Anda di halaman 1dari 9

PENATALAKSANAAN

Terapi obat tujuannya untuk mengontrol hipertensi dengan efek samping minimal
menggunakan satu obat jika memungkinkan.
Agent first-line meliputi:
1. Diuretik
Khasiat antihipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi natrium,
klorida dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. TD turun
akibat berkurangnya curah jantung, sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada
awal terapi. Pada pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi masih kra-kira 5% di
bawah nilai sebelum pengobatan. Curah jantung kembali mendekati normal. TD tetap
turun karena sekarang resistensi perifer menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi
kemudian ini tampaknya bukan efek langsung tiazid tetapi karena adanya penyesuaian
pembuluh darah perifer terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus.
Kemungkinan lain adalahnya berkurangnya volume cairan interstitial berakibat
berkurangnya kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur
(compliance) vaskuler.
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya
Berbagai tiazid (misalnya hidroklorotiazid, bendroflumetiazid) dan diuretik
yang sejenis (misalnya klortalidon, indapamid) mempunyai mekanisme kerja yang
sama. Dalam dosis yang ekuipoten, berbagai obat ini menimbulkan efek
antihipertensi dan toksisitas yang tidak berbeda satu sama lain, kecuali indapamid
mungkin lebih efektif daripada tiazid lainnya pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal. Perbedaan utama antara berbagai obat ini terletak dalam masa
kerjanya.
Efek antihipertensi tiazid berlangsung lebih lama dan terjadi pada dosis yang
jauh lebih rendah daripada efek diuretiknya. Efek hipotensifnya baru terlihat sejauh
2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu, peningkatan dosis
tiazid harus dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu.
Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi
pada penderita dengan fungsi ginjal yang normal. Obat ini terutama efektif untuk
penderita hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya pada penderita yang
lebih tua. Tiazid digunakan sebagai obat tunggal pada penderita hipertensi ringan
damapai sedang, atau dalam kombinasi AH lain pada penderita yang TD nya tidak
dapat dikendalikan dengan diuretik saja. Tiazid menurunkan TD berdiri maupun
berbaring, jarang menimbulkan hipotensi postural, ditoleransi penderita dengan
baik, harganya relatif murah, dapat diberikan sekali sehari, dan efek hipotensinya
bertahan pada penggunaan jangka panjang.
Tiazid seringkali dikombinasikan dengan AH lain karena:
- Tiazid meningkatkan efek hipotensif obat lain yang mekanisme kerjanya berbeda
sehingga dosis obat tersebut dapat dikurangi, dan dengan demikian dapat
mengurangi jumlah dan beratnya efek samping.
- Tiazid mencegah terjadinya retensi cairan oleh AH lainnya sehingga efek
hipotensif obat-obat tersebut dapat bertahan.
Tiazid dapat menimbulkan berbagai efek samping metabolik, yakni hipokalemia,
hipomagnesemia, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia. Tiazid
dapat mencetuskan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini, tiazid harus
digunakan dengan dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet. Kecuali indapamid,
tiazid kehilangan efektivitasnya sebagai diuretik maupun antihipertensi pada gagal
ginjal (kreatinin serum 2,5 mg/dl). Untuk kasus demikian digunakan diuretik kuat.
Hipokalemia meningkatkan efek toksik digitalis, yang diberikan bersama untuk gagal
jantung. Tiazid juga menimbulkan gangguan fungsi seksual dan rasa lemah.
b. Diuretik kuat dan diuretik hemat kalium
Diuretik kuat misalnya furosemid, merupakan AH yang lebih efektif
dibandingkan tiazid untuk hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal
jantung. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada tiazid.
Tetapi tiazid lebih efektif untuk bentuk-bentuk hipertensi lainnya. Penggunaan
diuretik kuat sebagai AH oral biasanya dicadangkan untuk penderita dengan
kreatinin serum 2,5 mg/dl atau gagal jantung. Masa kerjanya pendek sehingga
untuk mengendalikan TD diperlukan pemberian minimal 2 kali sehari. Seperti halnya
tiazid, perubahan kadar kalium plasma oleh diuretik kuat berhubungan dengan efek
diuretiknya, dan tidak dengan efek hipotensifnya. Efek samping diuretik kuat sama
dengan tiazid kecuali tidak menyebabkan hiperkalsemia. Untuk menghindari efek
metabolik ini, diuretik kuat harus digunakan dengan dosis rendah disertai
pengaturan diet.
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah, penggunaannya terutama
dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi hipokalemia
dan diuretik lain. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, teruatam
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau bila dikombinasi dengan
penghambat ACE, suplemen kalium, atau AINS. Pada penderita dengan kreatinin
serum 2,5 mg/dl, penggunaannya harus dihindari. Contohnya amilorid,
spironolakton.

2. Beta Blockers
Mekanisme kerja blocker sebagai antihipertensi masih belum jelas. Diperkirakan
ada beberapa cara: (1) pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard
menyebabkan curah jantung berkurang. Refleks baroreseptor serta hambatan reseptor
2 vaskuler menyebabkan resistensi perifer pada awalnya meningkat. Pada pemberian
kronik resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuan terhadap pengurangan
curah jantung yang kronik, (2) hambatan pelepasan NE melalui hambatan reseptor 2
prasinaps, (3) hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor 1 di ginjal; dan (4)
efek sentral. Berbagai mekanisme ini memberikan kontribusi yang berbeda-beda dalam
menimbulkan efek antihipertensi dari setiap -blocker.
Penurunan TD oleh Blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini
mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh
penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik. Pada orang normal, pemberian kronik obat ini tidak
menimbulkan hipotensi.
Beta blocker diberikan sebagai obat pertama pada penderita hipertensi ringan
sampai sedang dengan PJK (terutama setelah infark miokard akut) atau dengan aritmia
supraventrikuler maupun ventrikuler tanpa kelainan induksi, peda penderita muda
dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada penderita yng memerlukan antidepresi trisklik
atau antipsikotik (karena efek antihipertensi -blocker tidak dihambat oleh obat-obat
tersebut). Beta blocker lebih efektif pada penderita yang lebih muda dan kurang efektif
pada penderita yang lebih tua.
Efek antihipertensi -Blocker berlangsung lebih lama daripada bertahannya kadar
plasma. Hal ini mungkin disebabkan oleh ikatan -blocker pada jaringan. Karena itu,
kadar plasma -blocker tidak berhubungan dengan efek hipertensinya, dan tidak dapat
digunakan sebagai pedoman terapi.
Efektivitas berbagai -blocker sebagai antihipertensi tidak berbeda satu sama lain
bila diberikan dalam dosis yang ekuipoten. Ada atau tudaknya kardioselektivitas, ISA,
MSA, maupun kemampuan obat masuk otak tidak memberikan perbedaan dalam
menentukan pilihan -blocker mana yang paling tepat bagi masing-masing penderita,
karena adanya perbedaan efek pada penyakit penyerta dan profil efek samping yang
ditimbulkan. -blocker dengan ISA kurang efektif untuk PJK yang belum terbukti efektif
untuk pasca infark miokard, meskipun kurang menimbulkan efek samping metabolik.
Secara umum, efek samping -blocker (termasuk labetalol) berupa bronkospasme,
memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia, eksaserbasi
gagal jantung, dan menutupi gejala-gejala hipoglikemia; juga hipertriglisideremia dan
menurunkan kadar kolesterol HDL (kecuali -blocker dengan ISA dan labetalol); serta
mengurangi kemampuan berolahraga. Karena itu -blocker tidak boleh diberikan pada
penderita asma, PPOM, gagal jantung dengan disfungsi sistolik, blok jantung derajat 2
dan 3, sick sinus syndrome, dan penyakit vaskular perifer; serta harus digunakan
dengan hati-hati pada penderita diabetes. Beta-blocker tidak boleh dihentikan
mendadak pada penderita dengan PJK. Efek samping metabolik dari -blocker dapat
dikurangi dengan pengaturan diet.
Terapi hipertensi dengan -blocker pada penderita dengan gagal ginjal kronik telah
dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal memburuk. Efek ini mungkin disebabkan oleh
pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akibat pengurangan curah
jantung dan penurunan TD oleh obat. Berbeda dengan penderita angina, pada
penderita hipertensi jarang sekali terjadi hipertensi rebound pada penghentian -
blocker secara mendadak.

3. Vasodilator
a. Hidralazin
Hidralazin merelaksasi secara langsung otot polos arteriol dengan mekanisme yang
masih belum dapat dipastikan. Salah satu kemungkinan mekanismenya yaitu degan
melepaskan nitrogen oksida (NO) yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil
akhir defosforilasi berbagai protein termasuk protein kontraktil, dalam sel otot
polos. Hidralazin menurunkan TD diastolik lebih banyak daripada TD sistolik dengan
menurunkan resistensi perifer. Oleh karena itu, hidralazin lebih selektif mendilatasi
arteriol daripada vena, maka hipotensi postural jarang terjadi.
Hidralazin oral biasanya ditambhakan sebagai obat ke-3 kepada diuretik dan -
blocker. Retensi cairan akan dihambat oleh diuretik sedangkan refleks takikardia
terhadap vasodilatasi akan dihambat oleh -blocker. Karena tidak menimbulkan
sedasi atau hipotensi ortostastik, hidralazin dapat ditambahkan sebagai obat ke-2
kepada diuretik untuk penderita usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi efek
samping penghambat adrenergik.
Hidralazin menyebabkan retensi natrium dan air bila tidak diberikan bersama
diuretik. Sakit kepala dan takikardia sering terjadi bila hidralazin diberikan sendiri
dan dapat dikurangi bila dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara
perlahan. Dapat menyebabkan iskemia miokard pada penderita PJK, hal ini tidak
terjadi bila diberikan bersama -blocker dan diuretik.
b. Minoksidil
Minoksidil bekerja langsung pada sel otot polos vaskuler dengan meningkatkan
permeabilitas membran sel terhadap K
+
sehingga terjadi hiperpolarisasi. Dilatasi
arteriol oleh minoksidil menurunkan resistensi perifer dan menurunkan TD diastolik
dan sistolik. Obat ini efektiif pada hampir semua penderita, maka berguna untuk
terapi jangka panjang hipertensi berat yang refrakter terhadap kombinasi 3 obat
yang terdiri dari diuretik, penghambat adrenergik, dan vasodilator lain. Minoksidil
harus diberikan bersama diuretik dan -blocker atau penghambat adrenergik lain
untuk mengatasi retensi cairan dan takikardia serta meningkatkan respons
pengobatan.
Minoksidil dapat menyebabkan efusi pleural dan perikardian pada sekitar 3%
penderita. Komplikasi ini paling sering terjadi pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal yang berat dan mungkin akbat retensi cairan. Efusi ini biasanya hilang
bil minoksidil dihentikan. Retensi cairan sering terjadi tetapi biasanya dapat diatasi
dengan pemberian tiazid atau furosemid. Hipertensi rebound dapat terjadi
terutama bila minoksidil dihentikan mendadak. Hipertrikosis terjadi pada sekitar
80% penderita setelah 1-2 bulan terapi. Efek samping ini menghilang perlahan-lahan
bila obat dihentikan. Efek samping lainnya yang kadang-kadang terjadi adalah mual,
sakit kepala, rasa lelah, erupsi obat dan nyeri tekan di dada.
c. Diakzosid
Diakzosid bekerja langsung pada sel otot polos arteriol, mengaktifkan kanal K
+
yang
sensitif ATP sehingga terjadi hiperpolarisasi, dan ini menyebabkan dilatasi arteriol,
vena tidak dipengaruhi. Obat ini yang diberikan secara IV menurunkan TD dengan
cepat. Denyut jantung dan curah jantung meningkat. Retensi natrium dan air dapat
terjadi dan menghilangkan efek hipotensif diazoksid, tetapi ini dapat diatasi dengan
pemberian diuretik kuat.
Obat ini digunakan untuk banyak hipertensi darurat tetapi kerjanya tidak seefektif
nitroprusid. Dizoksid efektif untuk hipertensi ensefalopati, hipertensi maligna, dan
hipertensi berat yang disertai dengan glomerulonefritis akut dan kronik. Obat ini
juga digunakan untuk mengendalikan TD dengan cepat pada preeklamsia yang
refrakter terhadap hidralazin. Diakzosid tidak boleh diberikan pada insufisiensi
koroner atau serebral, karena penurunan TD yang cepat dapat mencetuskan iskemia
koroner atau serebral.
Diakzosid menimbulkan retensi cairan dan hiperglikemia. Bila obat ini digunakan
untuk waktu lebih dari 12-24 jam, restriksi natrium atau pemberian diuretik poten
mungkin diperlukan. Efek samping lain adalah hipotensi, takikardia, iskemia jantung
dan otak akibat hipotensi, azotemia, reaksi hipersensitivitas, mual dan muntah.
Obat ini dapat mengganggu proses kelahiran dengan menyebabkan relaksasi uterus.

4. ACE Inhibitors
Kaptopril adalah ACE inhibitor yang pertama ditemukan. Sejak itu telah banyak
dikembangkan ACE inhibitor yang lain, dan telah resmi beredar di Indonesia adalah
enalapril, lisinopril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, delapril, dan
fosinopril. Secara umum penghambat ACE dapat dibedakan atas yang bekerja langsung,
yakni kaptopril dan lisinopril dan yang bekerja tidak langsung (merupakan prodrug),
yakni semua yang lainnya.
ACE inhibitor mengurangi pembentukan angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan
air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan TD pada penderita hipertensi
essensial maupun hipertensi renovaskuler. Kadar plasma angiotensin II dan aldosteron
menurun, sedangkan kadar plasma angiotensin I dan aktivitas renin plasma (PRA)
menungkat karena mekanisme kompensasi. Sekresi aldosteron, yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor lan di samping sistem renin angiotensin, mungkin kembali ke nilai awal
pada terapi jangka panjang. Karena efek vasokonstriksi angiotensin II paling kuat antara
lain pada pembuluh darah ginjal, maka berkurangnya pembentukan angiotensin II oleh
penghambat ACE menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat, sehingga terjadi
peningkatan aliran darah ginjal.
Penurunan TD oleh ACE inhibitor disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa
disertai refleks takikardia. ACE inhibitor juga mengurangi tonus vena. Seperti halanya
dengan diuretik, ACE inhibitor mempunyai kurva dosis-respons yang relatif curam pada
kisaran dosis rendah dan menjadi relatif rata pada kisaran dosis tinggi. Diuretik atau
diet rendah garam merangsang sekresi renin dan mengaktifkan sistem RAA sehingga
memberkan efek sinerginestik dengan ACE inhibitor. Pada penggunaan jangka panjang,
tidak terjadi toleransi terhadap efek hipotensif golongan obat ini. Penghentian obat-
obat ini secara mendadak tidak menimbulkan fenomena rebound.
ACE inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun berat. Sebagai
monoterapi, ACE inhibitor sama efektivitasnya dengan golongan antihipertensi lainnya.
Efektif sebagai antihipertensi pada sekitar 70% penderita. ACE inhibitor terutama efektif
pada hipertensi dengan aktivitas renin plasma yang tinggi, yakni pada kebanyakan
hipertensi maligna dan hipertensi renovaskuler, dan pada kira-kira 1/5 populasi
hipertensi essensial, tetapi obat ini juga efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin
plasma yang normal dan yang rendah.
Pada hipertensi berat, ACE inhibitor dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-
3 pada diuretik dan -blocker. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek
antihipertensi yang sinergistik, sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat dicegah atau
dikurangi. Kombinasi dengan -blocker memberikan efek yang aditif. Kombinasi dengan
vasodilator, termasuk prazosin dan nifedipin, memberikan efek yang baik. Tetapi
pemberian bersama penghambat adrenergik lainnya yang menghambat respon
adrenergik dan (misalnya metildopa, klonidin, labetalol, prazosin + blocker),
sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan hipotensi yang berat dan
berkepanjangan.
ACE inhibitor lebih efektif pada penderita yang lebih muda bila digunakan sendiri.
Obat-obat ini terpilih untuk penderita hipertensi dengan gagal jantung kongestif yang
juga merupakan indikasi ACE inhibitor. ACE inhibitor oral dapat diguakan untuk
hipertensi mendadak, sedangkan preparat IV (enalaprilat) digunakan pada hipertensi
darurat.
Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi, insidensnya
samapai 10-20%, lebih sering pada wanita dan pada malam hari. Rash dan gangguan
pengecap lebih sering terjadi pada penggunaan kaptopril karena adanya gugus slfhidril
pada obat ini, yang tidak dimiliki oleh ACE inhibitor lainnya. Reaksi dermatologik ini
menghilang bila obat dihentikan dan tidak selalu muncul kembali bila obat diberikan
lagi; beberapa rash eritematosus hilang meskipun obat diteruskan. Gangguan pengecap
(disgeusia) terjadi pada kira-kira 7% penderita yang diberi kaptopril. Gangguan ini
bersifat reversibel, tetapi pemberian kaptopril mungkin perlu dihentikan bila terjadi
anoreksia dan penurunan berat badan. Rash dan disgeusia lebih jarang terjadi bila
digunkan dosis rendah ( 150 mg sehari). Udem angioneurotik dapat terjadi peda
penggunaan semua ACE inhibitordapat cukup parah sampai menjadi fatal, tetapi hanya
terjadi 0,1%. Dosis pertama ACE inihibitor dapat menimbulkan hipotensi simtomatik
yang berat terutama pada penderita yang mengalami depresi cairan akibat pemeberian
diuretik, diet rendah garam, atau dialisis, atau pada penderita yang hiponatremik.
Untuk mengurangi efek samping ini, dosis dimulai sserendah mungkin dan dinaikkan
perlahan-lahan, dosis pertama dan setiap kali peningkatan dosis diberikan sebelum
tidur, dan sebaiknya dosis diuretik dikurangi atau dihentikan dulu beberapa waktu
sebelum dimulai ACE inhibitor.

5. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium yakni verapamil, diltiasem dan nifetidin. Kombinasi natagonis
kalsium dengan blocker, ACE inhibitor atau blocker memberikan efek yang baik,
tetapi antagonis kalsium hanya memberikan penambahan efek yang kecil apabila
ditambahkan pada diuretik. Kombinasi antara verapamil dan diltiazem dengan -blocker
memberikan efek antihipertensi yang aditif, tetapi efeknya pada konduksi jantung dan
kontraktilitas jantung juga aditif.
Edema perifer yang merupakan efek samping akibat vasodilatasi yang menetap
(sustained), terjadi pada semua antagonis kalsium terutama golongan DHP
(dihidropiridin) paling sering terjadi dengan nifedipin, tetapi juga terjadi dengan
amlodipin. Ini disebabkan oleh keluarnya cairan dari dalam pembuluh kapiler ke ruang
interstisium. Udem bersifat lokal dan tidak disertai retensi garam dan air, maka tidak
dapat diobati dengan diuretik, dan tidak ada hubungannya dengan gagal jantung.
Bradiaritmia dan gangguan konduksi terutama terjadi dengan verapamil, kurang dengan
diltiazem, dan tidak terjadi dengan golongan DHP. Karena itu verapamil dan diltiazem
tidak boleh diberikan pada penderita bradikardia, blok AV derajat 2 dan 3, dan sick sinus
syndrome. Efek inotropik negatif paling kuat dimiliki oleh verapamil, kurang oleh
diltiazem, dan minimal oleh golongan DHP. Karena itu pemberian antagonis kalsium
pada gagal jantung harus dengan hati-hati (verapamil bahkan tidak boleh diberikan
pada gagal jantung sedang sampai berat), sedangkan untuk kombinasi dengan -
blocker, digunakan golongan DHP. Kombinasi ini menguntungkan karena -blocker
dapat mengatasi refleks simpatis yang ditimbulkan oleh golongan DHP.efek samping
lain yaitu konstipasi, retensi urin, dan refluks esofagus, merupakan akibat relaksasi otot
polos saluran cerna dan kandung kemih. Konstipasi sering terjadi pada pemberian
verapamil, terutama pada penderita yang sering mengalami konstipasi. Hiperplasia gusi
juga dapat terjadi dengan semua antagonis kalsium. Antagonis kalsium tidak
mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, karbohidrat maupun asam
urat.

Sumber:
Sulistia, G, Ganiswarna, dkk. 2003. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai