Anda di halaman 1dari 3

PATOFISIOLOGI

C. diphtheriae adalah mikroorganisme yang tidak invasif, hanya menyerang bagian


superficial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat menimbulkan reaksi peradangan
lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan penyakit terjadi apabila kontak langsung
dengan pasien difteri atau dengan carrier difteri (Acang, 2009).
C. diphtheriae ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk, bersin, atau
berbicara, atau dengan kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku ataupun mainan yang
terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap
udara panas, dingin dan kering, dan tahan hidup pada debu dan muntah selama 6 bulan
(Acang, 2009).
C. diphtheriae masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian bertumbuh/ berkembang
pada mukosa saluran napas bagian atas terutama daerah tonsil, faring, laring, kadang-kadang
di kulit, konjungtiva, atau genital. Basil ini kemudian akan memproduksi eksotoksin, yang
diabsorpsi melewati membran sel mukosa, yang menyebabkan terjadinya peradangan dan
destruksi sel epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, kemudian
diinfiltrasi oleh sel leukosit, keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya patchy exudate
yang pada permulaan masih bisa terkelupas (Acang, 2009).
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat,
menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan
terbentuknya fibrous exudate (membran palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, finbrin, sel
epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sukar
terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan (Acang, 2009).
Membran palsu ini terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada leadaan berat bisa
meluas sampai ke trakhea dan kadang kadang ke bronkus , kemudian diikuti edema soft tissue
di bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran pernafasan sehingga
memerlukan tindakan segera (Acang, 2009).
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening servikal
dan edema pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema pada muka
menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bulls neck appearance (Acang, 2009).
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya, diserap masuk ke dalam sirkulasi darah
menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa
degenerasi, iinfiltrasi lemak dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenal
dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis, A-V
disosiasi sampai blok total, dan payah jantung (Acang, 2009).
Kerusakan jariingan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa demielinasi, yang
dapat menimbulkan paralisis, terutama pada palatum mole, otot mata dan ekstremitas inferior
(Acang, 2009).
Akibat lain dari C. Diphtheriae adalah terjadinya trombositopenia dan proteinuria.
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran
pernafasan (Acang, 2009).
Pada daerah tropik, C. Diphtheriae ini dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit
(difteri kutan), yang dapat menimbulkan epidemi pada populasi yang dilakukan imunisasi
yang tidak sempurna, dan pada pasien immunocompromised (Acang, 2009).
Bentuk kelainan kulit adalah berupa ulkus yang tidak nyeri, sukar sembuh dan
ditutupi membran berwarna abu-abu. Difteri kutan ini sebagian besar tidak menimbulkan
keadaan toksik (Acang, 2009).
Beberapa jenis corynebacterium yang hidup pada saluran nafas bagian atas atau
konjungtiva ada yang tidak menimbulkan penyakit, jenis ini disebut difteroid, misalnya
Corynebacterium pseudodiphthericum, C. Cerosis, C. Haemolyticum (Acang, 2009).
Pemakaian obat-obat imunosupresif dapat menyebabkan beberapa jenis kuman ini
menjadi invasif dan dapat menimbulkan kematian (Acang, 2009).

Pengobatan dan Pencegahan
Menurut Widoyono (2005) pasien difteri harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit
untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. Pengobatan ditujukan untuk memulihkan
pasien akibat peradangan dan toksin bakteri itu sendiri, yang terdiri dari:
1. Diphteriae anti toxin (DAT) atau antidifteri serum (ADS) merupakan antitoksin yang
bisa diproduksi dari serum kuda dan akan mengikat toksin dalam darah namun tidak
dalam jaringan. DAT diberikan pada tersangka penderita difteria tanpa menunggu
konfirmasi hasil laboratorium.
2. Antibiotik eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis.
Pengobatan tersangka difteria bertujuan untuk menekan penularan penyakit.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.
Pencegahan yang paling baik untuk difteri adalah pemberian imunisasi aktif pada
masa anak-anak secara komplit (Acang, 2009).
Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya pemberian vaksin difteri
bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-tetanus-acellular
pertusis vaccine (DtaP) untuk anak-anak dan tetanus-diphtheria vaccine (Td) untuk
dewasa (Acang, 2009).
Pemberian vaksin DtaP pada masa anak anak aadalah pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, dan 15-16 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Booster setiap 10 tahun (Acang,
2009).

Acang, Nuzirwan. 2009. Difteri dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama

Anda mungkin juga menyukai