Oleh: Hamzah*)
A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan
dengan
kesiapan
anak
untuk
belajar,
yang
dikemas
dalam
tahap
tentang
akomodasi yang
lain
adalah
proses
mental
yang
meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang,
melainkan
melalui
tindakan.
Bahkan,
perkembangan
kognitif
anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan
melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang
dimilikinya.
Belajar
merupakan
proses
aktif
untuk
atau
tahap
perkembangan
kognitif
atau
biasa
juga
disebut
tahap
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama
dalam
pembelajaran
dengan
teori
belajar
konstrukltivisme.
Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif
dalam
proses
pengaitan
sejumlah
gagasan
dan
pengkonstruksian
ilmu
siswa
untuk
mencoba
gagasan
baru,
(4)
memberi
pengalaman
yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
http://fisika79.wordpress.com/2010/09/11/teori-belajar-konstruktivisme/
Teori Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
M in g g u , 2 4 O kt ob e r 2 0 1 0
Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam
proses pembelajaran dari kepada guru atau instruktur. Teori ini berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi
dengan berbagai obyek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan
terhadap objek dan peristiwa tersebut. Dengan demikian siswa sesungguhnya mampu membangun
konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu kemandirian dan kemampuan
berinisiatif
dalam
proses
pembelajaran
sangat
didorong
untuk
dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa belajar
dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka
ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman
mereka
sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajara juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan , dan sikap siswa.
Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah
mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang
dan
kesempatan
yang
luas
untuk
membangun
pengetahauan
awal
mereka.
Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada
asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah
konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).
Akhir-ahkhir ini proses pembelajaran konstruktivisme didasarkan pada temuan-temuan penelitian mutahir
tentang otak/pikiran manusia dan apa yang dikenal dengan bagaimana proses belajar terjadi.
Ciri-ciri
Pembelajaran
Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.
6.
7.
8.
9.
10. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi,
infernsi, kreasi, dan analisis
11. Menekankan bagaimana siswa belajar
12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata
Peranan
Teori
Konstruktivisme
di
Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan
di
kelas.
1.
Mendorong
kemandirian
dan
inisiatif
siswa
dalam
belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti
guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaanpertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab
terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa
untuk
merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar
orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan
mendorong
siswa
mampu
membangun
keberhasilan
dalam
melakukan
penyelidikan
3.
Mendorong
siswa
berpikir
tingkat
tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu
menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk
menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan
gagasan-gagasan
atau
pemikirannya
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa
untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk
megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan
mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka
merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan
terjadi
di
kelas
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai
hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi
kelompok
dan
pengalaman
nyata
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati
dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk
menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara
bersama-sama.
http://education-mantap.blogspot.com/2010/10/teori-konstruktivisme-dalam.html