IV.1 Karakteristik tepung umbi talas Bogor Sebelum pemrosesan untuk pengurangan reaksi pencoklatan (browning reaction) maka umbi talas bogor dianalisa kadar proksimatnya terlebih dahulu untuk mengetahui kadar air, protein, lemak, karbohidrat, dan sebagainya yang terdapat dalam umbi talas.. Hasil analisis kadar proksimat dari tepung umbi talas Bogor disajikan pada tabel 4.1 Tabel 4.1. Karakteristik Tepung Umbi Talas Bogor Parameter Tepung umbi talas Bogor Tepung Terigu Air (%) 9.84 11 Karbohidrat (%) 80.57 77.3 Protein (%) 3.49 8.9 Lemak (%) 2.99 1.3 Abu (%) 3.10 N/A Warna (L) 80.95 93.03
Pada tabel diatas juga menunjukkan bahwa tepung umbi talas Bogor memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tingi berada diatas kadar karbohidrat pada tepung terigu. Analisis kadar proksimat tersebut menunjukkan adanya potensi dari tepung umbi talas Bogor sebagai sumber karbohidrat pengganti tepung terigu dalam upaya diversifikasi pangan. Namun pada tingkat kecerahan atau warna dari tepung umbi talas bogor (80.95) masih dibawah standart warna putih pada tepung terigu (93.03), untuk mengurangi warna kecoklatan pada tepung umbi talas agar warnanya lebih cerah mendekati warna tepung terigu perlu adanya penambahan zat antioksidan untuk mengurangi proses browning yang terjadi sehingga dapat memenuhi standar sifat fisik terpung terigu dalam tingkat kecerahan warna putih.
IV.2. Pengaruh penambahan zat antioksidan terhadap warna tepung talas. Masalah utama dalam pengolahan makanan kering dari bahan yang mengandung karbohidrat tinggi adalah terjadinya reaksi pencoklatan (browning). Reaksi pencoklatan terjadi pasa saat proses oksidasi atau pengeringan dan mengakibatkan munculnya warna coklat.
Sumber : www.buzzle.com
Pada oksidasi tepung talas, warna putih umbi talas berubah menjadi warna coklat karena adanya aktivitas enzim polyphenol oxidase yang bereaksi dengan oksigen menjadi gugus O-kuinon. Penelitian dilakukan dengan membandingkan proses pembuatan tepung dari umbi talas dengan perlakuan penambahan zat antioksidan berupa Natrium Bisulfit dan Asam Askorbat pada konsentrasi 0.5%, 1%, 1.5%, dan 2% yang dikombinasi dengan variasi waktu perendaman 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penambahan zat antioksidan dan waktu perendaman yang baik hingga tepung talas yang dihasilkan bewarna cerah/putih dengan residu dibawah ambang batas yang diizinkan. Tepung Talas yang dihasilkan kemudian dianalisis warmanya menggunakan chromameter untuk mengetahui seberapa besar tingkat penghambatan pembentukan warna coklat antara tepung talas yang diberi perlakuan dengan control. Kontrol merupakan tepung talas tanpa penambahan zat antioksidan dari umbi talas segar.
1. Pengaruh waktu perendaman terhadap warna tepung talas pada berbagai konsentrasi NaHSO3 Hasil analisis warna berupa notasi L, a, dan b. Notasi L menyatakan tingkat kecerahan tepung talas yang dihasilkan. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a (+) untuk warna merah dan a (-) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai b (+) untuk warna kuning dan nilai b (-) untuk warna biru. Nilai L, a, dan b pada sampel-sampel ini kemudian dibandingkan dengan Tepung terigu sebagai standar warna putih yang memiliki nilai L = 93.03 , a = -0.7 , dan b = 8.87. Hasil analisis terhadap nilai warna tepung talas dapat dilihat pada table 4.2
Tabel 4.2 Hasil Analisis Warna
Dari data tersebut, semua perlakuan memiliki nilai L dan b diatas control serta nilai a dibawah control. Adanya penambahan NaHSO3 yang semakin tinggi cenderung meningkatkan nilai L dan menurunkan nilai a. Semua perlakuan penambahan sodium bisulfit dengan berbagai konsentrasi memiliki efek yang cukup signifikan terhadap peningkatan nilai warna tepung talas, sehingga tepung talas yang Variasi Perlakuan 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit L a B L A B L A B L A B Pembanding 93.03 -0.7 8.87 93.03 -0.7 8.87 93.03 -0.7 8.87 93.03 -0.7 8.87 Kontrol 80.95 2.89 13.32 80.95 2.89 13.32 80.95 2.89 13.32 93.03 -0.7 13.32 NaHSO3 (0.5%) 80.96 2.23 15.17 83.09 1.86 14.58 83.37 1.48 14.72 84.07 1.47 15.25 NaHSO3 (1%) 88.30 0.04 14.99 88.28 0.02 14.52 90.96 -0.4 14.27 88.49 -0.8 14.17 NaHSO3 (1.5%) 88.62 -0.2 15.81 90.73 -1.1 16.13 87.82 -0.2 15.66 88.74 -0.6 14.64 NaHSO3 (2%) 89.57 -0.6 16.44 90.12 -0.8 14.43 88.84 -0.5 14.78 87.46 -0.1 16.41 dihasilkan berwarna lebih putih dibandingkan dengan tepung control. Hal ini disebabkan warna kecoklatan pada tepung talas berasal dari reaksi oksidasi antara enzim polifenol oksidase dengan senyawa fenol yang menghasilkan senyawa quinon yang memberikan warna coklat. Sodium Bisulfit menghambat aktivitas catecholase yang membutuhkan oksigen karena sulfit bersifat reduktor yang mengikat oksigen sehingga produksi quinon berkurang (Valero et al.,1996). Skala kemerahan (a) pada semua sampel nilainya cukup kecil, berada dibawah tepung control. Nilai yang tercatat dianggap sebagai akibat dari pembauran cahaya. Hal ini dibuktikan dengan tepung gandum sebagai pembanding standart warna putih memiliki skala kemerahan (a) dibawah semua perlakuan, yakni nilai a = -0.7. Warna cenderung kekuningan pada tepung talas disebabkan karena adanya reaksi mallard dimana gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan nukleofilik grup amino dari protein menghasilkan polimer nitrogen (melanoidin) yang berwarna coklat. Kandungan protein yang cukup rendah pada umbi talas menghasilkan intensitas warna coklat yang rendah atau warna cenderung kekuningan (Selvia, dkk., 2011). Dari data, tepung talas yang dibuat dengan penambahan air dan sodium bisulfit (NaHSO3) 1% dan waktu perendaman 30 menit memiliki nilai L, a, dan b yang lebih mendekati tepung terigu sebagai pembanding standart warna putih dibandingkan pada tepung control dan tepung talas dengan perlakuan lainnya pada semua konsentrasi dan waktu perendaman. Nilai kecerahan (L) pada tepung talas yang dibuat dengan penambahan air dan sodium bisulfit (NaHSO3) 1% selama 30 menit waktu perendaman memiliki nilai L dan b lebih tinggi dibanding nilai L pada tepung control. Sebaliknya, nilai kemerahan (a) pada tepung control lebih tinggi dibandingkan nilai a pada tepung talas yang dibuat dengan penambahan 1% pada 30 menit waktu perendaman.
2. Pengaruh waktu perendaman terhadap warna tepung talas pada berbagai konsentrasi Asam Askorbat Pada pengamatan terhadap tepung talas dengan penambahan air dan asam askorbat pada semua perlakuan konsentrasi (0.5 %, 1%, 1.5%, dan 2%) dalam berbagai lama waktu perendaman (10menit, 20menit, 30menit, dan 40menit) menghasilkan warna yang cenderung lebih coklat dibandingkan pada tepung kontrol. Berdasarkan beberapa literature yang ada, Vitamin C ( asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor untuk pembentukan warna cokelat nonenzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonati yang kemudian menyebabkan reaksi Maillard dan proses pencoklatan pada tepung talas. (Mirza, 2011).
(sumber : http://lordbroken.wordpress.com) Pada penelitian yang dilakukan, penggunaan vitamin C yang ada semakin lama akan semakin habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi, sehingga menyebabkan komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil polimerisasi dan menjadi produk antara yang irreversible. Akibatnya tepung talas yang diberi antioksidan cenderung berwarna coklat dibandingkan dengan tepung talas yang diberi antioksidan Sodium Bisulfit. Karena respon yang dihasilkan tepung talas yang diberi antioksidan asam askorbat berwarna coklat sedangkan respon yang diharapkan pada penelitian ini untuk mengurangi proses pencoklatan atau proses browning, maka peneliti memutuskan untuk tidak menganalisis lebih lanjut pada tepung talas yang diberi antioksidan asam askorbat.
3. Residu Sulfit Dalam teknologi pengolahan pangan, Sodium Bisulfit termasuk salah satu bahan tambahan pangan (BTP). Food additive atau Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 BTP dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaaannya di dalam pangan. Sulfit dalam bentuk garam Kalium atau Natrium Bisulfit atau Metabisulfit) termasuk BTP dalam kelompok yang bertujuan sebagai bahan pemutih dan pengawet. Pemakaian garam Sulfit untuk bahan makanan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pemeriksaan Obat dan Makanan (1990) yakni maksimum sebesar 60 ppm untuk keripik kentang atau kentang goreng. Ketentuan itu juga berlaku untuk tepung ubi jalar dan talas. Kandungan Natrium Bisulfit yang disyaratkan dalam makanan adalah sebagai bahan pengawet yaitu keberadaannya dengan kadar yang diizinkan hingga makanan dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh manusia. Analisis residu sulfit pada penelitian ini hanya dilakukan sekali yaitu pada tepung talas yang dibuat dengan penambahan air dan NaHSO3 1% pada umbi talas dan 30 menit waktu perendaman. Hasil analisis residu sulfit pada penambahan Sodium Bisulfit sebesar 1% dengan waktu perendaman 30 mwnit yakni sebesar 48 ppm masih dibawah ambang batas yang diperkenankan jika dibandingkan peraturan yang ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pemeriksaan Obat dan Makanan (1990) untuk tepung ubi jalar dan talas yakni maksimum sebesar 60 ppm (Darsono.,dkk. 1995). dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 yaitu bahan pengawet untuk potongan kentang goreng (50mg/kg = 50 ppm) dimana ketentuan itu dapat berlaku untuk umbi talas (Doddy,2010). Oleh karena itu penambahan sodium bisulfit pada penelitian ini masih memenuhi syarat sebagai bahan tambahan pada pangan. Residu sulfit ini disebabkan karena adanya Sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang berikatan dengan komponen tepung sehingga tidak larut dalam air, sulfit dalam bentuk SO2 dapat berikatan dengan protein, pati, dan gula yang tidak dapat larut dalam air dalam pemcucian sehingga meninggalkan residu (Steffanny., dkk, 2011).
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan kadar proksimatnya, umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat pengganti tepung terigu dalam upaya diversifikasi pangan. 2. Perendaman Umbi Talas dalam larutan Sodium Bisulfit dapat mengurangi reaksi pencoklatan (browning reaction) yang terjadi dengan perlakuan terbaik yaitu pada Konsentrasi 1% NaHSO3 dengan waktu perendaman 30 menit. 3 Perendaman dalam penambahan asam askorbat tidak dapat mereduksi proses browning yang terjadi karena penambahan asam askorbat memicu terjadinya reaksi maillard.. 4. Natrium Bisulfit yang tertinggal dalam tepung umbi talas konsentrasi 1% masih dapat dikatakan cukup aman karena berada di bawah ambang batas residu sulfit yang dizinkan dalam bahan pangan.