Anda di halaman 1dari 6

Latar Belakang

Korban dalam suatu tindak pidana, pada dasarnya dalam sistem hukum nasional
maupun sistem peradilan pidana memiliki posisinya yang tidak menguntungkan. Karena
korban tersebut, dalam Sistim Peradilan (pidana) hanya sebagai figuran, bukan sebagai
pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban).
Perlindungan terhadap korban di Indonesia secara komprehensif bisa dibilang masih
jauh dari apa yang diharapkan. Penegakan hukum selama ini cenderung lebih
memperhatikan pelaku atau tersangka pelaku kejahatan ataupun terdakwa dan terpidana
daripada korban. Perhatian terhadap saksi juga cenderung lebih banyak daripada kepada
korban. Apalagi apabila saksi tersebut pada saat bersamaan adalah juga tersangka atau
terdakwa yang amat diperlukan keterangannya untuk persidangan. Akan halnya korban yang
semata-mata adalah korban dan bukan sekaligus pelaku ataupun saksi, perhatian terhadap
mereka masih amat minimal. Korban belum mendapatkan pelayanan dan pensikapan yang
optimal dari penegak hukum, dari pemerintah, apalagi dari masyarakat pada umumnya.
Seringkali malah yang terjadi adalah reviktimisasi atau double victimization. Dimana korban
kejahatan setelah terviktimisasi kemudian menjadi korban (re-victimized) lagi akibat
pensikapan aparat hukum yang kurang tepat. Alih-alih hak-hak korban diperhatikan,
sebaliknya korban malah menjadi korban kesewenang-wenangan aparat hukum ataupun
masyarakat.
Batasan tentang korban dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006
juga masih terbatas pada korban kejahatan. Padahal viktimisasi (victimization) alias aktifitas
yang menimbulkan korban tidak terjadi semata-mata karena kejahatan belaka, namun juga
akibat kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja, akibat bencana buatan manusia (human
made disaster) ataupun bencana alam (natural disaster) dan sebab-sebab lain yang di luar
kejahatan.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki sejarah panjang yang dimulai
dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut.
Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan
dan perdamaian dunia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang
vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling
berharga, yaitu hak untuk menjadi manusia. Istilah martabat dan hak-hak kemanusiaan
tersebut disebut sebagai hak asasi manusia. Pasal 4 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain :
1. Hak untuk hidup;
2. Hak untuk tidak disiksa;
3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani;
4. Hak beragama;
5. Hak untuk tidak diperbudak;
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum;
7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
Rumusan pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak
Asasi Manusia sama dengan rumusan pasal 28 I ayat (1) Amandemen Undang- Undang
Dasar (UUD) 1945 yaitu 111 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak diakui
sebagai pribadidi hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Komisi HAM PBB telah membentuk dua kovenan dan satu protokol yang
merupakan bagian dari empat produk PBB yang dinamakan International Bill of Human
Rights, yang terdiri dari :
1. Universal Declaration of Human Right (UDHR)
2. The International Covenant on Economic, Social and Cultural Right
3. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)
4. Optional Protocol to The international Covenant on Civil and Political Right
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR) . Konsekuensinya beberapa ketentuan
dalam sistem peradilan pidana harus mengalami perubahan. Saksi
memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum
pidana sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat bukti dimana KUHAP
menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau Negatief
Wettelijk Overtuiging.
Peranan saksi (keterangan saksi) yang sangat penting terutama dalam kejahatan yang
dikelompokkan extra ordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti
dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang
diberikan oleh negara cq aparatur penegak hukum. Perlindungan disini berupa
perlindungan hukum dan/atau perlindungan khusus lainnya. Adakalanya seorang saksi
itu memang murni dalam pengertian saksi yang juga menjadi korban (saksi korban)
sebagaimana dimaksud dalam KUHAP tapi pada kasus yang lain saksi disini adalah salah
seorang pelaku (tersangka/terdakwa) dari suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara
bersama-sama (berkelompok). Posisi yang sebagaimana disebutkan terakhir ini tentunya
terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan sudah sepatutnya pula hukum
(aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan
penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta suatu
kebenaran seperti tindak pidana yang sulit pembuktiannya oleh karena faktor faktor antara
lain dilakukan secara terorganisir (berkelompok; berjamaah) dan termasuk kejahatan
kerah putih (white collar crime) seperti tindak pidana korupsi, tindak pidan
perambah hutan (illegal logging), terorisme, tindak pidana perdagangan orang
(trafficking), tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan lain-lain
sebagainya.
Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP, Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981), baik
secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius terhadap masalah
perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan saksi) menempati peringkat
utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi :
Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang (legislasi)
menempatkan keterangan saksi (baca : saksi) pada posisi atau urutan pertama dari 5 (lima)
alat bukti dalam KUHAP. KUHAP memberikan pengertian saksi sebagaimana pada Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 26 yaitu : orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Selanjutnya pada angka 27 menyebut keterangan saksi adalah : salah satu alat bukiti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Beranjak
dari pengertian tentang saksi dan keterangan saksi sebagaimana termaktub dalam undang-
undang (KUHAP) bahwa sudah barang tentu seorang atau
beberapa orang yang menjadi saksi yang kemudian mejadi alat bukti berupa
keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk membuktikan kesalahan
tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan maupun di tingkat
penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai saksi dalam suatu tindak
pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri
bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana) tersebut dilakukan si tersangka atau terdakwa.
Pemahaman saksi disini meliputi saksi bukan sebagai korban maupun saksi sebagai korban.
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan
yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem hukum kita berkaitan
dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan
pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa
saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex
specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan
atau korban sebagai pelapor (whistleblower) yang sebelumnya terserak- serak dalam
beberapa peraturan. Bagian Penjelasan Undang-
Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan : . dalam rangka menumbuhkan
partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang
kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap
orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu
mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak
hukum. Selanjutnya disebutkan Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan
hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau
terintimidasi baik hak maupun jiwanya
Beberapa undang-undang yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pengungkapan
suatu tindak pidana antara lain : pasal 5 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 8 ayat Undang-undang
RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN,
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yakni Undang-
Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 44, pasal 92 jo pasal
100 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 34 Undang-
Undang RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pasal 17 Undang-
Undang RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers Demikian juga dengan Undang-Undang RI
No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, pasal 72 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pasal 15 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan pasal 60 Undang-Undang RI No. 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh pemerintah
merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini dalam kerangka penegakan hukum
(pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip Good
Governance yakni tegaknya supremasi hukum.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi pengungkap fakta
(whistleblower) dalam tindak pidana yang sulit pembuktiannya berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban?
2. Bagaimanakah jenis perlindungan yang diberikan kepada pengungkap fakta
(whistleblowers) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
3. Bagaimanakah hambatan atau kendala yang terdapat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Anda mungkin juga menyukai