Anda di halaman 1dari 111

HUKUM KEDOKTERAN

Dr H Tatang Kartawan
2010
RUANG LINGKUP
1. Pengantar
2. Perbandingan Etika
dan Hukum
3. Hubungan Dokter
dan Pasien
4. KUHAPidana,
KUHPidana dan
KUHPerdata
5. UU No 13/1992
tentang Kesehatan



6. UU No 29/2004 tentang
Praktik Kedokteran
7. UU No 22/1997 tentang
Narkotika
8. UU No 5/1997 tentang
Psikotropika
9. UU No 8/1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
10.Kasus Jurisprudensi
PENGANTAR (1)
Hukum Kedokteran adalah subsistem dari Ilmu Hukum
(Bandingkan dengan ilmu Kedokteran Forensik yang
merupakan subsistem dari Ilmu Kedokteran)
Dokter harus mengenal dan memahami Hukum
Kedokteran, karena dengan demikian ia :
tahu rambu-rambu hukum dalam melakukan praktek
profesi dokter agar tidak gegabah dilanggar
siap menyiapkan pembelaan/upaya hukum bila
dituntut pasien atau pihak lain
tahu menggunakan haknya dalam upaya hukum bila
berperkara yang menyangkut profesinya.
PENGANTAR (2)
Dokter jangan jadi bulan-bulanan oknum hukum
karena tidak tahu hukum
Jangan menghindari hukum, tetapi juga tidak
perlu menjadi ahli hukum
Hukum Kedokteran sangat luas meliputi
KUHPidana, KUHPerdata, UU No 36/2009, UU
lain yang berkaitan dengan Kedokteran dan
Kesehatan (Kefarmasian, Alkes, Bahan, dll), PP
terkait, Ketentuan/Keputusan Menkes /Dirjen
/Badan POM, dll.
PERBANDINGAN ETIKA DAN HUKUM (1)
Persamaannya :
Berisi aturan, petunjuk,
keharusan dan larangan
Ada yang tertulis maupun yang
tidak tertulis
PERBANDINGAN ETIKA DAN HUKUM (2)
PERBEDAANNYA
ETIKA
KEDOKTERAN
HUKUM
KEDOKTERAN
Terjadinya
Tradisi yang
diwariskan dari
generasi ke generasi
Dibuat oleh Negara
atau Institusi
Kenegaraan
Kepentingan
Kelompok profesi Publik
Tujuan
Menjaga/memelihara
martabat dan
kehormatan
Melindungi
masyarakat
Ciri-ciri
Lebih bersifat statis,
fleksibel dan
himbauan
Lebih bersifat
dinamis dan rigid
PERBEDAAN ETIKA DAN HUKUM (3)
PERBEDAANNYA
ETIKA
KEDOKTERAN
HUKUM
KEDOKTERAN
Lama berlakunya
Relatif lebih lama Relatif berubah lebih
cepat
Sanksi
Sanksi moral
Sanksi psikologis
Sanksi sosial
Sanksi spiritual
(Sanksi dijatuhkan
oleh Kelompok
Profesi -> MKEK)
Sanksi hukum
(pidana/perdata)
-> Hukum badan
(kurungan, denda)
-> Ganti rugi
-> Administratif (ijin
dicabut) => dijatuh-
kan oleh MDTK
Prosedur
Pelanggaran
Diajukan kepada
Kelompok Profesi
Diajukan oleh yang
dirugikan atau oleh
MDTK dan juga MKEK
HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN (1)
Kedudukan menurut hukum sama
Wujud hubungannya transaksional -
profesional yang bersifat kontrak
berdasar upaya (inspanningsverbintennis)
dan bukannya kontrak berdasar hasil.
Masing-masing memiliki hak dan
kewajiban
Secara umum yang menjadi kewajiban
pasien adalah hak dokter
HUBUNGAN DOKTER-PASIEN (2)
Keberhasilan suatu prosedur medis tergantung pada
1. Kompetensi para dokter dan stafnya.
2. Tersedianya alat peralatan yang memadai.
3. Tersedianya waktu.
4. Kondisi penyakit.
5. Faktor-faktor lingkungan.
6. Kepatuhan pasien.
7. Faktor konstitusional pasien sendiri.
8. (Kekuasaan Allah).
Tidak semua faktor-faktor diatas dapat dikendalikan
dokter.

HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN (3)
Hak Pasien (menurut Declaration of Human Right
i.e. The right of self determination dan The right of
having care, dan dari UU No 36/2009) :
Hak untuk mendapat informasi
Hak untuk memberi persetujuan
Hak untuk merahasiakan
Hak untuk memilih dokter
Hak untuk mendapatkan second opinion
Hak untuk memilih Rumah Sakit
Hak untuk menolak suatu tindakan medik
Hak untuk menolak pengobatan
Hak untuk mengakhiri pengobatan
Hak untuk mati secara bermartabat
Hak untuk mendapatkan dukungan moral/spiritual
HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN (4)
Kewajiban pasien :
Memberi keterangan yang benar dan
jujur tentang penyakitnya
Menaati anjuran/instruksi dokter
Menaati ketentuan-ketentuan Rumah
Sakit dan beberapa kewajiban lain
Memberi imbalan/jasa
HUBUNGAN DOKTER PASIEN (5)
Hak dokter :
Hak untuk menolak melakukan tindakan
medis yang tidak dapat dipertanggung-
jawabkan secara profesional
Hak untuk menolak melakukan tindakan
medis yang menurut hati nuraninya
(conscience) adalah tidak atau kurang baik
Hak atas imbalan/jasa
Hak untuk membela diri
Hak-hak lain
KUHAPidana (1)
Pengertian (1)
Penyidik Pejabat Polri/PNS untuk penyidikan
(Mencari/mengumpulkan bukti tindak pidana)
Penyelidik Pejabat Polri utk penyelidikan
(Menemukan peristiwa sebagai tindak pidana
=> Dapat/tidak dilakukan penyidikan)
Jaksa wewenang Penuntut Umum,
melaksanakan Ketetapan Hakim
Penuntutan Tindakan untuk melimpahkan ke
Pengadilan.
KUHAPidana (2)
Pengertian (2)
Hakim Mengadili
Pra Peradilan Wewenang Pengadilan Negeri
untuk
=> Sah/tidak penangkapan
=> Sah/tidak penghentian penyidikan
=> Permintaan ganti rugi/rehabilitasi
Putusan Pengadilan Vonis
Upaya hukum Upaya tersangka/terdakwa/
terhukum untuk menggunakan haknya minta
keadilan (banding, kasasi, peninjauan kembali,
grasi, menuntut balik, didampingi Penasihat
Hukum/Pembela, dll)
KUHAPidana (3)
Pengertian (3)
Penasehat Hukum Mendampingi
tersangka/terdakwa/terhukum melakukan
tindakan upaya hukum
Tersangka Diduga Pelaku tindak pidana
Terdakwa Sedang diselidiki/diadili
Terhukum/terpidana Sudah dijatuhi vonis
Keputusan dengan kekuatan hukum tetap ->
Vonis yang sudah diterima oleh semua pihak
atau yang sudah diupayakan maksimal.
KUHAPidana (4)
Pasal 20 s/d 31 (terutama 21)
Penahanan terhadap tersangka
Pasal 21 ayat 4 : Penahanan hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan
maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal :
=> Tindak pidana dengan ancaman penjara
5 tahun atau lebih (Penyakit/luka derajat
III dan IV)
=> Tindak pidana termaksud dalam a.l. Pasal
351 ayat 1 (Penyakit/luka derajat II)
KUHAPidana (5)
Untuk memberi bukti bahwa minimal telah terjadi
penyakit/luka derajat II dikeluarkan suatu Visum et
Repertum Sementara (VRS) yang menerangkan tentang
penyakit atau luka yang diderita korban serta
penyebabnya dan bahwa korban masih dlm perawatan,
derajat luka blm dpt ditentukan, karena perawatan
belum selesai dan blm dpt diambil kesimpulan
Tidak termasuk KUHP pasal 352 ayat 1
=> Menahan si pelaku tanpa adanya suatu VRS dan
hanya karena korban masih dirawat di rumah sakit
tidak dapat dibenarkan secara yuridis.
KUHAPidana (6)
Pasal 133 ayat 1 :
Permintaan keterangan Ahli kepada Dokter (termasuk
pemeriksaan mayat)
Permintaan penyidik yang tidak disertai alasan kuat atau
masuk akal harus ditolak
Jangan berlindung dibalik KUHP Pasal 50, kalau permintaan
penyidik seperti tsb diatas dilakukan, Dokter dapat dituntut
ahli waris mayat :
=> Secara pidana, dokter dikatakan merusak mayat
(KUHPidana Pasal 406 ayat 1)
=> Secara perdata, dokter telah melanggar hukum
menimbulkan kerugian bagi orang lain (KUHPerdata
Pasal 1365 dan 1366).
KUHAPidana (7)
Pasal 133 ayat 2 :
Ada dua jenis pemeriksaan mayat :
=> Pemeriksaan mayat (pemeriksaan luar saja),
dengan ini tidak mungkin ditentukan sebab
kematian
=> Pemeriksaan bedah mayat (pemeriksaan luar
dan dalam), menentukan sebab kematian dan
menjawab apakah perbuatan si tertuduh
merupakan satu-satunya penyebab kematian
ataukah pada si korban juga terdapat penyakit
atau kelainan (bawaan) yang mempermudah
atau mempercepat kematiannya.
KUHPidana (1)
Pasal 10 -> Pembagian Pidana
Pasal 35 -> Hak terpidana yang dapat dicabut
Pasal 44 -> Tidak dipidana perbuatan yang tidak
dapat dipertanggung-jawabkan
Pasal 48 -> Perbuatan karena pengaruh daya
paksa
Pasal 50 -> Perbuatan utk melaksanakan
ketentuan UU
Pasal 51 -> Perbuatan utk melaksanakan
perintah jabatan
KUHPidana (2)
Pasal 89 -> Membuat orang pingsan
Pasal 90 -> Luka berat
Pasal 222 -> Menghalangi pemeriksaan mayat
Pasal 224 -> Dipanggil sebagai saksi
Pasal 242 -> Keterangan palsu diatas sumpah
Pasal 263 -> Membuat surat palsu
Pasal 267 dan 268 -> Dokter yang sengaja
memberikan surat/keterangan palsu.
KUHPidana (3)
Pelanggaran susila
Pasal 284 -> Penyerangan seksual
Pasal 286 -> Bersetubuh dengan wanita yang pingsan
(diluar perkawinan)
Pasal 287 -> Bersetubuh dengan wanita dibawah umur
(diluar perkawinan)
Pasal 290 -> Perbuatan cabul dengan seseorang yang
pingsan dan belum cukup umur
Pasal 291 -> Jika perbuatan dalam pasal 286-290
mengakibatkan luka berat atau kematian
Pasal 294 -> Perbuatan cabul dengan anak atau
bawahannya yang belum dewasa (Termasuk yang
dilakukan dokter)
KUHPidana (4)
Pengguguran
Pasal 299 -> Mengobati wanita untuk
menggugurkan
Pasal 346 -> Sengaja menggugurkan
Pasal 347 -> Menggugurkan kandungan tanpa
persetujuan
Pasal 348 -> Menggugurkan kandungan dengan
persetujuan
Pasal 349 -> Dokter yang membantu perbuatan
dalam pasal 346-348
KUHPidana (5)
Pasal 304 -> Sengaja membiarkan orang yang
perlu ditolong
Pasal 322 -> Membuka rahasia
Pasal 338 -> Sengaja merampas nyawa orang
lain
Pasal 340 -> Sengaja merampas nyawa dengan
rencana
Pasal 341 -> Ibu yang merampas nyawa anaknya
pada waktu melahirkan
KUHPidana (6)
Penganiayaan -> Penyakit/luka
Pasal 351 ayat 1 -> Penyakit/luka sedang
(derajat II)
Pasal 351 ayat 2 -> Penyakit/luka berat
(derajat III)
Pasal 351 ayat 3 -> Penyakit/luka yang
menyebabkan kematian (derajat IV)
Pasal 352 ayat 1 -> Penyakit/luka ringan
(derajat I)
KUHPidana (7)
ORANG
HIDUP
Tidak dirawat/
tidak perlu
istirahat (I)
Jika orang luka dibawa ke rumah sakit, maka
terdapat kemungkinan sebagai berikut :
Dirawat Selesai
perawatan
Hidup
KUHPidana
Ps 90 (II)
KUHPidana
Ps 90 (III)
Mati (IV)
KUHPidana (8)
Pasal 359 -> Karena kelalaiannya menyebabkan
orang lain mati (Ini sebenarnya untuk
pelanggaran lalu lintas)
Pasal 360 -> Karena kelalaiannya menyebabkan
orang lain luka berat (Ini juga untuk
pelanggaran lalu lintas)
Pasal 361 -> Kejahatan yang menyebabkan
mati/luka karena menjalankan suatu jabatan
KUHPidana (9)

Pasal 372 jo Pasal 209 -> Pidana perpajakan
Pasal 382 -> Penipuan dan misrepresentasi
Pasal 406 -> Sengaja merusak barang/hewan
(termasuk mayat) milik orang lain.
KUHPidana (10)
Pasal 512 -> Melakukan praktek tidak legal
Pasal 512a -> Dokter yang tidak punya surat ijin
Pasal 522 -> Dipanggil sebagai saksi ahli tidak
datang
Pasal 531 -> Tidak memberi pertolongan
terhadap orang yang sedang menghadapi maut
Pasal 534 -> Terang-terangan menunjukkan
sarana mencegah kehamilan.
KUHPerdata
Pasal 1365 -> Kewajiban memberi ganti rugi
kepada orang lain yang mengalami kerugian
karena perbuatan melanggar hukum
Pasal 1366 -> Setiap orang bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatinya.
Pasal 1370 dan 1371 -> Mempertimbangkan
kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua
belah pihak.
UU No 23/1992
TENTANG POKOK-POKOK KESEHATAN
Pengantar
UU No 23 tahun 1992 merupakan produk hukum
(semacam Health Act) dan sekaligus sebagai
guidelines tentang sistem kesehatan di negara
kita yang menggantikan berbagai UU terdahulu
yang berkaitan dengan kesehatan

Sebagai salah satu hukum pidana berisikan
materi hukum serta sanksinya yang dapat
melengkapi KUHPidana yang sudah ada
UU No 23/1992
Pengantar (2)
Namun ada pula yang tidak bersifat normatif
yaitu tidak jelas sanksinya bila dilanggar,
dimana harus ada :
Unsur kerugian
Hubungan kepentingan
Hakikat norma yang dilanggar

Contohnya pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 7, 9, 12, 13,
17, 18, 19, 20, 24, 28, 29, 30, 32, 37, dst.
UU No 23/1992
Pengantar (3)
Selain itu UU ini juga memiliki aspek lain
yaitu :
-> Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55 tentang
hukum administrasi
-> Pasal 76, 77, 78 tentang Pengawasan
-> Pasal 72 ayat 1 tentang pembentukan
Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional
(yang baru dibentuk pada 17/2/1995)
UU No 23/1992
Umum
Dasar hukum : UUD 1945 pasal 5 ayat (1) dan
pasal 20 ayat (1)
Penyempurnaan/Pengintegrasian
Dasar Penyusunan
Dasar Pertimbangan
Pembangunan Kesehatan (sasaran, orientasi,
bagaimana diselenggarakan, peran Pemerintah
dan masyarakat, kaitan dengan keberhasilan
pembangunan)
Perangkat hukum kesehatan

Umum (2)
Hal-hal pokok :
Asas dan tujuan (Bab II)
Hak dan kewajiban Bab III)
Tugas dan tanggung jawab (Bab IV)
Upaya kesehatan (Bab V)
Sumberdaya kesehatan (Bab VI)
Ketentuan pidana (Bab X)
Validitas ketentuan hukum :
9 UU tidak berlaku lagi
Yang tidak bertentangan masih berlaku
29 ketentuan memerlukan PP
2 ketentuan memerlukan Keppres
Isi : 12 bab, 90 pasal.
UU No 23/1992
Bab I Pasal 1 Ketentuan Umum
Pengertian

Bab II Asas dan Tujuan
Pasal 2 Definisi kesehatan dan asas penyelenggaraan
pembangunan kesehatan
Pasal 3 Tujuan Pembangunan Kesehatan

Bab III Hak dan Kewajiban
Pasal 4 Hak seseorang
Pasal 5 Kewajiban seseorang memelihara kesehatan
UU No 23/1992
Bab IV Tugas dan Tanggung Jawab

Pasal 6 Upaya kesehatan dan tugas
Pemerintah
Pasal 7 Bagaimana upaya kesehatan
diselenggarakan
Pasal 8 Peran serta masyarakat
Pasal 9 Tanggung jawab Pemerintah
UU No 23/1992
Bab V Upaya Kesehatan
Pasal 10 Upaya kesehatan yang bagaimana
Pasal 11 Kegiatan melaksanakan upaya
kesehatan (ada 15 kegiatan). Pengertian
Kesehatan Matra.

Pasal 12-19 Kesehatan Keluarga
Pasal 12 Sasaran
Pasal 13 Kesehatan Suami-istri
Pasal 14 Kesehatan Istri
Bab V Upaya Kesehatan (2)
Pasal 15 Tindakan medis tertentu terhadap wanita
hamil Syaratnya :
=> Berdasarkan indikasi medis
=> Oleh tenaga kesehatan yang ahli/berwenang
=> Persetujuan yang bersangkutan atau suami atau
keluarga
=> Pada sarana kesehatan tertentu
Bandingkan dengan istilah Pengguguran pada KUHP
Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349.
Bab V Upaya Kesehatan (3)
Pasal 16 Kehamilan diluar cara alami,
syaratnya :
Hasil pembuahan ditanamkan ke asalnya
Oleh tenaga kesehatan yang ahli
/berwenang
Pada sarana kesehatan tertentu
Sesuai norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan.
Bab V Upaya Kesehatan (4)
Pasal 17 Kesehatan Anak
Pasal 18 Peran keluarga dan Pemerintah
Pasal 19 Kesehatan Manula
Pasal 20 Perbaikan Gizi
Pasal 21 Pengamanan Makanan dan Minuman
Harus berlabel, memuat :
=> Bahan
=> Komposisi tiap bahan
=> Tanggal/bulan/tahun kedaluwarsa
=> Ketentuan lain
Bab V Upaya Kesehatan (5)
Pasal 22 Kesehatan Lingkungan (lingkungan
sehat)
Pasal 23 Kesehatan Kerja (Kualitas dan
produktivitas kerja)

Pasal 24 -27 Kesehatan Jiwa
Pasal 24 Sasaran, kegiatan, pihak
penyelenggara
Pasal 25 Kewajiban Pemerintah
Pasal 26 Penderita -> Gangguan keamanan
Pasal 27 Peranan

Bab V Upaya Kesehatan (6)
Pemberantasan Penyakit
Pasal 28-31 Pemberantasan Penyakit

Pasal 28 Tujuan dan terhadap apa
(penyakit menular/tidak) -> Angka sakit
dan angka kematian menurun
Pasal 29 Sasaran pemberantasan penyakit
tidak menular
Pasal 30 Bagaimana dilaksanakan
Pasal 31 Wabah dan karantina
Bab V Upaya Kesehatan (7)
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 32-37
Pasal 32 Sasaran dan Bagaimana, Transplantasi dan
Implan, Pengobatan dan Perawatan berdasar cara lain
Pasal 33 Transplantasi/Implan/Transfusi darah
Tujuan kemanusiaan
Pasal 34 Yang berwenang Transplantasi dan sarana,
Syarat dan Tata cara
Pasal 35 Yang berwenang Transfusi darah dan Tata cara
Pasal 36 Yang berwenang Implan obat/alat
Pasal 37 Bedah Plastik dan Rekonstruksi
=> Semuanya sesuai 4 norma.
Bab V Upaya Kesehatan (8)
Pasal 38 Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Sasaran dan Ketentuan
Pasal 39-43 Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 39 Definisi, Sasaran Pengamanan
Pasal 40 Ketentuan Dasar Sediaan Farmasi
Pasal 41 Peredaran
Pasal 42 Upaya Pengamanan
Pasal 43 Ketentuan pengamanan sediaan
Farmasi/Alkes ditetapkan PP
Bab V Upaya Kesehatan (9)
Pasal 44 Zat adiktif
Pasal 45 Kesehatan Sekolah
Pasal 46 Kesehatan Olah Raga
Pasal 47 Pengobatan Tradisional -> Definisi,
Ketentuan Dasar, Obat tradisional
Pasal 48 Kesehatan Matra
Kesehatan Lapangan
Kesehatan Kelautan/Bawah Laut
Kesehatan Kedirgantaran
UU No 23/1992
Bab VI Sumberdaya Kesehatan
Pasal 49 Pengertian : Tenaga, Sarana, Perbekalan,
Pembiayaan, Pengelolaan, Penelitian-pengembangan
Pasal 50 Tugas Tenaga Kesehatan
Pasal 51 Pengadaan Tenaga Kesehatan
Pasal 52 Penempatan Tenaga Kesehatan
Pasal 53
Tugas dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Standar Profesi
Hak Pasien :
=> Informasi
=> Persetujuan
=> Rahasia Kedokteran
=> Pendapat Kedua (Second Opinion)
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN
Kewajiban Tenaga Kesehatan :
a. Mematuhi Standar Profesi Belum
ada PP nya.
b. Menghormati Hak Pasien.
Hak Tenaga Kesehatan :
a. Memperoleh perlindungan hukum
Karena belum ada standar profesi,
Hakim berpatokan pada KUHP.
b. Melaksanakan tugas sesuai profesinya.
Bab VI Sumberdaya Kesehatan (2)
Pasal 54 Sanksi MDTK
Pasal 55 Ganti Rugi

Pasal 56-59 Sarana Kesehatan
Pasal 56 Pengertian
Pasal 57 Fungsi (Dasar, Rujukan, Penunjang)
Fungsi Sosial
Pasal 58 Bentuk Hukum
Badan Hukum dan Tidak
Pasal 59 Izin Ketentuannya dengan PP
Bab VI Sumberdaya Kesehatan (3)
Pasal 60-64 Perbekalan Kesehatan
Pasal 60 Pengertian
Pasal 61 Pengelolaan
Pasal 62 Produksi, Obat tradisional
Pasal 63 Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 64 Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 65-66 Pembiayaan Kesehatan
Pasal 65 Peran masyarakat dan Pemerintah
Pasal 66 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM), Badan Hukum dan Izin.
Bab VI Sumberdaya Kesehatan (4)
Pasal 67-68 Pengelolaan Kesehatan
Pasal 67 Sasaran dan Upaya
Pasal 68 Pengelolaan oleh Pemerintah

Pasal 69-70 Penelitian & Pengembangan
Pasal 69 Sasaran dan bagaimana
pelaksanaannya, Harus sesuai 4 norma
Pasal 70 Ketentuan Pelaksanaan, Bedah Mayat
(Klinis, Anatomis, Forensik)
UU No 23/1992
Bab VII Peran Serta Masyarakat
Pasal 71
Sejauh mana?
Posisi Pemerintah ?
Ketentuan Pelaksanaan ?

Pasal 72 Ikut dalam Politik Pemerintah
Badan Pertimbangan Kesehatan
Nasional (BPKN)
UU No 23/1992
Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 73-75 Pembinaan
Pasal 73 Yang melaksanakan : Pemerintah
Pasal 74 Sasaran :
Derajat kesehatan masyarakat optimal
Kebutuhan masyarakat (pelayanan dan perbekalan
kesehatan)
Perlindungan terhadap gangguan/ bahaya
kesehatan
Kemudahan meningkatkan upaya kesehatan
Peningkatan mutu profesional tenaga kesehatan
Pasal 75 Ketentuan Pelaksanaan
Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan (2)
Pasal 76-78 Pengawasan
Pasal 76 Pengawasan oleh Pemerintah
Pasal 77 Wewenang Pemerintah terhadap pelanggaran oleh
tenaga kesehatan dan sarana kesehatan
Tindakan Administratif :
=> Izin Usaha dicabut
=> Izin Praktek dicabut
=> Izin lain dicabut
=> Hukuman disiplin bagi tenaga kesehatan (Setelah
mendengar MDTK atau Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan)
Pasal 78 Ketentuan Pelaksanaan
Bab IX Penyidikan
Pasal 79
Penyidik Tindak Pidana :
=> Polisi
=> PNS Khusus
Ketentuan :
=> UU No 8/1981 tentang KUHAPidana
UU No 23/1992
Bab X Ketentuan Pidana
Pasal 80-83 Tindak Kejahatan
Pasal 80
Ps 15 (1) terhadap ibu hamil
Ps 66 (2) izin/badan hukum JPKM
Ps 33 (3) transplantasi/transfusi darah
Ps 21, Ps 40 (4) makanan/obat
Pasal 81
Ps 34, Ps 36, Ps 37 (1) tanpa keahlian/wewenang
melakukan tindakan
Ps 34 (2) donor sembarangan
Ps 40 (2) produksi non-standar
Ps 41 (2) mengedarkan tanpa izin
Ps 69 (2) penelitian-pengembangan yang ngawur
Bab X Ketentuan Pidana (2)
Pasal 82
Ps 32 (1) tanpa keahlian/wewenang melakukan pengobatan
Ps 35 (1) tanpa keahlian/wewenang melakukan transfusi
Ps 36 (1) melakukan implan tanpa wewenang
Ps 63 (1) melakukan kefarmasian tanpa wewenang
Ps 70 (1) bedah mayat tanpa wewenang
Ps 16 (2) kehamilan diluar alami tanpa ketentuan
Ps 40 (2) produksi/edar obat dan kosmetika tidak
memenuhi persyaratan
Ps 41 (2) sediaan farmasi/alkes yang tanpa penandaan
informasi
Ps 44 (2) zat adiktif tanpa persyaratan standar
Pasal 83 Tindak pidana bila menimbulkan luka berat atau
kematian.
Bab X Ketentuan Pidana (3)
Pasal 84 Tindak Pelanggaran
Ps 21 (1) edar makanan tanpa label
Ps 22 (2) lingkungan jelek
Ps 23 (3) tempat kerja jelek
Ps 26 (4) menghalangi perawatan penderita jiwa
Ps 58, 59 (5) sarana tanpa izin

Pasal 85 Tindak pidana kejahatan dan pelanggaran

Pasal 86 Pelaksanaan UU -> PP -> Ketentuan pidana
berupa pelanggaran -> Denda Rp10J.
UU No 23/1992
Bab XI Ketentuan Peralihan
Pasal 87 Sembilan buah UU masih berlaku
sepanjang belum diganti
Pasal 88 Penyesuaian

Bab XII Ketentuan Penutup
Pasal 89 Sembilan buah UU dinyatakan tidak
berlaku
Pasal 90 Pemberlakuan UU tanggal 17
September 1992.
UU No 36/2009
Sejak 13 Oktober 2009, UU No 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Sebagai penggantinya adalah UU No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
UU baru ini terdiri dari 205 pasal.

UU NO 29 TAHUN 2004 TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN (UUPK)

PENDAHULUAN
Naskah UUPK disetujui DPR 7/9/2004, disyahkan
Presiden / /2004 dan berlaku 1 tahun sejak
diundangkan.
Dimulai adanya gagasan membentuk Konsil Kedokteran
pada awal 1980-an.
Perumusan RUU 1988 oleh para ahli dari CHS, PB IDI
dan Biro Hukum Depkes Draft diserahkan kepada
DPR.
Draft inisiatif DPR disampaikan kepada Presiden
ditanggapi Pemerintah dan dibuat Naskah tandingan.
Awal 2004 s/d Agustus 2004 diadakan pembicaraan
intensif menghasilkan rumusan akhir.
SUBSTANSI DAN STRUKTUR
UUPK (1)
Mengatur banyak hal : Konsil Kedokteran (KKI),
Standar pendidikan, regristrasi, perizinan, dll.

Tujuan UUPK :
1. Memberikan perlindungan kepada pasien.
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan.
3. Memberikan kepastian hukum.

SUBSTANSI DAN STRUKTUR
UUPK (2)
KKI dibentuk untuk melindungi masyarakat
penerima jasa dan meningkatkan mutu
pelayanan.

Tugas KKI :
1. Melakukan registrasi.
2. Mengesahkan standar pendidikan dokter.
3. Melakukan pembinaan praktik dokter.
RUANG LINGKUP
1. Ketentuan Umum.
2. Azas dan Tujuan.
3. Konsil Kedokteran.
4. Standar Pendidikan Profesi Dokter.
5. Pendidikan dan Pelatihan.
6. Registrasi dokter.
7. Penyelenggaran Praktik Kedokteran.
8. Disiplin dokter.
9. Pembinaan dan Pengawasan.

Setiap unsur dalam UUPK dielaborasi lebih detil dan
dalam beberapa hal ada mandat tindak lanjut.
PENGATURAN PRAKTIK
KEDOKTERAN
Setiap dokter yang melakukan praktik :
Wajib memiliki SIP.
SIP diterbitkan oleh Dinas Kesehatan.
SIP diberikan maksimum untuk 3 tempat praktik.
Satu SIP untuk satu tempat.
Untuk memperoleh SIP harus :
1. Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).
2. Mempunyai tempat praktik.
3. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
SIP berlaku sepanjang :
1. STR masih berlaku.
2. Tempat praktik masih sesuai.
PRAKTIK KEDOKTERAN (1)
Diselenggarakan berdasarkan kesepakatan
atara dokter dan pasien.
Wajib memasang papan nama.
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan hanya
boleh memperkerjakan dokter yang memiliki
SIP.
Pimpinan harus membuat daftar dokter yang
berpraktik
Wajib mengikuti standar pelayanan
kedokteran.
PRAKTIK KEDOKTERAN (2)
Setiap tindakan harus mendapat persetujuan
setelah pasien mendapat penjelasan
lengkap.
Setiap tindakan yang mengandung risiko
harus diberikan dengan persetujuan tertulis.
Wajib membuat rekam medis yang harus
dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelayanan.
PRAKTIK KEDOKTERAN (3)
.
Dokuman RM merupakan milik dokter atau
sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi
RM merupakan milik pasien.
Setiap dokter wajib menyimpan rahasia
kedokteran ; hanya boleh dibuka untuk
kepentingan pasien, permintaan penegak
hukum, permintaan pasien dan perintah
undang-undang.
HAK DOKTER
1. Memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai
standar profesi dan standar prosedur
operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur
operasional.
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan
jujur dari pasien atau keluarganya.
4. Menerima imbalan jasa.
KEWAJIBAN DOKTER
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional.
2. Merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan dan pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali apabila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran.
HAK PASIEN
1. Mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis.
2. Meminta pendapat dokter lain.
3. Mendapatkan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis.
4. Menolak tindakan medis.
5. Mendapatkan isi rekam medis.
KEWAJIBAN PASIEN
1. Memberikan informasi lengkap dan
jujur tentang masalah kesehatan.
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk
dokter.
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di
sarana pelayanan kesehatan.
4. Memberikan imbalan jasa atas
pelayanan yang diterima.

DISIPLIN DOKTER
Untuk menegakkan disiplin dokter
dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran dibentuk Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (disingkat MKDKI).

MKDKI (1)
1. Merupakan lembaga otonomi KKI.
2. Dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.
3. Bertanggung jawab kepada KKI.
4. Berkedudukan di ibu kota negara RI.
5. Dapat mengusulkan kepada KKI untuk
membentuk MKDK daerah.
6. Keanggotaanya terdiri dari 3 dokter, 3
dokter gigi dan 3 sarjana hukum.
MKDKI (2)
7. Keanggotaannya ditetapkan oleh Menteri
atas saran organisasi profesi.
8. Masa bhakti lima tahun.
9. Tugas :
a. Menerima pengaduan, memeriksa dan
memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter.
b. Menyusun pedoman dan tata cara
penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter.
PENGADUAN (1)
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan
praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua MKDKI.
MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran
etika, MKDKI meneruskan pengaduan kepada
organisasi profesi.
PENGADUAN (2)
Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi dan
KKI.
Keputusan dapat berupa :
1. Dinyatakan tidak bersalah, atau
2. Pemberian sanksi disiplin.
Sanksi disiplin dapat berupa :
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP, dan
atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan.
PENGADUAN (3)
Pengaduan atas adanya dugaan
pelanggaran disiplin pada saat
belum terbentuknya MKDKI
ditangani oleh Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi di tingkat
pertama dan Menteri pada tingkat
banding.
KETENTUAN PIDANA (1)
Sanksi hukuman pidana penjara dan atau
denda dapat diberikan kepada mereka yang :

1. Melakukan praktik tanpa memiliki STR.
2. Melakukan praktik tanpa SIP.
3. Menyalahgunakan gelar dokter oleh yang
tidak berhak.

KETENTUAN PIDANA (2)
4. Menggunakan alat, metoda dll yang ingin
mengesankan penggunanya seolah-olah
dokter.
5. Tidak memasang papan nama, tidak
membuat RM dan tidak memenuhi
kewajiban.
6. Memperkerjakan dokter dan dokter gigi
yang tidak memiliki SIP.
TANTANGAN UNTUK
ORGANISASI PROFESI
Proaktif dan memberikan masukan terhadap :
Pembentukan KKI.
Membuat 6 Peraturan KKI.
Membuat 8 Peraturan Menteri.
Membuat Standar :
1. Pendidikan profesi.
2. Kompetensi dokter.
3. Pelayanan kedokteran.
4. Profesi.
5. Prosedur Operasional.
UU No 22/1997
TENTANG NARKOTIKA
Narkotika
Zat/obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman (sintetis/
semisintetis) yang dapat menyebabkan :
=> Penurunan/perubahan kesadaran
=> Hilangnya rasa
=> Mengurangi/menghilangkan rasa nyeri
=> Dapatmenimbulkan ketergantungan
Dibedakan kedalam Gol I, II, III.
NARKOTIKA (2)
Gol I Hanya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang
untuk kepentingan lain
Gol II dan III Yang berupa bahan baku dapat
diedarkan tanpa wajib daftar pada Depkes
Tujuan UU :
Menjamin ketersediaan untuk pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan
Mencegah penyalah gunaan
Memberantas peredaran gelap.
NARKOTIKA (3)
Kandungan isi : 15 bab, 104 pasal
Ruang lingkup : Umum, Tujuan,
Pengadaan, Impor/Ekspor, Peredaran,
Label dan Publikasi, Pengobatan dan
Rehabilitasi, Pembinaan dan Pengawasan,
Peran serta masyarakat, Pemusnahan,
Penyidikan-Penuntutan dan Pemeriksaan
di Sidang Pengadilan, Ketentuian pidana,
Ketentuan lain, Ketentuan Peralihan
NARKOTIKA (4)
Gol I :
Papaver somniferum L (kecuali bijinya)
Opium mentah
Tanaman koka (Erythroxylaceae)
Kokain mentah
Kokaina (Metil-ester-l-bensoil-ekgonina)
Tanaman ganja dan derivatnya
Asetorfin dan derivatnya
Heroina (diasetil morfina)
MPPP (metil-fenil-piperidinol-propionat)
Derivat Fentanil
NARKOTIKA (5)
Gol II :
Morfina dan derivatnya
Ekgonina
Furetidin
Fentanil
Metadona
Metopon
Opium
Petidina
Garam-garam tersebut diatas.
NARKOTIKA (6)
Gol III :
Kodeina
Derivat kodeina
Campuran Opium dan bahan lain
Campuran narkotika lain dan bahan
lain
Etil-morfina
Dihidrokodeina.
UU No 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Sejak 12 Oktober 2009, UU No 22 Tahun 1997
tentang Narkotika dan Lampiran mengenai jenis
Psikotropika Golongan I dan Golongan II
sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU No
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I
menurut UU ini, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
UU baru ini terdiri dari 155 pasal.
UU No 5/1997
TENTANG PSIKOTROPIKA
Psikotropika zat/obat alamiah/sintetis bukan
narkotika, berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku, berpotensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan
Penggunaan : hanya untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan
terbatas (Gol I barang terlarang dan dilarang
diproduksi).
PSIKOTROPIKA (2)
Tujuan UU : Menjamin ketersediaan untuk
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan,
mencegah penyalah-gunaan, memberantas
peredaran gelap
Kandungan : 16 bab, 74 pasal
Ruang lingkup : Umum, Tujuan, Produksi,
Peredaran, Ekspor-Impor, Label dan Iklan,
Kebutuhan, Penggunaan ,Pemantauan,
Pembinaan/Pengawasan, Pemusnahan,
Penyelidikan, Ketentuan Pidana.
PSIKOTROPIKA (3)
Gol I :
Brol Amfetamin dan derivatnya (DOB,
DET, DMA, DMHP, DMT, DOET)
Etisiklidina (PCE)
Lisergida dan derivatnya (LSD-25,
MDMA, Meskalin)
Metkatinona (MMDA, MDA lain)
Psilosibina
Rolisiklidina (PHP, PCPY, STP, DOM)
Tenosiklidina (TCP, TMA)
PSIKOTROPIKA (4)
Gol II :
Amfetamin dan derivatnya (Met--, Lev--)
Fenetilin
Fenmetrazin
Fensiklidin
Sekobarbital, Amobarbital, dll.
Gol III :
Flunitazepam
Norpseudoefedrin
Pentobarbital
Siklobarbital.
PSIKOTROPIKA (5)
Gol IV :
Allobarbital dan --tal lain
Alprazolam dan --lam lain
Bromazepam, Diazepam dan --pam
lain
Etil amfetamin
Klordiazepoksida
Meprobamat
UU NO 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PASIEN MERUPAKAN KONSUMEN

Konsumen adalah setiap orang pemakai produk
barang dan jasa (Pasal 1 ayat 2 UUPK)
Produk barang : Obat, suplemen makanan,
alat kesehatan
Produk jasa : Jasa pelayanan dokter/drg,
jasa asuransi kesehatan.
UU NO. 8 TAHUN 1999
HAK KONSUMEN SEBAGAI PASIEN
MENURUT UUPK
1. Kenyamanan, keamanan dan keselamatan.
2. Memilih.
3. Informasi yang benar-jelas-jujur.
4. Didengar pendapat dan keluhannya.
5. Mendapatkan advokasi, pendidikan dan perlindungan
konsumen.
6. Dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
7. Memperoleh kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian.
8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
-undangan lain.
UU NO. 8 TAHUN 1999
KEWAJIBAN PASIEN SEBAGAI KONSUMEN

1. Membaca atau mengikuti petunjuk, informasi dan
prosedur.
2. Beritikad baik.
3. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
UU NO. 8 TAHUN 1999
PENILAIAN KONSUMEN TERHADAP
JASA PELAYANAN KESEHATAN
1. Tangibles (bukti langsung dan nyata) meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, tenaga kesehatan dan sarana komunikasi.
2. Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.
3. Responsiveness (daya tanggap) yaitu keinginan tenaga
kesehatan untuk membantu pasien/konsumen dan
memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Assurance (jaminan) mencakup kemampuan, kesopanan,
sifat dapat dipercaya yang dimiliki tenaga kesehatan dan
bebas dari resiko bahaya atau keragu-raguan.
5. Emphaty (empati) meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan
pasien/konsumen.
UU NO. 8 TAHUN 1999
HARAPAN KONSUMEN DALAM
MEMPEROLEH PELAYANAN KESEHATAN
1. Kenyamanan, keamanan dan keselamatan.
2. Memilih.
3. Informasi yang benar-jelas-jujur.
4. Didengar pendapat dan keluhannya.
5. Dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
6. Memperoleh kompensasi, ganti-rugi dan/atau penggantian
dalam hal tenaga kesehatan terbukti melakukan kesalahan.
7. Memberikan persetujuan.
8. Rahasia kedokteran.
9. Pendapat kedua (second opinion).
10. Hubungan kesetaraan antara Pemberilayanan dengan
Konsumen.
UU NO. 8 TAHUN 1999
CONTOH KASUS PENGADUAN
TERHADAP TENAGA KESEHATAN
MELALUI YPKKI (YAYASAN PEMBERDAYAAN KONSUMEN
KESEHATAN INDONESIA)

1. Pengangkatan ginjal pasien berumur 17 tahun tanpa
informasi kepada keluarganya.
2. Catheter tertinggal dalam tubuh pasien bedah ESWL selama
2,5 tahun.
3. Kain kasa tertinggal saat operasi Caesar.
4. Pasca operasi usus buntu tanpa pengawasan dokter, pasien
mengalami komplikasi Pyoderma Gangrenosa sehingga harus
dilakukan operasi Skin Graft (peneneman kulit).
UU NO. 8 TAHUN 1999
CONTOH KASUS PENGADUAN (2)

5. Komplikasi jantung akibat suntik lemak oleh dokter umum
bersertifikat perawatan kulit tingkat dasar dan lanjut.
6. Pemberian obat untuk obesitas yang menimbulkan ketagihan
/adiksi pada pasien .
7. Operasi payu dara hingga empat kali tanpa persetujuan
medis.
8. Wajah menjadi keloid akibat proses pelaseran.
UU NO. 8 TAHUN 1999
CONTOH KASUS PENGADUAN (3)

9. Dokter khilaf, vaksin BCG pada bayi dilakukan sebanyak dua
kali.
10. Apotiker mengganti resep obat generik menjadi obat paten
tanpa sepengetahuan dokter.
11. Adanya kerjasama antara pabrik obat dengan rumah sakit
dengan sistem target.
12. Pasien miskin disandera, apakah rumah sakit sudah berubah
fungsinya menjadi Rumah Sandera ?
------- Sebagian besar kasus tersebut dapat diselesaikan
secara Mediasi, hanya 2 kasus yang ke Pengadilan.
MEDICAL J URISPRUDENCE
Medical jurisprudence has been defined as that branch of state
medicine which treats of the application of medical knowledge to
certain questions of civil and criminal law. The term medical
jurisprudence, though sanctioned by long usage, is not really
appropriate, since the subject is strictly a branch of medicine rather
than of jurisprudence (as lawyers understand the word); it does not
properly include sanitation or hygiene, both this and medical
jurisprudence proper being distinct branches of state medicine. In its
widest sense, medical jurisprudence also includes forensic medicine.
The connection between medicine and the law is ancient, and was
perceived long before medical jurisprudence was formally recognized,
or had obtained a distinct appellation. It first took its rise in Germany,
and more tardily received recognition in Great Britain and elsewhere.
(Chisholm, Hugh, ed (1911). Encyclopdia Britannica (Eleventh ed.).
Cambridge University Press).
MEDICAL J URISPRUDENCE
Medical jurisprudence: The branch of the law that deals
with the application of law to medicine or, conversely, the
application of medical science to legal problems. Medical
jurisprudence may be involved in cases concerning genetic
relationships (eg, paternity testing) or injury or death
resulting from violence. An autopsy may be done to help
determine the agent of death (eg, a gun shot, poison) and
how long the person has been dead. Forensic medicine is
also important in cases involving rape. Modern techniques
use such specimens as semen, blood, and hair to identify
the body of a victim and to compare the DNA of the criminal
to that of the defendant through DNA fingerprinting.
MEDICAL J URISPRUDENCE
Medical Jurisprudence, also called Legal Medicine,
science that deals with the relation and application
of medical facts to legal problems. Medical
persons giving legal evidence may appear before
courts of law, administrative tribunals, inquests,
licensing agencies, boards of inquiry or
certification, or other investigative bodies.
MEDICAL J URISPRUDENCE
Kasus baru yang belum ada dasar
hukumnya dalam UU atau Ketentuan lain
Biasanya Hakim memutuskan berdasarkan
hati nuraninya dengan
mempertimbangkan bukti-bukti
kedokteran di Pengadilan.
Keputusan Hakim ini menjadi Medical
Jurisprudence untuk boleh diterapkan
bagi kasus-kasus lain yang serupa yang
akan muncul di kemudian hari.
MEDICAL J URISPRUDENCE
Karen Ann Quinlan (March 29, 1954 June 11,
1985) was an important person in the history of the
right to die controversy in the United States.
When she was 21, Quinlan became unconscious
after coming home from a party. She had consumed
diazepam, dextropropoxyphene, and alcohol. After
she collapsed and stopped breathing twice for 15
minutes or more, the paramedics arrived and took
Karen Ann to the hospital,
where she lapsed into a persistent vegetative state.
MEDICAL J URISPRUDENCE
After she was kept alive on a ventilator for several
months without improvement, her parents requested
the hospital discontinue active care and allow her to
die. The hospital refused, and the subsequent legal
battles made newspaper headlines and set
significant precedents. The tribunal eventually ruled
in her parents' favor.
Although Quinlan was removed from mechanical
ventilation during 1976, she lived on in a persistent
vegetative state for almost a decade until her death
from pneumonia in 1985.
Legal cases in medical ethics :

Andrew Bedner Betancourt v. Trinitas Tony Bland
Mordechai Dov Brody Coleman v. Lantz Betty and
George Coumbias Dax Cowart Carol Carr Nancy
Cruzan Doctors' Trial Eluana Englaro Tirhas
Habtegiris June Hartley Rom Houben Sun Hudson
case Baby K Jack Kevorkian Jesse Koochin
Robert Latimer Moore v. Regents of the University of
California Spiro Nikolouzos Giovanni Nuvoli Karen
Ann Quinlan Sue Rodriguez Ramn Sampedro
Terri Schiavo case Tuskegee syphilis experiment
Jana Van Voorhis Piergiorgio Welby Willowbrook
State School
Referensi :
1. KUHAPidana.
2. KUHPidana.
3. KUHPerdata.
4. UU No 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
5. UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
6. UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

8. UU No 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
9. UU No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
10.UU No 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
11.UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
12.UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
13.Publikasi dan Artikel lain.

Anda mungkin juga menyukai