Anda di halaman 1dari 10

ENDOMETRIOSIS

A. Pendahuluan
Endometriosis merupakan salah satu penyebab nyeri pelvis (dysmenorrheal,
dyspareunia) dan ketidaksuburan pada lebih dari 35% wanita usia produktif, akan tetapi
prevalensi nyata untuk penyakit ini tidak diketahui.
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka
kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan di antara
semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang Negro, dan lebih
sering ditemukan pada golongan wanita sosio-ekonomi yang kuat. Yang menarik
perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak
kawin pada usia muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium
secara siklis yang terus-menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan
dalam terjadinya endometriosis.
Secara umum, diperkirakan 1 dari 10 orang wanita menderita endometriosis.
Sekitar 71-87% wanita yang mengalami nyeri pelvis dan sekitar 38% wanita mengalami
masalah kesuburan didiagnosis endometriosis. Biasanya dialami oleh wanita usia
produktif, dengan kemajuan penyembuhan penyakit sangat lambat, bahkan cenderung
stabil/tidak mengalami kemajuan dalam upaya penyembuhan. Pada remaja beranjak
dewasa, endometriosis yang dialami adalah endometriosis sekunder, namun rasa nyeri
yang ditimbulkan jauh lebih hebat dibanding endometriosis primer yang dialami oleh
wanita dewasa.

B. Penyebab
Penyebab endometriosis tidak diketahui, akan tetapi diduga terkait dengan siklus
menstruasi yang tidak teratur, coelomic metaplasia, dan abnormalitas sistem imun.
Meskipun penyebab pasti tidak diketahui, beberapa faktor yang terkait dengan terjadinya
endometriosis adalah siklus menstruasi yang tidak teratur, menstruasi yang terlalu lama,
abnormalitas saluran genital, kadar estrogen terlalu tinggi, dan tertimbunnya lemak
perifer. Namun ada pula endometriosis yang disebabkan karena kelainan genetik.
Turunnya kadar estrogen karena penggunaan obat kontrasepsi oral, menopause,
olahraga telah terbukti dapat mengurangi gejala nyeri pada endometriosis.
Terdapat beberapa teori yang mengemukakan asal endometriosis. Teori-teori
tersebut antara lain :

1. Teori transpalantasi jaringan endometrium melalui menstruasi retrogade


(Sampson’s teori)

2. Teori transformasi sel endometrium

3. Teori transport vaskular dan limfatik

4. Teori imunologik

5. Teori hormonal

6. Teori sisa embrional

7. Teori implantasi jaringan

A. Patofisiologi

Nyeri yang dialami penderita endometriosis terjadi karena lesi pada ovarium
mengenai ujung saraf, sehingga dinding ovarium melepaskan prostaglandin. Bila lesi
yang muncul berupa kista/endometriomas, maka akan terjadi dyspareunia. Gejala nyeri
muncul terkait dengan pelepasan hormon estrogen dan progesteron sepanjang siklus
menstruasi. Berat ringannya nyeri sebanding dengan kedalaman lesi, dimana lesi dalam
(5 mm atau lebih) sekitar 55% ditemukan pada kavum Douglasi, 35% pada ligamentum
sacrouterina, dan 11% di lipatan uterovaginal.

B. Gambaran Klinis
Endometriosis pada hakikatnya adalah asimtomatis, namun pada penderita dapat
tampak gejala dysmenorrhea, dyspareunia, nyeri pelvis, gangguan saluran cerna, dysuria,
hematuria, nyeri punggung bagian bawah, dan defekasi yang disertai nyeri.

Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan nyeri pada waktu haid yang
semakin lama semakin hebat. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui, tapi mungkin
ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada
waktu sebelum dan semasa haid. Dispareunia yang merupakan gejala yang sering
dijumpai, disebabkan oleh karena adanya endometriosis di kavum Douglasi. Rasa nyeri
sewaktu penetrasi dalam pada pemeriksaan pelvik mengindikasikan adanya
endometriosis. Rasa nyeri tersebut terlokalisir dan semakin memberat pada akhir siklus
menstruasi.
Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid, disebabkan oleh karena
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. 30-40% wanita dengan endometriosis
menderita infertilitas. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis
ialah apabila mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan sekitarnya.
Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-
abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir beras
sampai butir jagung di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterinum dengan uterus
dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi.

C. Diagnosis
Diagnosis endometriosis dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesa
Didapatkan adanya keluhan nyeri haid yang disertai atau tidak
dengan infertilitas
2. Pemeriksaan dalam vagina
Didapatkan adanya nodul-nodul pada daerah kavum Douglasi
dan daerah ligamentum sakrouterina yang nyeri. Bisa juga
teraba adanya kista endometriosis pada adneksa.
3. USG
Pada pemeriksaan USG didapatkan adanya massa kistik pada
adneksa atau untuk melihat bercak endometriosis dalam
endometrium (adenomiosis)
4. Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi merupakan pemeriksaan yang utama
untuk menetukan diagnosis pasti endometriosis pada rongga
pelvik. Dengan laparoskopi, akan nampak semua lesi-lesi
endometritik termasuk lesi yang minimal.
Lesi klasik yang biasa tampak pada pemeriksaan laparoskopi
adalah lesi biru kehitaman atau memiliki gambaran powder-
burned. Namun, lesi endometritik tersebut dapat pula berwarna
merah, putih, atau non-pigmentasi. Defek dan adhesi peritoneal
juga merupakan salah satu gambaran endometriosis.

A. Terapi
Berdasarkan gejala yang dialami oleh penderita, maka sasaran terapi
endometriosis adalah untuk mengurangi/menghilangkan lesi ovarium, mencegah
keparahan penyebaran lesi, mengurangi rasa nyeri yang dialami, dan mencegah terjadinya
masalah ketidaksuburan.

1. Terapi non-farmakologis (pembedahan)


Tindakan pembedahan pada penderita endometriosis dapat digunakan baik
sebagai penegak diagnosis maupun sebagai terapi. Tujuan pembedahan meliputi
perusakan implan ovarium, mengangkat lesi, dan mengembalikan struktur pelvis
menjadi normal untuk mengatasi masalah ketidaksuburan dan nyeri yang
ditimbulkan. Bila penderita tidak menginginkan kesuburan di masa mendatang, maka
pilihan pembedahan untuk mengangkat rahim bisa dipertimbangkan.
Teknik pembedahan pada penderita endometriosis adalah laparostomi, karena
memiliki kemungkinan komplikasi yang paling rendah. Akan tetapi sekitar 60-100%
pasien yang dilaparostomi mengalami nyeri hebat pasca-operasi, dan sekitar lebih
44% pasien kembali mengalami nyeri endometriosis setahun pasca-operasi. Hal ini
dapat disebabkan kekurangmampuan untuk melihat letak lesi secara visual dan
mengangkatnya hingga tuntas.

2. Terapi farmakologi
Obat pilihan utama untuk penderita endometriosis adalah NSAIDs,
kontrasepsi oral, atau kombinasi keduanya. Pemilihannya berdasarkan karakteristik
pasien misalnya penggunaan kontrasepsi pada pasien, pola timbulnya nyeri, dan
kontraindikasi untuk pasien tertentu. Bila pasien memberikan respon positif terhadap
terapi, maka perlu diberikan terapi untuk jangka panjang/terus-menerus karena
penderita umumnya tidak mengalami kemajuan dalam upaya penyembuhan.
Efikasi NSAIDs untuk pasien endometriosis belum pernah dievaluasi dalam
uji klinik. Akan tetapi efikasinya yang tinggi dalam terapi untuk dysmenorrhea telah
terbukti, maka diduga memiliki efikasi yang sama untuk pasien endometriosis.
Pengunaan kontrasepsi oral dapat dipilih karena dapat digunakan untuk jangka
panjang dengan efek samping yang tidak begitu signifikan. Contoh :

a. Obat alternatif

Obat alternatif yang dapat digunakan adalah progestin, danazol, dan


GnRH-antagonis.

b. Obat untuk pasien khusus (remaja beranjak dewasa)

Tujuan terapi endometriosis untuk pasien khusus ini fokus untuk


mengatasi nyeri yang ditimbulkan. Terapi yang utama dilakukan adalah terapi
farmakologis dibanding non-farmakologis karena terkait kemampuan
produktivitas memasuki masa subur wanita. Obat pilihan utama yang diberikan
adalah kontrasepsi oral karena kemampuan tubuh yang tinggi untuk mentoleransi
efek samping yang mungkin ditimbulkan. Selain itu, penggunaan progestin juga
sangat direkomendasi, meskipun penggunaannya untuk jangka panjang dapat
mengurangi densitas mineral tulang dan mengganggu profil lipid normal dalam
tubuh.

Terapi Farmakologi
1. Medroxyprogesterone Acetate
Medroxyprogesterone acetate, turunan progesterone, sebagai bahan aktif.
a. Farmakologi kinetik :
Medroxyprogesterone aktif melalui pemberian parenteral dan oral. Absorbsi
obat ini pada saluran cerna. Di darah, obat ini terikat kuat pada protein
terutama pada albumin. Obat ini di metabolisme dihepar dan dieksresikan
sebagai konjugasi glukuronid melalui feses dan urin. Waktu paruhnya sekitar
24 hingga 30 jam setelah pemberian oral, dan waktu paruhnya dapat lebih
lama lagi hingga 50 hari pada pemberian injeksi intramuscular.
Medroxyprogesterone dilaporkan terdistribusi kedalam air susu.
b. Indikasi :
Mengurangi nyeri dan lesi endometriosis
c. Kontra indikasi :
Hipersensitif, kehamilan, cerebral apoplexy; pendarahan vagina yang tak
terdiagnosa, tromboplebitis, dan disfungsi hati, dugaan atau terdiagnosa
kanker payudara.
d. Dosis :
Pada penanganan endometriosis ringan hingga sedang diberikan dosis 10 mg
sebanyak 3 kali sehari per oral atau 50 mg setiap minggu atau 100 mg setiap
2 minggu dengan injeksi intramuscular. Di Negara Inggris direkomendasikan
pemakaian obat ini selama 90 hari secara terus menerus, namun di Amerika
merekomendasikan untuk pemakaian selama 6 bulan.
e. Interaksi :
Aminoglutethimide bisa mengurangi efek dengan meningkatkan metabolisme
hepatik medroxyprogesterone
f. Efek samping :
Nyeri dan perubahan warna kulit pada sisi yang diinjeksi, depresi, gugup,
sakit kepala, urtikaria, jerawat, ruam, pruritus, hirsutism, alopecia, nausea,
perubahan bobot badan, jarang anafilaksis dan pulmonary embolism.
g. Nama dagang : Depo-Provera

1. Gosereline Acetate
a. Farmakodinamik :
Gosereline acetate adalah sintetik decapeptide analog LHRH. Gosereline
acetate bertindak sebagai penghambat sekresi pituitary gonadotropin ketika
diberikan sebagai formulasi biodegradable. Obat ini gunakan sebagai
penghambat produksi hormone seks gonad pada penanganan neoplasma ganas
pada prostat, kanker payudara baik sebelum maupun pada saat wanita
menopause dan manajemen pada endometriosis.
b. Farmakokinetik :
Obat ini diabsorbsi secara cepat melalui injeksi subkutan dan memiliki waktu
paruh diserum selama 2 hingga 4 jam dan kadar akan meningkat bila ada
gangguan ginjal. Goserelin dilepaskan dari depot secara lambat selama 8 hari,
dan selanjut lebih cepat serta kelur terus hingga periode dosis ke 28. Obat ini
dimetabolisme dengan mekanisme kliens utama, hidrolisis asam amino C-
terminal. Lebih dari 90% dosis dieksresikan di urin.
c. Indikasi :
Untuk mengurangi nyeri dan lesi endometriosis.
d. Dosis & Cara Pemberian :
Gosereline acetate 3,6 mg diberikan secara subkutan pada dinding abdominal
atas setiap 28 hari. Lama pemberian yang direkomendasi adalah sekitar 6
bulan. Pengobatan ulang tidak direkomendasikan karena belum ada data.
Tapi, jika gejala endometriosis berulang setelah pemberian gosereline,
pemberian gosereline dipertimbangkan dengan tetap memonitor densitas
mineral tulang.
e. Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap LHRH, analog agonis LHRH, dan kehamilan.
f. Efek Samping :
Secara umum dilaporkan reaksi kulit berupa ruam dan anafilaksis. Tapi untuk
wanita dengan endometriosis biasanya dilaporkan terjadi ruam, vaginitis, sakit
kepala, emosi labil, berkeringat, berjerawat, depresi, atropi payudara, pusing,
dan nausea.
g. Nama dagang : Zoladex

1. Danocrine
a. Farmakodinamik :
Danazol menghambat aksis pituitary-ovarium dengan menghambat
pengeluaran pituitary dari gonadotropin. Danazol memiliki aktifitas kerja
androgenik yang lemah.
b. Farmakokinetik :
Danazol diabsobsi pada GIT, dan kadarnya akan meningkat apabila saat
pemberian bersamaan dengan makanan. Obat ini akan mengeliminasi
kadarnya dalam plasma pada 3 hingga 6 jam pada dosis tunggal namun waktu
paruh dapat lebih lama hingga 26 jam dengan dosis yang diulang. Danazol
dan metabolitnya dimetabolisme pada hepar melalui siklus enterohepatik.
Metabolit akan dieksresikan di urin dan feses.
c. Indikasi :
Endometriosis yang terbukti secara visual (misalnya dengan laparoskopi) yang
mensyaratkan end-point terapi, fertilitas.
d. Dosis & Cara Pemberian :
200-800 mg per hari dengan dosis terbagi 2-4. Direkomendasikan untuk terapi
awal diberikan dosis 800 mg per hari dengan dosis terbagi 4. Pengobatan
diteruskan tanpa terputus 3-6 bulan, dan jika perlu sampai 9 bulan.
e. Efek samping :
Jerawat, meningkatkan berat badan, rambut rontok, hirsutism, gangguan
menstruasi berupa perubahan siklus, ruam pada kulit, nausea, vomiting,
konstipasi, kram otot, sakit kepala, emosi labil, ansietas, dan gangguan selera
makan.
Danocrine memperpanjang prothrombine time pada pasien yang
menggunakan warfarin. Danocrine juga bisa mengurangi klirens plasma
carbamazepine, sehingga bisa meningkatkan waktu paruh eliminasi dan
konsentrasi plasma. Obat ini juga bisa meningkatkan kadar plasma
cyclosporin dan tacrolimus.
f. Kontraindikasi :
Hipersensitif, seizure disorder, insufisiensi renal dan hati, penyakit jantung,
menyusui, pendarahan genital yang tak terdiagnosa, dan porphyria.
g. Peringatan :
Selama pengobatan lakukan cek dan penghitungan darah secara teratur
h. Nama dangang : Danazol

1. Leuprolide Acetate
a. Farmakodinamik :
Leuprolide merupakan analog gonadorelin. Pemberian yang berlanjut
digunakan untuk menekan produksi hormone seks gonad pada penanganan
neoplasma ganas pada prostat, pada orang yang dewasa belum pada waktunya,
pada endometriosis dan uterus yang fibroid.
b. Farmakokinetik :
Leupropelin asetat tidak aktif apabila diberikan secara oral, namun diabsorbsi
baik melalui injeksi subkutan atau intramuscular. Absorpsi leuprolide
mengalami peningkatan awal pada konsentrasi plasma, dengan kadar puncak
berkisar 4,6 hingga 10,2 ng/mL pada jam keempat setelah pemberian dosis.
c. Indikasi :
Depot leuprolide acetate 3,75 mg diindikasikan untuk penanganan
endometriosis, termasuk mengurangi nyeri dan lesi endometriosis. Depot obat
ini yang diberikan sekali sebulan juga digunakan untuk terapi awal
endometriosis dan gejala kekambuhan. Obat ini juga diberikan sebelum
pembedahan uterus untuk mengurangi jaringan endometrium, dan digunakan
pada penanganan kanker payudara pada wanita pre menopause.
d. Dosis & Cara Pemberian :
Injeksi intramuskular 3,5-7,5 mg/mo, tapi jangan melebihi 6 bulan masa
terapi dan tidak menambah dengan terapi estrogen serta progestin dosis
rendah.
e. Efek samping :
Sakit kepala, asthenia, gangguan saluran cerna, nausea, jerawat, bingung,
pusing, dan reaksi kulit.
f. Kontraindikasi :
Mereka yang hipersensitif dengan leuprolide, kehamilan, pendarahan vaginal
yang tak terdiagnosa, dan spinal cord compression.
g. Peringatan :
Berhati-hati untuk pasien dengan penyumbatan saluran urin dan monitor
pasien untuk weakness dan paresthesias.
h. Nama dagang : Lupron
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Hal 241, 352, 353, 356, 496,
565, 590, 662,835,1028, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Hal 357, 361, 281-282, 317,
291-292. Jakarta: DepKes RI.
Braude, P., & Taylor, A. 2003. ABC of Subfertility. 5. 21. USA: BMJ.
Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, 6th edition. 1485-
1490. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Kapoor, D. 2009. Endometriosis. (Online), (http://emedicine.medscape.com, diakses 23
Desember 2009)
McKay, D., dkk. 2000. Gynaecology Illustrated. Toronto: Churcill Livingstone. Hal 124-
128.
Nusratuddin & Rambulangi, J. 1999. Endometriosis dalam Murah Manoe, et al (Eds).
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri Ginekologi. Ujung Pandang: FK
Universitas Hasanuddin.

Prabowo, R.P. 2007. Endometriosis dalam Hanifa Wiknjosastro, dkk (Eds). Ilmu
Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Storment, John M. 2006. Endometriosis dalam Michael Curtis, dkk (Eds). Glass' Office
Gynecology, 6th Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai