Anda di halaman 1dari 15

Farmakokinetik

Ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan
metabolisme) obat (Shargel & Yu,1988; Ganiswara, et al, 1995; Bauer, 2001), pada manusia
atau hewan dan menggunakan informasi ini untuk meramalkan efekperubahan-perubahan
dalam takaran,rejimen takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan
disposisi obat (Lachman, et al, 1989).










1.1 Gambaran skematik peristiwa absorpsi, metabolisme, dan ekskresi dari
obat-obat (Ansel, 1989).



Farmakokinetik

Farmakokinetik Obat adalah proses perjalanan obat yang berlangsung di dalam tubuh
manusia mulai dari masuknya obat ke dalam tubuh hingga hilangnya obat dari dalam tubuh,
farmakokinetik obat mencangkup absorpsi obat, distribusi obat, metabolisme obat
(biotransformasi obat) dan ekskresi obat.

Mekanisme pengangkutan obat untuk melintasi membran sel ada dua cara

1. Secara pasif, artinya tanpa menggunakan energi
a. Filtrasi, melalui pori-pori kecil dari membran misalnya air dan zat hidrofil
b. Difusi, zat melarut dalam lapisan leman dari membran sel
2. Secara aktif, artinya menggunakan energi

Pengangkutan dilakukan dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada enzim
pengangkutan spesifik. Setelah melalui membran obat di lepaskan lagi.

A. Absorpsi obat
Proses absorpsi obat sangat penting untuk menentukan efek obat, pada umumnya obat yang
tidak di absorpsi tidak akan memberikan efek kecuali pada obat tertentu misalnya antasida
dan obat yang bekerja lokal.
Faktor yang mempengaruhi Absorpsi obat adalah
1. Kelarutan obat, semakin mudah obat larut akan semakin mudah di absorpsi
2. Kemampuan difusi obat, semakin cepat terjadi difusi semakin cepat obat di absorpsi
3. Konsentrasi obat, semakin tinggi konsentrasi obat semakin cepat di absorpsi
4. Sirkulasi pada letak absorpsi, jika tempat absorpsi obat memiliki banyak pembuluh darah
maka absorpsi obat akan semakin cepat
5. Luas permukaan kontak obat, obat akan lebih cepat di absorpsi oleh bagian tubuh yang
memiliki luas permukaan besar misalnya mukosa usus, usus halus yang mempunyai banyak
villi
6. Bentuk sediaan obat, kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan pelepasan obat
dari bahan pembawa dan kecepatan kelarutan obat misalnya urutan kecepatan pelepasan obat
bentuk oral adalah sebagai berikut yang pertama adalah larutan dalam air suspensi-serbuk-
kapsul-tablet selaput gula-tablet selaput enterik.
7. Cara pemakaian obat, pemakaian obat ada bermacam-macam caranya misalnya oral,
sublingual, rectal, parental, endotel paru-paru, topical, urogenital, vaginal dan lain-lain.


http://aboealkhair.blogspot.com/2013/05/farmakologi-farmakokinetik-dan.html
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama
terfokus pada dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.
Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah
untuk bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan
yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang tidak
mengganggu.
Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat.
Rasio fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat
meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya
pengetahuan farmakologi bagi seorang farmasis.
Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan
farmakodinamik) serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan obat?
2. Apa itu farmakologi?
3. Apa itu farmakokinetik?
4. Apa itu farmakodinamik?

C. Tujuan Makalah
Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk
dikuasai oleh seorang farmasis.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sejarah Obat
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak
dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya.[1]
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman.
Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan
berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara
turun-temurun disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti
pengobatan tradisional jamu di Indonesia.[2]
Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, ada pula yang pada
awalnya digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh.
Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi
Afrika dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-
mustard yang semula digunakan sebagai gas racun (mustard gas) pada perang dunia
pertama.[3]
Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering
kali berbeda-beda tergantung dari asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini dianggap
kurang memuaskan sehingga lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat
aktif yang terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia,
yang terkenal di antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang (Ephedra
vulgaris),kinin dari kulit pohon kina, atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu
(Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis lanata, dan masih banyak lagi.[4]
Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak kemajuannya dengan
ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan danaspirin sebagai pelopor yang
kemudian disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan
dan penggunaan kemoterapeutika sulfanilamide (1935) dan penisilin (1940).[5]
Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini
menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih
kurang 80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan penemuan dari
tiga dasawarsa terakhir.[6]

B. Farmakologi Obat
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.[7]
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan
seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan
nasibnya dalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh
manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis.
Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetik, farmakodinamik, toksikologi, dan farmakoterapi.[8]
Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang erat
dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik.[9]
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat.[10]
Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu
absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali
hubungannya dengan ilmu kimia dan biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat
terhadap sel hidup, organ atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan
fisiologi, biokimia, dan patologi. Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti
terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia dan disebut sebagai farmakologi
eksperimental.[11]

C. Farmakokinetik Obat
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat
rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase:[12]
1. Fase farmaseutik;
2. Fase farmakokinetik; dan
3. Fase farmakodinamik.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik
khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da
dalam darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.[13]
Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang
dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan
obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-proses
yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme,
ekskresi).[14] Lihat gambar 1.

Invasi


Absorpsi


Distribusi


Eliminasi


Metabolisme


Ekskresi





Gambar 1. Bagian proses farmakokinetik
1. Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi, difusi,
atau transport aktif.[15]
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.[16]
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit,
dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian
bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan
pemakaian lokal sitostatika ke dalam kandung kemih.[17]
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan
keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.[18]
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk juga infuse
ditandai oleh:[19]
a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya
dalam hal-hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena
itu mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati.
b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar
maka persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan
dengan penyuntikan subkutan.
c. Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat penting,
misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.[20]
Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban
pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.[21]
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok
dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar
diabsorpsi melalui saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung.
Untuk kasus terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan
terhadap cairan lambung.[22]
Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak
diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini
disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.[23]
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal
analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada
pasien yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal
sejauh tidak dibutuhkan pemberian parenteral.[24]
2. Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran
darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat
mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme
keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan dengan demikian
distribusinya, seperti halnya absorpsi, bergantung pada banyak peubah.[25]
Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda
(kompartemen):[26]
a. Ruang intrasel dan
b. Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)
Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan intrasel dan komponen
sel yang padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:[27]
a. Air plasma;
b. Ruang usus; dan
c.

Cairan plasma


Cairan transsel


Ruang ekstrasel


Ruang usus


Ruang intrasel


Cairan intrasel


Komponen sel padat
Cairan transsel.




Gambar 2. Ruang distribusi organisme
Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,
misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah
atau jaringan dan lemak.[28]


Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan
hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:[29]
a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta
bilirubin dan asam-asam lemak.
b. -glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.
c. CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.
d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks
obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke
jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan
tempat depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang
dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana
obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin).[30]
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena
perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih
banyak di luar sel dan obat-obat basa lebih banyak da dalam sel.[31]
Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa yang
diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi
dalam bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi
senyawa basa dari darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus
halus (sirkulasi enterogaster).[32]
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan obat
(drug targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan.
Efek samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh
yang diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang
suatu sistem pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam
jaringan yang dituju dan dengan demikian memungkinkan kekhasan kerja yang
diinginkan.[33]
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul
sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan
kovalen sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem
demikian sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui
penambahan antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat
diperbaiki.[34]
3. Metabolisme
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan karena obat
dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya
merombak zat asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih
hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.[35]
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah
terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau
dalam darah.[36]
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh darah
(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati. Dengan
pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian), sistem
porta ini dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-
usus seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda
umumnya hasil perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses
ini disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat
farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme
dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.[37]
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar
(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif
umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika
asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.[38]
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat
menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi
konyugasi dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam
amino, dan hasilnya menjadi sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat
dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti
dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil,
gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat
endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut
dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat
juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase
II lebih dulu.[39]
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzimcytochrome P450 (CYP)
yang disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase)
dalam endoplasmic reticulum(mikrosom) hati.[40]
4. Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan
konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat
fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.[41]
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni
disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:[42]
a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol,
paraldehida, dan anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu,
misalnya fenolftalein (pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di
tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami
kematangan pada usia 6-12 bulan dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.[43]
Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi semua obat
akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.[44]
Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter
membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di
membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan
konyugat dan P-gp untuk kation organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi. [45]
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak.
Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk
mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.[46]
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya
dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat
dihitung berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada
gangguan ginjal dapat dihitung.[47]

D. Farmakodinamik Obat
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.[48]
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan
komponen makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama, obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.[49]
Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah
senyawa yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.[50]

Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:[51]
1. Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
2. Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;
3. Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan
4. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena itu,
perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda. Kemungkinan
besar kerja senyawa demikian menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme,
khususnya struktur membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat
yang bekerja tidak spesifik antara lain, anestetika inhalasi, demikian juga zat desinfektan.[52]
Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi dengan
reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur kimia dan dengan demikian
bergantung kepada bentuknya, besarnya, dan pengaturan stereokimia molekul. Selain itu,
bergantung juga pada gugus fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian
berkhasiat dalam konsentrasi yang lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik.
Bahkan perubahan yang sangat kecil pada struktur kimianya dapat sangat mempengaruhi
khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan dengan reseptor yang sama memiliki
banyak unsur struktur yang umum yang disebut gugus farmakofor, dalam tata susun ruang
yang sesuai.[53]
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan tetapi
mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.[54]
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:[55]
1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis. Aktivitas
anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan
melarut dalam lapisan lemak dari membran sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga
transport normal dari oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat.
Akibatnya adalah hilangnya perasaan. Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat)
lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses osmosis menarik air dan sekitarnya. Volume
isi usus bertambah besar dan dengan demikian merupakan rangsangan mekanis atas dinding
usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan isinya.
2. Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi(chelator). Antasida,
seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat mengikat kelebihan
asam lambung melalui reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam
berat pada molekulnya dengan suatu ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak
toksis lagi dan mudah diekskresikan oleh ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL),
natrium edetat (EDTA), dan penisilamin (dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat
rematik.
3. Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang mengganggu
pembentukan dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu
pula antimikroba mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau
menstimulir proses filtrasi contoh lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat
menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga
ekskresinya diperlambat dan efeknya diperpanjang.
4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk
reseptor spesifik atau untuk enzim.
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang
terjadi ikatan kovalen.[56]
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau bagiannya
dalam organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat. Persyaratan untuk interaksi
obat-reseptor adalah pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk
dan seberapa besar terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor.
Kemampuan suatu obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek,
setelah membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik
menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh masing-masing senyawa.[57]
Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:[58]
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama tetapi
pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang
dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian
adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama
(antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor
yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.[59]
Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis
secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian
hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya
dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk
memperoleh efej yang sama.[60]
Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat
diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan
berkurang tetapi afinitas terhadap reseptornya tidak berubah.[61]


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman.
Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan
berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara
turun-temurun disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti
pengobatan tradisional jamu di Indonesia.
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik
khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam
darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan pada makalah
ini mohon dimaklumi dan kami sangat membutuhkan saran atau kritikan demi perbaikan
makalah kami ke depannya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.
Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai