Anda di halaman 1dari 29

BLOK MEKANISME DAN PERTAHANAN TUBUH

RONA MERAH DI PIPI


WRAP UP

Ketua : Hendris Utama Citra Wahyudin (1102011117)
Sekretaris : Lusy Novitasari (1102011144)
Anggota : Arisya Hanifah Nurazkiyah (1102011045)
Aulia Dharana Mufti (11002010041)
Caesaredo Derza Polasa (1102011062)
Cattleya Ananda Vilda (1102011063)
Danita Dwi Maryana (1102011070)
Dede Kusmawan (1102011072)
Muhammad Arief Rachman (1102011147)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2011

Skenario 3

RONA MERAH DI PIPI
Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang
hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan,
nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan
di mulut. Pada wajah terdapat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.
Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Erimatosus.
Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin, dan marker
autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan
dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam
menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

Sasaran Belajar

1. Memahami dan Mempelajari Autoimun
1.1.Memahami dan Mempelajari Definisi Autoimun
1.2.Memahami dan Mempelajari Etiologi Autoimun
1.3.Memahami dan Mempelajari Klasifikasi Autoimun
1.4.Memahami dan Mempelajari Mekanisme Autoimun

2. Memahami dan Mempelajari Lupus Eritematosus Sistemik
2.1.Memahami dan Mempelajari Definisi LES
2.2.Memahami dan Mempelajari Epidemiologi LES
2.3.Memahami dan Mempelajari Etiologi LES
2.4.Memahami dan Mempelajari Patogenesis LES
2.5.Memahami dan Mempelajari Manifestasi Klinis LES
2.6.Memahami dan Mempelajari Diagnosis & Diagnosis Banding LES
2.7.Memahami dan Mempelajari Penatalaksanaan & Pencegahan LES
2.8.Memahami dan Mempelajari Prognosis LES

3. Memahami dan Mempelajari Pemeriksaan untuk LES
3.1.Pemeriksaan Fisik
3.2.Pemeriksaan Penunjang

4. Memahami dan Mempelajari Sabar dalam Menghadapi Musibah

1. Memahami dan Mempelajari Autoimun
1.1.Memahami dan Mempelajari Definisi Autoimun

Penyakit autoimun atau gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh
yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan
pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-
jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan. Bahan
yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin
terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa
antigen, seperti molekul serbuk sari atau makanan, ada di mereka sendiri.

Sel sekalipun pada orang yang memiliki jaringan sendiri bisa mempunyai antigen. Tetapi,
biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak
terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii. Tetapi, sistem imunitas kadang-
kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing dan menghasilkan
(disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri.
Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan.
Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan
jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.

1.2.Memahami dan Mempelajari Etiologi Autoimun

Faktor imun yang berperan pada autoimunitas:

a. Sequestered antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari
sistem imun, terlindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun keadaan
normal. Contohnya: protein lensa intraokular, sperma dan Mylein Basic Protein.
Jika terjadi perubahan anatomik (contohnya inflamasi) pajanan sequestered antigen
terhadap sistem imun. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur
pada self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi
autoimun.
b. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons
MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respons terhadan IL-2.
Sel Ts atau Tr melakukan pengawasan beberapa sel autoreaktif.
Jika terjadi kegagalan sel Ts atau Tr sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan
autoimunitas.

c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
Sel pankreas pada penderita dengan IDDM (Insuline Dependent Diabetes Mellitus)
mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II, sedang subyek sehat sel
mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama
sekali.
Penderita Grave: sel kelenjar tiroid mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi
MHC-II tidak pada tempatnya itu ( biasanya hanya diekspresikan pada Antigen
Presenting Cell ) dapat mensensitasi sel Th terhdap peptida yang berasal dari sel atai Tc
atau Th1 terhadap self antigen.
d. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS
dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan
autoimmunitas. Antibodi yang terbentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.
e. Peran CD4 dan reseptor MHC
Penelitian pada model hewan menunjukan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada
penyakit autoimun. Pada tikus EAE (Experimental Allergic Enchepalitis) ditimbulkan
oleh Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat dipindahkan dari hewan yang
satu ke yang lain melalui sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP datau PLP atau sel
lain dari klon sel T asal hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibodi anti CD4. Sel T
mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptida antigenik. Untuk seseorang
menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat
mengikat antigen sel sendiri.
f. Keseimbangan Th1-Th2
Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Keseimbangan
Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan peran pada
autoimunitas sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap
induksi penyakit tetapi juga terhadap progres penyakit. Pada EAE sitokin Th1 (IL-2,
TNF- dan IFN-) ditemukan dalam SSP dengan kadar tertinggi pada penyakit.
g. Sitokin pada autoimunitas
Gangguan mekanisme ekspresi sitokin meningkatkan regulasi atau produksi sitokin yang
tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik. Sitokin dapat menimbulkan
translasi berbagai faktor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan
inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak
perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan menginduksi ekspresi
sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau
merangsang penimbunan matriks yang berlebihan.
Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas
A. Kemiripan molekular dan infeksi
1. Virus dan autoimunitas
Virus adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 poliartritis, pleuritis, mialgia,
ruam kulit, faringitis, miokarditis, dan leukositosis.
Respons autoimun terhadap virus Hepatitis C ( HCV ) adalh multifaktorial.
Resolusi HCV terjadi pada penderita dengan respons antibodi yang cepat dan
infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan antibodi yang lambat.
2. Bakteri dan autoimunitas
a. Karditis reumatik-demam reuma akut
Demam reuma pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi
terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.
(homologi protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi).
b. Sindrom Reiter dan artritis reaktif
Dipacu oleh: infeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter
dan saluran kencing oleh klamidia trakomatis atau ureaplasma urealitikum
termasuk triad uretritis, artritis, dan uveitis.
Ciri-ciri: inflamasi insersi tendon dan ligamen pada tulang. Penderita dengan
artritis perifer asimetris, sakit tumit dan tendon akiles dapat merupakan ciri
utam. Sel-sel inflamasi ditemukan dalam cairan sinovia.
c. Eritema nodosum
Biasanya terjadi pada orang dewasa usia 1833 tahun.
B. Hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita penyakit
auto imun dibanding pria. Pada umumnya wanita memproduksi antibodi lebih banyak
dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinfalamasi Th1.
C. Obat
Idiosinkrasi, patogenesisnya. Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respons
imun tubuh berupa respons autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk
dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Antibodi menghilang bila obat
dihentikan.

D. Radiasi UV
Pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Menimbulkan modifikasi struktur radikal
bebas self antige yang meningkatkan imunogenesitas.
E. Oksigen Radikal bebas
Bentuk lain dari kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama
kerusakan self molekul oleh radikal bebas yang menimbulakn sebagian proses
inflamasi. Pemicu lainnya adalah stres psikologi dan faktor makanan.
F. Logam
Pajanan terhadap debu silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan
penyakit yang disebut silikosis.

4.1.Memahami dan Mempelajari Klasifikasi Autoimun
Penyakit autoimunity dapat secara luas dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-
spesifik atau lokal, tergantung pada fitur clinico-pathologic pokok masing-masing penyakit.

1. Sistemik autoimun : penyakit lupus, sindrom Sjgren, skleroderma, rheumatoid arthritis, dan
dermatomyositis. Kondisi ini cenderung dikaitkan dengan autoantibodi untuk antigen yang
tidak spesifik jaringan.
2. Lokal sindrom yang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:
Gastrointestinal: penyakit Coeliac, anemia pernisiosa
Dermatologic: Pemphigus vulgaris, Vitiligo
Haematologic: Autoimmune haemolytic anaemia, Idiopathic thrombocytopenic
purpura
Neurologis: Myasthenia gravis
Endocrinologic: Diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison.

Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan Jaringan yang terkena Konsekwensi
Anemia
hemolitik
autoimun
Sel darah merah
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah)
terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan
sakit kepala ringan.
Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.
Bullous
pemphigoid
Kulit
Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak
yang merah, terbentuk di kulit.
Gatal biasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Sindrom
Goodpasture
Paru-paru dan ginjal
Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah,
kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang.
Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum
kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Penyakit Graves Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok dirangsang dan membesar,
menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid
(hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak
jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat
kehilangan, dan kecemasan. Dengan pengobatan,
prognosis baik.
Tiroiditis
Hashimoto
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan
kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism). Gejala
seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan
ke dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup
dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi
gejala secara sempurna.
Multiple
sclerosis
Otak dan spinal cord
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel
tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya.
Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi
abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan,
kekejangan otot, dan sukar menahan hajat. Gejala
berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan
pergi. Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia
gravis
Koneksi antara saraf
dan otot
(neuromuscular
junction)
Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan
lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam
hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas.
Obat biasanya bisa mengontrol gejala.
Pemphigus Kulit
Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa
mengancam hidup.
Pernicious
anemia
Sel tertentu di
sepanjang perut
Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan
menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk
produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf).
Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan
kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.
Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan
kehilangan sensasi. Tanpa pengobatan, tali tulang
belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan
kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan
hajat. Risiko kanker perut bertambah. Dengan
pengobatan, prognosis baik.
Rheumatoid
arthritis
Sendi atau jaringan
lain seperti jaringan
paru-paru, saraf, kulit
dan jantung
Banyak gejala mungkin terjadi, termasuk demam,
kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak
bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi,
kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di
bawah kulit. Progonosis bervariasi.
Systemic lupus
erythematosus
(lupus)
Sendi, ginjal, kulit,
paru-paru, jantung,
otak dan sel darah
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan
ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-
paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan,
pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin
terjadi. Bercak mungkin timbul. Ramalan berubah-
ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa
menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-
kadang kekacauan.
Diabetes
mellitus tipe 1
Sel beta dari pankreas
(yang memproduksi
insulin)
Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang
air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi
bervariasi dengan jangka panjang. Pengobatan seumur
hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan
sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas
yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup.
Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi
lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan
hingga waktu yang lama.
Vasculitis Pembuluh darah
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu
bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-
paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa
macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal,
kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk,
rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan,
dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal)
bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi.
Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak
jaringan rusak.
Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.
Tabel 1. Penyakit Autoimun
1.4.Memahami dan Mempelajari Mekanisme Autoimun

1. Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel
terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen seperti
yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas seluler dengan
bantuan antibodi.

2. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali dengan
pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang menimbulkan
aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen ditandai dengan
penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini menyebabkan kerusakn
jaringan sistemik.

3. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau
jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut respons
inflamasi.

2. Memahami dan Mempelajari Lupus Eritematosus Sistemik
2.1.Memahami dan Mempelajari Definisi LES
Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya
inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit
ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan.

Jenis-jenis lupus
Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit,
persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf.
Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu. Setelah
pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

2.2.Memahami dan Mempelajari Epidemiologi LES
Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. Puncak insidensinya
usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat
bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini
perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES
mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan
status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang,
dengan prevalensi tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan
hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak,
adik, ibu). Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot sekitar 25%-50% dan 5% pada
kembar dizigot. Pada hubungan kekerabatan yang jauh, LES berkaitan dengan penyakit
autoimmun lainnya seperti anemia hemolitik, tiroiditis, dan ITP. Namun LES dapat pula
tidak terkait secara herediter.

Prevalensi LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan
masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi LES dalam kurun
waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta sebesar 15 kasus per
10.000 penderita yang dirawat (Nasution & Kasjmir, 1995), kemudian meningkat menjadi
37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat dalam kurun waktu 1988-1990. Insidensi LES
di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar 10,1 kasus per 10.000 penderita
yang dirawat. Insidensi LES di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4
kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Albar, 1996).

Insidensi LES di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999 sampai
dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik (10,96%), dengan rasio
wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah penderita LES yang berobat di poli rawat
jalan ada 20 orang (62,5%), 17 wanita dan 3 pria. Jumlah penderita LES yang menjalani
rawat inap ada 12 orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik
yang dirawat di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita.
Dimana dari 12 Orang yang dirawat, 10 orang karena flare up dan 2 karena infeksi (TB dan
pneumonia). Dari 10 kasus flare up yang dirawat, 6 kasus nefritis lupus, 3 kasus CNS lupus,
1 kasus anemia hemolitik.

2.3.Memahami dan Mempelajari Etiologi LES
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi
antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal,
akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi
patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self
dan nonself . Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit
LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-
obatan dan faktor-faktor lain.

1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human
Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita
penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5.
Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang
mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-
La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu
pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau
C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan
susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen
komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan
nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi
meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun.
Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan
karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas
mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan
dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan
eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh
reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier
atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat,
sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen
memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan
adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan
pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen
memperberat penyakit.

4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel
B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang
menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan
kejadian lupus ini diantaranya: Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin,
Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine,
dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon
dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.

5. Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya
sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses
fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi
dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat
menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.

2.4.Memahami dan Mempelajari Patogenesis LES
Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang
mampu mengubah sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik,
seperti terlihat pada gambar 1.


Gambar 1. Patogenesis LES

Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti: apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP dan
Ro/SS-A. Antigen tersebut akan diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B pada reseptornya untuk
selanjutnya menghasilkan suatu antibody yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk
oleh peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak organ target
(glomerulus, sel endotel dan thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan
antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh
bila terjadi endapan. Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol
oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan
antigen atau komplek imun di dalam sirkulasi. Perubahan abnormal di dalam sistem imun
tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke dalam sistem
imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi
tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di
sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang
akhirnya akan menyebabkan proses apoptosis.

Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan pada penderita LES dan
keadaan ini sering menimbulkan kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun
tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor
C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar
maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh
FcR. IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik
berupa hemolisis. Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena melibatkan
aktivasi berbagai komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul
karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. Berbagai keadaan sitokin yang
terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6.
Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES:
1. Sel T
- Limfopenia
- Penurunan sel T supresor
- Peningkatan sel T helper
- Penurunan memori dan CD4
- Penurunan aktivasi sel T supresor
- Peningkatan aktivasi sel T helper

2. Sel B
- Aktivasi dan poliklonal sel B
- Peningkatan terhadap respon sitokin

2.5.Memahami dan Mempelajari Manifestasi Klinis LES
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain,
dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana
yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap
penderita.

Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi).

Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan
melibatkan organ lainnya.

Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis.
Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan
dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari
nyeri di daerah tersebut.

Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam
ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar
bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.

Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal,
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada
akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau
pencangkokkan ginjal.

Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah
disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari
otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di
dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit
berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.

Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan
antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan
sesak nafas.


2.6.Memahami dan Mempelajari Diagnosis & Diagnosis Banding LES
Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan
laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini
semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis.
Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan
artritis reumatoid dan penyakit lainnya.

Kriteria untuk Kelainan Kulit
1. Ruam Malar
(butterfly rash)
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
Nasolabial
2. Ruam/ lesi diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atauyang dilihat oleh dokter pemeriksa
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa
Kriteria Sistemik
5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusi
6. Serositis, Pleuritis,
Perikarditis

Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura.Terbukti dengan rekaman EKG
atau pericardial friction rub atau terdapat bukti
efusiperikardium.
7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan
neurologi
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidak-seimbangan elektrolit).atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Kriteria Laboratorium
9. Kelainan
hematologik
Anemia hemolitik dengan retikulosisatau
Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebihatau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
10. Kelainan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
imunologik titer yang abnormalataub. Anti-Sm: terdapatnya
antibodi terhadap antigen nuklear Smatauc. Temuan
positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi
antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes
lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu
terhadap sifilis paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
11. Antibodi
antinuklearpositif
(ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik

a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria. Untuk kepentingan studi klinis, seseorang dikatakan
LES apabila didapatkan 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun berkelanjutan
selama interval atau observasi.
b. Modifikasi kriteria no.10 dibuat tahun 1997.

Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan
DOPAMIN RASH yaitu:
D iscoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder,
Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.

Diagnosis Banding LES:

Table 3. Diagnosis Banding LES
Malar rash

http://www.hill-liles.com/uploaded_images/malar_rash-769369.jpg
Discoid

http://library.med.utah.edu/kw/derm/pages/pa06_2.htm
Fotosensitivitas

http://casereports.bmj.com/content/2011/bcr.12.2010.3637/F1.medium.gif

Oral Ulcers

http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?imageId=2862551&albumId=75693
Artritis

http://findmeacure.com/wp-content/uploads/2008/07/lupus-2.jpg


Rheumatoid Arthritis

http://images.rheumatology.org/image_dir/album75692/md_99-05-0020.tif.jpg

2.7.Memahami dan Mempelajari Penatalaksanaan & Pencegahan LES

Penatalaksanaan non-farmakologi:
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi
klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga
penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia
reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya
kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian
flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.

b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group
atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus,
yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka
bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus.
Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang
kurang mampu dalam pengobatan.

c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu
dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang
tiap 4-6 jam.

e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam
yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian
obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,
osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m
2
) lebih efektif
dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan
siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan
vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm
3
dan leukosit > 3500/mm
3
. Monitoring
jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1
gram/m
2
setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul
setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko
terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping
pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian
hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan.

b. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu
enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T
serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria
dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap
siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi
MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison
yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-
1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan
respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan
obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.


c. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid
sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan
interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit >
3500/mm
3
dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka
dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu
supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering
dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan
peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang
setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di
ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik.

Obat ini merupakan
pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan
dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

d. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada
pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian
dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20
mg/hari.

e. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti
efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah
peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer,
sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi
(C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk
nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring
tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat
diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin
terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)
bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan
dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama
trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare
SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal
atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis,
sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya
bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi,
efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan
untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan
organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya
memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat
digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon
bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati,
hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya
setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau
mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada
pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000
unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula
diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada
umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan
eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan
defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban
pecah dini.



NSAI D (Non Steroid Anti I nflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan
sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan
aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi
ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan
meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum
transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering
ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek
sampingnya pada gastrointestinal.

Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan
kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus
disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic
Purpura).

I mmunoglobulin I ntravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas,
meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV
Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari
selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam,
manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia,
sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada
penderita SLE dengan defisiensi IgA.

Pencegahan Penyakit LES:
Untuk mencegah kambuhnya SLE, penderita Lupus disarankan melakukan hal-hal sebagai
berikut:

1. Menghindari stress dan trauma fisik. Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
2. Menghindari merokok
3. Menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
4. Melakukan istirahat yang cukup. Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu
kambuhnya SLE.
5. Diet sesuai kelainan. Misalnya: jika hiperkolesterol, maka pasien harus diet rendah lemak.
6. Menghindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi, dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7. Menghindari paparan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena pasien SLE
cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet. Kulit yang terkena sinar matahari dapat
menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak kemerahan yang menonjol/ menebal.
8. Menghindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen, seperti pil KB/ kontrasepsi.

2.8.Memahami dan Mempelajari Prognosis LES
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita
yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan
dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun
jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk
ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal
yang berat.
3. Memahami dan Mempelajari Pemeriksaan untuk LES
3.1.Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia),
2. Rambut kepala dan alis mudah rontok,
3. Urtikaria pada wajah,
4. Ulkus mucosa mulut,
5. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang
terpapar sinar matahari.

3.2.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin
Biasanya dokter akan meminta CBC (Complete Blood Count) dahulu. Pada kasus lupus,
pemeriksaan darah berikut akan menunjukan angka rendah: sel darah merah, sel darah putih
(limfosit dan lainnya), platelet, serum darah.
Tes Urin
Pemeriksaan akan mencari cell casts (bagian sel yang akan dipindahkan ketika darah di saring
melalui ginjal) dan proteinuria (protein yang ditumpahkan ke badan karena ginjal tidak memfilter
secara baik). Simpanan lebih dari 24 jam. Proteinuri 0,5 g/dl atau > 3+
- Cellular cast : sel darah merah, Hb, granular, tubular atau mix
Antibodies
Test yang sering digunakan adalah ANA bukan pemeriksaan spesifik.
Antinuclear antibodies (ANA) adalah antibodi yang berhubungan dengan nucleus sel. Ini
memproses kerusakan dan merusak sel. Tes Darah ANA merupakan tes sensitive terhadap lupus,
karena antibodi ini dapat ditemukan di 97% orang dengan lupus. Ketika tiga atau lebih gejala
lupus ada, tes ANA positif akan mengkonfirmasi suatu diagnosis lupus. Namun, postif ANA
tidak selalu berarti terdapat penyakit lupus dengan penyakit lain, tanpa penyakit. ANA dapat
berubah dari postif jadi negative atau negative jadi positif pada orang yang sama. Namun, lupus
biasanya didiagnosis ketika ditemukan antinukleat antibodi tersebut pada darah.

Sebagai tambahan ANA, digunakan diagnosis dengan pemeriksaan antibodi spesifik berikut:
1. Antibodi terhadap double-stranded DNA (anti-dsDNA). Ditemukan pada setengah masyarakat
dengan lupus, namun masih terdapat lupus meskipun antibodi ini tidak terdeteksi.
2. Antibodi Histone. Protein yang mengelilingi molekul DNA, terkadang ditemukan pada orang
dengan SLE, namun lebih terlihat pada orang dengan drug induced lupus.
3. Antibodi terhadap phospholipids ( aPLs ) yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah,
hingga terjadi bekuan darah pada kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung atau keguguran.
aPLs yang paling sering diukur adalah antikoagulan lupus, antikardiolipin antibodi, dan anti-
beta2 glikoprotein I. Hampir 30% orang dengan lupus mendapatkan hasil tes positif untuk
antibodi antifosfolipid.
Namun dapat ditemukan juga pada sifilis dan tes darah tidak selalu memberi perbedaan antara 2
penyakit. Kurang lebih 20% penderita lupus mendapatkan hasil positif palsu terhadap hasil tes
sifilis.
4. Antibodi terhadap Ro/SS-A dan La/SS-B ( Ro dan La adalah nama protein pada nucleus sel )
sering ditemukan pada orang dengan sindrom Sjgren. Anti-Ro antibodi pada umumnya
ditemukan pada orang dengan lupus cutaneous. Antibodi Ro dan La dapat menembus plasenta
pada ibu hamil, dan menyebabkan neonatal lupus pada janin. Meskipun jarang dan biasanya
tidak bahaya, dapat menyebabkan kasus serius.
5. Antibodi SM, menargetkan pada protein Sm pada nucleus sel. Ditemukan pada 3040%
orang dengan lupus, keberadaan antibodi ini hamper selalu menunjukan adanya lupus.
6. Antibodi RNP, menargetkan RNP yang menolong aktivits kimia pada sel. Sering ditemukan
pada pasien dengan penyakit autoimun.
Pemeriksaan Darah Lainnya

Tes Komplemen
Yang paling sering digunakan adalah tes CH50, C3, C4. CH50 mengukur fungsi komplemen
keseluruhan pada darah. Rendahnya kadar C3 & C4 pada darah dapat mengindikasikan lupus
aktif.
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang diproduksi di hati dan tingginya kadar CRP di
darah dapat mengindikasikan terjadi inflamasi akibat lupus.
Erythrocyte sedimentation rate (ESR or "sed" rate) adalah tes lain untuk inflamasi, mengukur
jumlah protein yang membuat sel darah merah menggumpal. Biasanya laju sed tinggi pada
penderita lupus aktif, namun dapat juga tinggi akibat penyebab lain seperti infeksi
Blood Clotting Time Tests
Prothrombin time (PT) mengukur keping darah dan dapat menunjukkan risiko pembekuan cukup
cepat pada daerah luka.
Partial thromboplastin time (PTT) mengukur berapa lama yang dibutuhkan untuk suatu darah
untuk mulai membeku.
Modified Russell viper venom time (RVVT), platelet neutralization procedure (PNP), and kaolin
clotting time (KCT) blood-clotting time tests yang lebih sensitive.
Tissue Biopsies ginjal / kulit.


4. Memahami dan Mempelajari Sabar dalam Menghadapi Musibah
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah sabar taktala mendapatkan ujian atau
musibah dari Allah SWT. Ujian yang diberikan oleh Allah kepada hambanya beragam macamnya. Bisa
berupa kematian anggota keluarga yang dicintainya, hilang dan musnahnya harta benda yang dimilikinya
akibat bencana alam, maupun kelaparan yang sedang melandanya. Semua ini adalah bentuk ujian dari
Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.( yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah [02]: 155-157).

Ujian itu diberikan oleh Allah SWT sebagai salah satu cara untuk mengetahui kadar keimanan
seseorang. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut [29]: 2-3).

Artinya, seseorang maupun masyarakat tidaklah terbukti mereka beriman jika mereka tidak tahan
terhadap ujian yang menimpanya.

Selain itu, ujian merupakan salah satu wujud kecintaan Allah terhadap suatu kaum. Hal ini dikabarkan
oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Sesungguhnya Allah Azza wa jalla
jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa yang
sabar, maka dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Dan barangsiapa marah, maka diapun
berhak mendapatkan (dosa) kemarahannya.

Para sahabat Rasul benar-benar menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam al-
Quran. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah [02]: 153).

Mereka juga memahami bahwa apapun yang menimpa mereka baik itu berupa musibah maupun
nikmat yang datang dari Allah SWT itu merupakan sesuatu yang baik bagi mereka.

Rasulullah Saw bersabda: Aku kagum terhadap urusan orang yang beriman, karena seluruh
urusannya merupakan kebaikan baginya. Jika mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka syukur itu
adalah kebaikan baginya. Jika ditimpa kesulitan ia bersabar, maka sabar itu merupakan kebaikan baginya.
Hal seperti ini tidak akan didapati pada seeorang kecuali orang yang beriman (HR. Muslim).
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan
hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiy/21:35)
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allh; barang siapa yang
beriman kepada Allh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allh Maha
Mengetahui segala sesuatu (Qs at-Taghbun/64:11)
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
1. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk
mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya
kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya),
atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allh Ta'ala. Jadi musibah dan cobaanlah
yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang
sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allh Ta'ala.
2. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan
penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allh Ta'alamencintai
hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.
Inilah makna sabda Raslullh Shallallhu 'Alaihi Wasallam : Sungguh mengagumkan keadaan
seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada
pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah
kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan
baginya.
3. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan
seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allh Ta'ala sediakan bagi hamba-Nya yang
bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia
Allh Ta'ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak
ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-
menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan
dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda
Raslullh Shallallhu 'Alaihi Wasallam : Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang
yang sedang melakukan perjalanan.

DAFTAR PUSTAKA


Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai
penerbit FKUI.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
Penatalaksanaan LES Pada Berbagai Organ Target oleh Nanang Sukmana
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_PenatalaksananLES.pdf/11_PenatalaksananLE
S.pdf
Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik oleh Rachmat G
Wachjudi http://www.scribd.com/adie_kristanto/d/62766239-Diagnosis-Dan-
Penatalaksanaan-Lupus-Eritematosus-Sistemik
Gangguan Autoimun http://medicastore.com/penyakit/3320/Gangguan_Autoimun.html
http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_learndiagnosing.aspx?
articleid=2242&zoneid=524
http://nonasehat.info/penyakit-lupus-bagaimana-mengobatinya/
Sikap Seorang Mukmin Dalam Menghadapi Musibah oleh Ustadz Abdullh bin
Taslm Al-Buthoni http://majalah-
assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=204&Itemid=104

Anda mungkin juga menyukai