Anda di halaman 1dari 8

Tambahan materi

- Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses
tumbuh kembang anak. Faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor
bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.
Gangguan pertumbuhan di negara maju sering diakibatkan oleh faktor genetik
ini. Sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia, gangguan
pertumbuhan selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga faktor lingkungan
yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal.
- Faktor Lingkungan
- Sehingga setiap kelainan atau penyimpangan sekecil apapun apabila tidak
terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas
sumber daya manusia kelak kemudian hari.
- Personal social (kepribadian atau tingkah laku sosial).
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya.

- Fine motor adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampan anak untuk mengamati sesuatu,
melakukan gerakan yang melibatkan bagian- bagian tubuh tertentu saja dan
dilakukan otot- otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.
Misalnya, kemampuan untuk menggambar, memegang sesuatu benda, dan
lain- lain.
- Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah
dan berbicara spontan.
- Gross motor (perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Tumbuh kembang anak adalah hasil interaksi antara faktor genetik dengan
lingkungan bio- fisiko- psikososial. Oleh karena itu untuk Evaluasi lingkungan
bisa dinilai dari cara bagaimana anak bersosialisasi dengan
..PERILAKU SOSIAL
Adaptasi adalah suatu proses kontinu, yang dimulai sejak anak dilahirkan.


baliPeriode penting dalam tumbuh kembang BALITA, SOSIAL
PERILAKU,

- Bahas perkembangan
- Perkembangan sosial/ perilaku
- Kaus di indonesia
- Dewasa ini Ibu
- TPA dan baby sitter




Menanjak ke level pertumbuhan selanjutnya yaitu masa balita, fakta di Indonesia
masih memperlihatkan masalah besar. Almarhum Mantan Menteri Kesehatan Ibu
Endang Rahayu Sedyaningsih pernah menyebutkan, Indonesia masuk dalam
peringkat kelima Negara dengan kekurangan gizi se-dunia. Dimana jumlah balita
yang mengalami kekurangan gizi sebanyak 900 ribu jiwa, yaitu sekitar 4,5% dari
jumlah balita sebanyak 23 juta jiwa. Kasus kekurangan gizi anak balita di NTB
masih tertinggi di Indonesia mencapai 30,5% (Depkes). Kata Dr. Fitri N
Pulukadang (Pengurus Yayasan Gema Sadar Gizi).
Bahkan kata Fitri yang mengutip pernyataan Prof A Razak Thaha (Ahli Gizi
Unhas Makassar dan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Gizi Klinik IndonesiaI)
di dalam suatu diskusi yang diadakan oleh Yayasan Gema Sadar Gizi yang
mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2007-2010) anggaran
untuk perbaikan gizi masyarakat terus meningkat, namun angka prevalensi
penurunan gizi kurang hanya sedikit, yakni dari 18,4 persen di 2007 turun cuma
menjadi 17,9 persen di 2010 yang berarti 3,7 juta balita yang kurang gizi. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 juga mencatat 35,7% anak Indonesia
tergolong pendek akibat masalah gizi kronis, estimasi ada 7,3 juta anak Indonesia
yang jadi pendek. Kini Indonesia menghadapai permasalahan baru berupa beban
ganda gizi. Selain masalah gizi kurang yang masih banyak, Indonesia pun
menghadapi ancaman gizi lebih (obesitas) pada anak. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010, prevalensi kegemukan pada anak
balita secara nasional 14 persen, di mana pada penduduk kaya prevalensinya bisa
mencapai 14,9 persen sedangkan pada penduduk miskin mencapai 12,4 persen.
Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara tercatat memiliki angka rata-rata
prevalensi tertinggi, yakni 19,2 persen. Masalah ini semakin meningkat akibat
pola diet tinggi karbohidrat dan lemak yang tidak disertai dengan aktivitas fisik
yang memadai (aktivitas fisik yang kurang). Anak-anak Indonesia yang menderita
kekurangan gizi dapat menyebabkan sering sakit, lesu, sering bolos, serta
kurangnya daya tangkap dan kreativitas di sekolah. Implikasinya adalah
kebodohan akan semakin merajalela. Asupan gizi ini memegang peran penting
hingga terutama dimasa anak berusia dua tahun. Sebab pada saat inilah sel-sel
otak berkembang pesat, dan 80% sudah saling terhubungan (interkoneksi). Inilah
yang akan menentukan kecerdasannya. Jika pada masa ini asupan gizinya
mengalami gangguan, seperti gizi buruk, perkembangan otak akan ikut terganggu.
Apa yang disampaikan oleh pembicara sebelumnya, itu baru berfokus kepada
persoalan gizi yang sangat berperan kepada tumbuh kembang generasi penerus
bangsa. Belum lagi ketika kita berbicara dampak paparan polusi terhadap
perkembangan janin dan balita, sela Dr. Rosita Rivai (Sekretaris Yayasan Gema
Sadar Gizi dan Wakil Sekjen PB IDI). Menurut Rosita, paparan polusi yang saat
ini menjadi pembicaraan adalah paparan asap rokok. WHO, badan kesehatan
dunia, bahkan memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah
dari seluruh anak di dunia ini, termasuk bayi yang masih menyusu pada ibunya,
terpaksa menghisap udara yang terpolusi asap rokok. ironisnya, hal itu justru lebih
banyak di dalam rumah mereka sendiri. Tidak heran kemudian jumlah perokok
anak usia 10-14 tahun naik hingga 6 kali lipat dalam 12 tahun, yaitu dari 71.126
anak pada 1995 menjadi 426.214 anak pada 2007 (Lembaga Demografi FEUI,
2010). Di tahun 2010 angkanya meningkat 19%.
Memang sesuatu yang ironi kata Rosita, sebab dengan sumber ekonomi terbatas,
63 % pria dewasa dari 20% penduduk miskin di Indonesia membelanjakan 12%
penghasilan bulanannya untuk rokok, yang merupakan pengeluaran kedua setelah
padi-padian. Data Susenas 2006 menunjukkan pengeluaran untuk membeli rokok
adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk beli telur dan susu, dua kali lipa
pengeluaran untuk ikan, dan !7 kali lipat pengeluaran untuk beli daging.

Dr. Tirta Prawaita Sari, MSc, Sp.GK (Ketua Yayasan Gema Sadar Gizi), yang
mendapat kesempatan bicara terakhir, mengatakan anak sebagai investasi bangsa
yang utama seringkali hanya berbatas pada slogan semata. Lingkungan kondusif
yang merupakan prasyarat bertumbuhnya investasi ke arah tujuan bangsa ini
tampaknya belum sepenuhnya tercipta. Anak tak jarang harus tumbuh dalam
suasana serba kekurangan atau juga berkelebihan dalam konotasi negatif.

Sudah dipahami bersama, periode emas pertumbuhan anak adalah dimasa 1000
hari pertama kehidupan yang dihitung sejak awal pembuahan. Segala bentuk
pertumbuhan jasmani dan perkembangan anak mencapai puncak maksimal di
masa ini. Otak mengalami evolusi terbesarnya, demikian halnya pemahaman
emosional anak. Banyak sikap dan kemampuan bahasa terbentuk di masa ini.
Ibaratnya spons, maka otak anak menyerap segala informasi dengan kecepatan
mengagumkan dibandingkan dengan usia lainnya. Sayangnya periode ini juga
periode paling rentan dari seorang anak, sehingga sekali saja kekacauan terjadi
maka terganggulah keseluruhan proses, investasi akan mengalami penurunan
nilai. Anak tak tumbuh seperti yang diharapkan. Ungkap Tirta yang juga dosen
Gizi Klinik FK Univ Muhammadiyah Jakarta ini.

Berfokus pada hal tersebut, lingkungan kondusif yang sepatutnya disiapkan harus
mencakup pengamanan periode emas 1000 hari pertama tadi. Menarik
menyikapi wacana cuti hamil selama 2 tahun yang dikeluarkan oleh Dahlan Iskan,
bila menarik benang merah, harusnya ini kabar baik. Dua tahun yang sempurna
bagi perkembangan anak tampaknya berusaha diwujudkan. Namun pada
kenyataannya tak mendapat sambutan yang baik. Tak hanya semata dari kaum
pria pelaku bisnis namun yang ironis justru dari kaum perempuan sendiri. Cukup
menyedihkan, padahal yang sedang kita bicarakan adalah harapan
menumbuhkan investasi bangsa semaksimal mungkin. Bukan hanya sebatas
pada, maaf, waktu produktif wanita pekerja yang hilang, tapi tentang periode
emas yang tak mungkin kembali. Seorang ibu menyusui membutuhkan tak hanya
asupan gizi yang optimal, tapi juga suasana batin yang membuatnya nyaman saat
menyusui. Menyusui bukan proses sederhana yg diterjemahkan dari asupan gizi
saja, tapi ada kesadaran psikis dan dukungan emosional keluarga. Sehingga
dapatlah dipahami, seorang ibu pekerja yang memiliki bayi, yang dalam
kesehariannya diliputi stress di tempat kerja tak kan mampu menyusui bayi nya
bila di rumah pun ia di desak oleh lingkungan rumah yang tak ramah secara fisik
dan psikis. Air susu ibu tak-kan terproduksi dalam jumlah yang memadai, karena
produksinya amatlah bergantung pada dua hal yang bersifat sinergis, psikis dan
fisik yang sehat, dalam hal ini asupan gizi dan dukungan emosional dari keluarga.
Sayangnya masyarakat yang cenderung kapitalis ini lupa pada kedua hal tersebut
sehingga menempatkan ibu pekerja sama saja dengan layaknya pekerja lain.
Padahal ibu sedang menjalankan fungsi menjaga investasi bangsa. Investasi milik
kita semua, bukan semata miliknya, milik kita sebagai bangsa. Bayinya adalah
bayi kita, bayi bangsa ini. Bangsa inilah rumah kita, sehingga siapapun yang
sedang berjuang menjalankan fungsi eksklusif tersebut harus dilindungi. Sejalan
dengan hal tersebut, maka beberapa hal penting menurut Tirta yang harus
diperhatikan, sbb:
1). Memberikan lingkungan sehat dan kondusif, baik secara psikis dan fisik yang
mencakup kebutuhan gizi dan dukungan emosional kepada ibu hamil sejak awal
kehamilan hingga persalinannya untuk menjamin periode pertumbuhan janin yang
optimal; 2). Mejamin keleluasaan ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan lamanya dengan menjamin lingkungan yang bebas stress dan hal-
hal yang mempengaruhi emosi ibu yang dapat menghambat proses pemberian
ASI. Menjamin asupan nutrisi yang adekuat sebagai upaya dukungan fisik ibu
agar produksi AsI memadai; 3). Mendukung rencana pemberian cuti hamil selama
9 ditambah dengan menyusui hingga setidaknya hingga 6 bulan serta menuntut
penerapan PP No 33 thn 2012 mengenai pemberian ASI eksklusif (sebagai
perintah Pasal 129 (2) UU No.36 Tentang Kesehatan 2009) khususnya pada
kewajiban untuk memberikan keleluasaan bagi ibu untuk memberikan ASI
eksklusif di tempat kerja; 4) .Menuntut lingkungan yang sehat dan kondusif bagi
ibu dan anak agar dapat tumbuh sehat sejahtera dan berkembang menjadi aset
bangsa yang terbaik; 5). Menjaga ibu dari diskriminasi di tempat kerja, dan segala
sikap dan upaya yang menempatkan ibu pada dilema antara mengasuh anak secara
optimal dan kewajiban dari tempat kerja yang menekan dan menyulitkan ibu
dalam memberi kasih sayang pada anak.
Yayasan ini lebih mengharapkan seluruh komponen menjadi satu tim dalam
pengentasan permasalahan yang terjadi pada anak Indonesia, ungkap Mahesa
ketika menutup obrolan Hari Anak Nasional 2012.

Anda mungkin juga menyukai