RONA MERAH DI PIPI Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terdapat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Erimatosus. Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin, dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
Sasaran Belajar
1. Memahami dan Mempelajari Autoimun 1.1.Memahami dan Mempelajari Definisi Autoimun 1.2.Memahami dan Mempelajari Etiologi Autoimun 1.3.Memahami dan Mempelajari Klasifikasi Autoimun 1.4.Memahami dan Mempelajari Mekanisme Autoimun
2. Memahami dan Mempelajari Lupus Eritematosus Sistemik 2.1.Memahami dan Mempelajari Definisi LES 2.2.Memahami dan Mempelajari Epidemiologi LES 2.3.Memahami dan Mempelajari Etiologi LES 2.4.Memahami dan Mempelajari Patogenesis LES 2.5.Memahami dan Mempelajari Manifestasi Klinis LES 2.6.Memahami dan Mempelajari Diagnosis & Diagnosis Banding LES 2.7.Memahami dan Mempelajari Penatalaksanaan & Pencegahan LES 2.8.Memahami dan Mempelajari Prognosis LES
3. Memahami dan Mempelajari Pemeriksaan untuk LES 3.1.Pemeriksaan Fisik 3.2.Pemeriksaan Penunjang
4. Memahami dan Mempelajari Sabar dalam Menghadapi Musibah
1. Memahami dan Mempelajari Autoimun 1.1.Memahami dan Mempelajari Definisi Autoimun
Penyakit autoimun atau gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro- jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan. Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen, seperti molekul serbuk sari atau makanan, ada di mereka sendiri.
Sel sekalipun pada orang yang memiliki jaringan sendiri bisa mempunyai antigen. Tetapi, biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii. Tetapi, sistem imunitas kadang- kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing dan menghasilkan (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.
1.2.Memahami dan Mempelajari Etiologi Autoimun
Faktor imun yang berperan pada autoimunitas:
a. Sequestered antigen Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun, terlindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun keadaan normal. Contohnya: protein lensa intraokular, sperma dan Mylein Basic Protein. Jika terjadi perubahan anatomik (contohnya inflamasi) pajanan sequestered antigen terhadap sistem imun. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun. b. Gangguan presentasi Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respons terhadan IL-2. Sel Ts atau Tr melakukan pengawasan beberapa sel autoreaktif. Jika terjadi kegagalan sel Ts atau Tr sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
c. Ekspresi MHC-II yang tidak benar Sel pankreas pada penderita dengan IDDM (Insuline Dependent Diabetes Mellitus) mengekspresikan kadar tinggi MHC-I dan MHC-II, sedang subyek sehat sel mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Penderita Grave: sel kelenjar tiroid mengekspresikan MHC-II pada membran. Ekspresi MHC-II tidak pada tempatnya itu ( biasanya hanya diekspresikan pada Antigen Presenting Cell ) dapat mensensitasi sel Th terhdap peptida yang berasal dari sel atai Tc atau Th1 terhadap self antigen. d. Aktivasi sel B poliklonal Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimmunitas. Antibodi yang terbentuk terdiri atas berbagai autoantibodi. e. Peran CD4 dan reseptor MHC Penelitian pada model hewan menunjukan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE (Experimental Allergic Enchepalitis) ditimbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik untuk antigen. Penyakit dapat dipindahkan dari hewan yang satu ke yang lain melalui sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP datau PLP atau sel lain dari klon sel T asal hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibodi anti CD4. Sel T mengenal antigen melalui TCR dan MHC serta peptida antigenik. Untuk seseorang menjadi rentan terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri. f. Keseimbangan Th1-Th2 Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit tetapi juga terhadap progres penyakit. Pada EAE sitokin Th1 (IL-2, TNF- dan IFN-) ditemukan dalam SSP dengan kadar tertinggi pada penyakit. g. Sitokin pada autoimunitas Gangguan mekanisme ekspresi sitokin meningkatkan regulasi atau produksi sitokin yang tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik. Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai faktor etiologis ke dalam kekuatan patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1 dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan kerusakan menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat mencegah pembentukan matriks ekstraselular atau merangsang penimbunan matriks yang berlebihan. Faktor lingkungan yang berperan pada autoimunitas A. Kemiripan molekular dan infeksi 1. Virus dan autoimunitas Virus adeno dan Coxsackie A9, B2, B4, B6 poliartritis, pleuritis, mialgia, ruam kulit, faringitis, miokarditis, dan leukositosis. Respons autoimun terhadap virus Hepatitis C ( HCV ) adalh multifaktorial. Resolusi HCV terjadi pada penderita dengan respons antibodi yang cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis pada penderita dengan antibodi yang lambat. 2. Bakteri dan autoimunitas a. Karditis reumatik-demam reuma akut Demam reuma pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. (homologi protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi). b. Sindrom Reiter dan artritis reaktif Dipacu oleh: infeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter dan saluran kencing oleh klamidia trakomatis atau ureaplasma urealitikum termasuk triad uretritis, artritis, dan uveitis. Ciri-ciri: inflamasi insersi tendon dan ligamen pada tulang. Penderita dengan artritis perifer asimetris, sakit tumit dan tendon akiles dapat merupakan ciri utam. Sel-sel inflamasi ditemukan dalam cairan sinovia. c. Eritema nodosum Biasanya terjadi pada orang dewasa usia 1833 tahun. B. Hormon Studi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita penyakit auto imun dibanding pria. Pada umumnya wanita memproduksi antibodi lebih banyak dibanding pria yang biasanya merupakan respons proinfalamasi Th1. C. Obat Idiosinkrasi, patogenesisnya. Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respons imun tubuh berupa respons autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
D. Radiasi UV Pemicu inflamasi kulit dan kadang LES. Menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antige yang meningkatkan imunogenesitas. E. Oksigen Radikal bebas Bentuk lain dari kerusakan fisis dapat mengubah imunogenesitas self antigen terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas yang menimbulakn sebagian proses inflamasi. Pemicu lainnya adalah stres psikologi dan faktor makanan. F. Logam Pajanan terhadap debu silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang disebut silikosis.
4.1.Memahami dan Mempelajari Klasifikasi Autoimun Penyakit autoimunity dapat secara luas dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ- spesifik atau lokal, tergantung pada fitur clinico-pathologic pokok masing-masing penyakit.
1. Sistemik autoimun : penyakit lupus, sindrom Sjgren, skleroderma, rheumatoid arthritis, dan dermatomyositis. Kondisi ini cenderung dikaitkan dengan autoantibodi untuk antigen yang tidak spesifik jaringan. 2. Lokal sindrom yang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan: Gastrointestinal: penyakit Coeliac, anemia pernisiosa Dermatologic: Pemphigus vulgaris, Vitiligo Haematologic: Autoimmune haemolytic anaemia, Idiopathic thrombocytopenic purpura Neurologis: Myasthenia gravis Endocrinologic: Diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison.
Beberapa Gangguan Autoimun Gangguan Jaringan yang terkena Konsekwensi Anemia hemolitik autoimun Sel darah merah Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar. Anemia bisa hebat dan bahkan fatal. Bullous pemphigoid Kulit Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit. Gatal biasa. Dengan pengobatan, prognosis baik. Sindrom Goodpasture Paru-paru dan ginjal Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang. Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi. Penyakit Graves Kelenjar tiroid Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid (hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasan. Dengan pengobatan, prognosis baik. Tiroiditis Hashimoto Kelenjar tiroid Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna. Multiple sclerosis Otak dan spinal cord Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-ubah. Myasthenia gravis Koneksi antara saraf dan otot (neuromuscular junction) Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas. Obat biasanya bisa mengontrol gejala. Pemphigus Kulit Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa mengancam hidup. Pernicious anemia Sel tertentu di sepanjang perut Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi. Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan hajat. Risiko kanker perut bertambah. Dengan pengobatan, prognosis baik. Rheumatoid arthritis Sendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung Banyak gejala mungkin terjadi, termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi. Systemic lupus erythematosus (lupus) Sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darah Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat. Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru- paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul. Ramalan berubah- ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang- kadang kekacauan. Diabetes mellitus tipe 1 Sel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin) Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang. Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama. Vasculitis Pembuluh darah Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru- paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi. Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak. Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan. Tabel 1. Penyakit Autoimun 1.4.Memahami dan Mempelajari Mekanisme Autoimun
1. Kerusakan akibat destruksi sel Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi.
2. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.
3. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut respons inflamasi.
2. Memahami dan Mempelajari Lupus Eritematosus Sistemik 2.1.Memahami dan Mempelajari Definisi LES Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Jenis-jenis lupus Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu. Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.
2.2.Memahami dan Mempelajari Epidemiologi LES Sembilan puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. Puncak insidensinya usia antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi. Di Amerika Serikat prevalensi LES sekitar 15-50 per 100.000 orang, dengan prevalensi tertinggi pada etnik African Americans. LES berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu). Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot sekitar 25%-50% dan 5% pada kembar dizigot. Pada hubungan kekerabatan yang jauh, LES berkaitan dengan penyakit autoimmun lainnya seperti anemia hemolitik, tiroiditis, dan ITP. Namun LES dapat pula tidak terkait secara herediter.
Prevalensi LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Insidensi LES dalam kurun waktu tahun 1971-1975 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta sebesar 15 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Nasution & Kasjmir, 1995), kemudian meningkat menjadi 37,7 kasus per 10.000 penderita yang dirawat dalam kurun waktu 1988-1990. Insidensi LES di Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1983-1986 sebesar 10,1 kasus per 10.000 penderita yang dirawat. Insidensi LES di Medan dalam kurun waktu tahun 1984-1986 sebesar 1,4 kasus per 10.000 penderita yang dirawat (Albar, 1996).
Insidensi LES di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada perode Juli 1999 sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 kasus dari 292 kasus penyakit rematik (10,96%), dengan rasio wanita dibanding dengan pria 29:3 (9,7:1). Jumlah penderita LES yang berobat di poli rawat jalan ada 20 orang (62,5%), 17 wanita dan 3 pria. Jumlah penderita LES yang menjalani rawat inap ada 12 orang (37,5% penderita LES) atau 66,67% dari kasus penyakit rematik yang dirawat di Perjan RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan semuanya adalah wanita. Dimana dari 12 Orang yang dirawat, 10 orang karena flare up dan 2 karena infeksi (TB dan pneumonia). Dari 10 kasus flare up yang dirawat, 6 kasus nefritis lupus, 3 kasus CNS lupus, 1 kasus anemia hemolitik.
2.3.Memahami dan Mempelajari Etiologi LES Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara self dan nonself . Selain itu banyak faktor lain yang berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat- obatan dan faktor-faktor lain.
1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti- La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II. Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya: Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
5. Stres Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
2.4.Memahami dan Mempelajari Patogenesis LES Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Patogenesis LES
Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu antibody yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak organ target (glomerulus, sel endotel dan thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan. Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek imun di dalam sirkulasi. Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik berupa hemolisis. Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6. Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.
Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES: 1. Sel T - Limfopenia - Penurunan sel T supresor - Peningkatan sel T helper - Penurunan memori dan CD4 - Penurunan aktivasi sel T supresor - Peningkatan aktivasi sel T helper
2. Sel B - Aktivasi dan poliklonal sel B - Peningkatan terhadap respon sitokin
2.5.Memahami dan Mempelajari Manifestasi Klinis LES Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.
Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
2.6.Memahami dan Mempelajari Diagnosis & Diagnosis Banding LES Diagnosis LES dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya.
Kriteria untuk Kelainan Kulit 1. Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat Nasolabial 2. Ruam/ lesi diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik 3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atauyang dilihat oleh dokter pemeriksa 4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa Kriteria Sistemik 5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi 6. Serositis, Pleuritis, Perikarditis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusiperikardium. 7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. 8. Gangguan neurologi Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit). Kriteria Laboratorium 9. Kelainan hematologik Anemia hemolitik dengan retikulosisatau Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebihatau Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan 10. Kelainan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan imunologik titer yang abnormalataub. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Smatauc. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema. 11. Antibodi antinuklearpositif (ANA) Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria. Untuk kepentingan studi klinis, seseorang dikatakan LES apabila didapatkan 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun berkelanjutan selama interval atau observasi. b. Modifikasi kriteria no.10 dibuat tahun 1997.
Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu: D iscoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.
2.7.Memahami dan Mempelajari Penatalaksanaan & Pencegahan LES
Penatalaksanaan non-farmakologi: a. Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
b. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
c. Istirahat Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d. Tabir surya Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis : a. Siklofosfamid Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2 ) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm 3 dan leukosit > 3500/mm 3 . Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m 2 setiap 1-3 bulan. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
b. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500- 1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
c. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik.
Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava) Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
e. Methotrexate Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
f. Siklosporin Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Hormon Seks Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari. Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAI D (Non Steroid Anti I nflammatory Drug) NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
I mmunoglobulin I ntravena Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Pencegahan Penyakit LES: Untuk mencegah kambuhnya SLE, penderita Lupus disarankan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menghindari stress dan trauma fisik. Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. 2. Menghindari merokok 3. Menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi. 4. Melakukan istirahat yang cukup. Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE. 5. Diet sesuai kelainan. Misalnya: jika hiperkolesterol, maka pasien harus diet rendah lemak. 6. Menghindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi, dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. 7. Menghindari paparan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena pasien SLE cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet. Kulit yang terkena sinar matahari dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak kemerahan yang menonjol/ menebal. 8. Menghindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen, seperti pil KB/ kontrasepsi.
2.8.Memahami dan Mempelajari Prognosis LES Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat. 3. Memahami dan Mempelajari Pemeriksaan untuk LES 3.1.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia), 2. Rambut kepala dan alis mudah rontok, 3. Urtikaria pada wajah, 4. Ulkus mucosa mulut, 5. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang terpapar sinar matahari.
3.2.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin Biasanya dokter akan meminta CBC (Complete Blood Count) dahulu. Pada kasus lupus, pemeriksaan darah berikut akan menunjukan angka rendah: sel darah merah, sel darah putih (limfosit dan lainnya), platelet, serum darah. Tes Urin Pemeriksaan akan mencari cell casts (bagian sel yang akan dipindahkan ketika darah di saring melalui ginjal) dan proteinuria (protein yang ditumpahkan ke badan karena ginjal tidak memfilter secara baik). Simpanan lebih dari 24 jam. Proteinuri 0,5 g/dl atau > 3+ - Cellular cast : sel darah merah, Hb, granular, tubular atau mix Antibodies Test yang sering digunakan adalah ANA bukan pemeriksaan spesifik. Antinuclear antibodies (ANA) adalah antibodi yang berhubungan dengan nucleus sel. Ini memproses kerusakan dan merusak sel. Tes Darah ANA merupakan tes sensitive terhadap lupus, karena antibodi ini dapat ditemukan di 97% orang dengan lupus. Ketika tiga atau lebih gejala lupus ada, tes ANA positif akan mengkonfirmasi suatu diagnosis lupus. Namun, postif ANA tidak selalu berarti terdapat penyakit lupus dengan penyakit lain, tanpa penyakit. ANA dapat berubah dari postif jadi negative atau negative jadi positif pada orang yang sama. Namun, lupus biasanya didiagnosis ketika ditemukan antinukleat antibodi tersebut pada darah.
Sebagai tambahan ANA, digunakan diagnosis dengan pemeriksaan antibodi spesifik berikut: 1. Antibodi terhadap double-stranded DNA (anti-dsDNA). Ditemukan pada setengah masyarakat dengan lupus, namun masih terdapat lupus meskipun antibodi ini tidak terdeteksi. 2. Antibodi Histone. Protein yang mengelilingi molekul DNA, terkadang ditemukan pada orang dengan SLE, namun lebih terlihat pada orang dengan drug induced lupus. 3. Antibodi terhadap phospholipids ( aPLs ) yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah, hingga terjadi bekuan darah pada kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung atau keguguran. aPLs yang paling sering diukur adalah antikoagulan lupus, antikardiolipin antibodi, dan anti- beta2 glikoprotein I. Hampir 30% orang dengan lupus mendapatkan hasil tes positif untuk antibodi antifosfolipid. Namun dapat ditemukan juga pada sifilis dan tes darah tidak selalu memberi perbedaan antara 2 penyakit. Kurang lebih 20% penderita lupus mendapatkan hasil positif palsu terhadap hasil tes sifilis. 4. Antibodi terhadap Ro/SS-A dan La/SS-B ( Ro dan La adalah nama protein pada nucleus sel ) sering ditemukan pada orang dengan sindrom Sjgren. Anti-Ro antibodi pada umumnya ditemukan pada orang dengan lupus cutaneous. Antibodi Ro dan La dapat menembus plasenta pada ibu hamil, dan menyebabkan neonatal lupus pada janin. Meskipun jarang dan biasanya tidak bahaya, dapat menyebabkan kasus serius. 5. Antibodi SM, menargetkan pada protein Sm pada nucleus sel. Ditemukan pada 3040% orang dengan lupus, keberadaan antibodi ini hamper selalu menunjukan adanya lupus. 6. Antibodi RNP, menargetkan RNP yang menolong aktivits kimia pada sel. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun. Pemeriksaan Darah Lainnya
Tes Komplemen Yang paling sering digunakan adalah tes CH50, C3, C4. CH50 mengukur fungsi komplemen keseluruhan pada darah. Rendahnya kadar C3 & C4 pada darah dapat mengindikasikan lupus aktif. C-reactive protein (CRP) adalah protein yang diproduksi di hati dan tingginya kadar CRP di darah dapat mengindikasikan terjadi inflamasi akibat lupus. Erythrocyte sedimentation rate (ESR or "sed" rate) adalah tes lain untuk inflamasi, mengukur jumlah protein yang membuat sel darah merah menggumpal. Biasanya laju sed tinggi pada penderita lupus aktif, namun dapat juga tinggi akibat penyebab lain seperti infeksi Blood Clotting Time Tests Prothrombin time (PT) mengukur keping darah dan dapat menunjukkan risiko pembekuan cukup cepat pada daerah luka. Partial thromboplastin time (PTT) mengukur berapa lama yang dibutuhkan untuk suatu darah untuk mulai membeku. Modified Russell viper venom time (RVVT), platelet neutralization procedure (PNP), and kaolin clotting time (KCT) blood-clotting time tests yang lebih sensitive. Tissue Biopsies ginjal / kulit.
4. Memahami dan Mempelajari Sabar dalam Menghadapi Musibah Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah sabar taktala mendapatkan ujian atau musibah dari Allah SWT. Ujian yang diberikan oleh Allah kepada hambanya beragam macamnya. Bisa berupa kematian anggota keluarga yang dicintainya, hilang dan musnahnya harta benda yang dimilikinya akibat bencana alam, maupun kelaparan yang sedang melandanya. Semua ini adalah bentuk ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.( yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah [02]: 155-157).
Ujian itu diberikan oleh Allah SWT sebagai salah satu cara untuk mengetahui kadar keimanan seseorang. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut [29]: 2-3).
Artinya, seseorang maupun masyarakat tidaklah terbukti mereka beriman jika mereka tidak tahan terhadap ujian yang menimpanya.
Selain itu, ujian merupakan salah satu wujud kecintaan Allah terhadap suatu kaum. Hal ini dikabarkan oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Sesungguhnya Allah Azza wa jalla jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa yang sabar, maka dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Dan barangsiapa marah, maka diapun berhak mendapatkan (dosa) kemarahannya.
Para sahabat Rasul benar-benar menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam al- Quran. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah [02]: 153).
Mereka juga memahami bahwa apapun yang menimpa mereka baik itu berupa musibah maupun nikmat yang datang dari Allah SWT itu merupakan sesuatu yang baik bagi mereka.
Rasulullah Saw bersabda: Aku kagum terhadap urusan orang yang beriman, karena seluruh urusannya merupakan kebaikan baginya. Jika mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka syukur itu adalah kebaikan baginya. Jika ditimpa kesulitan ia bersabar, maka sabar itu merupakan kebaikan baginya. Hal seperti ini tidak akan didapati pada seeorang kecuali orang yang beriman (HR. Muslim). Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs al-Anbiy/21:35) Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allh; barang siapa yang beriman kepada Allh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allh Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs at-Taghbun/64:11) Di antara hikmah yang agung tersebut adalah: 1. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allh Ta'ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allh Ta'ala. 2. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allh Ta'alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang. Inilah makna sabda Raslullh Shallallhu 'Alaihi Wasallam : Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya. 3. Allh Ta'ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allh Ta'ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allh Ta'ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus- menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Raslullh Shallallhu 'Alaihi Wasallam : Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.
DAFTAR PUSTAKA
Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai penerbit FKUI. Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Penatalaksanaan LES Pada Berbagai Organ Target oleh Nanang Sukmana http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_PenatalaksananLES.pdf/11_PenatalaksananLE S.pdf Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik oleh Rachmat G Wachjudi http://www.scribd.com/adie_kristanto/d/62766239-Diagnosis-Dan- Penatalaksanaan-Lupus-Eritematosus-Sistemik Gangguan Autoimun http://medicastore.com/penyakit/3320/Gangguan_Autoimun.html http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_learndiagnosing.aspx? articleid=2242&zoneid=524 http://nonasehat.info/penyakit-lupus-bagaimana-mengobatinya/ Sikap Seorang Mukmin Dalam Menghadapi Musibah oleh Ustadz Abdullh bin Taslm Al-Buthoni http://majalah- assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=204&Itemid=104