Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Autis adalah hal yang masih asing bagi masyarakat dan masih banyak
rahasia ataupun hal-hal yang belum bisa menjelaskan secara pasti mengenai
gangguan autis. Para peneliti masih belum mampu menetapkan penyebab utama
dari gangguan autis ini sehingga belum bisa ditemukan metode pencegahan
maupun pengobatan yang tepat (Ginanjar, 2007). Pada perkembangan autis,
beberapa tahun terakhir telah muncul istilah ASD (Autistic Spectrum Disorder)
atau GSA (Gangguan Spektrum Autistik).
ASD menjadi populer akhir-akhir ini karena jumlah anak autis meningkat
tajam selama 20-30 tahun terakhir (Baird, Simonoff, Pickles, Chandler, Loucas,
Meldrum, et al., 2006). J ika angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun,
maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak
pertahun, prevalensi anak laki-laki tiga sampai empat kali lebih besar daripada
anak perempuan (Mashabi, 2009). Untuk wilayah Bandung, Dinas Pendidikan
Provinsi J awa Barat mencatat 559 anak autis tersebar di seluruh SLB di Provinsi
J awa Barat, dengan jumlah tertinggi terdapat di kota Bandung yaitu 126 orang.
Autism Spectrum Disorder adalah ketidakmampuan untuk berkembang
secara kompleks yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain (Autism-Society, 2007). Buten
(2004) menemukan begitu beragamnya karakteristik anak autis sehingga hanya
2



satu kesamaan yang dilihatnya yaitu air of aloness. Mereka berbeda dan
membutuhkan perhatian menyeluruh. Gangguan autis didefinisikan sebagai
gangguan perkembangan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan pada interaksi
sosial, gangguan pada komunikasi, dan keterbatasan minat serta kemampuan
imajinasi (American Psychiatric Association, 2000).
Menurut Simpson & Zionts (2000), anak autis memiliki perilaku yang
bervariasi dan kurangnya interaksi sosial. Penarikan diri dari lingkungan sosial
dan kurangnya komunikasi verbal ataupun nonverbal juga menjadi karakteristik
dari anak autis (APA, 2000). Anak autis cenderung menghindari bahkan tidak
membuat kontak mata dengan orang lain dan lebih memilih tetap berada pada
dunia sendiri. Perilaku anak autis ini akan mengganggu kemampuannya untuk
membentuk hubungan yang berarti bahkan dengan saudaranya sendiri (Hille,
2008).
Hubungan saudara kandung (sibling) adalah hubungan jangka panjang
yang paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang (Berkell, 1994). Hubungan
saudara kandung memberikan kesempatan bagi 2 orang manusia membuat sebuah
kontak fisik dan emosional yang terus menerus pada tahap-tahap kritis sepanjang
kehidupan mereka. Hubungan yang permanen ini memberi kesempatan bagi
saudara kandung untuk memiliki pengaruh yang amat besar antara satu sama lain
melalui interaksi longitudinal (Hapsari, 2001). Gangguan yang terjadi pada salah
satu anggota keluarga, akan mengakibatkan gangguan pada anggota keluarga yang
lain (Wong, 2009). Hastings (2003) memperoleh data pada 26 Ibu dengan anak
gangguan autis yang direkrut dari sekolah autis lokal. Mereka diminta untuk
3



memperhatikan anak mereka yang tidak mengalami gangguan perilaku. Penelitian
ini melaporkan hasil bahwa anak dengan saudara autis memiliki resiko yang tinggi
untuk mengalami gangguan psikososial (Hasting, 2003).
Erikson (dalam Cross, 2001) menyebutkan bahwa perkembangan
psikososial merupakan tahap-tahap kehidupan seseorang semenjak lahir, dibentuk
oleh pengaruh-pengaruh sosial saat berinteraksi dengan suatu organisme sehingga
menjadi matang secara fisik dan psikologis. Lebih lanjut Erikson mengungkapkan
bahwa masa terpenting perkembangan psikososial seseorang adalah pada 18 tahun
awal kehidupan seseorang. Sibling autis ditemukan akan sangat rentan mengalami
kesulitan penyesuaian psikososial pada usia 6-12 tahun. Vert, Roeyers, & Buysse
(2003) menemukan bahwa sibling dari anak autis memperlihatkan lebih banyak
masalah psikososial baik internal maupun eksternal, terutama diantara usia 6-11
tahun (usia sekolah).
Pada usia sekolah ini (latent), perkembangan psikososial anak ditandai
dengan perasaan berprestasi (sense of accomplishment), serta dapat menerima dan
melaksanakan tugas dari orang tua atau guru (Erikson dalam Muscary, 2005).
Hubungan dengan orang terdekat akan meluas. Anak mulai mempelajari
peraturan, kompetensi, dan kerjasama untuk mencapai tujuan. Ini adalah pertama
kalinya anak mulai mengerti arti dari perasaan dan mampu berempati dengan
orang lain setelah sebelumnya anak merasa menjadi pusat dari dunia. Mereka
akan diperkenalkan pada dasar-dasar seperti popularitas, kompetensi sosial,
keagresifan dan kecemasan.
4



Menurut Erikson dalam Kenney (2009) jika tugas spesifik setiap tahap
tidak diselesaikan selama periode kritis, konsekuensi dari kondisi ini adalah
perilaku yang tidak diinginkan. Erikson percaya bahwa konflik psikososial dapat
menyebabkan mempengaruhi konsistensi dalam perilaku manusia. Gangguan pada
perkembangan psikososial ini menurut Winslow (2006) ditandai dengan gangguan
pada perilaku internal dan eksternal. Terkadang dapat dilihat dengan adanya
gangguan perhatian. Gangguan psikosial yang tidak ditangani pada anak usia
sekolah akan memberikan dampak serius pada tahap perkembangan selanjutnya.
Pembentukan dasar yang tidak baik selama masa kanak-kanak membuat anak
tidak akan dapat menguasai tugas-tugas perkembangan masa remaja.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi perkembangan
psikososial sibling autis. Penelitian yang dilakukan oleh Rodrigue, Geffken, &
Morgan (1993) menemukan bahwa saudara yang lebih tua dari anak dengan
gangguan autis memiliki banyak masalah perilaku internal maupun eksternal. Hal
ini bisa terjadi karena mereka memiliki banyak pengalaman merasakan tekanan
yang lebih besar dan stressor untuk menjaga ataupun melindungi saudaranya yang
lebih kecil dengan gangguan autis. Saudara kandung dengan usia yang lebih muda
dari anak autis akan berperan lebih tua dari umur mereka dan kehilangan teman
bermain yang normal serta kehilangan model peran (role model). Indonesia
sangat terkenal dengan semboyan kekeluargaan. Dengan budaya kekeluargaannya,
saudara kandung (sibling) yang dianggap normal akan dituntut dan dibebankan
untuk membantu serta menjaga saudaranya yang autis. Fokus perhatian dan waktu
akan tercurah pada anak autis ketika ia terdiagnosis menyandang autis. Saudara
5



kandung dari anak autis selalu dibayangi oleh perhatian yang berlebihan terhadap
saudara autis mereka (Harris, 1994). Hal ini dapat memunculkan perasaan tidak
senang, kesalahpahaman, marah, dan frustasi pada saudara kandung dari anak
autis. Lobato (2005) melaporkan bahwa dampak negatif terjadi seperti kesulitan
emosi, isolasi sosial, dan gangguan psikososial.
Kaminsky & Dewey (2001) menunjukkan bahwa hubungan saudara
dengan anak autis dikarakteristikkan dengan kurangnya kedekatan, kurangnya
perilaku prososial, dan kurangnya perawatan keluarga dibanding hubungan
saudara dengan gangguan lain. Gangguan perilaku pada anak autis, akan membuat
saudaranya kesulitan dalam membangun hubungan yang memuaskan dengan
saudara yang autis dan menimbulkan rasa frustasi dalam melakukan sesuatu
dengan saudaranya tersebut (Ambarini, 2006).
Beberapa penelitian lain menemukan bahwa saudara dari anak autis
memiliki masalah emosi dan gangguan dalam bersosialisasi (Hasting, 2003).
Penelitian lain yang dilakukan (Tomblin, Hafeman, & OBrien, 2003) berhasil
menemukan gangguan berbahasa yang selalu ditemukan pada keluarga dengan
anak yang terdiagnosa autis, yang berada dalam kesulitan rentang sedang hingga
berat. Hubungan yang tidak terjalin baik dengan saudaranya juga akan
menciptakan sebuah kebingungan dalam menciptakan konsep diri. Mereka akan
sulit menempatkan diri dalam batas menerima atau menolak keberadaan
saudaranya dengan gangguan autis.
Ibung (2008) berpendapat bahwa keberhasilan menjalankan tugas
perkembangan pada usia sekolah akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan
6



pelaksanaan tugas lainnya dikemudian hari. Kegagalan melaksanakan tugas
perkembangan menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan
kesulitan dalam mengerjakan tugas perkembangan yang berikutnya (Hurlock,
1978). Seperti yang dijelaskan oleh Wandansari (2004), perkembangan pada anak
usia sekolah akan menjadi dasar bagi penguasaan tugas pada tahap perkembangan
selanjutanya.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada sekolah autis
Risantya dan Pelita Hafizh, dari 53 jumlah total anak yang mengalami autis,
didapatkan 41 saudara kandung (sibling). Dari 11 responden mereka
memperlihatkan gangguan dalam perkembangan pada usia sekolah. Tujuh anak
kehilangan waktu bermain. Orang tua menyerahkan tanggung jawab hampir
sepenuhnya kepada mereka untuk menjaga saudaranya yang autis. Mereka merasa
memiliki tanggung jawab lebih dan menjadi seolah-olah lebih dewasa dari umur
yang sebenarnya. Empat anak mengalami pendewasaan dini bahkan semenjak usia
2 tahun, dimana seharusnya pada usia ini mereka mendapatkan hal-hal sesuai
keinginan mereka dan merasakan perasaan mencintai dan dicintai sesuai masa
tumbuh kembangnya. Kehidupan sosial di sekolah hanya terjadi untuk beberapa
jam, dan sisanya hampir 19 jam mereka habiskan di rumah menjaga saudaranya.
Mereka kehilangan waktu untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain
dan cenderung membatasi diri untuk bermain dengan teman sebaya.
Empat anak sulit menempatkan diri dalam batas menerima atau menolak
keberadaan saudaranya dengan gangguan autis. Mereka merasa tidak senang pada
saudara yang autis. Hal tersebut diperlihatkan dengan sikap-sikap buruk seperti
7



membangkang, berselisih, bersaing, dan tingkah laku berkuasa baik saat bersama
teman sebaya maupun saat dengan saudara yang autis. Sebagai contoh apabila
diminta untuk menjaga ataupun menemani saudaranya, mereka akan menolak
secara langsung ataupun jika bersedia menemani akan cenderung mengganggu
atau bersikap berkuasa. Mereka secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak
suka dan iri karena kasih sayang yang lebih terhadap saudaranya yang mengalami
autis.
Masalah perkembangan psikososial ini menjadi pekerjaan rumah bagi
perawat yang memandang seseorang secara holistik. Perawat profesional
menggunakan cara kerja yang holistik melalui pengkajian individu dan
lingkungannya (Sulastri, 2005). Dengan mempelajari perkembangan psikososial,
memberi kesempatan bagi perawat untuk mengerti secara lebih mendalam tentang
proses-proses yang mengatur interaksi dan hubungan sehari-hari dengan pasien.
Salah satu peran yang bisa dilakukan perawat dalam perkembangan psikososial
sibling autis adalah dengan melakukan screening terpadu untuk segera
mengetahui perkembangan sibling dalam batas normal ataukah suspect gangguan,
sehingga bisa dilakukan intervensi lebih lanjut.
Dari data-data di atas, peneliti tertarik untuk melakukan screening
perkembangan psikososial saudara kandung (sibling) autis usia sekolah (6-12
tahun) di Yayasan Pelita Hafizh dan Risantya Bandung.


1.2 Identifikasi Masalah
8



Berdasarkan latar belakang diatas, masalah penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut: Bagaimana hasil screening perkembangan psikososial saudara
kandung (sibling) autis usia sekolah (6-12 tahun) di Yayasan Pelita Hafizh dan
Risantya Bandung?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi hasil screening perkembangan psikososial saudara
kandung (sibling) autis usia sekolah (6-12 tahun) di Yayasan Pelita Hafizh dan
Risantya Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Bagi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan menjadi acuan
perawat untuk memenuhi tujuan keperawatan dasar pada usia sekolah agar dapat
melalui masa perkembangan sesuai usia. Melalui hasil screening, perawat akan
mampu mengetahui lebih spesifik perkembangan psikososial sibling autis usia
seklah (6-12 tahun) sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat. Pemberian
asuhan secara terapeutik dan holistic diharapkan dapat membantu koping positif
bagi saudara anak autis.



1.4.2 Bagi Orang Tua Anak Penyandang Autisme
9



Penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran perkembangan
psikososial anak usia sekolah (6-12 tahun) yang normal akibat saudara kandung
(sibling) autis khususnya di Yayasan Pelita Hafizh dan Risantya Bandung.
1.4.3 Bagi Lembaga Autisme
Penelitian psikososial sibling autis ini dapat menjadi bahan masukan bagi
Lembaga untuk memberikan motivasi kepada orang tua ataupun sibling autis dan
tetap mempertahankan pemberian fasilitas bagi orang tua dan sibling untuk
membentuk grup diskusi di lingkungan Yayasan.
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal dalam penelitian
selanjutnya mengenai perkembangan saudara kandung (sibling) autis usia
prasekolah hingga remaja.

1.5 Kerangka Pemikiran
Marlow dalam Supartini (2004) mendefinisikan perkembangan sebagai
peningkatan keterampilan dan kapasitas anak untuk berfungsi secara bertahap dan
terus menerus. Muscari (2005) menjabarkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan anak usia sekolah meliputi pertumbuhan dan perkembangan fisik,
perkembangan motorik, perkembangan psikososial, perkembangan psikoseksual,
perkembangan kognitif, perkembangan moral, peningkatan kesejahteraan, serta
penyakit dan hospitalisasi.
Perkembangan setiap anak tidak sama, tergantung faktor baik dalam diri
anak maupun lingkungannya (Supartini, 2004). Ibung (2008) juga
10



mengungkapkan bahwa perkembangan anak usia sekolah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di mana salah satu faktornya adalah hubungan dengan saudara
sekandung. Hubungan saudara kandung (sibling) adalah hubungan yang bertahan
paling lama dan paling berpengaruh dalam kehidupan seseorang (Berkell, 1994).
Cicirelli (1985) menyimpulkan bahwa interaksi dengan saudara merupakan
komponen penting dan kuat dari suatu sosialisasi yang mendorong pengembangan
keahlian. Gangguan yang terjadi pada hubungan saudara sekandung akan sangat
mempengaruhi perkembangan psikososial anak. Salah satu gangguan serius yang
mempengaruhi hubungan persaudaraan adalah autis.
Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner,
psikolog dari Universitas J ohn Hopkins. Ia memakai istilah autis yang secara
sosial tak mau bergaul dan asyik tenggelam dengan kerutinan, anak-anak yang
harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak jarang
menyimpan bakat intelektual tinggi. Menurut American Psychiatric Association
(2000), autis ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan
keterbatasan imajinasi (seperti membatasi dan mengulang-ulang sesuatu).
Gangguan sosial pada anak autis mempengaruhi kualitas hubungan dengan
saudara kandung (sibling) dan perkembangan sibling (Orsmond & Seltzer, 2007).
Hal ini akan sangat berdampak terhadap perkembangan psikososial saudaranya.
Perkembangan psikososial berhubungan dengan perubahan-perubahan
perasaan atau emosi, dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu
berhubungan dengan orang lain (Desmita, 2005). Perkembangan yang baik akan
membawa anak kepada tahap perkembangan selanjutnya dengan baik, akan tetapi
11



kesulitan pencapaian psikososial pada anak akan membawa dampak-dampak
negatif, yang dapat dilihat pada gangguan perilaku internal, eksternal, maupun
pemusatan perhatian (Winslow). Dalam perkembangannya, anak akan merasa
terganggu dengan perilaku saudaranya yang autis (Rivers & Stoneman, 2003).
Beberapa penelitian menemukan bahwa saudara dari anak autis memiliki masalah
emosi dan gangguan dalam bersosialisasi (Hasting, 2003). Keabnormalan anak
autis akan menimbulkan stress tersendiri bagi saudara dan keluarganya (Moreno,
2010). Lobato (2005) melaporkan bahwa dampak negatif terjadi seperti kerusakan
psikososial, kesulitan emosi, dan isolasi sosial. Mereka akan mengalami gangguan
besar pada fungsi, kebingungan yang lebih, kekecewaan dengan kondisi tersebut,
dan mengurangi aktivitas interaksi.
Interaksi diantara teman sebaya berperan penting dalam pembentukan
hubungan persahabatan dengan teman sesama jenis. Periode usia sekolah adalah
waktu ketika anak memiliki sahabat yaitu teman tempat berbagi rahasia, lelucon
pribadi, dan petualangan; mereka saling membantu jika temannya menghadapi
masalah (Wong, 2008). Mereka ingin menyesuaikan diri dengan standar
kelompoknya sehingga terkadang disebut usia penyesuaian diri. Anak mulai
membandingkan dirinya dengan teman-temannya dan mudah sekali merasa
ketakutan akan kegagalan dan ejekan teman atas kondisi yang berbeda dalam
hidupnya. Anak sangat rentan mengalami gangguan psikososial karena
perkembangan masa prasekolah yang belum sempurna akan mempengaruhi
perkembangan psikososial saat memasuki usia sekolah. Vert, Roeyers, & Buysse
12



(2003) melaporkan bahwa gangguan psikososial baik internal maupun eksternal
rentan pada anak usia 6-11 tahun (usia sekolah).
Erikson dalam Muscary (2005) mengemukakan teori bahwa
perkembangan psikososial anak usia sekolah (latent) 6-12 tahun disebut masa
Industry versus inferiority, dengan ciri-cirinya yaitu :
1) Anak akan belajar untuk bekerjasama dan bersaing dalam kegiatan akademik
dan dalam pergaulan melalui permainan yang dilakukan bersama.
2) Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan sehingga anak
pada usia ini rajin dalam melakukan sesuatu.
3) Apabila dalam tahap ini anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkunganya dan
anak tidak berhasil memenuhinya maka akan timbul rasa inferiorty (rendah
diri).
4) Reinforcement dari orang tua atau orang lain menjadi begitu penting untuk
menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.
Anak autis tidak bermain ataupun menciptakan interaksi yang baik dengan
saudaranya, sebagian besar karena anak autis tidak memiliki kemampuan
berbahasa dan keahlian sosial untuk melakukannya, dan menyebabkan saudaranya
tidak mengetahui bagaimana memfasilitasi permainan dengan saudaranya tersebut
(Oppenheim, 2009).
Menurut Erikson dalam Kenney (2009) jika tugas spesifik setiap tahap
tidak diselesaikan selama periode kritis, konsekuensi dari kondisi ini adalah
perilaku yang tidak diinginkan. Erikson percaya bahwa konflik psikososial dapat
menyebabkan mempengaruhi konsistensi dalam perilaku manusia. Menurut
13



Erikson hal ini merupakan hasil karena perbedaan antara kompetensi pada awal
tahapan dengan harapan pada perilaku yang terjadi pada tahap ini. Oleh karena
itulah, Michael and Dennis (2009) menyimpulkan bahwa perilaku merupakan
indikator gangguan psikososial. Lebih jauh Winslow (2006) menjabarkan bahwa
gangguan psikososial dapat terlihat pada gangguan perilaku internal dan eksternal
serta terkadang terjadi gangguan pemusatan perhatian.




14

Bagan 5.1 Kerangka Pemikiran
Gambaran Perkembangan Psikososial Saudara Kandung (Sibling) Autis di Yayasan Pelita Hafizh dan Risantya Bandung
Dimodifikasi dari : Muscari dalam Keperawatan Pediatrik 2005








Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Pertumbuhan dan perkembangan
anak usia sekolah :
1. Pertumbuhan dan
perkembangan fisik
2. Perkembangan motorik
3. Perkembangan Psikososial
4. Perkembangan psikoseksual
5. Perkembangan kognitif
6. Perkembangan moral
7. Peningkatan kesejahteraan

Normal
Suspect
Gangguan
Perkembangan
Psikososial

Saudara sekandung (sibling)
dengan anak autis
- Perilaku Internal
- Perilaku : perhatian
- Perilaku Eksternal



15

Anda mungkin juga menyukai