Anda di halaman 1dari 15

Makalah

(Hukum dan agama)


Tugas Mata Kuliah Agama islam

Dosen Pengajar : Muhammad Harun, S.S

Oleh :
Alfan Rasyid
Diky Afrianto S

Kelas : 1SE (Teknik Sipil)



POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA PALEMBANG
2014/2015






KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami.
Dengan demikian kami dapat menyelesaikan makalah ini agar pembaca dapat memperluas
wawasan tentang hukum dalam agama islam.
Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagi
semua.

















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
A. AL-QURAN

BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ......20
3.2. Saran ........................21

Daftar Pustaka ........22














BAB I
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang
berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang
utama adalah Al Quran dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan
kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat
bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Quran dan sunah
Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya. Bila definisi ini dikaitkan
dengan Islam atau syara maka hukum Islam berarti: seperangkat peraturan
bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku
manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang
beragama Islam. Maksud kata seperangkat peraturan disini adalah peraturan yang
dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia
maupun di akhirat.

A. Al Quran
Al Quran berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-
angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Quran
diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Quran
merupakan ibadah.
Al Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya
Al Quran memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan
dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari
akhir, serta qadha dan qadar


2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki
budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Quran
Isi kandungan Al Quran dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Quran (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan
Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam
dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki
sifat sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti
perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan
dan lain sebagainya.




Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu
perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya
agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan
hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar
kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq
dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Quran ada yang rinci dan ada yang garis
besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,
kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat taabud (dalam
rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk
memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum)
yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti
perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Quran yang
berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali
hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
zaman.
Selain ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan
dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang
berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.






B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al Quran. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: (lihat Al-Quran onlines di google)
!$tBur N39s?#u Aq 9$# nr s $tBur N39pktX mYt (#qgtFR$$s
4
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad
SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila
seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh
Rasulullah SAW:
Artinya: Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya. (HR Imam
Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Quran, sehingga
kedunya (Al Quran dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
Misalnya Allah SWT didalam Al Quran menegaskan untuk menjauhi perkataan
dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Quran onlines di
google)
Artinya: Jauhilah perbuatan dusta (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.


1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Quran yang masih
bersifat umum. Misalnya, ayat Al Quran yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak
merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji.
Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh
lain, dalam Al Quran Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-Quran onlines di google)
Artinya: Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi (QS Al Maidah :
3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai
mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada
bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
,

)
Artinya: Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua
macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati
dan limpa (HR Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Quran.
Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh
kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

) )
Artinya: Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh
sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah (HR Muslim, Ahmad, Abu
Daud, dan Baihaqi)






Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu
kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan
kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya
dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal










C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Quran maupun Hadits, dengan
menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara
menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber
hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat
yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW,
bertanya kepada Muadz, bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan
pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?, muadz menjawab, Saya
akan menetapkan hukumdengan Al Quran, Rasul bertanya lagi, Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Quran? Muadz menjawab, Saya akan tetapkan
dengan Hadits. Rasul bertanya lagi, seandainya tidak engkau temukan ketetapannya
dalam Al Quran dan Hadits, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapat
saya sendiri kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal,
tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam setelah Al Quran dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Quran dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al
Quran dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW
bersabda:

)
Artinya: Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan
ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang
hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya
salah, maka ia memperoleh satu pahala. (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad,
tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa


rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
)

)
Artinya: Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat (HR Nashr
Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma dan qiyas. Ijma
adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu
masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
(lihat Al-Quran onlines di google)
Artinya: Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu. (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
demikian, ijma ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam ialah
mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi
mushaf Al Quran, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya
dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat
persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras,
seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang
disebut dalam Al Quran karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan),
yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam
Al Quran atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan
khamar yang ada hukumnya dalam Al Quran.






Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya
mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan
secara kongret dalam Al Quran dan hadits yang didasarkan atas kepentingan
umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum
tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
kongkret dalam Al Quran dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat
istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-
hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama
sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan
dengan ajaran Al Quran dan hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang
tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu.
Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah
ditetapkan.
Al Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
Zarai, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah
atau untuk menghilangkan mudarat.




D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW
dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk
orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu
sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Quran, hadits, ijma mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya
menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum
muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu,
zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafiie berpendapat
apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim
wajib mengikutinya.


2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-
hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas
memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan
salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis
bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:


Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama
keduanya belum berpisah. Kata berpisah yang dimaksud dalam hadits ini mungkin
berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu
semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu, dalam memahami ayat:
Artinya: Dan sapulah kepalamu (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-
mata tidak membaca basmalah.


Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qai (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi
pada suatu masa telah sepakat (ijma) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah
dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap
muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah
disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu
menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin
merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh
hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui
bahwa pada huku itu telah terjadi ijma (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya
semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan
penelitian.


2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qati ataupun zanni, dan tidak pula ada
kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-
kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid.
Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan
lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum
seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau
tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama
telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah
hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah
diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad
seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu
sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu
belum diubahnya.

Anda mungkin juga menyukai