Anda di halaman 1dari 3

7 KATA TERAKHIR DARI SAHABATKU

Cerpen Karangan: Ayu Febriyanti



Namaku Febri, aku berumur 13 tahun. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di sebuah
rumah sederhana di pinggiran kota. Aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Dwi. Aku
kenal dia sejak SD. Dwi orangnya baik, asik dan enak diajak curhat. Tapi kadang-kadang dia
orangnya suka jail. Dia sudah tidak mempunyai Ibu lagi, jadi dia menganggap Ibuku sebagai
Ibunya juga.
Jam menunjukan pukul 7.00. Hari itu sangat cerah, aku berjalan menuju sekolah
sendirian tanpa ditemani sahabatku, Dwi. Aku tak tau kenapa belakangan ini dia selalu jaga
jarak kepadaku. Setiap aku mendekati dia untuk menanyakan sesuatu hal, tetapi dia hanya
menatapku dengan tatapan kosong lalu beranjak dari hadapanku.
Satu minggu berlalu. Hari ini hari ulang tahunku. Sama seperti biasanya, dia masih tidak
mau berbicara ataupun bertemu denganku lagi. Aku kira dia ingat dengan hari ulang tahunku.
Aku sangat kecewa saat itu. Bel kelas berbunyi, aku pun memasuki kelas sendirian dengan
wajah cemberut. Aku tidak berkonsentrasi saat jam pelajaran, dikarenakan aku masih
memikirkan tentang kelakuan sahabatku Dwi. Aku hanya melamun sepanjang jam pelajaran.
Sampai-sampai salah satu guru yang mengajar di kelas menegurku untuk tidak melamun saat
jam pelajaran. Aku hanya mengangguk dan mencoba untuk berkonsentrasi ke materi pelajaran.
Bel istirahat berbunyi. Saat itu hujan deras dan semua teman-temanku sudah
meninggalkan sekolah. Kebanyakan dari mereka dijemput oleh orangtua masing-masing dan ada
juga yang berjalan kaki dengan nekat menerobos hujan. Aku menunggu jemputan di depan
ruang kelas, kebetulan ruang kelasku tepat di depan pagar sekolah. Aku ditemani oleh satpam
sekolah yang bernama Pak Ahmad. Di tengah turunnya hujan aku dan Pak Ahmad hanya
berbincang-bincang seputar murid-murid yang nakal dan pelajaran sekolah. Jujur, Pak Ahmad
orangnya asyik di ajak berbicara, walaupun dia orangnya agak kelihatan sedikit sangar.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pria berkumis yang menaiki sebuah mobil
mewah. Sepertinya aku mengenal orang itu, gumamku dalam hati. Dia menghampiriku dan
tersenyum. Benarkah kau yang bernama Febri?, ucap pria berkumis itu. Iya benar, ada apa
Pak?, jawabku. Bisakah nak Febri ikut bersama Bapak ke rumah sakit? Ada yang
merindukanmu di sana, Rumah sakit Pak? Siapa yang sakit?, tanyaku dengan ekspresi wajah
tegang. Kamu ikut saja dengan bapak jawab Pria itu. Baiklah Pak. Aku dan Pria berkumis
itu berjalan ke arah mobil dan dengan segera berangkat ke rumah sakit. Dan meninggalkan Pak
satpam sendirian. Di tengah perjalanan kami tidak berbicara sepatah kata pun. Saat itu aku
sangat gelisah, dan tidak tau harus berbuat apa-apa. Aku hanya diam dan berusaha tenang.
30 menit kemudian sampailah kita di Rumah sakit, nama rumah sakit itu RS Sanglah.
Aku mengikuti Pria berkumis itu ke salah satu ruangan di Rumah Sakit. Betapa terkejutnya aku
saat melihat orang yang berbaring lemah di atas tempat tidur dengan jarum infuse yang tertanam
di punggung tangan mungilnya. Dwii!!!, aku berteriak sangat keras. Lalu aku
menghampirinya dan menggenggam tangan kirinya dengan erat. Dwi kau kenapa? Kau sakit
apa? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku? ucapku tergesa-gesa. Dwi hanya tersenyum dan
tidak mengatakan sepatah kata apapun. Aku semakin panik dan bingung. Di tengah-tengah
kepanikanku, tiba-tiba ada 5 orang dokter dan 2 orang perawat yang memasuki ruangan ini.
Maaf bapak dan adik harus menunggu di luar, karena kami akan melakukan beberapa tahap-
tahap pemeriksaan ucap salah satu dokter. Aku dan pria berkumis itu hanya mengangguk dan
menuruti perkataan salah satu dokter.
Saat kami berjalan menuju luar, aku sempat menatap wajah Pria berkumis itu,
tampaknya dia sangat gelisah dan sedih. Aku mulai bertanya kepada Pria berkumis itu, Maaf
Pak saya mau bertanya, sebenarnya Bapak itu siapa?, ucapku. owh iya Bapak belum
memperkenalkan diri bapak. Nama Bapak pak Agus, saya adalah Bapaknya Dwi. Aku hanya
diam dan menatap Bapak itu beberapa detik lalu kembali menunduk. Jadi sebenarnya apa yang
terjadi pada Dwi Pak?, tanyaku dengan wajah penasaran. Jadi begini, Dwi itu sejak 3 tahun
yang lalu mengidap penyakit kanker darah (Leukimia) yang memang tidak bisa disembuhkan
dalam waktu singkat. Dan itu pun harus mengikuti serangkaian proses Kemoterapi. Dokter
sempat memvonis 1 minggu yang lalu, kalau dwi hanya dapat bertahan hidup selama 10 hari
saja. Karena sel kanker tersebut sudah menggerogoti badan dwi. Aku tidak bisa berkata apa-apa
aku hanya menundukkan kepala dan menangis sejadi-jadinya.
Saat itu dokter keluar dari ruangan Dwi. Wajah dokter itu tampak lesu dan sepertinya
penuh kekecewaan. Pak Agus segera menghampiri dokter itu dan ia menanyakan sesuatu hal,
Bagaimana keadaan anak saya dok?. Dokter tidak merespon pertanyaan Pak Agus ia hanya
menunduk dan diam. Dokter sebenarnya apa yang terjadi dengan Dwi dok? ucapku sambil
menangis di hadapak dokter. Maaf kita sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi Tuhan
berkata lain. Tanpa berfikir panjang aku langsung berlari menuju ruangan itu dan benar saja
dugaanku, Dwi sudah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Saat itu juga aku menangis
sangat keras dan teriak-teriak memanggil nama Dwi. Percuma saja Dwi hanya tertidur dan tidak
mungkin bangun kembali. Saat itu juga Pak Agus menghampiriku dan menangis tetapi dia
kelihatan lebih tegar dari ada aku. Ia memberikanku sebuah surat, lalu ia menjelaskan bahwa
surat ini dari Dwi. aku sesegera mungkin membuka amplop dan membaca isi surat itu dengan
perlahan. Isi surat itu:
AKU SANGAT SENANG BISA BERKENALAN DENGAN DIRIMU
Begitu membaca 7 kata yang ada di dalam surat itu, aku langsung memeluk tubuh
sahabat terbaikku yang sudah tidak bernyawa.
Keesokan harinya adalah hari pemakaman Dwi. aku menghadiri pemakaman tersebut bersama
seluruh keluargaku. Setelah selesai pemakaman, setiap minggu aku selalu datang ke makam dwi
untuk mendoakannya. Semoga tenang di alam sana Dwi, walaupun kita beda kehidupan tapi
aku yakin kau selalu ada di hati kecilku.

Anda mungkin juga menyukai