Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan
Ada dua hal penting yang dipertimbangkan mengapa pengolahan pangan perlu
dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk
dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Yang kedua adalah agar bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya
diterima secara sensori, yang meliputi penampakan (aroma, rasa, mouthfeel, aftertaste) dan
tekstur (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan).
Di satu sisi pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang
diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori. Di sisi lain,
pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik
sehingga produk menjadi kurang atau tidak aman, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat
sensori ke arah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur,
bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai. Dengan demikian diperlukan suatu usaha
optimasi dalam suatu pengolahan agar apa-apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak
diinginkan ditekan sampai minimal. Untuk itulah pentingnya pengetahuan akan pengaruh
pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. Walaupun demikian, hal yang lebih
penting adalah bagaimana seharusnya melakukan suatu pengolahan pangan agar bahan
pangan yang kita hasilkan bernilai gizi tinggi dan aman.
Proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka ragam,
berkualitas tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran dan
transportasi, sekaligus meningkatkan nilai tukar dan daya guna bahan mentahnya. Proses
pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu dibidang tekologi
pangan. Dengan demikian semakin lama akan semakin banyak jenis produk susu yang
dikenal. Hal ini sangat menggembirakan dan merupakan langkah yang sangat tepat untuk
mengimbangi laju permintaan pasar.








BAB II
ISI
II.1 Susu
Susu merupakan bahan pangan alami dengan nilai nutrisi yang lengkap dan telah
dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat namun hingga saat ini kualitas dan
manfaatnya belum banyak difahami oleh masyarakat (Eirry, 2005). Menurut Spreer (1998)
susu merupakan cairan yang berwarna putih dan bersifat opaque (tidak tembus pandang),
kadang agak kekuningan, selain itu memiliki rasa agak sedikit manis, bau yang khas, dan
berkonsistensi homogen atau tidak bergumpal. Susu adalah emulsi lemak dalam air dengan
pH 6.5-6.6, berat jenis 1,027-1,035 pada suhu 27C, memiliki titik didih 100, 17C, titik
beku -0,5 sampai -0,61C, dan kekentalan 1,005 centipoise secara kimia (Muchtadi dan
Sugiyono 1992 dalam Hidayat NS 2008).

II.2 Komposisi Susu
Dalam berbagai spesies komposisi susu tergantung pada berbagai faktor antara lain;
bangsa, masa laktasi, pakan, dan frekuensi pemerahan. Sehingga sangat sulit dalam
menentukan komposisi susu normal (Darmajati, 2008).
Menurut Girisonta, 1995. Susunan zat gizi air susu adalah sebagai berikut :
a. Air : 87,7%
b. Lemak : 3,45%
c. Protein : 3,2% (terdiri dari casein : 2,7% dan albumin : 0,5%)
d. Laktosa : 4,6%
e. Mineral : 0,85%
f. Vitamin-vitamin
II.2.1 Susu Kambing
Susu kambing adalah minuman kaya gizi. Bahkan, kandungan gizinya tidak kalah
dengan susu sapi. Selain itu, keluhan-keluhan kesehatan yang sering dijumpai akibat
mengonsumsi susu sapi tidak ditemui pada orang yang mengonsumsi susu kambing. Oleh
karenanya, susu kambing bisa menjadi alternatif bagi konsumen yang alergi terhadap susu
sapi (Susanto dan Budiana, 2005).
Di Timur Tengah, susu kambing lebih populer dibandingkan susu sapi. Salah satu
bahan baku beberapa jenis makanan dan minuman, seperti puding dan yoghurt, yaitu susu
kambing. Di Indonesia, susu kambing belum banyak di konsumsi. Hal ini disebabkan oleh
minimnya pengetahuan tentang manfaat susu kambing. Selain itu,populasi kambing perah
juga masih terbatas (Susanto dan Budiana, 2005).Salah satu kelebihan susu kambing adalah
kandungan gizinya relatif lebih lengkap dan tinggi.
II.2.2 Susu Kuda Liar
Susu kuda liar ini merupakan hasil pemerahan kuda yang dilepas di padang rumput pulau
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya kabupaten Bima, Dompu dan Sumbawa.
Susu tersebut dijual dengan nama susu Kuda Liar. Para pengumpul mengirim langsung susu
tanpa pengolahan dalam wadah jerigen kepada perusahaan pengemas antara lain di Bandung,
Sukabumi, Jakarta dan Bogor. Susu dalam kemasan kemudian dijual melalui apotik, toko obat
dan radio swasta di beberapa kota di indonesia. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa
susu kuda sumbawa yang disimpan pada suhu kamar sampai beberapa bulan ternyata tidak busuk
dan hanya terjadi fermentasi, padahal susu hewan lain pada kamar dalam waktu 24 jam sudah
busuk dan tidak dapat di konsumsi lagi (Anonim, 2004).
Menurut Prof. DR. Made Astawan, ahli teknologi pangan dan gizi dari IPB menyebutkan
bahwa gizi susu kuda liar tidak kalah dengan gizi susu sapi. Populer di Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat, kuda liar juga ternyata dikembangbiakkan di Sukabumi, Jawa Barat. Bahkan sangat
populer di Perancis Selatan. Susunya juga diolah menjadi keju (Anonim, 2009).
Kandungan kadar protein dalam air susu kuda lebih tinggi daripada susu sapi sebagai
alternatif tambahan air susu ibu (ASI) bagi bayi dalam masa pertumbuhan dan untuk kecerdasaan
otak. Rantai protein pada susu kuda sumbawa lebih pendek dibandingkan dengan yang ada pada
susu sapi sehingga mudah dicerna bayi. Secara umum, kandungan protein pada susu sapi
sebanyak 17,35% dan pada susu kuda 17,52% (Anonim, 2009).
Susu kuda juga merupakan sumber lemak, vitamin dan mineral. Kandungan gizinya yang
mendekati air susu ibi (ASI), susu cocok untuk bayi karena kadar kaseinnya lebih rendah
dibanding susu sapi. Kandungan kasein yang tinggi menurut Made, membuat susu mudah
menggumpal dalam perut bayi sehingga lebih sulit dicerna (Anonim, 2008).
II.2.3 Susu Sapi
Susu sapi mengandung semua bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak sapi yang
dilahirkan. Susu juga sebagai bahan minuman manusia yang sempurna, sebab susu sapi
merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Zat-zat gizi yang
terkandung di dalamnya dalam perbandingan yang sempurna (Girisonta, 1995).

II.3 Pengaruh Proses Termal Terhadap Zat Gizi
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat
berpengaruh pada bahan pangan. Dalam pengolahan bahan pangan, penggunaan panas
seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menambah citarasa dan memperpanjang daya
simpan produk pangan tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari jenis proses termal yang
biasa dilakukan adalah penggorengan, perebusan, pengukusan, dan pemanggangan. Di
tingkat industri, kita mengenal beberapa jenis pengolahan pangan dengan menggunakan
panas seperti blansir, pasteurisasi dan sterilisasi dengan maksud agar bahan makanan dapat
lebih awet disimpan. Pada umumnya semakin tinggi jumlah panas yang diberikan semakin
banyak mikroba yang mati.
Tetapi penggunaan panas pada pengolahan bahan pangan juga dapat mempengaruhi
nilai gizi bahan pangan tersebut, termasuk zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Umumnya
vitamin-vitamin (khususnya vitamin larut air) dan mineral tidak stabil terhadap panas.
Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap
suhu tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya.
Penggorengan merupakan salah satu jenis pengolahan pangan dengan menggunakan
panas. Suhu yang digunakan biasanya adalah 160
o
C, sehingga dapat merusak vitamin dan
mineral. Kandungan -karoten (pro-vitamin A) minyak sawit merah (minyak goreng) juga
mengalami penurunan selama proses pemanasan (penggorengan). Hal ini tergantung dari
suhu yang digunakan. Hasil penelitian melaporkan bahwa pemanasan minyak sawit merah
pada suhu 150
0
C mampu mempertahankan kandungan -karoten yang lebih baik
dibandingkan suhu yang lebih tinggi (160, 170 dan 180
0
C). Penurunan kandungan vitamin
yang terjadi pada pemanasan minyak goreng disebabkan terjadinya reaksi oksidasi minyak
dan degradasi asam lemak akibat suhu pemanasan yang tinggi dan lama pemanasan.
Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional lainnya yang telah lama
dikenal untuk memasak. Pada proses perebusan dapat menurunkan nilai gizi suatu bahan
makanan lebih banyak dibandingkan dengan pengukusan. Bahan makanan yang langsung
terkena air rebusan akan menurunkan nilai gizinya terutama vitamin-vitamin larut air (B
kompleks dan C), sedangkan vitamin larut lemak (ADEK) kurang terpengaruh.
Pemanggangan juga bisa menyebabkan kerusakan zat gizi. Kerusakan zat gizi dalam
bahan makanan yang dipanggang umumnya terkait dengan suhu yang digunakan dan
lamanya pemanggangan. Pada roti misalnya, tidak ada susut gizi yang berarti dalam tahap
pencampuran adonan, fermentasi, maupun pencetakan. Tetapi pada proses pemanggangan
cukup banyak zat gizi yang mengalami kerusakan sehingga menurunkan nilai
gizi. Pemanggangan roti sampai kulitnya berwarna coklat akan menurunkan kadar tiamin 17
- 22%. Roti tawar akan kehilangan tiamin (vitamin B1) lebih sedikit dibandingkan roti
berukuran kecil. Riboflavin (vitamin B2) dan niasin (asam nikotinat) relatif stabil dalam
proses pemanggangan. Dilaporkan, susut niasin hanya kurang dari 5%, sementara riboflavin
sedikit sekali yang hilang. Hanya saja, dalam proses penggorengan donat dengan minyak,
susut riboflavin bisa mencapai 23%.
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses
pengalengan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum dikenai
proses lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses blansir dapat menurunkan nilai
gizi suatu produk pangan terutama vitamin, mineral, dan komponen-komponen yang larut air
lainnya. Besarnya kerusakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1) Varietas, 2)
Tingkat kemasakan/kematangan, 3) Metode penanganan (terutama tingkat pemotongan,
pengirisan, dan lain-lain, yang mempengaruhi rasio luas permukaan/ volume bahan), 4)
Penggunaan medium pemanas dan pendingin, 5) Lama dan suhu pemanasan, dan 6) Rasio
air/bahan yang diblansir (terutama jika digunakan air sebagai medium pemanas atau pun
pendingin).

II.4 Pengolahan Susu
Susu diperoleh dengan cara pemerahan yang benar yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun (SNI 01-
3141-1998). Dalam prakteknya sangat kecil peluang kita untuk mengonsumsi susu segar
definisi SNI tersebut di atas. Umumnya susu yang dikonsumsi masyarakat adalah susu olahan
baik dalam bentuk cair (susu pasteurisasi, susu UHT) maupun susu bubuk.
Di beberapa bangsa, terutama bangsa Eropa, meminum susu telah menjadi kebiasaan
yang sering dilakukan setiap sarapan. Susu terus diproduksi dengan cara mendirikan
peternakan sapi perah. Susu pun terus dikembangkan seiring dengan kemajuan zaman. Di
Eropa, industri susu sangat maju dalam hal teknologi dan kualitas susu itu sendiri. Susu
tersebut diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yoghurt, es krim, keju, susu kental
manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi manusia.
II.4.1 Susu Pasteurisasi
Susu yang diberi perlakuan panas sekitar 63-72 derajat Celcius selama 15 detik yang
bertujuan untuk membunuh bakteri patogen. Susu pasteurisasi harus disimpan pada suhu
rendah (5 6 derajat Celcius) dan memiliki umur simpan hanya sekitar 14 hari. Untuk
mencegah tumbuhnya bakteri yang masih dapat hidup dalam susu yang sudah dipasteurisasi,
produk itu harus didinginkan dengan cepat sesudah dipanaskan. Proses pasteurisasi dapat
menghancurkan 90 99% bakteri yang ada di dalam susu, dengan kemungkinan kerusakan
yang sangat kecil bagi laktosa casein dan unsur lemak, akan tetapi vitamin C dapat rusak.

Ada dua metode pasteurisasi:
1. Metode batch
Sejumlah besar susu dipanaskan seluruhnya sampai suhu tertentu selama suatu jangka
waktu tertentu. Waktu dan suhu yang biasa digunakan adalah 30 menit pada suhu 65C.
Suhu di atas 66C menyebabkan timbulnya flavor susu masak dan kemungkinan
rusaknya lapisan tipis di sekitar butiran lemak sehingga mengurangi kecenderungan susu
untuk membentuk lapisan krim.
2. Metode HTST
Susu ditahan selama 15 16 detik pada suhu 71,7 C dan 75 C dengan menggunakan
alat pemanas berbentuk lempengan (plate type heatexchanger), suatu sistem dimana
pengawasan susu harus dijaga sebaik mungkin
Pengolahan pangan dengan menggunakan panas juga dapat menurunkan vitamin larut
air lainnya (vitamin B) tergantung pada metode dan suhu yang digunakan. Kandungan
vitamin larut air pada produk susu yang mengalami proses pengolahan dengan panas dapat
dilihat pada Tabel 1.




Hampir semua produk yang telah dipasteurisasi mempunyai pH rendah (asam).

Produk makanan yang tidak tahan panas umumnya stabil dalam kondisi asam, dengan
demikian kondisi asam ini akan mencegah susut gizi yang mungkin terjadi. Susu yang
dipasteurisasi akan kehilangan tiamin 10%, vitamin C 10 - 20%, dan vitamin B12 0 - 10%.
Proses termal pada pengolahan pangan juga akan berpengaruh pada penyerapan zat
gizi dalam tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan zat gizi mikro (terutama
mineral) di dalam tubuh. Sebagai contoh, adanya serat dan zat anti gizi (asam fitat, dan lain-
lain) dapat menghambat penyerapan zat besi, kalsium, dan lain-lain. Proses pemanasan dapat
mendegradasi heme sehingga bioavailabilitas heme iron akan menjadi rendah. Semakin lama
proses pemanasan akan menyebabkan solubiliti zat besi semakin rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses perebusan yang dikombinasikan dengan kondisi asam dapat
meningkatkan penyerapan zat besi. Hanya saja faktor lama perebusan juga perlu
diperhatikan.
Perlakuan panas dapat mempengaruhi kandungan lysin dalam susu pasteurisasi, seperti yang
tertera pada Tabel 2 berikut:





II.4.2 Susu Pasteurisasi HTST homogenisasi
Susu HTST adalah susu yang dididihkan selama 15 16 detik pada suhu 71,7 C dan
75 C dengan menggunakan alat pemanas berbentuk lempengan (plate type heatexchanger).
Homogenisasi adalah cara untuk memperoleh produk dengan konsistensi yang seragam yaitu
butiran lemak kecil tersebar merata di dalam susu. Dengan perkataan lain krim tidak memisah
dari permukaan. Homogenisasi dilakukan dengan pemompaan di bawah tekanan (14 21
Mpa) melalui sebuah lubang kecil antara klep dan tempat kedudukan klep tersebut. Perlakuan
ini menyebabkan secara fisik berkurangnya ukuran butir-butiran lemak dan garis tengah rata-
rata 4 8 sampai kurang dari 2 . Susu homogen lebih mudah mengalami aktivitas lipase
dan lebih mudah menjadi tengik.
II.4.3 Susu UHT (steril komersial)
Susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang
singkat (135-145 derjat Celcius) selama 2-5 detik (Amanatidis, 2002). Pemanasan dengan
suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun
patogen) dan spora. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan
nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah
seperti susu segarnya.
Keunggulan Susu UHT adalah daya simpannya yang sangat panjang pada suhu kamar
yaitu mencapai 6-10bulan tanpa bahan pengawet dan tidak perlu dimasukkan ke lemari
pendingin. Selain itu susu UHT merupakan susu yang sangat higienis karena bebas dari
seluruh mikroba patogen/penyebab penyakit dan pembusuk) serta spora sehingga potensi
kerusakan mikrobiologis sangat minimal, bahkan hampir tidak ada. Kontak panas yang
sangat singkat pada proses UHT menyebabkan mutu sensori (warna, aroma dan rasa khas
susu segar) dan mutu zat gizi, relatif tidak berubah.
II.4.4 Susu kental (steril komersial)
Susu kental adalah susu yang diberi pemanasan pendahuluan 130 C dipergunakan
karena suhu ini menghasilkan produk dengan stabilitas yang lebih baik. Setelah pemanasan,
susu diuapkan dalam penguap hampa dengan cara yang sama dengan susu kental manis dan
dapat dilakukan sampai kandungan bahan padat mencapai 35% sebelum terjadi kehilangan
stabilitas karena proses pengentalan. Setelah diangkat dari alat penguap (evaporator) susu
kental ini dicampur secara homogen untuk mencegah pemisahan lemak selama proses
sterilisasi pada tahap selanjutnya. Sesudah homogenisasi, produk ditutup di dalam kaleng dan
diproses selama 10 15 menit pada suhu 100 110 C. Setelah pemanasan terakhir ini,
produk sudah mencapai keadaan steril komersial. Pengolahan yang kurang sempurna akan
menimbulkan kerusakan oleh organisme, pembentuk spora dari jenis Bacillus. Terutama
aktivitas Bacillus coagulan dan Bacillus cereus menyebabkan penggumpalan. Bacillus
subtilis juga dapat menyebabkan kerusakan pada produk ini.
II.4.5 Susu kental manis
Susu kental manis, adalah susu sapi yang airnya dihilangkan dan ditambahkan gula,
sehingga menghasilkan susu yang sangat kental dan dapat bertahan selama satu tahun bila
tidak dibuka. Susu ini mengalami proses pemanasan pendahuluan 65 95 C selama 10 15
menit. Kemudian diberi gula sehingga diperoleh konsentrasi gula 62,5 % sebagai sukrosa
dalam produk akhir. Proses selanjutnya menggunakan penguap hampa pada suhu sampai
77C. Kemudian proses kristalisasi pada suhu 30C selama 3 jam. Bila proses kristalisasi
telah selesai, susu kental didinginkan, dimasukkan dalam drum-drum penyimpanan dalam
jumlah besar untuk diisikan ke dalam kaleng. Produk itu kemudian ditutup dan tidak
memerlukan proses pemanasan lagi.
II.4.6 Susu bubuk full cream
Susu yang berasal dari susu sapi segar yang masih terdapat lemak kemudian
dikeringkan, pada susu bubuk full cream nilai gizinya lebih tinggi daripada susu bubuk full
cream instant.
II.4.7 Susu bubuk full cream instant
Susu bubuk full cream instant mempunyai nilai gizi yang lebih rendah daripada susu
bubuk full cream.

II.5 Pengaruh Pengolahan terhadap gizi Susu
II.5.1 Protein
Secara umum fermentasi susu asam dapat meningkatkan nilai biologis protein susu.
Selanjutnya Purwadi (1995) mengatakan bahwa bakteri asam laktat mampu mendegradasi
protein dalam fermentasi susu sehingga menghasilkan aroma yang spesifik.
Kemampuan memecah molekul protein dalam bahan pangan terbatas hanya pada
beberapa spesies mikrobia yang dapat menghasilkan enzim proteolitik ekstraseluler. Akan
tetapi, jenis-jenis mikrobia tersebut tidak selalu merupakan mikrobia yang dominan pada
bahan pangan berprotein tinggi seperti daging dan ikan. Umumnya, spesies proteolitik ini
yang berperan, kemudian dikalahkan oleh spesies lain yang tumbuh pada produk yang telah
terdegradasi. Dengan demikian, tahap akhir kerusakan bahan pangan berprotein tinggi
menjadi cukup kompleks, karena sebagian spesies mikrobia akan menggunakan produk hasil
degradasi yang berbeda, misalnya berbagai macam asam amino yang dihasilkan (Supardi dan
Sukamto, 1999).
II.5.2 Lemak
Pemecahan lemak (lipolisis) telah diyakini merupakan reaksi kimia penting dalam
pengembangan cita rasa dalam pembuatan yogurt. Walaupun telah diketahui bahwa lipolisis
dianggap reaksi biokimia penting dalam pengembangan rasa, tidak banyak publikasi yang
menyangkut pemecahan lemak selama proses fermentasi. Lipolisis selama proses fermentasi
susu diduga berpengaruh terhadap citarasa produk akhir karena akan menghasilkan asam
lemak mudah terbang atau Volatile Fatty Acid (VFA). Menurut Simanjuntak dan Silalahi
(2003) yang termasuk golongan VFA antara lain asam kaproat, asam kaprilat dan asam
kaprat. Menurut Soeparno (1992) asam lemak tersebut termasuk golongan asam lemak
mudah larut, sehingga berperan penting dalam pembentukan cita rasa produk olahan susu.
Ressang dan Nasution (1989) menambahkan lemak yang terdiri fosfolipit dan sterol,
terdapat sekitar 3,7 persen dalam susu, dan dapat dipecah oleh bakteri menjadi asam lemak
yang mudah menguap. Ansori dkk. (1992) menyatakan bahwa susu dengan kandungan lemak
susu akan merangsang pertumbuhan bakteri dan pembentukan asam dibandingkan dengan
susu yang kandungan lemaknya rendah. Hal ini disebabkan karena susu dengan kandungan
lemak tinggi mengandung lebih banyak laktosa, protein dan mineral.
Buckle (1985) menambahkan bahwa kerusakan yang terjadi pada lemak susu
menyebabkan adanya flavor yang menyimpang dalam produk-produk susu. Daulay (1990)
berpendapat bahwa lemak pada susu berada sebagai suspensi encer dalam globula-globula
kecil. Tabbada (1982) menambahkan bahwa lemak susu merupakan komponen yang paling
penting pada susu. Lemak susu berbentuk butiran, tersebar di dalam susu sebagai emulsi
lemak dalam medium air.
Lemak didefinisikan sebagai komponen bahan pangan yang tidak larut dalam air,
tetapi larut dalam pelarut-pelarut organik (Dedi dkk., 1991). Menurut Hadiwiyoto (1994)
Lemak merupakan komponen susu yang penting, karena lemak dapat memberikan energi
yang lebih besar dari pada protein maupun karbohidrat. Menurut Rahman dkk. (1992) Kadar
lemak susu dalam yogurt berkisar 1,0 3,25 persen. Berdasarkan kandungan lemak dalam
yogurt, maka yogurt dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu yogurt yang mengandung
maksimum 3,25 persen lemak susu, yogurt dengan kadar lemak rendah bila mengandung
lemak susu 0,5 2,0 persen dan yogurt tanpa lemak bila mengandung lemak susu kurang dari
0,5 persen. Susu dengan kandungan lemak tinggi akan merangsang pertumbuhan bakteri dan
pembentukan asam dibandingkan dengan susu dengan kandungan lemaknya rendah. Hal ini
disebabkan susu dengan kandungan lemak tinggi mengandung lebih banyak laktosa, protein
dan mineral. Winarno (1993) menyatakan bahwa lemak susu khususnya trigliserida
mengandung asam lemak jenuh yang tinggi kadarnya serta rendah dalam konsentrasi asam
lemak tidak jenuh terutama linoleat dan linolenat.
Adanya lemak dalam bahan pangan memberi kesempatan bagi jasad renik lipolitik
untuk tumbuh secara dominan. Keadaan ini mengakibatkan kerusakan lemak oleh
mikroorganisme dan menghasilkan zat-zat yang disebut asam lemak bebas yang mempunyai
bau dan rasa yang tengik. Ketengikan pada susu pada umumnya disebabkan secara dominan
oleh Pseudomonas fragii dan P. Fluorensis dan khamir sejenis Candida lipolytica. Jenis-jenis
mikroorganisme ini merusak lemak susu dan membebaskan asam-asam mudah menguap
(volatil) seperti asam kaproat dan butirat. Candida lipolytica dapat tumbuh dipermukaan
mentega (Supardi dan Sukanto, 1999).
II.5.3 Derajat Keasaman (pH)
Susu segar mempunyai pH 6,6 6,7 dan bila terjadi fermentasi spontan akibat
aktivitas bakteri, pH susu dapat turun secara nyata sekitar 4 5. Sebaliknya pH susu dapat
naik diatas 6,7 bila sapi menderita penyakit mastitis (Hadiwiyoto, 1994).
Penyimpanan susu pada suhu yang lebih tinggi akan mempercepat penurunan pH susu
(Rahman dkk., 1992). Buckle dkk. (1985) menyatakan bahwa suhu adalah salah satu faktor
lingkungan terpenting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan organisme. Suhu
dapat mempengaruhi mikroorganisme dalam dua cara yang berlawanan apabila suhu naik,
kecepatan akan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat. Sebaliknya apabila suhu
turun, kecepatan metabolisme juga turun dan pertumbuhan juga terhambat. Dan apabila suhu
naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen sel menjadi tidak aktif dan
sel-sel dapat mati.
II.5.4 Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat sering ditemukan dalam fermentasi spontan dan memegang
peranan penting dalam produk fermentasi, karena kemampuannya memproduksi asam laktat,
yang menyebabkan turunnya pH sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
perusak. Buckle dkk. (1985) menambahkan bahwa laktosa mudah sekali di ragikan oleh
bakteri asam laktat yang mempunyai ciri khas susu fermentasi yang diasamkan. Asam-asam
organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat dan asam asetat dapat membantu pengaturan
aktivitas lambung dan merangsang gerakan peristaltik dan penyerapan zat-zat makanan.
Asam-asam organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat juga diketahui dapat
meningkatkan rasa lezat suatu produk pangan selain berperan dalam mempertahankan
makanan agar tidak cepat rusak.
Bakteri asam laktat berperan dalam menghasilkan beberapa produk makanan. Asam
laktat yang terbentuk selama proses fermentasi memiliki beberapa keuntungan fisiologis
seperti meningkatkan penggunaan kalsium, phospor dan zat besi, merangsang sekresi cairan
lambung, serta sebagai sumber energi dalam proses respirasi, disamping itu, dalam bentuk
tidak terdisosiasi mempunyai efek bakterostatik (kadang-kadang bakteriosidal) terhadap
mikroba yang paling sensitif yaitu mikroba spora dan koliform (Oberman, 1985).
II.5.5 Mikroorganisme Dalam Susu
Mikroorganisme yang ditemukan dalam susu sangat erat hubungannya dengan
penanganan susu. Mikroorganisme yang berada dalam susu berasal dari badan sapi, kandang,
alat-alat pemerah, proses pemerahan dan debu (Gillmour dan Rowe, 1990). Menurut
Soejoedono (1999) pada umumnya jumlah bakteri yang ada dalam susu dari sapi yang sehat
sangat sedikit yaitu kurang dari 50.000 cfu/ml. Apabila penanganan susu dilakukan dengan
baik setelah prises pemerahan, hal tersebut sudah dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
Kemungkinan pencemaran oleh bakteri terjadi pada waktu pengemasan,
pengangkutan dan penyimpanan ditoko atau rumah (Foley dan Buckley dalam Downey,
1977). Keberadaan bakteri Staphylococcus aureus dalam susu bisa berasal dari alat-alat yang
digunakan pada saat pengolahan dan pengemasan. Sifat bakteri S. aureus adalah gram positif,
koagulase positif dan fakultatif aneorob. Pada keberadaan aneorob S. aureus akan
menghasilkan asam laktat yaitu suatu produk fermentasi glukosa sedangkan pada keadaan
aerob menghasilkan asam asetat (Minor dan Marth, 1976). Asam yang dihasilkan pada
metabolisme bakteri ditunjukkan dengan terbentuknya zona kuning disekitar koloni pada
media vogel johnson agar(VJA), sedangkan tellurite akan direduksi menjadi metalik tellirium
menyebabkan koloni berwarna hitam (Oxoid Manual, 1982).


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Susu dapat diolah menjadi berbagai jenis, seperti , Susu Pasteurisasi, Susu Pasteurisasi HTST
homogenisasi, Susu UHT (steril komersial), Susu kental (steril komersial), Susu kental
manis, Susu bubuk full cream, Susu bubuk full cream instant. Masing masing memiliki
kelebihan dan kekurangan.Pengolahan yang tidak tepat dapat mengurangi gizi susu.







































DAFTAR PUSTAKA
Ali, Khansan. 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Anonim. 2007. Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi
dalamhttp://jurnalmahasiswa.blogspot.com/2007/09/efek-pengolahan-terhadap-zat-
gizi.html (6 April 2011).
Anonim.2008. Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan
dalamhttp://food4healthy.wordpress.com/2008/08/13/efek-pengolahan-terhadap-zat-gizi-
pangan/ (6 April 2011).
Anonymous. 2012. diakses dari http://aulia.allalla.com/1/2012/03/pengolahan-dan-
pengawetan-bahan-makanan-serta-permasalahannya/
Dewanti Tri. 2013. Pengaruh Pengolahan Terhadap Zat Gizi. THP-FTP-Universitas
Brawijaya Malang. diakses darihttp://tridewanti.lecture.ub.ac.id/files/2012/05/Pengaruh-
pengol.-thd-gizi.ppt1_.ppt
Downey, WK. 1977. Food Quality and Nutrition. 191-203: 493-499. Apllied Science
Publishing LTD. London.
Eirry, Sawitri. 2005. Macam-Macam Olahan Susu. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.

Hendrayana Taufik. 2010. Efek Pengolahan Terhadap Gizi Bahan Pangan. diakses
dari http://www.x3-prima.com/2010/02/efek-pengolahan-terhadap-gizi-bahan.html
Winarno, F.G.. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai