Anda di halaman 1dari 43

1

A. DEFINISI

Dana Alokasi Umum merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada
pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DAU bersifat Block Grant yang penggunaanya diserahkan kepada daerah sesuai
dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
DAU merupakan salah satu komponen pendapatan pada APBN, dan menjadi salah
satu komponen pendapatan pada APBD.
Dana Alokasi Umum terdiri dari :
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi
Dana Alokasi Khusus untuk Daerah Kabupaten / Kota
Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden.
Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan
ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung
menggunakan rumus / formulasi statistik yang kompleks, antar lain dengan variabel
jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada di setiap masing-masing wilayah /
daerah.

B. DASAR HUKUM

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
PPNo. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

C. PRINSIP DASAR ALOKASI DAU

Kecukupan (adequacy)

Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan. Sebagai suatu bentuk
penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada
daerah. Dalam hal ini, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya dengan beban
fungsi.
2

Sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis,
melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah
maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu
membiayai beban anggarannya. Bila alokasi DAU mampu berespon terhadap
kenaikkan beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi
prinsip kecukupan.
Netralitas dan efisiensi (neutrality and efficiency)
Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi
harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya
menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya
sistem alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input.
Untuk itu, sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial
alternatif relevan yang tersedia.
Akuntabilitas (accountability)
Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana
fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah. Karena peran daerah akan sangat dominan
dalam penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di
daerah bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang
perlu dibiayai DAU. Dalam format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan
adalah akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan
akuntabilitas finansial kepada pusat (financial accountability to the centre).
Implikasi finansial dari format akuntabilitas seperti ini adalah pada diperlukannya
format anggaran yang baru, yang memungkinkan rakyat di daerah dan DPRD bisa
secara transparan memonitor langsung implementasi program yang dibiayai oleh
DAU. Hal ini akan mengurangi kebutuhan akan proses pertanggung-jawaban
administratif yang panjang dan tidak efisien yang pada akhirnya akan membuka celah
bagi terjadinya penyelewengan keuangan.

Relevansi dengan tujuan (relevance)

Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi
sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Kami berpendapat sudah selayaknyalah alokasi
DAU ditujukan untuk membiayai sebagian dari: (1) beban fungsi yang dijalankan; (2)
hal-hal yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu
diingat bahwa kedua UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang
3

menjadi tujuan yang ingin dicapai lewat program desentralisasi. Pertama, stimulasi
ekonomi daerah. Kedua, peningkatan demokrasi. Ketiga, keadilan/pemerataan.
Keempat, kemampuan daerah dalam melayani masyarakat. Dengan demikian jelas
terlihat bahwa sistem alokasi DAU bukanlah semata-mata ditujukan untuk
pembiayaan pelayanan jasa publik. Sistem alokasi DAU bukan pula semata-mata
ditujukan untuk pencapaian keadilan/pemerataan. Namun, lebih luas dari itu. Beberapa
paragraf berikut definisi yang menjelaskan pandangan kami terhadap keempat tujuan
tersebut.
Secara teoritis dan empiris, DAU yang diterima daerah mampu menstimulasi ekonomi
daerah lewat tiga cara. Pertama, alokasi DAU mampu mengurangi dampak negatif dari
eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh daerah sekitarnya. Lewat alokasi DAU,
misalnya, kemampuan daerah Bekasi dalam membangun jalan akan dapat ditingkatkan
sehingga dampak negatif dari kemacetan lalu lintas di perbatasan Jakarta- Bekasi
dapat dikurangi. Bila ini terjadi maka DAU sebenarnya menyumbang pada penciptaan
efisiensi alokasi yang pada gilirannya akan membantu stimulasi ekonomi daerah.
Kedua, lewat alokasi DAU maka daerah-daerah yang kekurangan modal akan bisa
terbantu. Efek DAU dengan demikian adalah membantu menciptakan kombinasi input
produksi yang lebih optimal. Artinya, DAU menyumbang pada stimulasi ekonomi
daerah lewat efeknya terhadap perbaikan efisiensi produksi. Ketiga, alokasi DAU bisa
didesain sedemikian rupa dikaitkan dengan upaya peningkatan PAD dan Bagi Hasil
sehingga upaya penerimaan pajak, retribusi dan bagi hasil menjadi semakin
meningkat. Bila ini terjadi, DAU menyumbang pada mobilisasi sumberdaya keuangan.
Dalam konteks ini kami melihat tujuan stabilisasi dalam dua dimensi: politik dan
ekonomi. Secara teoritis dan empiris alokasi DAU dapat menyumbang pada
terciptanya stabilitas dalam hubungan fiskal antara pusat dan daerah. Dalam dimensi
politik, tujuan stabilitas desentralisasi bisa diciptakan bila DAU membantu kepada
pencapaian keseimbangan antara kewenangan dan sumber daya (resource and power),
baik dalam konteks antar daerah maupun dalam konteks antar tingkat
pemerintahan. Dalam tataran ekonomi, tujuan stabilisasi bisa dicapai apabila desain
teknis DAU dibuat sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat bisa tetap
mengendalikan pola pengeluaranfiskal daerah tanpa harus mengurangi diskresi daerah.
Alokasi DAU bisa dipakai sebagai insentif untuk meningkatkan demokratisasi. Disini
kami melihat aspek demokratisasi dalam pengertian kekuatan kelembagaan daerah
otonom yang demokratis. Dalam hal ini DAU bisa dipandang sebagai insentif fiskal
yang berfungsi sebagai stick and carrot bagi tercapainya tujuan desentralisasi.
4

Pemerintah pusat dalam hal ini bisa saja menentukan target kualitatif yang harus
dicapai daerah agar daerah secara cepat mampu mengelola fungsi yang diberikan
kepadanya. Pencapaian terhadap target bisa diberi insentif fiskal; dan kegagalan
mencapai target perlu diberi disinsentif fiskal. DAU, dalam hal ini dapat dipakai
sebagai insentif untuk mengakselerasi dan menguatkan program desentralisasi.

Keadilan (equity)

Pertanyaan terpenting yang berkaitan dengan isu pemerataan ini adalah: apa yang
ingin diratakan lewat instrumen DAU? Umumnya orang berpendapat DAU harus
bertujuan untuk meratakan pendapatan antar daerah (entah dalam pengertian nominal
ataupun dalam pengertian perkapita). Walaupun ini adalah tujuan yang menarik,
namun secara konseptual dan praktis tujuan tersebut bukanlah tujuan yang secara
langsung dapat dicapai oleh instrumen DAU. Menurut hemat kami, tujuan pemerataan
pendapatan antar daerah hanya baik untuk dipakai sebagai referensi ideal (atau, tujuan
pemerataan yang sifatnya primer) tapi bukan tujuan yang bisa dicapai secara
fungsional.
Mengapa? Karena bila transfer DAU ditujukan langsung untuk menyamakan
pendapatan perkapita, maka implikasinya adalah bahwa desain transfer DAU harus
mengacu pada perbedaan dalam tingkat pendapatan antar daerah. Maksudnya, daerah
yang berpendapatan tinggi harus diberikan sedikit dana sementara daerah yang
berpendapatan rendah harus diberikan dana yang lebih besar.3 Tapi bila ini yang
dilakukan maka itu berarti pemerintah pusat mem-penalti daerah yang berpendapatan
tinggi dan memberi insentif agar daerah tetap tertinggal. Struktur insentif seperti ini
memiliki dampak negatif terhadap stimulasi pembangunan daerah. Sehingga, alokasi
yang ditujukan langsung untuk memeratakan pendapatan perkapita akan berpotensi
mempenalti daerah-daerah yang telah berupaya keras untuk meningkatkan PAD-nya.
Dalam hal ini, pertanyaan yang sifatnya politis juga muncul: apakah pemerataan
pendapatan antar daerah lebih dipandang penting disaat kesenjangan intra daerah di
Indonesia masih begitu besar?
Oleh karena itulah kami menganggap pendekatan yang diambil oleh UU No. 25/1999
adalah pendekatan yang tepat, baik dilihat dari kacamata politis maupun dari sudut
pandang konseptual filosofis. Tujuan pemerataan yang dimaksud dalam UU ini adalah
memeratakan ketersediaan sumber dana antar pemerintah daerah. Dengan perkataan
lain, alokasi DAU seharusnya berupaya menciptakan kondisi dimana setiap
5

(pemerintah) daerah memiliki dasar pijakan yang sama (to be in the same equal
footing) tanpa perlu menciptakan variasi antar daerah yang besar dalam beban
perpajakan. Dibalik konsep ini adalah filsafat pemerataan dalam kesempatan (equality
in opportunity). Apakah pada akhirnya kesamaan dalam pijakan (equal footing) akan
menghasilkan kesamaan dalam pendapatan perkapita tentu tergantung pada banyak
faktor lainnya, seperti misalnya kinerja internal daerah bersangkutan. Kinerja internal
daerah lebih bersifat kapasitas organisasi dan itu sudah berada diluar sistem keuangan
pusat daerah. Dengan DAU, paling tidak basic endowment setiap pemerintah daerah
telah diupayakan untuk disamakan.
Berkaitan dengan konsep ini, ada dua elemen yang perlu dipertimbangkan. Pertama,
biaya penyediaan jasa layanan/biaya pembangunan infrastruktur bervariasi antar
daerah. Suatu daerah mungkin memerlukan sejumlah anggaran yang lebih besar untuk
membangun infrastruktur yang berkualitas sama atau untuk menyediakan jasa layanan
yang sifatnya standar. Hal ini bisa terjadi karena volume pelayanan yang harus
disediakan besar (misalnya jumlah penduduknya besar atau jumlah anak usia sekolah
besar), atau karena biaya konstruksi infrastruktur dan biaya transportasi lebih besar
karena faktor luas wilayah dan kondisi wilayah, atau karena densitas penduduk sangat
kecil (penduduk terpencar dalam wilayah luas). Kedua, sumberdaya keuangan
pemerintah daerah pun bervariasi antar daerah. Bila yang diinginkan adalah variasi
beban perpajakan yang tidak besar (lihat paragraf dalam Pendahuluan) , maka tarif
pajak dan retribusi harus kurang lebih sama. Bila itu harus terjadi maka suatu daerah
mungkin memperoleh PAD yang kecil karena jumlah perkantoran, pabrik, dan
aktivitas ekonomi masyarakat (atau dikenal dengan istilah basis pajak) didalam
wilayah tersebut relatif kecil. Dengan struktur revenue handles yang dimiliki saat ini
(lihat UU No. 18/1997 dan PP No.19/1997), dan dengan melihat secara kasar bahwa
tingkat tarif pajak dan retribusi antar daerah yang kurang lebih sama, maka perbedaan
dalam PAD di Indonesia, misalnya, lebih disebabkan karena perbedaan dalam basis
fiskal antar daerah.
Untuk mencapai tujuan pemerataan sebagaimana dimaksud dalam UU No.25/1999
maka alokasi DAU harus memasukkan kedua faktor ini dalam perhitungannya. Tanpa
perlakuan yang eksplisit terhadap kedua faktor ini maka keleluasaan (diskresi) yang
diberikan kepada daerah dalam penggunaan DAU akan kehilangan makna. Sebab, bila
suatu daerah memiliki tingkat kebutuhan yang besar sementara potensi ekonominya
kecil, daerah tersebut akan terpaksa menaikkan tarif pajak untuk mencapai standar jasa
layanan yang sama dengan daerah lainnya.
6

Kami melihat ada dua implikasi dari konsep ini. Pertama, bila alokasi DAU yang
dilakukan oleh pemerintah pusat telah membuat setiap pemerintah daerah memiliki
kesempatan yang sama, dan konvergensi dalam pendapatan perkapita tidak tercapai,
maka hal itu terjadi karena ada faktor-faktor lain diluar sistem alokasi DAU yang
sedang bekerja. Kedua, lewat alokasi DAU maka pemerintah pusat terlihat memiliki
komitmen kuat untuk menciptakan kesamaan dalam ketersediaan sumberdaya finansial
di tiap pemerintah daerah yang pada gilirannya memberikan kesempatan yang sama
bagi tiap daerah untuk memproduksi public capital. Ini berarti alokasi DAU telah
berupaya membantu kearah tercapainya keseimbangan pembangunan antar daerah.
Tapi memberikan kesempatan yang sama tidak harus berarti terciptanya hasilan
(outcome) yang sama. Hasilan yang sama, sekali lagi, ditentukan oleh begitu banyak
faktor diluar sistem alokasi DAU.

Objektivitas dan transparansi (objectivity dan transparancy)

Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk
meminimumkan kemungkinan manipulasi. Untuk itulah maka sistem alokasi DAU
harus dibuat sejelas mungkin dan formulanya pun dibuat setransparan mungkin.
Prinsip transparansi akan dapat dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh
khalayak umum.
Dalam kaitan itulah maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalahindikator
yang sifatnya obyektif sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen.

Kesederhanaan (simplicity)

Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh
terlampau kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu
sederhana sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan.
Rumusan sebaiknya tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah
variabel yang dipakai menjadi relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin
dialokasikan. Perlu diingat bahwa untuk tahun anggaran 2000/2001, dana yang akan
dialokasikan ke lebih dari 350 pemerintah daerah, hanya sebesar Rp 45 triliun. Dengan
perbandingan antara dana dan jumlah daerah yang hanya sedemikian, adalah lebih
bijaksana untuk tidak berusaha menggunakan variabel yang jumlahnya puluhan.

7

D. ALOKASI DAU

DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten / kota.
Besaran Dau ditetapkan sekurang kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri
(PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN.
Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten / kota ditetapkan sesuai
dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten / kota.

E. BEBERAPA ISU POKOK: PENGALAMAN YANG ADA, DAN SOLUSI
ALTERNATIF

Isu pokok
Mengacu pada prinsip-prinsip dasar diatas dan juga mengacu pada UU, ada empat isu
pokok penting yang perlu diklarifikasi berkaitan dengan perhitungan alokasi DAU
untuk tiap daerah. Pertama, pengertian dan pengukuran potensi ekonomi. Kedua,
pengertian dan pengukuran kebutuhan. Ketiga, bagaimana secara baik memasukkan
elemen insentif kedalam sistem alokasi. Keempat, masalah pembobotan variabel
penentu alokasi DAU.
Referensi utama yang kami pegang dalam membuat formula dan mekanisme adalah
UU No.25/1999, yang dalam hal ini telah memberikan dua kerangka penting. Pertama,
DAU harus dialokasikan kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Kedua, rumusan umum menjelaskan bahwa kabupaten (atau propinsi) akan
memperoleh uang sesuai dengan proporsi bobot kabupaten (atau propinsi) terhadap
keseluruhan kabupaten (atau propinsi). Sementara itu, yang dimaksud dengan proporsi
(sesuai dengan Bab 3 pasal 7 UU No. 25/1999) adalah bobot daerah yang dihitung
berdasarkan potensi ekonomi dan kebutuhan wilayah. Dalam penjelasan UU
No.25/1999 pengertian kebutuhan maupun potensi ekonomi juga sudah dijelaskan
lebih lanjut. Pengertian kebutuhan dijelaskan antara lain dengan faktor penduduk, luas
wilayah, keadaan geografis dan penduduk miskin. Sementara itu, pengertian potensi
dijelaskan dengan memberikan contoh, misalnya, potensi industri, potensi sumber
daya alam, potensi sumber daya manusia dan tingkat produk domestik regional bruto.
Namun demikian, UU belum secara jelas memberikan definisi konseptual dan
petunjuk operasional mengenai penggunaan faktor potensi ekonomi dan kebutuhan
wilayah. Menurut kami, ini bukanlah kelemahan dari UU karena secara normatif
memang tidak mudah mendefinisikan kedua kata tersebut.
8

Referensi lainnya adalah pengalaman historis dan internasional. Dalam melakukan
alokasi DAU, setiap negara menggunakan metode dan pemilihan formula alokasinya
masing-masing. Untuk membantu dalam menentukan formula alokasi bantuan yang
tepat bagi DAU, kami melakukan tinjauan atas beberapa model alokasi DAU yang
dipakai dibeberapa negara yang kami pandang relevansi ilustratif terhadap
permasalahan alokasi bantuan DAU di Indonesia.

Pengalaman historis: Indonesia

Sistem transfer di Indonesia yang dipakai saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun
45 tahun (dimulai tahun 1950an). Perkembangan selanjutnya dimulai pada tahun 1969
saat pemerintah (dengan mengambil bentuk hukum Inpres) memberikan alokasi yang
sifatnya umum kepada Daerah Tingkat II. Dalam perkembangannya, sistem alokasi di
Indonesia menjadi amat kompleks karena setiap jenis Inpres yang ada sebenarnya.
Dalam prakteknya, alokasi DAU yang murni belum pernah ada. Setiap alokasi fiskal
ke daerah, bahkan yang sifatnya umum sekalipun, mengandung berbagai macam
ketentuan. Yang menarik, ketiadaan prinsip dasar alokasi dan definisi alokasi
menyebabkan alokasi fiskal pemerintah pusat menghasilkan distorsi dan beban kepada
anggaran pemerintah daerah.
Berdasarkan riset selama ini, sistem alokasi di Indonesia lebih menekankan pada
upaya mengkompensasi perbedaan dalam kebutuhan (needs equalization) dan bukan
pada upaya mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity
equalization). Sehingga akibatnya efek grants selalu cenderung bersifat lemah. Dalam
konteks pemerataan, sistem alokasi Indonesia sifatnya mildly equalizing, dan dalam
konteks stimulasi ekonomi, sistem alokasi Indonesia kurang membantu pada
penciptaan efisiensi alokasi dan efisiensi produksi.

Pengalaman internasional: pelajaran yang dapat ditarik

Berdasarkan atas tinjauan terhadap empat model alokasi bantuan blok di empat negara
berbeda,
ada beberapa pelajaran penting yang dapat ditarik untuk kepentingan penyusunan model
alokasi
DAU di Indonesia.
9

Pertama, bantuan DAU harus memiliki tujuan yang jelas dan tercermin dalam formula
alokasinya. Karena sewaktu-waktu tujuan tersebut dapat berubah (karena alasan
ekonomi atau politik), maka dalam formula alokasi tersebut, harus terdapat faktor-
faktor yang dapat mencerminkan perubahan kondisi tersebut. Selain itu, sebagai
pengambil keputusan yang memihak kepada kepentingan nasional, sebaiknya
pemerintah pusat juga memiliki suatu kemampuan untuk mengintervensi dalam model
alokasi bantuan tersebut dalam batas-batas tertentu. Tentunya itu dilakukan secara
transparan. Hal ini mungkin dilakukan bila bobot dalam formula alokasi ini dapat
dirubah sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam masalah perubahan bobot ini,
pemerintah pusat (atau dewan atau sekretariat) juga harus mengkonsultasikannya
kepada DPR untuk menjelaskan tentang kepentingan nasional yang berubah. Dari
pengalaman di tiga negara, paling tidak terlihat variabel-variabel yang bobotnya dapat
dirubah sesuai dengan kepentingan nasional. Di Ethiopia, misalnya, bila pemerintah
bermaksud meningkatkan kualitas adminstrasi perpajakan, maka bobot untuk variabel
penerimaan daerah (SRB) dapat diperbesar.
Kedua, terdapat perbedaan mendasar antara estimasi kebutuhan anggaran dan
kapasitas fiskal. Dari pengalaman di tiga negara terlihat bahwa pada dasarnya estimasi
kebutuhan anggaran harus dapat mencerminkan paling tidak tiga hal: (1) kebutuhan
pokok yang menjadi standar daerah; (2) perilaku daerah atas setiap kebutuhan daerah;
(3) kebutuhan daerah yang sejalan dengan kebutuhan nasional. Oleh karenanya, dalam
menentukan besarnya kebutuhan, strategi yang terbaik adalah dengan menentukan
kebutuhan fiskal dasar bagi daerah. UU No.22/1999 telah menetapkan 11 fungsi yang
harus menjadi kewajiban dasar daerah. Karenanya, menentukan perilaku dari
pengeluaran daerah untuk ke 11 macam jenis kegiatan ini menjadi penting untuk
diketahui. Perilaku ini tidak perlu diestimasi secara individual atau per kategori
pengeluaran, tetapi dapat berupa agregasi dari semua kategori pengeluaran.
Untuk menentukan perilaku ini, maka dapat dipergunakan analisa regresi atas data-
data terakhir yang paling relevan. Koefisien hasil estimasi dari fungsi kebutuhan fiskal
tersebut mungkin tidak akan dipakai sepenuhnya dalam menentukan besarnya
kebutuhan fiskal daerah, tetapi sebaiknya dipergunakan sejauh memberikan arah bagi
kebutuhan fiskal daerah. Menentukan kebutuhan fiskal suatu daerah pada dasarnya
tidak dapat semata-mata berdasarkan keinginan daerah, tetapi juga menyangkut
kepentingan nasional dan antar daerah. Oleh karenanya, penentuan bobot variabel
sebaiknya terbuka bagi dimungkinannya mengakomodasi kebijakan-kebijakan
semacam ini. Di pihak lain, fiscal capacity mencerminkan apa yang betul-betul
10

menjadi kemampuan daerah. Oleh karenanya, untuk melakukan estimasi atas fiscal
capacity, dapat dipergunakan estimasi langsung yang berasal dari perilaku daerah.
Berdasarkan tinjauan literatur, ada dua alternatif cara yang sering dipergunakan dalam
estimasi fiscal capacity ini. Pertama, dengan menggunakan metode regresi, seperti
halnya Cina. Kedua, dengan melakukan perhitungan kapasitas pajak daerah secara
langsung dengan memperkirakan besarnya basis pajak dan menggunakan tarif pajak
efektif.
Ketiga, penekanan terhadap satu aspek (dan bukan kesemua aspek) bisa saja
dilakukan. Terlebih lagi, nampaknya sulit untuk sebuah model untuk menyelesaikan
beberapa masalah secara simultan. Kanada memilih suatu model yang ditujukan untuk
menyamakan fiscal capacity saja, tetapi tidak melakukan penekanan pada kebutuhan
daerah. Agaknya, ini disebabkan karena semua daerah dianggap telah memiliki suatu
standar kebutuhan yang sama, dan kebutuhan ini tidak terlalu bervariasi antar satu
daerah dengan daerah lain (dikarenakan oleh kondisi penduduk dan kebutuhannya
yang relatif homogen). Walaupun demikian, kemampuan pembiayaan dari setiap
daerah berbedabeda untuk dapat mencapai kebutuhan standar rata-rata antar daerah
tersebut. Oleh karenanya, untuk kasus Kanada, yang diutamakan adalah menyamakan
kemampuan fiskal suatu daerah sehingga mampu mencapai kebutuhan standar rata-
rata. Seperti ditunjukkan diatas, ini berbeda dengan kasus Cina dan Ethiopia (yang
lebih menitikberatkan pada elemen kebutuhan).
Keempat, bobot variabel merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam alokasi
bantuan DAU disamping jenis dan jumlah variabelnya itu sendiri. Sebagaimana telah
disampaikan di atas, peran bobot sangatlah penting, khususnya dalam penentuan
besarnya kebutuhan fiskal suatu daerah. Terdapat dua hal penting sehubungan dengan
isu bobot ini. Pertama, tanpa menambah jumlah variabel, maka perubahan bobot dapat
menghasilkan suatu distribusi alokasi bantuan yang sama dengan bila kita menambah
jumlah variabel. Kedua, peranan dan makna dari bobot variabel merupakan suatu hal
yang penting untuk diperdalam dalam rangka mencapai suatu alokasi yang adil. Oleh
karenanya, dalam penentuan suatu alokasi bantuan blok, apabila suatu variabel X
diberi bobot sebesar 0,3 sedangkan variabel Y diberi bobot 0,6, maka ini berarti bahwa
variabel Y adalah dua kali lebih penting daripada variabel X dalam menentukan
alokasi bantuan blok. Untuk itu perlu diberikan suatu alasan mengapa kebijakan
tersebut ditempuh.
Kelima, perlu berhati-hati dalam menggunakan data untuk variabel tax effort dalam
estimasi kebutuhan dan kapasitas fiskal. Di satu sisi penggunaan variabel tax effort
11

dapat mendorong peningkatan penerimaan daerah, tetapi di sisi lain dapat
menimbulkan disinsentif bagi perbaikan administrasi penerimaan daerah. Sebagai
contoh, dalam model alokasi DAU di Ethiopia digunakan data penerimaan daerah
aktual dalam estimasi sisi kebutuhan fiskal (gross transfer). Apabila penerimaan
daerah meningkat, maka alokasi DAU kepada daerah bersangkutan akan ikut
meningkat, karena asumsinya kenaikan penerimaan daerah itu sebagai akibat
perbaikan kinerja aparat dan administrasi penerimaan daerah. Tetapi dalam
menentukan transfer bersih (net transfer) ke daerah (yaitu transfer setelah
memperhitungkan kemampuan fiskal daerah), maka besarnya gross transfer itu
kemudian dikurangi dengan besarnya penerimaan daerah. Sebagai akibatnya, suatu
daerah yang memiliki penerimaan daerah yang besar, akan dirugikan (lihat
penggunaan estimasi rencana anggaran diatas). Ini berarti, penggunaan data
penerimaan daerah aktual memberikan sistem insentif dan sekaligus disinsentif.
Sebagai akibatnya, tujuan untuk melakukan insentif perbaikan administrasi perpajakan
(penerimaan) daerah menjadi tidak tercapai.

Pengertian dan pengukuran potensi ekonomi (kapasitas fiskal)

Ada tiga pertanyaan penting untuk diklarifikasi berkaitan dengan aspek potensi
ekonomi. Pertama, bagaimana caranya mengukur potensi ekonomi? Kedua, bagaimana
caranya membandingkan potensi ekonomi antar daerah? Ketiga, dengan cara apa
teknik perbandingan yang dimaksud diatas bisa dioperasionalisasikan sebagai basis
pengalokasian DAU?
Kami berpendapat bahwa kata potensi ekonomi sebaiknya didefinisikan sebagai
potensi penerimaan daerah yang berasal dari sumber-sumber keuangan yang berada
dalam jurisdiksi pemerintah daerah. Bila sumber-sumber keuangan tersebut kita sebut
dengan istilah revenue handles, maka potensi ekonomi bisa kita redefinisikan
sebagai potensi keuangan pemerintah daerah yang berasal dari revenue handles yang
tersedia. UU No.18/1997 (tentang PDRD) dan UU No.25/1999 (tentang PKPD
khususnya yang berkaitan dengan formulasi bagi hasil) menjelaskan bahwa revenue
handles setiap daerah pada dasarnya adalah sama. Dengan mengacu pada informasi
umum bahwa tarif pajak dan retribusi antar daerah kurang lebih sama, maka perbedaan
dalam potensi keuangan pemerintah daerah sebenarnya bisa dijelaskan lewat
perbedaan dalam basis fiskalnya. Lewat definisi inilah kami berusaha
mengembangkan pendekatan intuitif dalam mengukur potensi ekonomi.
12

Estimasi kapasitas penerimaan disemua kabupaten di Indonesia dilakukan dengan
analisa regresi yang menggunakan data dari semua kabupaten di Indonesia secara
crosssection. Untuk mempermudah estimasi dan analisa, maka penerimaan kabupaten
dipecah menjadi tiga kelompok besar: pajak, retribusi, dan bagi hasil pajak.
Pajak dan retribusi akan diestimasi dengan behavioral equations yang menggunakan
data-data ekonomi tahun 1996. Untuk bagi hasil, mengingat adanya skema baru
berdasarkan UU No.25/1999, akan dilakukan simulasi untuk mengestimasi berapa
besar bagi hasil yang akan diterima suatu kabupaten dengan mempertimbangkan
sumber daya alam yang dimiliki kabupaten itu sendiri. Total penerimaan daerah
dengan demikian adalah penjumlahan dari pajak, retribusi, dan bagi hasil pajak. Total
inilah yang merepresentasikan angka kapasitas fiskal daerah.

Pajak
Estimasi terhadap faktor-faktor yang menerangkan variasi dalam penerimaan pajak
pada tingkat kabupaten dilakukan dengan melakukan analisa regresi terhadap total
pajak per kabupaten tahun 1996 dan faktor-faktor yang dianggap berhubungan
langsung maupun tidak langsung dengan basis pajaknya. Beberapa kandidat variabel
bebas yang perlu dipertimbangkan adalah PDRB kabupaten, aktivitas sektoral
(misalnya, pertanian, pertambangan, industri, jasa), jumlah rumah tangga menurut
sektor perekonomian, banyaknya fasilitas penunjang kegiatan ekonomi (misalnya
jumlah bank, sekolah, fasilitas kesehatan, infrastruktur lainnya). Variabel bebas yang
dipilih adalah variabel yang memenuhi syarat secara statistik dalam uji signifikansinya
dengan variabel terikat. Untuk menjaga keakuratan dari proses estimasi maka
beberapa kabupaten/kota yang dianggap outlier akan dihilangkan dari observasi.

Persamaan regresi yang diperoleh, selain akan menghasilkan perkiraan terhadap
potensi pajak di tingkat kabupaten, juga akan bermanfaat untuk membentuk indeks tax
effort. Indeks tersebut dibentuk dengan memanfaatkan analisa error (error analysis)
yang angkanya (lewat fungsi regresi) bisa didapatkan untuk setiap observasi. Apabila
nilai aktual penerimaan pajak suatu kabupaten lebih besar dari hasil estimasinya (atau
nilai error-nya positif), maka kabupaten/kota tersebut dianggap sudah mendekati
potensi penerimaan pajaknya. Kabupaten-kabupaten yang mempunyai nilai error
positif tersebut lalu dikelompokkan untuk kemudian dihitung angka rata-rata error-
nya. Berdasarkan rata-rata error tersebut, dibuatlah dua pengelompokan daerah: (1)
kelompok di atas rata-rata dan; (2) kelompok di bawah rata-rata. Kelompok kabupaten
13

dengan error di atas rata-rata tersebut dianggap sebagai kabupaten yang memiliki tax
effort tinggi dan mendapat indeks 100. Kelompok kabupaten dengan error di bawah
rata-rata dan kelompok kabupaten dengan error negatif akan mendapatkan indeks
lebih rendah sesuai perbedaan antara error kabupaten tersebut dengan rata-rata error
positif.

Untuk mendapatkan besarnya potensi penerimaan pajak setiap kabupaten
digunakanlah rumus sebagai berikut:
Potensi Penerimaan Pajak = Estimasi Penerimaan Pajak (dari hasil regresi) +
Koefisien Keyakinan * Standard Error dari Penerimaan Pajak.
Dimana, potensi penerimaan pajak tersebut akan menjadi bagian dari kapasitas
penerimaan kabupaten/kota.

Retribusi
Estimasi terhadap faktor-faktor yang menentukan variasi antar daerah dalam
penerimaan retribusi dilakukan dengan melakukan analisa regresi terhadap total
retribusi per kabupaten tahun 1996 dan beberapa data ekonomi pada tahun yang sama
yang diperkirakan berhubungan langsung atau tidak langsung dengan total retribusi
tersebut. Beberapa kandidat variabel bebas yang diperkirakan akan mempengaruhi
total retribusi kabupaten adalah pola konsumsi masyarakat, PDRB sektoral, jumlah
fasilitas komersial. Sama halnya dengan pajak, variabel bebas yang akan dipilih adalah
yang memenuhi signifikansi secara statistik.

Setelah didapatkan variabel-variabel bebas yang representatif, maka kemudian
dihitunglah potensi estimasi retribusi suatu kabupaten. Caranya sama dengan
perhitungan potensi penerimaan pajak: yaitu estimasi retribusi ditambah dengan hasil
perkalian antara 1.96 dengan standard error retribusi (lihat paragraf diatas). Revenue
effort index juga dapat dihitung dengan cara yang sama dengan diatas.

Bagi Hasil
Karena adanya ketentuan baru dalam UU No.25/1999 mengenai bagi hasil sumber
daya alam, maka estimasi komponen ini tidak dapat dilakukan dengan analisa regresi.
Yang dapat dilakukan adalah dengan mengestimasi kemungkinan penerimaan bagi
hasil per kabupaten dengan mempertimbangkan produksi sumber daya alam didaerah
yang bersangkutan.
14


Setelah perkiraan penerimaan dari bagi hasil diperoleh maka potensi ekonomi atau
kapasitas penerimaan suatu kabupaten bisa kita peroleh. Yaitu penjumlahan dari
potensi penerimaan pajak, potensi penerimaan retribusi, dan potensi penerimaan bagi
hasil.


Pengertian dan pengukuran kebutuhan anggaran
Sangat sulit untuk mendefinisikan perkataan standar kebutuhan yang harus
dicukupi. Kesulitan itu muncul karena di Indonesia konsepsi normatif mengenai
tingkat kebutuhan rakyat yang menjadi tanggung-jawab pemerintah belum eksplisit
dan masih jauh dari operasional. Bahkan seandainyapun perkataan tersebut bisa
didefinisikan, masih akan terdapat kesulitan dalam mengukurnya secara obyektif dan
dengan presisi yang baik. Masalah ini menjadi lebih pelik karena kita tidak
mengetahui secara persis besarnya variasi antar daerah dalam biaya penyediaan jasa
layanan atau biaya konstruksi infrastruktur sosial-ekonomi.6 Pada tataran yang lebih
konseptual, terdapat kesulitan dalam menjawab pertanyaan: standar siapa yang
seharusnya dijadikan sebagai acuan kebutuhan standar?
Ketidak-mungkinan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas membuat
tidak mungkin buat kita untuk mengukur (paling tidak untuk saat ini) standard
spending needs. Artinya, mengukur tingkat kebutuhan dalam nilai absolut tidaklah
dimungkinkan. Kami melihat, solusi terhadap problem ini adalah dengan cara
menggeser perspektif pandang: dari upaya mengukur kebutuhan secara absolut
menjadi menilai secara relatif faktor-faktor yang menerangkan perbedaan kebutuhan
antar daerah.
Ketimbang mengukur kebutuhan pengeluaran yang sifatnya absolut, kami
mendekatinya dengan mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perbedaan antar daerah dalam tingkat pengeluaran (yang relevan). Dalam
konteks UU No.22/1999, yang dimaksud dengan kata pengeluaran yang relevan
adalah pengeluaran daerah yang berkaitan dengan 11 fungsi yang diserahkan lewat
UU.
Pendekatan intuitif yang kami tawarkan, dengan demikian, adalah dengan
mengobservasi pola historis dari pengeluaran pemerintah daerah dan berupaya
mengidentifikasi variabel-variabel penting yang dianggap menerangkan perbedaan
antar daerah tersebut. Namun perlu diingat bahwa validitas pendekatan ini didasarkan
15

pada asumsi bahwa daerah menentukan sendiri prioritas pengeluaran didalam
anggarannya dan mekanisme akuntabilitas dan pilihan publik (public choice) berlaku.
Dengan perkataan lain, pendekatan ini menghendaki diberikannya kepada daerah
diskresi dalam mendesain anggarannya. Bila asumsi ini tidak dipenuhi (atau
keleluasaan dikurangi karena pemerintah pusat memberikan petunjuk penggunaan)
maka pendekatan ini tidak boleh dipakai karena validitas penggunaan data historis
dalam menerangkan perbedaan dalam biaya antar daerah sangat bergantung pada
asumsi ini.
Dalam proses pengukurannya, kami melihat bahwa variasi dalam biaya dapat
ditangkap lewat variasi antar daerah dalam besarnya total anggaran. Dari pengalaman
praktis kita ketahui bahwa besarnya anggaran dan tingkatan pelayanan kerap
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (baik ekonomi maupun non-ekonomis) serta
juga bermacam bentuk tekanan dan negosiasi. Sehingga sangat sulit untuk memilah
komponen pengeluaran anggaran yang mencerminkan kebutuhan pencapaian standar
dengan komponen pengeluaran yang sifatnya diskresioner. Untuk sementara waktu,
nampaknya tidak ada alternatif yang lebih baik dibanding penggunaan data historis.
Sebagai variabel terikat, yaitu pola antar daerah dalam kebutuhan anggaran, diwakili
oleh total pengeluaran untuk 11 urusan yang diserahkan. Sama halnya dengan model
estimasi untuk potensi ekonomi, dan mengingat ketersediaan data, maka observasi
yang dilakukan adalah untuk tahun 1996. Kandidat variabel bebas yang perlu diuji
signifikansinya adalah: jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi geografis, pendapatan
dan distribusi pendapatan masyarakat (termasuk jumlah orang miskin), dan indeks
konstruksi infrastruktur publik (lihat penjelasan pasal 7 ayat 8a, UU No.25/1999).
Selain itu untuk lebih menggambarkan karakteristik suatu daerah, dibuat suatu
variabel boneka yang menggambarkan perbedaan daerah pedesaan (kabupaten)
dengan daerah perkotaan. Kesemua variabel bebas ini diambil bukan hanya
berdasarkan apa yang tertulis dalam UU tapi juga variabel yang secara objektif sering
dipakai untuk merepresentasikan kebutuhan pembangunan.

Pengertian dan pemberian insentif

Pada prinsipnya, alokasi fiskal dapat digunakan sebagai alat pemberian insentif untuk
dicapainya suatu kebijakan. Dalam teori keuangan negara, sistem alokasi DAU kerap
dipakai sebagai mekanisme dimana pemerintah pusat bisa mempengaruhi
pemerintah daerah untuk membantu tercapainya tujuan nasional. Ada dua pengertian
16

insentif dalam hal ini. Pertama, insentif dalam pengertian ekonomis, pemberian
insentif yaitu menstimulir peningkatan PAD atau untuk mempengaruhi tingkat dan
pola pengeluaran pemerintah daerah. Kedua, insentif dalam pengertian kebijakan,
yaitu agar kebijakan tertentu dapat dicapai.
Dalam perspektif ekonomis, sistem alokasi DAU diberbagai negara kerap dikaitkan
dengan upaya peningkatan pendapatan PAD. Hal ini dimasukkan sebagai salah satu
elemen dalam formula untuk meng-offset tendensi dimana pemerintah daerah menjadi
pasif dan bergantung pada alokasi daerah. Sikap pasif dan ketergantungan itu
kerap muncul karena alokasi DAU (dalam definisinya) memang diberikan agar
pemerintah daerah tidak perlu terlalu bersusah payah untuk membiayai beban
anggarannya. Alokasi DAU-pun kerap dikaitkan dengan upaya mempengaruhi tingkat
dan pola pengeluaran daerah untuk tujuan makroekonomi. Secara teoritis dan praktis,
tujuan ekonomi tersebut dapat dicapai dengan menggunakan instrumen matching
grants. Di berbagai negara ada berbagai macam pengaturan longgar dalam beberapa
sub-komponen DAU yang bertujuan untuk membuat beberapa sub-komponen tersebut
menjadi bersifat close-ended grants. Instrumen seperti ini (sebagaimana telah terjadi
pada sebagian besar komponen SDO non-pegawai) sangat efektif dalam
mempengaruhi pola pengeluaran daerah untuk beberapa sektor tertentu.
Dalam perspektif kebijakan, komponen lump-sum dalam DAU-pun bisa diatur
sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat matching grants. Secara teoritis,
pemerintah pusat bisa memodifikasi komponen lump-sum sedemikian rupa sehingga
komponen lump-sum tersebut dipakai berfungsi sebagai insentif ataupun penalti
terhadap pencapaian target demokratisasi.

Masalah jumlah total DAU
Pada saat ini tidak diketahui persis, apakah porsi DAU dalam APBN (yaitu minimum
25% dari total penerimaan domestik) dapat dianggap cukup untuk membiayai
fungsifungsi yang diberikan kepada daerah. Yang pasti, jumlah total DAU yang ada
sekarang sesungguhnya merupakan produk negosiasi antara pemerintah (dalam hal
ini Menteri Keuangan) dengan DPR. Artinya, angka total tersebut merupakan
kompromi politik ketimbang hasil perhitungan obyektif terhadap kebutuhan yang
mungkin muncul. Dari jumlah total itu, sebanyak 10% dialokasikan untuk pemerintah
propinsi, dan 90% sisanya dialokasikan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Kalau kita lihat angka statistik APBN dalam kurun 14 tahun terakhir, kita akan
memperoleh gambaran bahwa uang sejumlah 25% dari total penerimaan domestik
17

masih lebih besar dibanding total penjumlahan INPRES dan SDO. Namun, karena
luas cakupan dan kedalaman dari (kesebelas) fungsi-fungsi yang dijalankan belum
diketahui maka sulit untuk mengatakan bahwa jumlah total DAU yang sebesar 25%
dari total penerimaan domestik ini telah/belum memadai. Ini adalah wilayah kebijakan
yang perlu mendapatkan perhatian seksama.
Pertanyaan lain yang relevan dengan isu ini adalah berkaitan dengan kemungkinan
terjadinya pemekaran dan penciutan wilayah. Penciutan wilayah akan menyebabkan
jumlah total untuk DAU bisa menjadi terlalu besar, sementara pemekaran wilayah
akan menambah secara drastis jumlah total dana DAU - karena beban fungsi dasar
yang harus disediakan. Dalam kasus terakhir, angka total 25% terhadap total
penerimaan domestik menjadi tidak terlalu memadai.

Masalah tambahan alokasi untuk daerah

Bila sebagai konsekuensi pemberian insentif dibutuhkan tambahan alokasi, bagaimana hal
tersebut diakomodasi dalam sistem alokasi dan formula DAU? Juga, bagaimana peran DAK
dalam hal ini? Kami belum berhasil memperoleh kesepakatan pilihan perspektif yang
sebaiknya dipakai untuk menjawab hal ini. Departemen Keuangan berada dalam posisi yang
lebih baik untuk menjawab pertanyaan ini. Penyesuaian terhadap inflasi

Hal ini kerap muncul ke permukaan dalam berbagai diskusi karena perbedaan dalam angka
inflasi antar daerah. Menurut kami, pengaruh inflasi dalam total alokasi DAU sebenarnya
telah tertangkap dalam APBN yang merupakan sumber dari alokasi DAU ini. Sehingga
tidak perlu diberikan tambahan untuk mengakomodasi faktor inflasi di daerah. 100. Juga,
karena faktor penyebab inflasi kerap berasal dari fenomena moneter, dan efisiensi internal
daerah yang sifat berada dalam kontrol pemerintah, maka penyesuaian jumlah alokasi kepada
suatu daerah sebagai respon terhadap inflasi akan memiliki efek ekonomi yang tidak sehat
dimana pemerintah memberikan insentif untuk ketidak-beresan dalam pengelolaan ekonomi
suatu daerah.

Aspek stabilitas dan kepastian
Adalah penting untuk menjaga stabilitas dan kepastian dalam distribusi DAU. Ada tiga isu
penting dalam aspek ini. Pertama, pemakaian formula dan perubahan basis data
memungkinkan terjadinya fluktuasi dalam alokasi yang diterima oleh daerah. Prinsip dan
teknik apa yang harus dipakai untuk menghindari fluktuasi tahunan yang besar dalam dana
18

yang diterima oleh daerah? Kedua, dengan rencana perubahan dalam periodisisasi tahun
anggaran, kapan perhitungan alokasi DAU harus dimulai dan bagaimana kaitannya dengan
perencanaan anggaran di daerah? Ketiga, sebagai akibat dari kompleksitas yang muncul dari
pemakaian formula, kami melihat potensi kerumitan dalam melakukan perhitungan tiap tahun.
Apakah keuntungan dan kerugian dari usulan untuk menetapkan alokasi untuk dua tahun
berturut-turut ketimbang menghitung kebutuhan alokasi setiap tahunnya?

Jawaban terhadap kesemua pertanyaan ini sifatnya administratif dan sangat bergantung pada
konsep akhir tentang pengaturan baru terhadap otoritas fiskal yang saat ini sedang digodok.
Departemen Keuangan, dalam hal ini, berada dalam posisi yang lebih baik dalam menjawab
ketiga pertanyaan ini. Masalah perbedaan desa-kota.

Masalah perbedaan kota dan desa kerap diangkat dalam diskusi di-berbagai forum akademis
dan politis. Apakah memang perlu dilakukan perbedaan dalam formula alokasi untuk desa dan
kota? Ataukah alokasi desa dan kota disatukan saja dalam satu rumus yang memasukkan
faktor tertentu yang menerangkan perbedaan beban sebagai konsekuensi perbedaan dalam
karakter daerah?

Kami berpendapat, dalam tahap ini, tidak perlu untuk melakukan diferensiasi antara desa dan
kota. Terlebih penting lagi, perbedaan karakter wilayah tersebut secara langsung telah
ditangkap lewat berbagai variabel yang mewakili potensi ekonomi dan kebutuhan. Dengan
perkataan lain, kami berpendapat adalah lebih baik untuk tetap berpegang pada dan tidak
bergeser dari prinsip-prinsip dasar alokasi DAU yang telah disebutkan diatas.

Perlakuan terhadap daerah khusus dan daerah istimewa
Dengan perkembangan politik yang terjadi saat ini dan besarnya tekanan untuk
mengembalikan karakter istimewa dan khusus di beberapa daerah, bagaimana seharusnya
perlakukan terhadap daerah khusus dan istimewa? Hal ini kami sampaikan karena telah
muncul berbagai pertanyaan mengenai implikasi finansial dari kekhususan wilayah. DKI
Jakarta adalah daerah dengan tingkat kompleksitas sosial, ekonomi dan politik, misalnya,
dianggap berbeda dengan kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Pengalaman di berbagai
negara juga menunjukkan bahwa ke-unikan daerah nodal kerap dijadikan alat tawar-menawar
politik untuk mendapatkan alokasi lebih besar. London di Inggris, dan New York serta
Chicago di Amerika Serikat adalah contohnya.

19

Dalam pandangan kami, perlakuan terhadap daerah khusus dan istimewa sejauh mungkin juga
didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah kami sampaikan diatas. Bilamana dianggap perlu,
maka kekhususan itu bisa dikompensasi lewat mekanisme DAK. Mengingat tingkat
keragaman Indonesia yang amat kompleks, dan belum adanya konsep politis yang operasional
mengenai standar kebutuhan yang menjadi tanggungjawab negara, maka adalah aman secara
politis untuk tidak berupaya melakukan pengecualian-pengecualian yang tidak produktif dan
tidak efisien. Langkah inipun dilakukan di Inggris dalam kaitannya dengan fenomena London.

Masalah keterkaitan antara DAU dengan pinjaman daerah
Bagian empat (pasal 11 sampai 15) UU No.25/1999 mengatur masalah pinjaman. Pasal 12
(ayat 2), dan pasal 14, khususnya, menghendaki agar dibuat pengaturan yang lebih jelas
berkaitan dengan hubungan antara DAU dan pinjaman. Ada beberapa pertanyaan penting
yang perlu mendapatkan klarifikasi dalam PP. Pertama, apakah (semua) dana DAU yang
diterima oleh suatu daerah boleh dimasukkan sebagai elemen perhitungan kemampuan
daerah bersangkutan untuk meminjam (capacity to borrow)? Kedua, apakah dana DAU yang
diterima dapat dipakai untuk membayar kewajiban (cicilan dan pokok) pinjaman? Ketiga,
apakah pinjaman yang dimaksud mencakup semua jenis penjaman ataukah hanya pinjaman
jangka panjang yang berkaitan langsung dengan fungsi yang dijalankan daerah? Keempat,
bila DAU dihitung sebagai elemen capacity to borrow dan untuk membayar kewajiban
pinjaman, apa yang terjadi dengan alokasi DAU yang diterima suatu daerah bila daerah
bersangkutan gagal membayar (defaulting)?

Untuk pertanyaan pertama dan kedua, kami berpendapat bahwa sebaiknya hanya 20% dari
total dana DAU yang diterima suatu daerah yang dapat dipakai sebagai elemen dalam
penghitungan capacity to borrow suatu daerah. Dengan mengasumsikan perbandingan dana
pinjaman dan dana pendamping adalah 1:1, maka kami menganggap jumlah pinjaman yang
dapat ditarik sudah cukup besar, dan pinjaman dapat dilakukan tanpa mengorbankan stabilitas
neraca pembayaran nasional. Hanya porsi 20% inilah yang juga boleh dipakai oleh daerah
sebagai dana pendamping pinjaman dan untuk membantu membayar sebagian dari kewajiban
pinjaman. Disini kami ingin membuat catatan penting: ketentuan ini sebaiknya tidak
dioperasionalisasi sekarang, melainkan dalam lima tahun mendatang mengingat seriusnya
masalah hutang yang dihadapi Indonesia saat ini.

Untuk pertanyaan ketiga, kami berpendapat bahwa pinjaman yang dibantu jaminkan oleh
dana DAU sebaiknya hanya meliputi pinjaman jangka panjang dan terkait erat dengan fungsi
20

yang dijalankan oleh daerah. Terlebih penting lagi, infrastruktur yang dibantung tersebut
harus memenuhi prinsip self-liquidating, dimana penerimaan retribusi dari infrastruktur
tersebut paling tidak harus bisa mengembalikan biaya pokok pembangunannya (atau retribusi
at cost).

Untuk pertanyaan keempat, kami berpendapat bahwa pemerintah pusat memiliki kewajiban
untuk membantu daerah yang kesulitan. Untuk itu, pemerintah bisa memberikan pinjaman
baru (fresh loan) kepada daerah untuk dapat membayar kewajibannya, dan
memperhitungkannya dalam bentuk penalti kepada daerah sebagai akibat pengelolaan
keuangan yang kurang baik. Mekanisme penalti tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan
mengurangi total alokasi dana DAU yang seharusnya diberikan kepada daerah bersangkutan
dalam tahun anggaran berikutnya. Besarnya penalti/potongan adalah sejumlah pinjaman yang
dilakukan daerah untuk kepentingan tersebut (yaitu yang dilakukannya tahun anggaran lalu)
plus sejumlah disinsentif yang proporsional dengan bobot (yang kami sebut sebagai) tax
effort disincentive. Bobot penalti ini sebaiknya berkisar antara 2-5% dari total pinjaman
dimaksud.

F. TAHAP PERHITUNGAN DAU

Tahap Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh
Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan
perhitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristikdata yang akan
digunakan.

Tahap Administratif
Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DPJK melakukan koordinasi dengan instansi terkait
untuk penyiapan data dasar perhitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolodasi
dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yand akan
digunakan.

Tahap Teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi perhitungan DAU yang akan dikonsultasikan
Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana
21

diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil
rekomendasi pihak akademis.

Tahapan Politis
Merupakan tahap akhir, pembahasan perhitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah
dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan
mendapatkan persetujuan hasil perhitungan DAU.

G. FORMULASI DAU
1. Formula DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara
kebutuhan fiskal (fiscal need) dikurangi dengan kapsitas fiskal (fiscak capasity) daerah
dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.
Rumus formula DAU

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)

Dimana :
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal

2. Variabel DAU
Kompenen variabel kebutuhan fiskal (fiscal need) yang digunakan untuk
pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari : jumlah penduduk, luas
wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi
(IKK), dan Produk Domestik Bruto (PDRB) per kapita.
Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capasity) yang merupakan sumber
pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Bagi Hasil (DBH).

3. Metode Perhitungan DAU
Alokasi Dasar
Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan tunjangan
yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.
22

Celah Fiskal (CF)
Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan
mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total CF
nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatau daerah dihitung
berdasarkan selisih antara KbF, sebagai berikut.

Kebutuhan Fiskal (KbF)

KbF = TBR (
1
IP +
2
IW +
3
IPM +
4
IKK +
5
IPDRB /kap)

Dimana :
TBR = Total Belanja Rata-rata APB
IP = Indeks Jumlah Penduduk
IW = Indeks Luas Wilayah
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi
IPDRB/kap = Indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita
= Bobot Indeks

Kapasitas Fiskal (KpF)

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

Dimana :
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak
DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam







4. FORMULA DAU
23





H. METODE PEMBAGIAN DANA ALOKASI UMUM
Skenario alokasi
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang sudah dijelaskan di atas, maka
jumlah DAU yang diterima suatu kabupaten/kota terdiri dari tiga komponen yaitu
komponen lump-sum, komponen kebutuhan daerah, dan komponen kompensasi untuk
perbedaan dalam potensi ekonomi daerah. Besarnya bobot masing-masing unsur akan
sangat bergantung pada unsur mana yang akan mendapatkan penekanan lebih besar
dibanding lainnya. Kami mengusulkan tiga skenario alokasi:
24

Skenario pertama adalah skenario bobot sama. Artinya, tidak ada preferensi tekanan
dalam kebijakan. Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 30%;
komponen kebutuhan (needs) mendapat bobot 35% dan komponen potensi ekonomi
(revenue capacity) mendapat 35%.
Skenario kedua adalah dimana pemerintah menekankan pada pentingnya
mengkompensasi perbedaan dalam needs. Artinya, pemerintah lebih memandang
penting aspek needs equalization ketimbang aspek revenue capacity equalization.
Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 20%; komponen needs
mendapat bobot 50% dan komponen potensi ekonomi mendapat 30%.
Skenario ketiga adalah dimana pemerintah menekankan pada pentingnya
mengkompensasi perbedaan dalam potensi ekonomi (revenue capacity). Artinya,
berbeda dengan praktek tiga puluh tahun terakhir, pemerintah sekarang lebih
memandang penting aspek revenue capacity equalization ketimbang aspek needs
equalization. Dalam skenario ini, komponen lump-sum mendapat bobot 20%;
komponen needs mendapat bobot 30% dan komponen potensi ekonomi mendapat
50%.



















25

I. HUBUNGAN DESENTRALISASI FISKAL DAN DANA ALOKASI UMUM

Desentralisasi fiskal, yang merupakan penyerahan kewenangan di bidang keuangan
antar level pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan
sejumlah besar dana dan/atau sumber-sumber daya ekonomi kepada daerah untuk dikelola
menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Bagi daerah, desentralisasi fiskal
berfungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan
pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat
pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Pada intinya, desentralisasi fiskal
berupaya memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan
kewenangan dan sumber-sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan
publik dengan standar yang telah ditentukan.

Tetapi pola desentralisasi fiskal yang hingga sekarang diterapkan di Indonesia masih
terfokus pada otonomi pembiayaan, bukan pada otonomi pendapatan. Sekalipun daerah
memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri tetapi ada
pengecualian terhadap ekplorasi SDA. Oleh karena itu, pola transfer keuangan dari pusat ke
daerah masih menjadi elemen penting untuk menunjang kapasitas keuangan daerah.

DAU sebagai salah satu elemen desentralisasi fiskal menjadi elemen penting bagi
pemerintah daerah untuk menutup pembiayaaan daerah.

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.

Implikasinya, DAU dialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka menjalankan
kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
DAU yang merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat block grant, yang
berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan
daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antardaerah.
26


Kontribusi DAU bagi Daerah vs Penghapusan DAU Daerah Kaya

Sejauh mana desentralisasi fiskal melalui instrumen utama dana alokasi umum atau
DAU dan pemberlakuan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah berhasil
memberikan kontribusi bagi daerah untuk menekan ketimpangan di Indonesia? Pertanyaan
inilah yang menjadi titik berat yang harus dikaji lebih dalam, mengingat masih besarnya
disparitas antar daerah di Indonesia. Disparitas antardaerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumber daya alam atau sumber penerimaan antara
daerah satu dan daerah lainnya, selain juga perkembangan industri setempat. Ketidakadilan
perimbangan pendapatan daerah atas eksplorasi sumber daya alam juga masih terjadi di
beberapa wilayah, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi produsen migas di Indonesia
seperti Riau dan Kalimantan Timur. Porsi kecil yang diterima daerah tidak berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di daerah-daerah tersebut,
karena sebagian besar hasil eksplorasi SDA lebih banyak di parkir di pusat dibanding di
daerah. Kondisi akan semakin buruk lagi, apabila daerah-daerah tersebut menghadapi
penghapusan DAU karena peringkat Kaya dari pemerintah pusat hanyalah sebatas
peringkat, sebabkan daerah-daerah tersebut tidak merasakan secara signifikan hasil SDA-nya
sendiri dan pemerintah dianggap menjadipredatory state yang mengeksploitasi daerah secara
besar-besaran tanpa menyelaraskan dengan peningkatan pembangunan prasarana ekonomi
terlebih lagi dengan penghapusan DAU terhadap daerah-daerah tersebut .

Landasan Hukum Perhitungan dan Penghapusan DAU

Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004,
alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen
dari total penerimaan dalam negri netto. Dengan ketentuan tersebut maka, bergantung pada
kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar
dari 26 persen dari total pendapatan dalam negeri netto.
DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan
kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung
berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan
kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang
diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.
27

Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua
pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan
pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari
variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :
a.Jumlah Penduduk
b.Luas Wilayah
c.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
d.Indeks Kemiskinan Relatif (IKR)
Kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk
menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi penerimaan daerah
merupakan penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak dan SDA yang diterima oleh
daerah.
Berdasarkan UU diatas, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar
darikebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima sama
sekali pada tahun berikutnya. Dasar inilah yang digunakan pemerintah untuk memberikan
predikat daerah kaya (DKI Jakarta, Riau dan Kaltim) dan memperoleh penghapusan DAU.

Dampak Penghapusan DAU

Apabila dilihat dari sisi ekonomi, penghapusan DAU untuk beberapa daerah akan
berimbas pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah tersebut dan pada
akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Penghapusan ini akan berimbas
negatif terhadap stabilitas keuangan daerah, stabilitas keuangan daerah yang terganggu ini
akan berimbas kepada pelaksanaan program-program pemerintah daerah dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan terganggu pula. Imbas yang lain adalah
terganggunya program-program pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatakan
pelayanan publik/infrastruktur yang dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi regional
maupun ekonomi nasional. Dengan penghapusan DAU tersebut juga dikhawatirkan akan
mengganggu iklim investasi di wilayah-wilayah tersebut yang dikarenakan akan meningginya
biaya investasi akibat pengenaan pajak daerah yang tinggi. Kenaikan pajak daerah yang tinggi
ini merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh oleh daerah untuk menutupi pembiayan
program daerah sebagai imbas dari penghapusan DAU oleh pemerintah pusat. Penghapusan
DAU inipun nantinya akan berimpas pada ketimpangan vertical yang semakin melebar,
sedangkan tujuan desentralisasi fiskal (DAU sebagai salah satu instrumen) bertujuan untuk
mengurangi/mengikis ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah.
28


Apabila dilihat dari sisi sosial dan politik, penghapusan DAU ini mengingatkan kita
kembali kondisi ekonomi daerah sebelum tahun 1999 dimana ada kesenjangan dan
kecemburuan sosial daerah dengan pusat. Kesenjanagan dan kecemburuan sosial ini terjadi
diakibatkan ketidakadilan yang mereka peroleh, karena sampai saat inipun masih terjadi
ketidakadilan atas pembagian pendapatan eksplorasi SDA antara daerah dengan pusat,
terlebih lagi adanya penghapusan DAU. Keputusan penghapusan ini akan berimbas kepada
reaksi sosial dari tiap-tiap daerah sehingga dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Pirnsip keadilan ini pun harus menjadi perhatian yang mendapat skala prioritas. Menurut
predikat kaya dari pemerintah untuk daerah-daerah yang DAU-nya yang akan dihapus
terkesan hanya predikat, karena daerah-daerah tersebut masih merasa diberlakukan tidak adil
oleh pemerintah atas pembagian hasil eksplorasi SDA.























29

LAMPIRAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 104 TAHUN 2006
TANGGAL 18 Desember 2006
RINCIAN DANA ALOKASI UMUM
DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA TAHUN 2007


(dalam ribuan
rupiah)
NO DAERAH JUMLAH

I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Rp487,934,000
1 Kab. Aceh Barat Rp267,201,000
2 Kab. Aceh Besar Rp335,436,000
3 Kab. Aceh Selatan Rp277,663,000
4 Kab. Aceh Singkil Rp206,859,000
5 Kab. Aceh Tengah Rp274,186,000
6 Kab. Aceh Tenggara Rp252,480,000
7 Kab. Aceh Timur Rp285,679,000
8 Kab. Aceh Utara Rp203,868,000
9 Kab. Bireun Rp345,885,000
10 Kab. Aceh Pidie Rp431,940,000
11 Kab. Simeulue Rp184,733,000
12 Kota Banda Aceh Rp308,839,000
13 Kota Sabang Rp171,896,000
14 Kota Langsa Rp193,579,000
15 Kota Lhokseumawe Rp211,310,000
16 Kab. Nagan Raya Rp221,841,000
17 Kab. Aceh Jaya Rp191,893,000
18 Kab. Aceh Barat Daya Rp200,729,000
19 Kab. Gayo Lues Rp200,632,000
20 Kab. Aceh Tamiang Rp213,428,000
21 Kab. Bener Meriah Rp198,360,000
30

II Provinsi Sumatera Utara Rp657,357,000
1 Kab. Asahan Rp546,637,000
2 Kab. Dairi Rp304,080,000
3 Kab. Deli Serdang Rp708,480,000
4 Kab. Tanah Karo Rp373,637,000
5 Kab. Labuhan Batu Rp536,778,000
6 Kab. Langkat Rp545,650,000
7 Kab. Mandailing Natal Rp338,364,000
8 Kab. Nias Rp343,779,000
9 Kab. Simalungun Rp586,985,000
10 Kab. Tapanuli Selatan Rp501,085,000
11 Kab. Tapanuli Tengah Rp259,019,000
12 Kab. Tapanuli Utara Rp320,942,000
13 Kab. Toba Samosir Rp239,982,000
14 Kota Binjai Rp254,241,000
15 Kota Medan Rp748,707,000
16 Kota Pematang Siantar Rp278,407,000
17 Kota Sibolga Rp184,634,000
18 Kota Tanjung Balai Rp197,642,000
19 Kota Tebing Tinggi Rp200,708,000
20 Kota Padang Sidempuan Rp225,865,000
21 Kab. Pakpak Bharat Rp145,900,000
22 Kab. Nias Selatan Rp231,315,000
23 Kab. Humbang Hasundutan Rp234,493,000
24 Kab. Serdang Berdagai Rp344,516,000
25 Kab. Samosir Rp202,774,000
III Provinsi Sumatera Barat Rp546,332,000
1 Kab. Limapuluh Koto Rp344,547,000
2 Kab. Agam Rp377,132,000
3 Kab. Kepulauan Mentawai Rp236,058,000
4 Kab. Padang Pariaman Rp352,452,000
5 Kab. Pasaman Rp263,891,000
6 Kab. Pesisir Selatan Rp380,657,000
7 Kab. Sawahlunto Sijunjung Rp243,480,000
31

8 Kab. Solok Rp325,791,000
9 Kab. Tanah Datar Rp334,472,000
10 Kota Bukit Tinggi Rp211,433,000
11 Kota Padang Panjang Rp169,805,000
12 Kota Padang Rp565,100,000
13 Kota Payakumbuh Rp205,435,000
14 Kota Sawahlunto Rp167,833,000
15 Kota Solok Rp182,247,000
16 Kota Pariaman Rp194,522,000
17 Kab. Pasaman Barat Rp271,069,000
18 Kab. Dharmasraya Rp218,596,000
19 Kab. Solok Selatan Rp188,488,000
IV Provinsi Riau Rp277,659,000
1 Kab. Bengkalis Rp206,723,000
2 Kab. Indragiri Hilir Rp368,790,000
3 Kab. Indragiri Hulu Rp235,911,000
4 Kab. Kampar Rp241,850,000
5 Kab. Kuantan Singingi Rp272,524,000
6 Kab. Pelalawan Rp188,874,000
7 Kab. Rokan Hilir Rp91,848,000
8 Kab. Rokan Hulu Rp198,579,000
9 Kab. Siak Rp95,609,000
10 Kota Dumai Rp124,459,000
11 Kota Pekanbaru Rp327,161,000
V Provinsi Riau Kepulauan Rp333,333,000
1 Kab. Bintan Rp152,286,000
2 Kab. Natuna Rp159,405,000
3 Kab. Karimun Rp224,259,000
4 Kota? Batam Rp219,300,000
5 Kota Tanjung Pinang Rp206,735,000
6 Kab. Lingga Rp161,174,000
VI Provinsi Jambi Rp415,018,000
1 Kab. Batanghari Rp237,751,000
2 Kab. Bungo Rp302,950,000
32

3 Kab. Kerinci Rp356,557,000
4 Kab. Merangin Rp310,445,000
5 Kab. Muaro Jambi Rp244,321,000
6 Kab. Sarolangun Rp240,533,000
7 Kab. Tanjung Jabung Barat Rp230,642,000
8 Kab. Tanjung Jabung Timur Rp205,866,000
9 Kab. Tebo Rp253,907,000
10 Kota Jambi Rp335,549,000
VII Provinsi Sumatera Selatan Rp510,197,000
1 Kab. Lahat Rp370,487,000
2 Kab. Musi Banyuasin Rp190,145,000
3 Kab. Musi Rawas Rp410,612,000
4 Kab. Muara Enim Rp335,566,000
5 Kab. Ogan Komering Ilir Rp462,135,000
6 Kab. Ogan Komering Ulu Rp296,154,000
7 Kota Palembang Rp659,611,000
8 Kota Pagar Alam Rp163,339,000
9 Kota Lubuk Linggau Rp191,501,000
10 Kota Prabumulih Rp161,515,000
11 Kab. Banyuasin Rp384,981,000
12 Kab. Ogan Ilir Rp260,428,000
13 Kab. OKU Timur Rp326,475,000
14 Kab. OKU Selatan Rp224,738,000
VIII Provinsi Bangka Belitung Rp319,357,000
1 Kab. Bangka Rp240,378,000
2 Kab. Belitung Rp218,195,000
3 Kota Pangkal Pinang Rp216,914,000
4 Kab. Bangka Selatan Rp190,478,000
5 Kab. Bangka Tengah Rp169,892,000
6 Kab. Bangka Barat Rp188,769,000
7 Kab. Belitung Timur Rp192,853,000
IX Provinsi Bengkulu Rp405,858,000
1 Kab. Bengkulu Selatan Rp242,370,000
2 Kab. Bengkulu Utara Rp341,399,000
33

3 Kab. Rejang Lebong Rp291,055,000
4 Kota Bengkulu Rp311,197,000
5 Kab. Kaur Rp174,316,000
6 Kab. Seluma Rp209,887,000
7 Kab. Mukomuko Rp200,305,000
8 Kab. Lebong Rp183,357,000
9 Kab. Kepahiang Rp190,558,000
X Provinsi Lampung Rp509,656,000
1 Kab. Lampung Barat Rp288,264,000
2 Kab. Lampung Selatan Rp600,921,000
3 Kab. Lampung Tengah Rp599,805,000
4 Kab. Lampung Utara Rp395,803,000
5 Kab. Lampung Timur Rp487,543,000
6 Kab. Tanggamus Rp495,346,000
7 Kab. Tulang Bawang Rp400,619,000
8 Kab. Way Kanan Rp274,211,000
9 Kota Bandar Lampung Rp464,191,000
10 Kota Metro Rp202,405,000
XI Provinsi DKI Jakarta Rp119,943,000
XII Provinsi Jawa Barat Rp933,436,000
1 Kab. Bandung Rp1,351,912,000
2 Kab. Bekasi Rp430,417,000
3 Kab. Bogor Rp962,196,000
4 Kab. Ciamis Rp775,730,000
5 Kab. Cianjur Rp757,052,000
6 Kab. Cirebon Rp730,886,000
7 Kab. Garut Rp911,801,000
8 Kab. Indramayu Rp610,891,000
9 Kab. Karawang Rp622,602,000
10 Kab. Kuningan Rp544,045,000
11 Kab. Majalengka Rp555,540,000
12 Kab. Purwakarta Rp366,484,000
13 Kab. Subang Rp560,645,000
14 Kab. Sukabumi Rp759,683,000
34

15 Kab. Sumedang Rp551,711,000
16 Kab. Tasikmalaya Rp718,561,000
17 Kota Bandung Rp827,608,000
18 Kota Bekasi Rp522,199,000
19 Kota Bogor Rp355,776,000
20 Kota Cirebon Rp304,470,000
21 Kota Depok Rp381,095,000
22 Kota Sukabumi Rp285,095,000
23 Kota Cimahi Rp270,848,000
24 Kota Tasikmalaya Rp369,950,000
25 Kota Banjar Rp273,232,000
XIII Provinsi Banten Rp330,597,000
1 Kab. Lebak Rp507,639,000
2 Kab. Pandeglang Rp524,411,000
3 Kab. Serang Rp605,720,000
4 Kab. Tangerang Rp693,643,000
5 Kota Cilegon Rp223,328,000
6 Kota Tangerang Rp376,145,000
XIV Provinsi Jawa Tengah Rp1,050,732,000
1 Kab. Banjarnegara Rp452,544,000
2 Kab. Banyumas Rp654,154,000
3 Kab. Batang Rp362,659,000
4 Kab. Blora Rp447,775,000
5 Kab. Boyolali Rp528,505,000
6 Kab. Brebes Rp657,982,000
7 Kab. Cilacap Rp743,064,000
8 Kab. Demak?? Rp438,288,000
9 Kab. Grobogan Rp563,699,000
10 Kab. Jepara Rp461,230,000
11 Kab. Karanganyar Rp459,156,000
12 Kab. Kebumen Rp585,365,000
13 Kab. Kendal Rp453,755,000
14 Kab. Klaten Rp694,207,000
15 Kab. Kudus Rp421,953,000
35

16 Kab. Magelang Rp548,521,000
17 Kab. Pati Rp559,748,000
18 Kab. Pekalongan Rp411,159,000
19 Kab. Pemalang Rp530,443,000
20 Kab. Purbalingga Rp416,181,000
21 Kab. Purworejo Rp471,735,000
22 Kab. Rembang Rp361,876,000
23 Kab. Semarang Rp455,990,000
24 Kab. Sragen Rp513,575,000
25 Kab. Sukoharjo Rp460,662,000
26 Kab. Tegal Rp550,407,000
27 Kab. Temanggung Rp389,124,000
28 Kab. Wonogiri Rp556,874,000
29 Kab. Wonosobo Rp389,671,000
30 Kota Magelang Rp235,917,000
31 Kota Pekalongan Rp235,899,000
32 Kota Salatiga Rp212,614,000
33 Kota Semarang Rp586,736,000
34 Kota Surakarta Rp374,501,000
35 Kota Tegal? Rp220,303,000
XV Provinsi DI Yogyakarta Rp437,379,000
1 Kab. Bantul Rp524,293,000
2 Kab. Gunung Kidul Rp459,851,000
3 Kab. Kulon Progo Rp374,760,000
4 Kab. Sleman Rp543,065,000
5 Kota Yogyakarta Rp365,042,000
XVI Provinsi Jawa Timur Rp1,091,155,000
1 Kab. Bangkalan Rp430,851,000
2 Kab. Banyuwangi Rp698,228,000
3 Kab. Blitar Rp587,733,000
4 Kab. Bojonegoro Rp552,361,000
5 Kab. Bondowoso Rp397,430,000
6 Kab. Gresik Rp452,286,000
7 Kab. Jember Rp861,126,000
36

8 Kab. Jombang Rp532,595,000
9 Kab. Kediri Rp635,830,000
10 Kab. Lamongan Rp540,603,000
11 Kab. Lumajang Rp479,591,000
12 Kab. Madiun Rp421,464,000
13 Kab. Magetan Rp451,962,000
14 Kab. Malang Rp880,921,000
15 Kab. Mojokerto Rp450,454,000
16 Kab. Nganjuk Rp539,899,000
17 Kab. Ngawi Rp493,983,000
18 Kab. Pacitan Rp371,997,000
19 Kab. Pamekasan Rp410,702,000
20 Kab. Pasuruan Rp532,901,000
21 Kab. Ponorogo Rp490,926,000
22 Kab. Probolinggo Rp484,750,000
23 Kab. Sampang Rp370,902,000
24 Kab. Sidoarjo Rp588,073,000
25 Kab. Situbondo Rp383,831,000
26 Kab. Sumenep Rp492,667,000
27 Kab. Trenggalek Rp431,681,000
28 Kab. Tuban Rp470,385,000
29 Kab. Tulungagung Rp564,916,000
30 Kota Blitar Rp194,040,000
31 Kota Kediri Rp350,377,000
32 Kota Madiun Rp238,456,000
33 Kota Malang Rp417,300,000
34 Kota Mojokerto Rp212,039,000
35 Kota Pasuruan Rp203,153,000
36 Kota Probollinggo Rp225,555,000
37 Kota Surabaya Rp639,590,000
38 Kota Batu Rp188,025,000
XVII Provinsi Kalimantan Barat Rp610,890,000
1 Kab. Bengkayang Rp262,219,000
2 Kab. Landak Rp319,568,000
37

3 Kab. Kapuas Hulu Rp458,779,000
4 Kab. Ketapang Rp588,702,000
5 Kab. Pontianak Rp485,795,000
6 Kab. Sambas Rp395,227,000
7 Kab. Sanggau Rp389,605,000
8 Kab. Sintang Rp488,394,000
9 Kota Pontianak Rp369,581,000
10 Kota Singkawang Rp237,907,000
11 Kab. Sekadau Rp216,970,000
12 Kab. Melawi Rp256,154,000
XVIII Provinsi Kalimantan Tengah Rp571,290,000
1 Kab. Barito Selatan Rp290,368,000
2 Kab. Barito Utara Rp282,513,000
3 Kab. Kapuas Rp434,371,000
4 Kab. Kotawaringin Barat Rp328,975,000
5 Kab. Kotawaringin Timur Rp399,216,000
6 Kota Palangkaraya Rp299,830,000
7 Kab. Barito Timur Rp233,714,000
8 Kab. Murung Raya Rp352,655,000
9 Kab. Pulang Pisau Rp263,522,000
10 Kab. Gunung Mas Rp273,756,000
11 Kab. Lamandau Rp231,480,000
12 Kab. Sukamara Rp239,689,000
13 Kab. Katingan Rp349,098,000
14 Kab. Seruyan Rp300,900,000
XIX Provinsi Kalimantan Selatan Rp427,994,000
1 Kab. Banjar Rp339,303,000
2 Kab. Barito Kuala Rp263,669,000
3 Kab. Hulu Sungai Selatan Rp267,283,000
4 Kab. Hulu Sungai Tengah Rp263,020,000
5 Kab. Hulu Sungai Utara Rp218,943,000
6 Kab. Kota Baru Rp313,543,000
7 Kab. Tabalong Rp226,888,000
8 Kab. Tanah Laut Rp252,597,000
38

9 Kab. Tapin Rp233,526,000
10 Kota Banjar Baru Rp190,679,000
11 Kota Banjarmasin Rp361,095,000
12 Kab. Balangan Rp160,641,000
13 Kab. Tanah Bumbu Rp224,935,000
XX Provinsi Kalimantan Timur Rp235,743,000
1 Kab. Berau Rp295,970,000
2 Kab. Bulungan Rp204,324,000
3 Kab. Kutai Kartanegara Rp297,814,000
4 Kab. Kutai Barat Rp331,974,000
5 Kab. Kutai Timur Rp273,571,000
6 Kab. Malinau Rp370,745,000
7 Kab. Nunukan Rp141,814,000
8 Kab. Pasir Rp173,168,000
9 Kota Balikpapan Rp179,471,000
10 Kota Bontang Rp75,718,000
11 Kota Samarinda Rp288,805,000
12 Kota Tarakan Rp72,991,000
13 Kab. Penajam Paser Utara Rp52,632,000
XXI Provinsi Sulawesi Utara Rp447,037,000
1 Kab. Bolaang Mongondow Rp427,184,000
2 Kab. Minahasa Rp337,027,000
3 Kab. Sangihe Rp306,399,000
4 Kota Bitung Rp243,233,000
5 Kota Manado Rp374,754,000
6 Kab. Kepulauan Talaud Rp221,981,000
7 Kab. Minahasa Selatan Rp303,705,000
8 Kota Tomohon Rp182,495,000
9 Kab. Minahasa Utara Rp227,809,000
XXII Provinsi Gorontalo Rp291,394,000
1 Kab. Boalemo Rp174,613,000
2 Kab. Gorontalo Rp335,122,000
3 Kota Gorontalo Rp230,813,000
4 Kab. Pohuwato Rp192,720,000
39

5 Kab. Bone Bolango Rp196,016,000
XXIII Provinsi Sulawesi Tengah Rp502,129,000
1 Kab. Banggai Rp387,407,000
2 Kab. Banggai Kepulauan Rp236,725,000
3 Kab. Buol Rp219,916,000
4 Kab. Toli-Toli Rp274,713,000
5 Kab. Donggala Rp451,257,000
6 Kab. Morowali Rp343,480,000
7 Kab. Poso Rp330,252,000
8 Kota Palu Rp320,761,000
9 Kab. Parigi Moutong Rp323,158,000
10 Kab. Tojo Una Una Rp218,426,000
XXIV Provinsi Sulawesi Selatan Rp599,508,000
1 Kab. Bantaeng Rp206,737,000
2 Kab. Barru Rp229,246,000
3 Kab. Bone Rp494,234,000
4 Kab. Bulukumba Rp332,719,000
5 Kab. Enrekang Rp230,254,000
6 Kab. Gowa Rp379,657,000
7 Kab. Jeneponto Rp280,676,000
8 Kab. Luwu Rp289,606,000
9 Kab. Luwu Utara Rp268,664,000
10 Kab. Maros Rp286,004,000
11 Kab. Pangkajene Kepulauan Rp266,302,000
12 Kab. Pinrang Rp313,755,000
13 Kab. Selayar Rp217,506,000
14 Kab. Sidenreng Rappang Rp265,277,000
15 Kab. Sinjai Rp255,440,000
16 Kab. Soppeng Rp292,386,000
17 Kab. Takalar Rp264,008,000
18 Kab. Tana Toraja Rp362,625,000
19 Kab. Wajo Rp305,940,000
20 Kota Pare-pare Rp208,125,000
21 Kota Makassar Rp583,842,000
40

22 Kota Palopo Rp202,459,000
23 Kab. Luwu Timur Rp216,885,000
XXV Provinsi Sulawesi Barat Rp279,253,000
1 Kab. Majene Rp221,772,000
2 Kab. Mamuju Rp313,748,000
3 Kab. Polewali Mandar Rp301,085,000
4 Kab. Mamasa Rp188,531,000
5 Kab. Mamuju Utara Rp163,409,000
XXVI Provinsi Sulawesi Tenggara Rp461,841,000
1 Kab. Buton Rp290,634,000
2 Kab. Konawe Rp404,024,000
3 Kab. Kolaka Rp339,571,000
4 Kab. Muna Rp374,261,000
5 Kota Kendari Rp286,250,000
6 Kota Bau-bau Rp229,205,000
7 Kab. Konawe Selatan Rp275,125,000
8 Kab. Bombana Rp193,896,000
9 Kab. Wakatobi Rp181,345,000
10 Kab. Kolaka Utara Rp207,298,000
XXVII Provinsi Bali Rp436,533,000
1 Kab. Badung Rp263,808,000
2 Kab. Bangli Rp233,791,000
3 Kab. Buleleng Rp468,732,000
4 Kab. Gianyar? Rp347,800,000
5 Kab. Jembrana Rp278,583,000
6 Kab. Karangasem Rp313,036,000
7 Kab. Klungkung Rp247,321,000
8 Kab. Tabanan Rp371,722,000
9 Kota Denpasar Rp331,448,000
XXVIII Provinsi Nusa Tenggara Barat Rp447,658,000
1 Kab. Bima Rp374,364,000
2 Kab. Dompu Rp262,090,000
3 Kab. Lombok Barat Rp420,874,000
4 Kab. Lombok Tengah Rp445,821,000
41

5 Kab. Lombok Timur Rp522,757,000
6 Kab. Sumbawa Rp365,080,000
7 Kota Mataram Rp287,589,000
8 Kota Bima Rp204,865,000
9 Kab. Sumbawa Barat Rp147,770,000
XXIX Provinsi Nusa Tenggara Timur Rp553,589,000
1 Kab. Alor Rp256,249,000
2 Kab. Belu Rp344,589,000
3 Kab. Ende Rp278,452,000
4 Kab. Flores Timur Rp271,659,000
5 Kab. Kupang Rp382,802,000
6 Kab. Lembata Rp188,166,000
7 Kab. Manggarai Rp348,963,000
8 Kab. Ngada Rp278,275,000
9 Kab. Sikka Rp279,124,000
10 Kab. Sumba Barat Rp302,572,000
11 Kab. Sumba Timur Rp293,655,000
12 Kab. Timor Tengah Selatan Rp355,802,000
13 Kab. Timor Tengah Utara Rp258,755,000
14 Kota Kupang Rp277,705,000
15 Kab. Rote Ndao Rp182,910,000
16 Kab. Manggarai Barat Rp206,094,000
XXX Provinsi Maluku Rp476,048,000
1 Kab. Maluku Tenggara Barat Rp374,271,000
2 Kab. Maluku Tengah Rp500,035,000
3 Kab. Maluku Tenggara Rp243,635,000
4 Kab. Pulau Buru Rp250,617,000
5 Kota Ambon Rp318,722,000
6 Kab. Seram Bagian Barat Rp256,229,000
7 Kab. Seram Bagian Timur Rp170,543,000
8 Kab. Kepulauan Aru Rp191,940,000
XXXI Provinsi Maluku Utara Rp370,724,000
1 Kab. Halmahera Tengah Rp193,844,000
2 Kab. Halmahera Barat Rp191,424,000
42

3 Kota Ternate Rp244,043,000
4 Kab. Halmahera Timur Rp197,485,000
5 Kota Tidore Kepulauan Rp206,550,000
6 Kab. Kepulauan Sula Rp233,404,000
7 Kab. Halmahera Selatan Rp271,379,000
8 Kab. Halmahera Utara Rp240,244,000
XXXII Provinsi Papua Rp876,295,000
1 Kab. Biak Numfor Rp309,850,000
2 Kab. Jayapura Rp422,740,000
3 Kab. Jayawijaya Rp356,119,000
4 Kab. Merauke Rp607,522,000
5 Kab. Mimika Rp221,664,000
6 Kab. Nabire Rp402,255,000
7 Kab. Paniai Rp410,794,000
8 Kab. Puncak Jaya Rp361,492,000
9 Kab. Yapen Waropen Rp251,360,000
10 Kota Jayapura Rp322,303,000
11 Kab. Sarmi Rp461,469,000
12 Kab. Keerom Rp270,045,000
13 Kab. Yahukimo Rp356,889,000
14 Kab. Pegunungan Bintang Rp324,659,000
15 Kab. Tolikara Rp277,690,000
16 Kab. Boven Digoel Rp398,819,000
17 Kab. Mappi Rp373,497,000
18 Kab. Asmat Rp376,173,000
19 Kab. Waropen Rp299,579,000
20 Kab. Supiori Rp182,311,000
XXXIII Provinsi Irian Jaya Barat Rp464,871,000
1 Kab. Sorong Rp261,519,000
2 Kab. Manokwari Rp377,745,000
3 Kab. Fak Fak Rp333,914,000
4 Kota Sorong Rp240,153,000
5 Kab. Sorong Selatan Rp383,109,000
6 Kab. Raja Ampat Rp264,871,000
43

7 Kab. Teluk Bintuni Rp287,441,000
8 Kab. Teluk Wondama Rp209,232,000
9 Kab. Kaimana Rp336,312,000

Total Provinsi Rp16,478,740,000

Total Kabupaten / Kota Rp148,308,660,000

Total Nasional Rp164,787,400,000

Anda mungkin juga menyukai