendidikan seperti apa yang tepat untuk membentuk karakter pemuda
Indonesia?
Pendidikan profetik atau pendidikan kenabian adalah solusi dari krisis karakter pemuda di
Indonesia. Pilar pendidikan profetik yaitu, humanisasi, liberasi dan
transendensi.Pendidikan profetik tidak memisahkan anatara nalar akal dengan nalar wahyu,
karena spirit utamanya adalah transendensi. Ini yang membedakan dengan konsep
pendidikan karakter yang lain.
Tiga pilar pendidikan karakter mempunya penjabaran sebagai berikut. Humanisasi adalah
proses memanusiakan manusia. Yaitu proses manghilangkan manusia dari penghambaan
kepada benda. Karena hakekat penghambaan manusia adalah kepada Sang Pencipta.
Manusia harus kembali pada orientasi penciptaannya di dunia, seperti yang tertulis dalam
Al-Quran surat Adz-Dzariat:56 Tiada ku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk
menyembah kepada Allah SWT
Liberasi adalah proses menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas abstrak, tapi pada
realitas kemanuasiaan kongkret. Pendidikan seyogianya semakin didekatkan dengan
realitas kehidupan sosial sosial. Mamahamkan manusia kepada peran-peran keberadaannya
di dunia. Dalam Al-Quran disebutkan dalam surat Ali-Imran:110 Kalian adalah umat
terbaik yang diturunkan atas manusia dan menyeru kepada yang maruf serta mencegah
kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah..
Transendensi adalah muara dari kedua pilar di atas. Di mana nilai-nilai ketuhanan di
tempatkan pada tempat tertinggi dengan menjadi muara dan sumber inspirasi dari
pendidikan. Inilah proses mengarahkan manusia pada tujuan yang semestinya.
Mengingat kondisi pemuda pada saat ini sedang mengalami krisis karakter yang
mengakibatkan pemuda Indonesia miskin gagagsan, malas, pesimis, dan pragmatis.
Pendidikan profetik akan mampu menjadi solusi dalam memecahkan krisis karakter yang
terjadi dalam diri pemuda.

Anda mungkin juga menyukai