Anda di halaman 1dari 9

- Angka kemiskinan di Indonesia: 35 juta orang

- Jumlah pekerja yang sudah terkena PHK: 27.578 orang


- 24.817 orang lagi sudah masuk daftar tunggu PHK
- 11.993 pekerja sudah dirumahkan
- 11.191 pekerja menunggu proses dirumahkan.
- 600.000 tenaga kerja Indonesia terancam dipulangkan.

Sumber: Pusat Informasi KOMPAS, 22 Februari 2009

Data Kemiskinan versi BPS Menyesatkan
INILAH.COM, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juli 2009 yang mengumumkan
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2009 menurun 2,43 juta sangat menyesatkan.

Hal ini diutarakan Abdul Ghofur, jurubicara Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia
(GAPRI) dalam siaran persnya yang diterima INILAH.COM di Jakarta, Selasa (7/7). Menurut
data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) pada
Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15%), sementara penduduk miskin pada Maret 2008
berjumlah 34,96 (15,42%).

Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang 1,57
juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang. Peran komoditi makanan terhadap
garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan,
sandang, pendidikan dan kesehatan).

"Kami, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI), koalisi masyarakat sipil Indonesia
yang peduli pada masalah kemiskinan dan pemiskinan, menggugat validitas dan kebenaran data
BPS yang menyesatkan ini," ujar Ghofur.

Menurutnya, angka kemiskinan ini direduksi sekadar pada garis kemiskinan dengan angka-angka
anonim yang hanya bermanfaat secara politik dan bukan pada penanggulangan kemiskinan.
Garis itu membuktikan bahwa BPS gagal menangkap multidimensi kemiskinan dan penyebab
kemiskinan.

Padahal, menghapus kemiskinan jelas bukan pada atributnya, tetapi pada penyebab kemiskinan
itu sendiri dengan segala multidimensi yang melingkupinya.

Nilai rupiah yang digunakan sangat kecil dan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi nyata.
Sebagai contoh, penduduk yang dikatakan miskin jika per harinya mengeluarkan rata-rata
Rp200.262 per bulan, atau satu rumahtangga dengan 4 anggota keluarga hanya Rp801.048 per
bulan. Untuk kebutuhan makanan, orang dikatakan miskin jika hanya mengeluarkan Rp4.911.
"Cukup untuk berapa kali makankah uang sekecil itu, dan bagaimana kualitasnya," tukasnya.

Demikian pula dengan non makanan yang hanya dipatok Rp1.764 per hari, padahal untuk
transportasi perhari setiap orang minimal harus mengeluarkan Rp2.000. "Jadi, bagaimana dengan
pengeluaran lainnya," tandasnya.

Penurunan jumlah penduduk miskin yang dihasilkan oleh BPS lebih dominan disebabkan karena
panen raya, meningkatnya peredaran uang dari money politics pada saat pemilihan umum dan
bukan karena inflasi yang relatif stabil (7,92%, harga beras yang lebih rendah (7,80%) dari
inflasi, naiknya upah buruh tani 13,22% dan buruh kota 10,61%.

BPS juga mengesampingkan fakta-fakta pengaruh krisis global. Berdasarkan data versi
pemerintah, selama kuartal I 2009, konsumsi publik yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi
hanya mencapai 5 persen, turun dibanding pertumbuhan pada kuartal I 2008 yang mencapai 5,5
persen. Padahal, pada kuartal IV 2008, konsumsi melaju mencapai 6,4 persen.

Sementara, temuan dari Overseas Development Institute (Juni, 2009) menyebutkan, jumlah
penduduk miskin di Indonesia akibat krisis mencapai 650.000 rumah tangga, sedangkan
pengangguran akibat PHK mencapai 37.905 pekerja.

Data penurunan kemiskinan tidak menyertakan pengaruh dan siginifikansi program-program
penanggulangan kemiskinan seperti BLT, PNPM yang diklaim oleh pemerintah telah berhasil.

Tanpa itu, golongan miskin keluar dengan kemampuannya sendiri dan tidak ada intervensi
pemerintah sebagai kewajiban penyelenggara negara.

BPS tidak pernah melibatkan golongan miskin dalam merumuskan indikator-indikatornya
sehingga hasilnya tidak jauh dari kenyataan yang terjadi pada golongan miskin.

Apa yang dilakukan BPS pada bukan hanya berpotensi menimbulkan konflik sosial, tapi juga
mengabaikan golongan miskin sebagai aktor pembangunan yang dijamin hak-haknya. Jika
dibanding BPS, golongan miskin jelas memahami kemiskinan lebih baik, mengungkap penyebab
kemiskinan yang mereka alami serta merumuskan jalan keluar yang mereka inginkan.

Dengan demikian, Kemiskinan Anonim yang dibuat BPS terbukti hanya untuk melayani
kepentingan politik tertentu dan membodohi rakyat. Seharusnya, kemiskinan tidak selayaknya
menjadi komoditas politik yang hanya disebut dan diungkap ketika pemerintah membutuhkan
dukungan politik. Tidak seharusnya kemiskinan hanya direduksi dan disajikan dengan angka
anonim untuk mendukung popularitas dan klaim keberhasilan kinerja sebuah rezim. Angka
anonim jelas mengabaikan dimensi manusia yang dinamis. [cms]
Diposkan 19th March 2010 oleh Rahmat Abd Fatah





PENYEBAB KEMISKINAN DI
INDONESIA DAN CARA MENGATASINYA
April 11, 2011 by anindyaditakhoirina
Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat
Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga
selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi
masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan
program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa
Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5
persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun
1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak
belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi
penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat
lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun
demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai
tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar,
yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada
tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001
mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini
mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum
berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang
miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan
kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat
memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin
seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-
program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah
dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan
di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah
kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga
program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang
penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan
sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator
dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup
banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya,
maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal,
dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh
adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur
merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka
kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27
persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan
BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan
pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target
sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka
BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk
memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro
tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan
untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah
tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro
yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui
model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga
atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I
oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator-
indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih
bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu
mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan
yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan
lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja
(pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik)
terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk
memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun
di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data
tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat
digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat
menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang
dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena
kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti
faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam
pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan
sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah
sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga
disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya
pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang
dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak
dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih
kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik
nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem
statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik
nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan
provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan
pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam
penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan
informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam
pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu
mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam
pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa
jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut.
Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan
yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila
pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat
disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan
informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam
kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah
daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam
pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas
pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta
menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program
pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala
bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan
yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan
sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan
mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal
maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang
spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan
data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu
dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk
kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan
mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan
sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Cara/Solusi Mengatasi Kemiskinan di Indonesia
Pada Hari Kemiskinan Internasional lalu berbagai pihak menyatakan perang melawan
kemiskinan. Ditargetkan pada tahun 2015 Indonesia bebas dari kemiskinan. Ini tekad yang
bagus.
Namun selain tekad, harus didukung dengan niat yang ikhlas, perencanaan, pelaksanaan dan juga
pengawasan yang baik. Tanpa itu semua hanya omong belaka.
Menghilangkan kemiskinan boleh dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi mengurangi
kemiskinan sekecil mungkin bisa dilakukan. Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar
kemiskinan di Indonesia bisa dikurangi.
Pertama, meningkatkan pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh
seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di
Indonesia. Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan tidak mengajar
lagi.
Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan ada sekolah siang
sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2
kali lipat. Sebagai contoh di sekolah saya ada SDN Bidaracina 01 Pagi (Sekarang berubah jadi
Cipinang Cempedak 01 Pagi) dan SDN Bidaracina 02 Petang. Sekolah pagi mulai dari jam 7.00
hingga 12.00 sedang yang siang dari jam 12:30 hingga 17:30. Satu bangunan sekolah bisa
menampung total 960 murid!
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan gedung sekolah bisa
dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi
jumlah pelajaran karena jam belajar berkurang. Padahal tidak. Sebaliknya jam pelajaran di
sekolah terlalu lama justru membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh
gurunya. Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri, bersama orang
tua, atau teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan
orang tua dan juga dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau caturwulan bisa mencapai
Rp 200 ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu hanya untuk beli buku. Jika punya 3 anak,
berarti harus mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang buku orang tua harus
mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR) para buruh yang hanya sekitar
900 ribuan.
Untuk mengurangi beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan
Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-buku Pedoman (waktu itu
terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa secara gratis. Untuk soal bisa didikte atau ditulis di
papan tulis.
Ini beda dengan sekarang di mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu selesai
dipakai harus dibuang. Tak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski sebetulnya tetap bayar
yang lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru
jauh lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial. Untuk masuk UI
misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar uang masuk antara Rp 25 hingga 75 juta. Padahal
tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp 300 ribu sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk
menyekolahkan anaknya di PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat
edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta keringanan,
namun teori beda dengan praktek.
Boleh dikata orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika pun ada paling
cuma segelintir saja yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak mampu dan
merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga Miskin (Gakin) untuk
minta keringanan biaya.
Tanpa pendidikan, sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa
yang maju.
Kedua, pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani. Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100
juta penduduk) Indonesia masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas
petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya tanah dan
sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa hingga jatuh korban jiwa hanya
karena memperebutkan lahan beberapa hektar!
Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun serta harga
gabah hanya Rp 2.000/kg, pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800
ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan asumsi 50% dari
pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400 ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini menunjukkan belum
adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada proyek
Transmigrasi di mana para petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun ditanggung oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia kekurangan
pangan seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah
setiap tahunnya.
Jika petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp 48 juta per tahun
atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah, lahan,
dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan anggaran Rp 10 trilyun per
tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan 12 ton beras per
tahun, maka akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk
menutupi kekurangan beras di dalam negeri.
Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60%
diimpor dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg menjadi Rp
7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan karyawannya banyak yang
menganggur.
Jika program transmigrasi dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana
kita harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan Indonesia tidak
tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8 trilyun per tahunnya. Ini akan
menghemat devisa.
Ketiga, tutup bisnis pangan kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha besar. Para
petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka. Sebaliknya para pengusaha besar
dengan mudah mengekspor produk mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah)
sehingga rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama dengan harga
Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga minyak kelapa hingga 2 kali lipat
lebih dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah
tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat akan menderita
akibat permainan harga.
Selain itu dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani yang
merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir dan termiskinkan.
Keempat, lakukan efisiensi di bidang pertanian. Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau
tidak. Jika pestisida kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami
seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan
berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida dan
pupuk, para petani akan semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus memakai traktor?
Dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual.
Daging dan susunya juga bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar
yang selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima, data produk-produk yang masih kita impor. Kemudian teliti produk mana yang bisa
dikembangkan di dalam negeri sehingga kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka
lapangan kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan sangat
menghemat devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda motor
terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan
1% saja dari APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang
menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan penghematan devisa
milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing. Kelola sendiri.
Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan kita tidak mampu dan sedang
transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis
kita masih transfer teknologi.
Padahal 95% pekerja dan insinyur di perusahaan-perusahaan asing adalah orang Indonesia. Expat
paling hanya untuk level managerial. Bahkan perusahaan migas Qatar pun di Kompas sering
pasang lowongan untuk merekrut ahli migas kita. Saat ini 1.500 ahli perminyakan Indonesia
bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar. Bahkan ada Doktor
Perminyakan yang bekerja di negara Eropa seperti Noewegia!
Sekilas kita untung dengan pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya 15%. Padahal
kontraktor asing tersebut memotong terlebih dulu pendapatan yang ada dengan cost recovery
yang besarnya mereka tentukan sendiri. Bahkan ongkos bermain golf dan biaya rumah sakit di
luar negeri ex-patriat dimasukkan ke dalam cost recovery, begitu satu media memberitakan.
Akibatnya di Natuna sebagai contoh, Indonesia tidak dapat apa-apa. Kontraktor asing sendiri,
seperti Exxon sendiri mengantongi keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari
pengelolaan minyak dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut PENA, pada tahun
2008 saja sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia justru masuk ke
kantong asing. Padahal jitu bisa dipakai untuk melunasi hutang luar negeri dan mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Bahkan untuk royalti emas dan perak di Papua, Freeport yang cuma tukang cangkul dapat 99%
sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik emas cuma dibagi 1%! Bagaimana bisa kaya? Jadi
kalau didapat emas dan perak sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia cuma dapat Rp 1 trilyun saja!
Banyak perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia. Tetangga saya yang
menambang emas bekerjasama dengan penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil
saja bisa mendapat Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai banyak
excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua?
Agar Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.

Anda mungkin juga menyukai