Anda di halaman 1dari 25

STUDI KORELASI PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN I SPA

PADA BALITA DI WI LAYAH KERJ A PUSKESMAS TAWANGA


KECAMATAN WAWOTOBI KABUPATEN
KONAWE TAHUN 2006
Arpan Tombili*
(*Staf Pengajar Prodi S1 Kesmas STI K Avicenna)
Abstrak
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, penderita
ISPA pada balita mencapai 73.570 orang (37,79%) pada tahun 2005. Di wilayah kerja
Puskesmas Tawangatahun 2006 periode Januari sampai Juli, penderita ISPA pada balita
mencapai 214 orang (32,77%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara
PHBS tatanan rumah tangga (status imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan
keterpaparan asap rokok) dengan ISPA pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian
epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini
adalah balita di wilayah kerja Puskesmas Tawanga yang berjumlah 684 orang, dengan sampel
berjumlah 252 orang, sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana
(simple random sampling). Data diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung
dengan responden (ibu balita) dengan menggunakan kuesioner dan panduan observasi. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 84 orang (33,33%) menderita ISPA dan 168 orang
(66,67%) tidak menderita ISPA. 158 orang (62,70%) dengan status imunisasi lengkap dan 94
orang (37,30%) tidak lengkap, 108 rumah (42,86%) dengan lingkungan bersih dan 144 rumah
(57,14%) dengan lingkungan tidak bersih, 195 orang (77,38%) terpapar asap rokok dan 57
orang (22,62%) tidak terpapar. Dari hasil analisis statistik, terdapat korelasi antara status
imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok dengan ISPA
pada balita.
Kata Kunci : I SPA, Status I munisasi, Lingkungan Rumah, Asap Rokok


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator , salah
satunya adalah angka kesakitan dan kematian bayi. Angka kematian bayi yang semula
telah berhasil diturunkan dari 60 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1995 menjadi 45 per
1000 pada tahun 1998 kelahiran hidup, ternyata dalam kurun waktu tiga tahun meningkat
kembali menjadi 51 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2001 (Sujudi A, 2003).
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit ISPA merupakan penyakit yang
paling sering menyebabkan kematian pada anak balita, sehingga ISPA masih merupakan
penyakit yang yang mengakibatkan kematian cukup tinggi yang kebanyakan dari kematian
tersebut disebabkan oleh pneumonia. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan
penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan yakni sebanyak 40% - 60%
kunjungan berobat di puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di rumah sakit
(Depkes RI, 2002).
Rumah tangga sebagai wahana anggota keluarga dalam melakukan aktifitas keseharian
memegang peranan penting dalam kejadian penyakit ISPA khususnya pada balita dimana
faktor resiko sebagian besar berada dalanm lingkungan rumah. Faktor resiko yang
meningkatkan insiden ISPA adalah gizi kurang, berat badan lahir rengah, tidak mendapat
air susu ibu yang memadai, polusi udara, tempat tinggal padat, imunisasi tidak lengkap,
dan defisiensi vitamin A (http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006).
Di Propinsi Sulawesi Tenggara, penyakit ISPA masih merupakan masalah utama di
masyarakat, dimana penyakit ISPA selalu masuk dalam urutan 10 besar penyakit di
puskesmas. Pada tahun 2003, penderita ISPA pada balita berjumlah 54.127 orang
(23,36%) dari 231.707 orang, tahun 2004 berjumlah 33.054 orang (13,69%) dari 241.387
orang, sedangkan pada tahun 2005 berjumlah 73.570 orang (37,79%) dari 194.672 orang
(Dinkes Sultra, 2006).
Berdasarkan data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe, penderita ISPA pada balita
tahun 2003 berjumlah 5.476 orang, tahun 2004 berjumlah 6.308 orang, tahun 2005
berjumlah 8.291 orang, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari sampai April
berjumlah 3.136 orang (Dinkes Konawe, 2006). Di wilayah kerja Puskesmas Tawanga,
penderita ISPA pada balita tahun 2003 berjumlah 438 orang, tahun 2004 berjumlah 237
orang, tahun 2005 berjumlah 216 orang, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari
sampai Juli, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari sampai Juli berjumlah 214 orang
(Laporan Puskesmas Tawanga, 2006)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita ?
2. Apakah ada korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA pada
balita?
3. Apakah ada korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara PHBS
tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
2.1. Untuk mengetahui korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita.
2.2. Untuk mengetahui korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA
pada balita.
2.3. Untuk mengetahui korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada
balita.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga untuk
mengkaji sekaligus mencari solusi terbaik untuk mencegah mininmal menekan angka
kejadian penyakit ISPA di masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
tentang upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi penyakit ISPA.
3. Bagi Peneliti
Merupakan suatu pengalaman yang berharga dalam meningkatkan wawasan
dalam bidang penelitian, sekaligus merupakan bahan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya
TINJ AUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang I nfeksi Saluran Pernapasan Akut (I SPA) Pada Balita
1. Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diadaptasi dari istilah dalam bahasa
Inggris, yaitu Acute Respiratory Infections (ARI) yang mempunyai pengertian sebagai
berikut :
1.1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
1.2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus rongga telinga tengah dan pleura.
1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Dengan demikian, ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya sinus rongga telinga tengah dan pleura,
yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI, 2002).
2. Klasifikasi I SPA
2.1. Kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun
2.1.1. Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2.1.2. Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas
disertai napas cepat. Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan sampai kurang
dari 1 tahun adalah 50 kali permenit dan 40 kali permenit untuk anak usia 1
sampai 5 tahun.
2.1.3. Bukan pneumonia, mencakup penderita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan
adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2.2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan
2.2.1. Pneumonia berat, ditandai dengan napas cepat yaitu frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali permenit atau lebih disertai adanya penarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam.
2.2.2. Bukan pneumonia, mencakup penderita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan
adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Depkes RI, 2002)
3. Etiologi dan Faktor Resiko I SPA
Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus streptococcus, stafilococcuss, pneumococcus,
hemofilus, bordetela, dan corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain dari
golongan microvirus, adenovirus, coronavirus, picornavirus, mycoplasma, herfesvirus,
dan lain-lain (http://www.indosiar.com, diakses 2006).
Disamping penyebab, perlu juga diperhatikan faktor resiko yang mempengaruhi
dan atau memudahkan terjadinya penyakit ISPA, antara lain gizi kurang, berat badan
lahir rengah, tidak mendapat air susu ibu yang memadai, polusi udara, tempat tinggal
padat, imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A
(http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006).
4. Penatalaksanaan Klinis I SPA
Pada prinsipnya terapi utama ISPA adalah pemberian antibiotik yang sesuai
dengan pengobatan simptomatis.disamping terapi obat perlu juga diberikan terapi
supportif seperti pemberian oksigen, pemberian bronkodilator, fisioterapi dada untuk
mengeluarkan dahak khususnya anjuran untuk batuk efektif dan napas dalam, serta
pengaturan cairan (Dahlan, 2001).
5. Penularan I SPA
Umumnya ISPA menular secara langsung dari seorang penderita kepada orang
lain melalui media udara. Pada saat batuk, banyak kuman/virus yang dikeluarkan dan
dapat terhirup oleh orang lain yang berdekatan dengan penderita (Depkes RI, 2002)
6. Pencegahan dan Pengobatan I SPA
Penyakit ISPA dapat dicegah melalui pengadaan rumah dengan ventilasi yang
memadai, perilaku hidup bersih dan sehat, dan peningkatan gizi balita. Sedangkan
pengobatannya selama ini adala dengan pemberian antibiotik.
B. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Tatanan Rumah
Tangga
Perilaku adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan lingkungan,
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan (Sarwono, 1993
dalam Astuti ES, 2002).
Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan
suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.Perilaku tidak sama
dengan sikap. sikap hanyalah suatu kecenderungan untukmengadakan tindakan
terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk
menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. sikap hanyalah sebagian dari
perilaku manusia (Notoatmodjo S, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit clan penyakit, system
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan
(Enviromental Health Behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan kesehatan manusia. Perilaku ini mencakup:
1. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen, manfaat, dan
penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
2. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segisegi hygiene
pemeliharaan tehnik, dan penggunaannya.
3. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Termasuk
didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat, serta dampak
pembuangan limbah yang tidak baik.
4. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, meliputi ventilasi, pancahayaan, lantai,
dan sebagainya.
5. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang nyamuk (vector), dan sebagainya.
(Notoatmodjo S, 2003).
Perilaku. Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar dari perorangan, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur
komunikasi, memberikan informasi dan edukasi guna meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku melaluipendekatan advokasi bina suasana (social support) dan gerakan
masyarakat (empowerment) sehingga dapat menerapkan care-care hidup sehat dalam
menjaga, emelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. (Depkes, 2000)
Indikator adalah suatu pentujuk yang membatasi fokus perhatian suatu penilaian.
Indikator dalam PHBS diarahkan pada 5 aspek program prioritas penyuluhan, yaitu KIA,
gizi, kesehatan lingkungan, gaya hidup dan peran serta masyarakat dalam upaya
kesehatan.
Dinkes Sultra memberi batasan tentang indikator PHBS tatanan rumah tangga,
yaitu:
1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
2. Imunisasi dan penimbangan balita
3. Seluruh keluarga buang air besar di jamban
4. Seluruh keluarga menggunakan air bersih
5. Tidak ada sampah yang berserakan
6. Kuku anggota keluarga pendek dan bersih
7. Keluarga biasa makan makanan yang beraneka ragam
8. Semua anggota keluarga tidak merokok
9. Pernah mendengar AIDS
10. Keluarga menjadi anggota dana sehat
(Dinkes Sultra, 2002).
1. Kesehatan I bu dan Anak (KI A)
Perilaku atau pola asuh ibu dalam merawat dan memelihara anak, sangat
menentukan status kesehatan anak tersebut. dalam hal kejadian ISPA, pola asuh ibu
yang mempengaruhi kejadian ISPA adalah pernberian Air Susu Ibu (ASI) yang
memadai.
ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling sempuma bagi bayi.
Sempurna bukan hanya karena lengkapnya zat gizi yang ada pada ASI, lebih dari itu
ASI merupakan zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dan anak dari berbagai
penyakit infeksi (Depkes RI, 2000).
Yang dimaksud dengan pemberian ASI utamanya ASI eksklusif pada bayi adalah
bayi hanya diberi ASI tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air
teh, bahkan air putih sekalipun. Selain tambahan cairan, bayi juga tidak diberi
makanan padat lain. seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan lain-
lain (Roesli, 2001).
2. Status I munisasi
Imunisasi berasal dari kat a imun, kebal, at au resist en. Anak
diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak
kebal atau resisten tarhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit
lain (Notoatmodjo S, 2003).
Kekebalan terhadap suatu penyakit dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Kekebalan tidak spesifik (non specific resistance) adalah faktor-faktor non khusus
pada sistem pertahanan tubuh manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan
dari suatu penyakit, misalnya : kulit dan air mata.
b. Kekebalan spesifik (specific resistance) terdiri dari 2 sumber yaitu kekebalan
genet ik dan kekebalan yang diperoleh (acquaceid immunity).
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk
meningkatkan kualitas hidup. Perkembangan dan efektivitas program
imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit tersebut.
Program imunisasi nasional untuk bayi 0-11 bulan meliputi imunisasi BCG, DPT,
Polio, Hepatitis B, dan Campak. Dari kelima jenis program imunisasi tersebut, penyakit
ISPA dapat dicegah dengan imunisasi campak, pertusis, difteri, dan tuberkulosis anak
(Tjitra E, dkk, 1996).
Pencegahan ISPA melalui imunisasi BCG dan DPT, cukup esensial untuk
menyiapkan balita menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa dijamin
kebersihan udaranya. Selain itu, asupan makanan yang kaya gizi tentu akan
mempertahankan stamina balita itu sendiri (http://www.indosiar.com, diakses 2006).
3. Kebersihan Lingkungan Perumahan
Upaya penanggulangan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan agent dan
host semata melainkan juga faktor lingkungan yang ternyata berperan sangat
besar. Memang tidak selalu lingkungan sebagai penyebab melainkan juga sebagai
penunjang, media transmisi, maupun memperberat penyakit yang telah ada. Untuk itu
lingkungan rumah harus tetap terjaga kebersihannya. (Anies, 2005).
Sampah sebagai bagian dari lingkungan, erat kaitannya dengan kesehatan
masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga
(vector). Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi
oleh manusia, atau benda padat yang tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan
manusia dan dibuang. Akan tetapi bukan semua benda padat yang tidak digunakan
dan dibuang disebut sampah. Dengan demikian, sampah mengandung prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Adanya suatu benda atau bahan padat
b. Adanya hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan manusia.
c. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi (Notoatmodjo S, 2003).
Menurut Abdul Chalik kepala dinas kesehatan DKI Jakarta, sampah yang
menumpuk dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan
disentri, serta penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA
(http://www.penyakitmenular.com, diakses 2006).
4. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi, yang dapat dibedakan antara status gizi buruk, status gizi
kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih. Makanan gizi yang baik merupakan
salah satu dasar utama kesehatan termasuk bagi anak, yang masih membutuhkan zat
gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik maupun mental
sehingga terhindar dari berbagai penyakit infeksi (Almatsier, 2001).
Antara status gizi dan penyakit infeksi, terdapat hubungan yang sinergis.
timbulnya penyakit infeksi dalam tubuh, dapat mengurangi selera makan sehingga
asupan makanan dan zat gizi juga berkurang, dan yang paling penting adalah efek
langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Sebaliknya, konsumsi
makanan yang tidak mencukupi kebutuhan gizi dalam tubuh dapat mempengaruhi
imunitas tubuh seseorang, sehingga memudahkan terjadinya berbagai penyakit
infeksi seperti cacingan, diare, ispa, dan sebagainya.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Akan tetapi cara
yang lazim digunakan melalui pengukuran antropometri. lndeks antropometri yang
sering digunakan dalam penelitian status gizi adalah berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan lapisan lemak bawah kulit.
5. Keterpaparan Asap Rokok
Rokok mer upakan salah sat u produk indust r i dan komodit i
internasional yang mengandung sekitar 3000 bahan kimia. Unsur-unsur yang penting
antara lain: tar, nikotin, berzopyrin, metil klorida, aseton, amonia, dan karbon
monoksida.
Kebiasaan merokok lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dimana- mana
mudah menemukan orang merokok, bet apa merokok merupakan bagian hidup
masyarakat sekarang ini. Dari segi kesehatan tidak ada satu pihakpun yang
menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya, namun tidak mudah untuk
menurunkan terlebih menghilangkan kebiasaan merokok tersebut.
Rokok dapat dikatakan sudah mencapai t ingkat pendemisit as.
Prevalensi konsumsi rokok cukup tinggi, dengan kecenderungan peningkatan
penggunaannya terutama di Negara-negara berkembang, Tanda-tanda pandemisitas
rokok adalah sebagai berikut:
a. Diperkirakan sebesar 1,1 milyar perokok di dunia, berumur 15 tahun keatas
(1/3 dari total peduduk dunia)
b. Delapan ratus juta perokok berada di negara-negara sedang berkembang, terutama di
Asia, dan didominasi oleh kaum pria (700 juta)
c. Peningkatan konsumsi rokok sudah mencapai 7 juta ton pertahun, dengan
peningkatan 0,25%
d. Rata-rata rokok yang diisap adalah 24 gram perhari di negara-negara maju dan 14
gram perhari di negara-negara sedang berkembang
e. Menjelang tahun 2020, kematian yang disebabkan oleh rokok akan
meningkat sampai 10 juta kematian, dimana 70% terjadi di negara
berkembang (Bustan MN, 2000).
Asap rokok merupakan sumber polusi dalam ruangan yang secara langsung
dapat mengganggu kondisi fisik seperti iritasi mata dan hidung, sakit kepala,
tenggorokan serak, batuk, pusing,dan gangguan pernapasan (http://www.idionline.org,
diakses 2006).
Balita yang orang tuanya merokok, lebih kerap, batuk dan lelah, sering terkena
infeksi telinga, sering pergi ke rumah sakit karena bronchitis dan pneumonia, dan
mempunyai paru-paru yang kurang berfungsi. http://eraedar.tripod.com, diakses 2006).
Dar i hasil penelit ian yang dilakukan Azhar Tanjung (1987),
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara merokok dengan timbulnya ISPA bawah
yang disebabkan oleh Branhamella Catarrhalis (http://www.kalbefarma.com, diakses
2006).
METODE PENELI TI AN
A. J enis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analit ik dengan pendekatan
cross sectional, dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel
efek diobservasi sekaligus pada waktu yang bersamaan.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelit ian ini telah dilaksanakan pada tanggal 5 September sampai dengan 4
Oktober 2006, di Wilayah Kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe.


C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelit ian ini adalah semua balita di wilayah kerja
Puskesmas Tawanga tahun 2006 periode Januari sampai Agustus, yang
berjumlah 684 balita.
2. Sampel
Responden adalah orang tua (ibu) balita yang terpilih sebagai sampel. Sampel
adalah bagian dari populasi. Besarnya- sampel (Sample Size), ditentukan dengan
menggunakan rumus :
n = 1 + N (d2)
Keterangan :
d = Derajat ketepatan yang diinginkan (0,05)
N = Besarnya populasi
n = Besarnya sampel
N= 684
n = 1 + N (d
2
)
n = 1 + 684 (0,05)
2

n = 1 + 684 (0,0025)
n = 1 + 1,71
n = 2,7 1
n = 252 balita

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik Acak sederhana
(simple random sampling) (Notoatmodjo S, 2002).
D. I dentifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat.
1. Variabel bebas meliputi :
2.1. Status imunisasi
2.2. Kebersihan lingkungan perumahan
2.3. Keterpaparan asap rokok
2. Variabel terikat adalah kejadian ISPA pada balita
E. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif
1. ISPA pada balita adalah infeksi akut yang ditandai dengan salah satu atau lebih
dari gejala batuk, sesak napas, napas cepat, dengan atau tanpa panas dan tanda berat
lainnya seperti penarikan dinding dada bagian bawah kedalam, yang berlangsung
selama 14 hari dan terjadi pada balita.
Kriteria obyektif :
Menderita : Apabila menunjukkan satu atau lebih dari gejala ISPA
Tidak menderita : Apabila tidak menunjukkan gejala ISPA
2. Status imunisasi adalah kelengkapan pemberian imunisasi pada balita dalam upaya
pencegahan penyakit dan peningkatan kualitas hidup, dengan melihat Kartu Menuju
Sehat (KMS) atau Kartu Imunisasi.
Kriteria obyektif :
Lengkap : Apabila balita telah mendapat imunisasi secara lengkap.
Tidak lengkap : Apabila balita tidak atau belum mendapat imunisasi secara lengkap.
3. Kebersihan lingkungan perumahan adalah suatu keadaan dimana lingkungan bebas dari
sampah yang berserakan!menumpuk.
Kriteria obyektif :
Bersih : Apabila dalam lingkungan rumah tidak ada sampah yang
berserakan/menumpuk.
Tidak bersih : Apabila dalam lingkungan rumah ada sampah yang
berserakan/menumpuk.
4. Keterpaparan asap rokok adalah suatu keadaan dimana balita berada pada pengaruh
atau berinteraksi dengan asap rokok.
Kriteria obyektif :
Terpapar : Apabila dalam rumah terdapat asap rokok.
Tidak terpapar : Apabila dalam rumah tidak terdapat asap rokok.
F. J enis dan Metode Pengumpulan Data
1. Data primer
Data primer meliputi data hasil wawancara langsung dari responder (ibu
balita) dengan menggunakan panduan observasi dan daftar pertanyaan atau kuesioner
2. Data sekunder
Data sekunder meliputi data penunjang lainnya yang diperoleh dari puskesmas
dan instansi terkait lainnya.
G. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator.
Sedangkan analisis data dilakukan dengan 3 cara yaitu :
1. Analisis univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik sampel terkait
dengan variabel penelit ian, dalam bentuk persentase. Dengan menggunakan
rumus :

2. Analisis bivariat dengan Chi - Square (X
2
)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas
dengan variabel terikat, dengan menggunakan rumus
X
2
hitung : N {(AD BC) N/2)
2

(A+B) (C+D) (A+C) (B+D)
a. Jika X
2
hitung > X
2
tabel, maka Ho ditolak dan H
a
diterima pada tarafsignifikan 95
%, berarti ada korelasi antara. PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada
balit a di wilayah ker ja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe.
b. Jika X
2
hitung <>2 tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf signifikan 95
%, berarti tidak ada korelasi antara PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada,
balita di wilayah kerja Puskesmas TawangaKecamatan Wawotobi Kabupaten
Konawe.
H. Penyajian Data
Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
disertai dengan penjelasan. variabel yang diteliti, disertai dengan narasi secukupnya.
HASI L DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tawanga pada
tanggalSeptember 2006 sampai dengan 5 Oktober 2006, dengan jumlah sampel sebanyak
252 balita. Berdasarkan hasil pengolahan data yang -telah dilakukan, maka disajikan hasil
penelitian sebagai berikut :
1. Karakteristik Sampel (Analisis Univariat)
Karakteristik sampel dengan analisis univariat. baik karakteristik umum sampel
(umur dan jenis kelamin) dan karakteristik khusus sampel (status ISPA, status
imunisasi, kebersihan lingkungan perumahan, dan keterpaparan asap rokok) dapat
dilihat pada tabel berikut :
1.1. Status I nfeksi Saluran Pemapasan Akut (I SPA)
Tabel 1.
Distribusi Responden Menurut Status Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Status I SPA n %
Menderita 84 33,3
Tidak
Menderita
168 66,67
Total 252 100
Sumber: Data Primer Diolah, 2006
Berdasarkan tabel 7, status ISPA pada balita dalam penelitian ini terdiri
dari menderita ISPA sebanyak 84 orang (33,33 %) dan tidak menderita
ISPA sebanyak 168 orang (66,67 %).
1.2. Status I munisasi
Tabel 2.
Distribusi Responden
Menurut Status Imunisasi
Status I munisasi N %
Lengkap 158 62,70
Tidak Lengkap 94 37,30
Total 252 100
Sumber: Data Primer Diolah, 2006
Berdasarkan tabel 2, status imunisasi pada balita dalam penelitian ini
terdiri dari imunisasi lengkap sebanyak 158 orang (62,70 %) dan imunisasi
tidak lengkap sebanyak 94 orang (32,30 %).


1.3. Kebersihan Lingkungan Perumahan
Tabel 3.
Distribusi Responden menurut Kebersihan Lingkungan Perumahan
Kebersihan Ling
Perumahan
n %
Bersih 108 42,86
Tidak bersih 144 57,14
Total 252 100
Sumber : Data Primer Diolah, 2006
Berdasarkan tabel 3, lingkungan perumahan responder dalam
penelitian ini terdiri dari lingkungan perumahan yang bersih sebanyak 108 orang
(42,86 %) dan lingkungan perumahan yang tidak bersih sebanyak 144 orang
(57,14 %).
1.4. Keterpaparan Asap Rokok
Tabel 4.
Distribusi Responden
Menurut Keterpaparan Asap Rokok
Keterpaparan Asap Rokok
Rokok
n %
Terpapar 195 77,38
Tidak Terpapar 57 22,62
Total 252 100
Sumber : Data Primer diolah, 2006
Berdasarkan tabel 4, keterpaparan asap rokok pada balita terdiri dari terpapar
sebanyak 195 orang (11,38) dan yang tidak terpapar sebanyak 57 (22,62%).
2. Analisis Bivariat dengan Chi - Square (X
2
)
Pada penelitian ini, untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas dan variabel
terikat digunakan teknik analisis Chi - Square (X
2
) yang berpedoman pada :
jika X
2
hitung
lebih besar dari X
2

tabel
maka berarti terdapat korelasi antara Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita,
sebaliknya jika X
2

hitung
lebih kecil dari X
2

tabel
maka berarti tidak terdapat korelasi
antara PHBS tatanan rumah tangga dengan ISPA pada balita, pada taraf signifikan
95% ( = 0,05).
2.1. Hubungan Status I munisasi Dengan Kejadian I SPA Pada Balita
Tabel 5.
Distribusi Kejadian ISPA pada Balita
Menurut Status Imunisasi
Status I munisasi
Status I SPA
J umlah
Menderita Tidak
N % n % n %
Lengkap 45 17,86 113 44,84 158 62,70
Tidak 39 15,48 55 21,83 94 37,30
Total 84 33,33 168 66,67 252 100
Berdasarkan tabel 5, terdapat 158 orang (62,70%) yang status imunisasinya
lengkap, dimana 45 orang (17,86%) menderita ISPA dan 113 orang (44,84%) tidak
menderita ISPA. Sedangkan balita yang imunisasinya tidak lengkap sebanyak 94
orang (37,30%), dimana 39 orang (15,48%) menderita ISPA dan 55 orang
(21,83%) tidak menderita ISPA.
Dari hasil analisis bivariat dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara
status imunisasi dengan ISPA pada balita (X
2

hitung
= 5,092 > X
2

tabel
= 3,841, =
0,05).





2.2. Hubungan Kebersihan Lingkungan Perumahan Dengan Kejadian I SPA Pada
Balita
Tabel 6.
Distribusi Kejadian ISPA pada Balita
Menurut Kebersihan Lingkungan Perumahan
Kebersihan Lingkungan
Perumahan
Status I SPA
J umlah
Menderita Tidak
n % n % n %
Bersih 25 9,92 83 32,94 108 42,68
Tidak 59 23,41 85 33,73 144 57,14
Total 84 33,33 168 66,67 252 100
Berdasarkan tabel 6, terdapat 108 orang (42,68%) yang lingkungan
perumahannya bersih, dimana 25 orang (9,92%) menderita ISPA dan 83 orang
(32,94%) tidak menderita ISPA. Sedangkan balita yang lingkungan perumahannya
tidak bersih sebanyak 144 orang (57,14%), dimana 59 orang (23,41%) menderita
ISPA dan 85 orang (33,73%) tidak menderita ISPA.
Dari hasil analisis dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara kebersihan
lingkungan perumahan dengan ISPA pada balita (X
2

hitung
= 6,643 > X
2

tabel
=
3,841, = 0,05).
2.3. Hubungan Keterpaparan Asap Rokok Dengan Kejadian I SPA Pada Balita
Tabel 7.
Distribusi Kejadian ISPA pada Balita
Menurut Keterpaparan Asap Rokok
Keterpaparan Asap
Rokok
Status I SPA
J umlah
Menderita Tidak
n % n % n %
Terpapar 72 228,57 123 48,81 195 77,38
Tidak 12 4,46 45 17,86 57 22,62
Total 84 33,33 168 66,67 252 100
Berdasarkan tabel 7, terdapat 195 orang (77,38%) yang terpapar asap rokok,
dimana 72 orang (28,57%) menderita ISPA dan 123 orang (48,81%) tidak
menderita ISPA. Sedangkan balita yang tidak terpapar asap rokok sebanyak 57
orang (22,62%), dimana 12 orang (4,46%) menderita ISPA dan 45 orang (17,86%)
tidak menderita ISPA.
Dari hasil analisis bivariat dengan Chi - Square, ditemukan korelasi antara
keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita (X
2

hitung
= 4,311 > X
2

tabel
=
3,841, = 0,05).
B. Pembahasan
Setelah dilakukan pengolahan data, analisis data, dan penyajian data, maka sesuai
variabel yang ditelit i dilakukan pembahasan hasil penelit ian sebagai berikut :
1. Status I munisasi
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk
meningkatkan kualitas hidup, perkembangan dan efektifitas program
imunisasi dapat dinilai dari penurunan angka kesakitan dan kematian penyakit
tersebut. Pencegahan ISPA melalui imunisasi campak, petugas, difteri dan
tuberkulosis anak, cukup esensial untuk menyiapkan balita menghadapi lingkungan
yang tidak selalu bisa dijamin kebersihan udaranya.
Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada
balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang status imunisasinya tidak
lengkap akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X
2

hitung
= 5,092 > X
2

tabel
=
3,841, = 0,05).
Hasil penelit ian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Agustina (2005), yang menyatakan bahwa balita yang imunisasinya tidak
lengkap lebih beresiko unt uk t erkena ISPA khususnya pneumonia
dibandingkan balita yang status imunisasinya lengkap. Penelitian Eny Ratna Dewi
(2005), juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara status imunisasi balita
dengan ISPA, dimana balita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih beresiko
t erkena ISPA dibanding balit a yang st at us imunisasinya lengkap.
Menurut Tjitra dkk (1996), penyakit ISPA dapat dicegah dengan imunisasi
campak, pertusis, difteri, dan tuberculosis pada anak.
2. Kebersihan Lingkungan Perumahan
Faktor lingkungan berperan besar dalam menent ukan derajat
kesehatan masyarakat, dimana lingkungan tidak hanya sebagai penyebab
melainkan juga sebagai penunjang, media transisi, maupun memperberat
penyakit yang telah ada. Sampah sebagai bagian dari lingkungan, erat
kaitanya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah -sampah tersebut akan
hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga
binatang serangga (vektor). Untuk itu, lingkungan rumah harus senantiasa bebas
dari sampah yang.
Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan
dengan ISPA pada balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang lingkungan
rumahnya tidak bersih akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X
2

hitung
= 6,643 >
X
2

tabel
= 3,841, = 0,05).
Menurut Abdul Chalik kepala dinas kesehatan DKI Jakarta, sampah yang
menumpuk dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan
disentri, serta penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA.
3. Keterpaparan Asap Rokok
Kebiasaan merokok lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dimana
rokok merupakan bagian hidup masyarakat sekarang ini. Dari segi kesehatan, tidak
satu pihak pun yang melihat manfaat yang dikandungnya. Menjelang tahun 2020,
kematian yang disebabkan oleh rokok akan meningkat sampai 10 juta kematian,
dimana 70 % terjadi di Negara berkembang. Asap rokok merupakan sumber polusi
dalam ruangan yang secara langsung dapat mengganggu kondisi fisik seseorang
seperti iritasi mata dan hidung, sakit kepala, tenggorokan serak, batuk, pusing
dan gangguan pernapasan.
Pada penelitian ini ditemukan korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan
ISPA pada balita. Maka dapat diinterpretasikan bahwa balita yang terpapar asap rokok
akan meningkatkan resiko terjadinya ISPA, (X
2

hitung
= 4,311 > X
2

tabel
= 3,841, =
0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irfan (2005),
yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok dalam rumah merupakan faktor resiko
kejadian ISPA khususnya pneumonia pada balita. Penelitian Hidayat (2005), juga
mengemukakan bahwa paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada
balita, dimana balita yang terpapar asap rokok beresiko lebih besar untuk terkena ISPA
dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok.
Dari hasil penelit ian yang dilakukan Azhar Tanjong (1987),
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara merokok dengan timbulnya ISPA bawah
yang disebabkan oleh Branhamella Catarrhalis.
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ada korelasi antara status imunisasi dengan ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.
2. Ada korelasi antara kebersihan lingkungan perumahan dengan ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.
3. Ada korelasi antara keterpaparan asap rokok dengan ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Tawanga Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penyuluhan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada tatanan
rumah tangga guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan, khususnya
terkait dengan pencegahan penyakit ISPA.
2. Diharapkan kepada masyarakat untuk lebih memperhatikan kebersihan lingkungan
perumahan untuk mencegah penularan penyakit oleh agent ataupun vektor penyakit,
khususnya penyakit ISPA.
3. Diharapkan kepada orang tua balita untuk menghentikan kebiasaan merokok dalam rumah.
4. Diharapkan kepada orang tua (ibu) balita untuk selalu membawa balitanya ke posyandu
untuk di imunisasi secara lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita
Di Desa Anggalomoare dan Desa Lasolo Kecamatan Sampara. Skripsi STIK
Avicennayang tidak dipublikasikan, Kendari.
Almatsier S, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anies, 2006. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.
Astuti ES, 2002. Upaya Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dalam Rangka
Pembangunan Kesehatan Nasional. Jurnal Kesehatan Avicenna 1,2 2004, Kendari.
Bustan MN, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.
Dahlan, 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI, Jakarta.
Depkes RI, 2000. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta.
________, 2000. Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Ibu Hamil dan Ibu Menyusui.
Jakarta.
________ , 2002. Pedoman Pemberantasan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Untuk
Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta.
Dewi ER, 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita di Kelurahan
Bataraguru Kecamata Woliao Kota Bau-bau. Skripsi STIK Avicenna yang tidak
dipublikasikan, Kendari.
Dinkes Sultra, 2002. Buku Panduan Manajemen Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Tingkat
Puskesmas. Kendari.
___________ , 2006. Profil Dinkes Sultra. Kendari.
Dinkes Konawe, 2006. Profil Dinkes Konawe. Unaaha.
Hidayat, 2005. Studi Retrospektif Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tongkuno Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna. Skripsi STIK Avicenna yang
tidak dipublikasikan, Kendari.
http://www.eraedar.tripod.com, diakses 2006
http://www.idionline.com, diakses 2006
http://www.indosiar.com, diakses 2006
http://www.kalbefarma.com, diakses 2006
http://www.penyakitmenular.com, diakses 2006
http://www.tempointeraktif.com, diakses 2006
Irfan, 2005. Faktor-faktor Resiko Kejadian ISPA Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Wuna Kecamatan Barangka Kabupaten Muna. Skripsi STIK Avicenna
yang tidak dipublikasikan, Kendari.
Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
______________ , 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Rineka Cipta,
Jakarta.
Puskesmas Tawanga, 2006. Profil Puskesmas Tawanga. Unaaha.
Roesli, 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif, Dilengkapi Makanan Pendamping Tepat dan
Imunisasi Lengkap. PT. Alex Media Komputindo, Jakarta.
STIK Avicenna, 2003. Pedoman Akdemik STIK Avicenna. Kendari.
Sujudi A, 2003. Lingkungan Sehat Untuk Anak. Makalah Disajikan Dalam Seminar
Peringatan Hari Kesehatan Sedunia Ke-55, Jakarta.
Tjitra E, dkk, 1996. Status Imunisasi dan Kesakitan Anak Umur 1 2 Tahun (BATITA)
Analisis Lanjut SKDI 1994. Buletin Kesehatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai