Disusun oleh: Ester Sibarani 090100091 Shinly Meivinita Ginting 090100251 Christine R.T Simanjuntak 090100335 Johannes D.I.U Hutapea 090100282 Mark Timotius Siahaan 090100252 Sweet Chatherine Marpaung 090100303 Prasti Windika Syafitri 090100171 Maya Fitrie Nadya Lubis 090100176 T. Abdurrahman Johan 090100244 Arif Fadhilah Nasution 090100246 M. Dwi Harlianta T 080100270
Pembimbing: dr. Ramlan, Sp.U
DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAM MEDAN 2014 i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul Benign Prostat Hyperplasia. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dokter pembimbing, dr. Ramlan, Sp.U, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3 2.1 Anatomi Abdomen ..................................................................... 3 2.2 Trauma Abdomen ..................................................................... 5 2.2.1 Definisi Trauma Abdomen .............................................. 5 2.2.2 Klasifikasi Trauma Abdomen .......................................... 6 2.3 Trauma Tajam ............................................................................. 7 2.3.1 Definisi Trauma Tajam .................................................... 7 2.3.2 Insidensi Trauma Tajam .................................................. 7 2.3.3 Etiologi Trauma Tajam .................................................... 8 2.3.4 Mekanisme Trauma Tajam .............................................. 9 2.3.5 Pemeriksaan Fisik Trauma Tajam ................................... 9 2.3.6 Penaganan Awal Trauma Tajam ...................................... 12 2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Tajam .......................... 15 2.3.8 Penatalaksanaan Trauma Tajam ...................................... 16 2.3.9 Follow Up ........................................................................ 19 2.3.10 Komplikasi ..................................................................... 19 2.3.11 Prognosis ........................................................................ 20 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 22
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2
1.2. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Benign Prostat Hyperplasia (BPH)
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Prostat Anatomi Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika), berada disebelah anterior rektum dan ditembus di bagian posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Prostat normal berukuran 3-4cm didasarnya, 4-6 cm sefalokaudal, dan 2-3 cm pada dimensi anteroposterior. 1,3,7
Kelenjar prostat adalah organ genitalia pria yang sering menjadi neoplasma baik jinak maupun ganas. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Secara anatomis, prostat terletak didalam pelvis vera, dipisahkan dari simfisis pubis di sebelah anterior oleh spatium retropubic (space of Retzius). Permukaan posterior prostat dipisahkan dari ampula rekti oleh fascia Denonvilliers. Dasar prostat bersambungan dengan leher buli-buli, dan apeksnya berada pada permukaan sebelah atas dari diafragma urogenital. Sebelah lateral, prostat berhubungan dengan muskulus levator ani.
Gambar 2.1. Traktus Genitourinari Pria
4
Perdarahan kelenjar prostat berasal dari arteri vesikalis inferior, arteri pudenda interna dan arteri hemoroidalis medius. Drainase vena prostat menuju pleksus periprostatik yang berhubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan vena iliaka interna. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaka interna dan nodus sakralis. Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrikus inferior dan membentuk pleksus prostatikus. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah. 1,7, 8
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus, yaitu lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus posterior. Menurut konsep terbaru kelenjar prostat merupakan suatu organ campuran terdiri atas berbagai unsur glandular dan non glandular. Telah ditemukan lima daerah/ zona tertentu yang berbeda secara histologi maupun biologi, yaitu 1 : Zona Anterior atau Ventral: sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat. Zona Perifer: sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak. Zona Sentralis: lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi. Zona Transisional: zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH). 5
Kelenjar-Kelenjar Periuretra: bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Gambar 2.2. Zona Prostat Fisiologi 1,4
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos.
2.2 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) 2.2.1 Definisi Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau hiperplasia fibromuskular yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat walaupun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia. 1,2,3
6
Gambar 2.3. Gambaran Prostat pada Benign Prostatic Hyperplasia
2.2.2 Histopatologi 4,6
Daerah yang sering dikenai adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial. Berat prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga dilaporkan pembesaran prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara mikroskopik gambaran yang terlihat tergantung pada unsur yang berproliferasi. Bila kelenjar yang banyak berproliferasi maka akan tampak penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel silindris atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam lumen. Membrana basalis masih utuh. Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar kecil-kecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Di dalam lumen sering ditemukan deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler dan kadang-kadang corpora amylacea (hyaline concretion). Dalam stroma sering ditemukan infiltrasi sel limfosit. Bila unsur fibromuskuler yang bertambah maka tampak jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan, disebut hiperplasia fibromatosa. 7
Gambar 2.4. Gambaran Histopatologi Prostat pada BPH Ketergantungan sejumlah relatif elemen stroma dan kelenjar, maka tipe hiperplasia prostat yang sering ditemukan adalah fibromyoglandular dan fibromyomatosa. Perubahan sekunder yang terjadi adalah infark akibat nodul menekan pembuluh darah.
2.2.3 Epidemiologi Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. 1,9,10 Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hiperplasia prostat, mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor lain selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang berhubungan dengan prostatektomi, 8
namun ras, habitus, riwayat vasektomi, kebiasaan seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH. 1,4,6
2.2.4. Etiologi 1
Etiologi dari BPH belum dapat dimengerti secara lengkap, tetapi nampaknya multifaktorial dan diatur oleh sistem endokrin. Postat terdiri dari elemen stroma dan epitelial, dan masing-masing, baik sendiri maupun bersamaan dapat membentuk nodul hiperplastik dan gejala-gejala yang berhubungan dengan BPH. 3 Tiap elemen dapat mejadi target dalam pengobatan. Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosteron (DHT) dan proses aging (proses menua).
Tabel 1. Teori Etiologi Benign Prostate Hyperplasia (BPH) Teori Penyebab Efek Dihydrotestosteron 5- reductase dan reseptor androgen hiperplasia epitel dan stroma Imbalans oestrogen- testosteron oestrogens testosteron hiperplasia stroma Interaksi stromal epitel epidermal growth factor/ fibroblast growth factor transforming growth factor hiperplasia epitel dan stroma Penurunan kematian sel ( apoptosis) oestrogen waktu hidup sel stroma dan epitelium Teori stem cells stem cells proliferasi transit cells Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: 1,2,5,6,
1. Teori Dihydrotestosteron (DHT) Testosteron yang dihasilkan oleh Leydig cell pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam 9
target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5-alpha reductase menjadi 5-dihydrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi.
2. Teori Hormonal (Estrogen-Testosteron Imbalance) Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis diperoleh kesimpulan bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Sedangkan dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
10
3. Teori Growth Factor (Faktor pertumbuhan) Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat hiperplasia prostat. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-(TGF-) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
4. Teori Penurunan Kematian Sel Proses penuaan dapat mengakibatkan blokade proses maturasi pada stem sel, mencegahnya memasuki tahap kematian sel terprogram (apoptosis). Akibat dari proses penuaan pada penelitian hewan nampaknya dimediasi melalui sinergisme estrogen yang menginduksi reseptor androgen, menganggu metabolisme steroi, berakibat meningkatkan kadar DHT dalam prostat sehingga menghambat kematian sel ketika diberikan bersamaan dengan androgen dn menstimulasi poduksi kolagen stroma.
5. Teori Sel Stem (Stem Cell Hypothesis) Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
6. Teori Reawakening Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zona transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan glandular 11
morphogenesis yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.
2.2.5 Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. 3 12
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infravesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik. 1
2.2.6 Gambaran Klinis 1,4,6 Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya disertai dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia prostat adalah sumbatan saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh dua komponen, pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang akhimya dapat meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut selanjutnya menyebabkan terjadinya sumbatan aliran kencing. Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan iritasi. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus- putus. Gejalanya ialah : - Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistency) - Pancaran urin menjadi lemah (poor stream) - Pancaran miksi terputus-putus (intermitency) - Rasa tidak puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying) - Urin menetes pada akhir miksi (terminal dribling) 13
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu: (1) volume kelenjar periuretral, (2) elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat, dan (3) kekuatan kontraksi otot detrusor. Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi. Gejala iritasi disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin sehingga urin masih berada dalam buli-buli pada akhir kencing. Retensi urin kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Gejalanya antara lain: - Rasa tidak dapat menahan kencing (urgensi) - Terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari (nocturia) - Bertambahnya frekuensi kencing - Nyeri pada waktu kencing (disuria)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai 14
dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis. 3
15
Tabel 2. I nternational Prostate Symptom Score (IPSS)
Dari IPSS, gejala LUTS dikelompokkan dalam 3 derajat, yaitu: Ringan : skor 0-7 Sedang : skor 8-18 Berat : skor 19-35
Jika pada waktu kencing penderita hampir selalu mengedan, lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Adanya batu saluran kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Hematuria bisa juga terjadi karena ruptur dari vena-vena yang berdilatasi pada leher vesika uninaria. Selain itu, batu tersebut 16
bisa menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi pyelonefritis. Kadang- kadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali tidak dapat kencing sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. 1,4,5
Dengan pemeriksaan colok dubur, dapat memberi kesan keadaan tonus spingter anus, kelainan yang berada di mukosa rektum dan pembengkakan dalam rektum dan prostat. Pada pemeriksaan ini harus diperhatikan konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal) apakah simetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba. Apabila batas atas masih bisa diraba biasanya diperkirakan berat prostat kurang dari 60 gram. Tentu saja penentuan berat prostat dengan cara ini tidak akurat. Sebaliknya colok dubur cukup baik untuk mengetahui adanya keganasan prostat. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau letaknya asimetris dengan bagian yang lebih keras. 1,4,5
Retensi urin dapat terjadi dengan kelenjar yang dirasakan normal pada pemeriksaan colok dubur, sebaliknya kelenjar yang dirasakan membesar bisa tidak menimbulkan gejala obstruksi saluran keluar vesika urinaria. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah penderita kencing spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Volume sisa urin setelah kencing normal pada pria dewasa sekitar 35 ml. Sisa urin dapat juga diketahui dengan ultrasonografi buli-buli setelah kencing, sisa urin lebih dari 100 ml, biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiperplasia prostat. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan pancaran urin pada waktu kencing, cara pengukuran ini disebut uroflowmetri. Angka normal untuk pancaran urin rata-rata 10-12 ml/detik dengan pancaran maksimal sampai 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran maksimal menjadi 15 ml/detik. Tetapi pada pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara kelemahan otot detrusor dengan obstruksi intravesikal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, seperti foto polos abdomen, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan seperti batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel saluran kemih. Pembesaran prostat dapat dilihat lesi profusio prostat kontras pada dasar buli-buli. Secara tidak langsung 17
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membengkok ke atas berbentuk seperti mata kail. 1,4,5
2.2.7 Diagnosis 1,4,5
The Third International Consultation on BPH menganjurkan untuk menganamesa keluhan kencing terhadap setiap pria berumur 50 tahun atau lebih jika ditemukan prostatismus lakukan pemeriksaan dasar standar kemudian jika perlu dilengkapi dengan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan standar meliputi : Hitung skor gejala, dapat ditentukan dengan menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score, IPSS) Riwayat penyakit lain atau pemakai obat yang memungkinkan gangguan kencing. Pemeriksaan fisik khususnya colok dubur.
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui : 1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif 2. Pemeriksaan fisik: terutama colok dubur, hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba. 3. Pemeriksaan laboratorium a. Darah : Ureum dan Kreatinin Elektrolit Blood Urea Nitrogen Prostate Specific Antigen (PSA) Kadar Gula darah b Urin: Kultur urin dan uji sensitifitas
18
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik Sedimen 4. Pemeriksaan Radiologi a Foto polos abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat. b Pielografi Intravena (IVP) Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli. Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin c Sistogram retrograd Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. d Transrektal Ultrasonografi (TRUS) Deteksi pembesaran prostat Mengukur volume residu urin e MRI atau CT jarang dilakukan Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan.
19
5. Pemeriksaan lain a Uroflowmetri Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh: Daya kontraksi otot detrusor tekanan intravesica Resistensi uretra Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan. b Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur. c Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG. 1,2,3,7,8
20
2.2.8 Diagnosis Banding 1. Kelemahan detrusor kandung kemih kelainan medula spinalis neuropatia diabetes mellitus pasca bedah radikal di pelvis farmakologik 2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh : kelainan neurologik neuropati perifer diabetes mellitus alkoholisme farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik) 3. Obstruksi fungsional : dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter ketidakstabilan detrusor 4. Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis 5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh : hiperplasia prostat jinak atau ganas kelainan yang menyumbatkan uretra uretralitiasis uretritis akut atau kronik striktur uretra 6. Prostatitis akut atau kronis
2.2.9 Terapi 1,4,6 Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, dimana terapi spesifik dapat diberikan untuk pasien kelompok tertentu. Pasien dengan gejala ringan (symptom score 0-7), dapat hanya dilakukan watchful waiting. Pasien dengan gejala sedang (symptom score 8-18), dapat diberikan terapi medikamentosa. Pasien dengan gejala berat (symptom score 9-35), dilakukan operasi. 21
Selain itu, indikasi dilakukan operasi adalah: 1,8
Retensi urin berulang Infeksi saluran kemih berulang Gross hematuria berulang Batu buli-buli / divertikel Insufisiensi ginjal. Dilatasi traktus atas (hidroureter, hidronefrosis). Tabel 3. Penatalaksanan BPH 1
Observasi Watchful waiting Medikametosa - Alpha blocker : terazosin, prazosin, tamsulsin, dll - Supresi androgen : 5 -reduktase inhibitor - Fitoterapi Operasi konvensional - Transurethral resection of the prostate (TURP) - Transurethral incision of the prostate (TUIP) - Open simple prostatectomy Invasif minimal - Laser - Transurethral electrovaporization of the prostate - Hyperthermia - Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA) - High Intensity focused ultrasound - Intraurethral stents - Transurethral balloon dilation of the prostate
A. Watchful waiting 1,4,5 Watchful waiting merupakan penatalaksanaan pilihan untuk pasien BPH dengan symptom score ringan (0-7). Besarnya risiko BPH menjadi lebih berat dan munculnya komplikasi tidak dapat ditentukan pada terapi ini, sehingga pasien dengan gejala BPH ringan menjadi lebih berat tidak dapat dihindarkan, akan tetapi beberapa pasien ada yang mengalami perbaikan gejala secara spontan.
B. Medikamentosa 1,4,5 1. Penghambat alfa (alpha blocker) Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor- 1 , dan prostat memperlihatkan respon kontaktil terhadap pengaruh penghambat alfa. Komponen 22
yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor 1 a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa perbaikan subyektif dan obyektif terhadap gejala dan tanda (sign and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya. Contoh penghamba alpha yang ada antara lain prazosin, terazosin, doxazosin dan yang lebih baru tamslosin (blokade selektif pada reseptor 1a). Efek samping penghambat apha antara lain hipotensi ortostaik, pusing, kelelahan, ejakulasi retrograd, rinitis dan sakit kepala. Efek samping ini lebih sedikit pada penggunaan penghamba 1a yang lebih selektif.
2. Penghambat 5-Reduktase (5-Reductase inhibitors) Finasteride adalah penghambat 5-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi dehidrotestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna mendapat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan pada gejala-gejala. Walupun begitu, perbakan gejala hanya terliat pada prostat yang membesar > 40 cm 3 . Efek samping termasuk penurunan libido, penurunan volume ejakulat dan impotensi.
3. Fitoterapi Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh- tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.
C. Operasi konvensional 1,4,5 1. Transurethral resection of the prostate (TURP) Sembilan puluh lima persen simpel prostatektomi dapat dilakukan melalui endoskopi. Umumnya dilakukan dengan anestesi spinal dan dirawat di rumah sakit selama 1-2 hari. Perbaikan symptom score dan aliran urin dengan TURP lebih tinggi 23
dan bersifat invasif minimal. Risiko TURP adalah antara lain ejakulasi retrograd (75%), impotensi (5-10%) dan inkontinensia urin (<1%). Komplikasi tindakan ini antara lain perdarahan, striktur uretra atau kontraktur leher buli, perforasi kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada kasus yang berat, sindrom TUR yang berakibat hipervolemi, hiponatremi karena absorpsi cairan irigasi yang hipotonik (H 2 O). Manifestasi klinik sindrom TUR adalah mual, muntah, konfusi, hipertensi, bradikardi dan gangguan visual. Risiko sindrom TUR meningkat pada waktu reseksi yang melebihi 90 menit. Penatalaksanaanya termasuk pemberian diuresis dan pada kasus yag berat, diberikan saline hipertonik.
Gambar 2. Transurethral resection of the prostate (TURP)
2. Transurethral incision of the prostate(TUIP) Pada pasien dengan gejala sedang-berat dan prostat yang kecil sering terjadi hiperplasia komisura posterior (kenaikan leher buli-buli). Pasien dengan keadaan ini lebih mendapat keuntungan dengan insisi prostat. Prosedur ini lebih cepat dan morbiditas lebih sedikit dibandingkan TURP. Retrograde ejakulasi terjadi pada 25% pasien.
Gambar 2. Transurethral incision of the prostate(TUIP) 24
3. Open Simple Prostatectomy Jika prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan endoskopi, maka enukleasi terbuka diperlukan. Prostat lebih dari 100 gram biasanya dipertimbangkan untuk dilakukan enukleasi terbuka. Open prostatectomy juga dilakukan pada BPH dengan divertikulum buli-buli, batu buli-buli dan pada posisi litotomi tidak memungkinkan. Open prostatectomy dapat dilakukan dengan pendekatan suprapubik ataupun retropubik. Simple suprapubic prostatectomy (Frayer) dikerjakan melalui pembukaan buli-buli dan pemilihan metode ini berhubungan dengan adanya patologi pada buli. Pada metode simple retropubic prostatectomy (Millin), buli tidak dibuka dan incisi langsung dilakukan pada kapsul prostat.
Gambar 2. Open Simple Prostatectomy
D. Terapi minimal invasif 1,4,5 1. Laser Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar laser adalah Nd:YAG dan holmium:YAG. Teknik coagulation necrosis salah satunya: transuretral laser-induced prostatectomy (TULIP) yang dikerjakan dengan panduan ultrasonografi transrektal. Teknik visual coagulative necrosis dikerjakan degan kontrol cystoscopic. Teknik visual contact ablative dikerjakan dengan fiber yang diletakkan langsung bersentuhan dengan jaringan prostat yang dvaporisasi. Teknik lainnya adalah Interstitial laser therapy. Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah: kehilangan darah minimal, jarang terjadi sindroma TUR, dapat mengobati pasien yang sedang menggunakan antikoagulan, dan dapat dilakukan out patient procedure. Sedangkan kerugian operasi 25
dengan laser antara lain: sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi, pemasangan kateter postoperasi lebih lama, lebih iritatif, dan biaya besar.
2. Transurethral electrovaporization of the prostate Transurethral electrovaporization of the prostate menggunakan resektoskop. Arus tegangan tinggi menyebabkan penguapan jaringan karena panas, menghasilkan cekungan pada uretra pars prostatika. Prosedurnya lebih lama dari TUR.
3. Hyperthermia Hipertermia gelombang mikro dihantarkan melalui kateter transuretra. Alat lainnya mendinginkan mukosa uretra. Namun jika suhu lebih rendah dari 45C, alat pendingin tidak diperlukan.
Gambar 2. Hypertermia gelombang mikro 4. Transurethal needle ablation of the prostate Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA) menggunakan kateter yang didesain khusus melalui uretra. Jarum interstitial dengan frekuensi radio kemudian keluar dari ujung kateter, melubangi mkosa uretra pars prostatika. Penggunaan frekuensi radio tersebut untuk memanaskan jaringan sehingga megakibatkan nekrosis koagulatif. 26
Gambar 2. Transurethal needle ablation of the prostate
5. High-intensity focused ultrasound Metode ini dilakukan dengan meletakkan probe ultrasonografi didalam rektum yang akan menampilkan gambaran prostat dan menghantarkan energi panas dari high-intensity focused ultrasound, yang akan memanaskan jaringan prostat dan menjadi nekrosis koagulasi.
6. I ntraurethral stents Intraurethral stents adalah alat yang ditempatkan pada fossa prostatika dengan endoskopi dan dirancang untuk mempertahankan uretra pars prostatika tetap paten.
Gambar 2. I ntraurethral stents
7. Transurethral balloon dilation of the prostate Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang ukurannya kecil (<40cm 3 ). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini. 27
Gambar 2. Transurethral balloon dilation of the prostate
2.2.10 Kontrol Berkala 5
Watchfull waiting Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat perbaikan klinis Pengobatan penghambat 5-reduktase Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 Pengobatan penghambat 5-adrenegik Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi Terapi invasive minimal Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin Pembedahan Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.
28
DAFTAR PUSTAKA 1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew University of Medicine and Science, University of California, Los. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. [Accessed 25 October 2014] 3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. 4. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery, Indiana University School of Medicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. [Accessed 25 October 2014] 5. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency Medicine, New York University, Bellevue Medical Center. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. [Accessed 25 October 2014] 6. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. [Accessed 25 October 2014] 7. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 8. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American College of Surgeons. Available from : http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf [Accessed 25 October 2014] 9. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta 10. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000. 11. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC