Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MATA KULIAH UMUM

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

ANALISIS KASUS PRITA MULYASARI

Disusun Oleh,
Putri Ayu Ratnasari

04121001123

Praditya Briyandi

04121001124

Yolanda Davinora

04121001125

Rannia Hendreka Putri

04121001126

Mohammad Hazem

04121001127

Fauzan Ditiaharman

04121001128

Muhammad Faqih H.

04121001129

Almira Zada Neysan Susanto

04121001130

Achmad Reza Kurniawan

04121001131

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya Tugas
Mata Kuliah Umum Pendidikan Kewarganegaraan: Analisis Kasus Prita
Mulyasari ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas ini dibuat untuk memenuhi
proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan Tim Penulis dalam menempuh
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kurnisar,
S.Pd.,M.H. atas bimbingannya dan kepada

pihak-pihak yang terlibat dalam

pembuatan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Tim Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang
senantiasa akan penulis lakukan.

Tim Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................................
BAB II PERMASALAHAN ....................................................................................
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................
3.1 Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan HAM (Hak Asasi Manusia) .....
3.2 Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009
Tentang

Kesehatan dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE ..................

3.3 Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan Kajian Negara Hukum .............
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................
4.2 Saran ................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Di Indonesia, masih sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran terhadap

HAM. Salah satunya adalah hak dalam kebebasan berpendapat yang masih sering
dilanggar. Sampai saat ini, masih banyak orang yang belum menghargai dan
menghormati hak kebebasan berpendapat seseorang. Tidak sedikit kasus yang
terjadi akibat pelanggaran HAM, khususnya hak kebebasan dalam berpendapat.
Banyak sekali orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya di media sosial biasbisa berujung di pengadilan. Padahal mereka hanya mengeluarkan pendapatnya.
Banyak juga orang yang hanya sekedar iseng berpendapat atau berbicara di media
sosial bisa bermasalah dengan hukum.
Setiap orang berhak atas hak yang dimilikinya. Terutama hak mengeluarkan
pendapat. Mereka berhak mengeluarkan pendapatnya secara bebas tetapi
bertanggungjawab. Mereka bebas mengeluarkan pendapat asalkan tidak
merugikan orang lain. Hak kebebasan berpendapat masih butuh bukti nyata, dan
butuh penegakan agar tidak terjadi pelanggaran HAM.
HAM sangat penting untuk dijamin perlindungan, pemajuan, perangkaian,
dan pemenuhannya. Salah satunya adalah hak kebebasan berpendapat. Karena
sampai saat ini, masih banyak pelanggaran terhadap HAM tersebut, hak
kebebasan berpendapat sangat penting untuk dilindungi, dan sangat penting untuk
dijamin pemenuhannya, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Contoh kasus
pelanggaran HAM pencemaran nama baik di sosmed adalah Kasus Prita
Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat e-mail yang kemudian
menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Pihak rumah sakit tidak terima
dan melaporkan Prita Mulyasari ke pengadilan.

1.2

Tujuan Penulisan
1.2.1

Untuk mengetahui analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan HAM


(Hak Asasi Manusia)

1.2.2

Untuk mengetahui analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan UU


No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No. 11 Tahun 2008
tentang ITE

1.2.3

Untuk mengetahui analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan kajian


negara hukum

BAB II
PERMASALAHAN

Awal s/d Akhir Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni (Pencemaran Nama


Baik)
Seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang dipenjara Prita
Mulyasari, ibu dengan dua anak, ditahan sejak 13 Mei 2009 di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang sebagai tersangka kasus pencemaran nama
baik Rumah Sakit Internasional Omni, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan.
Prita, warga Vila Melati Mas Residence, Serpong, itu divonis terbukti
melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya, Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kenapa dia dianggap mencemarkan nama baik?
Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita pada 7 Agustus 2008. Email
itu berisi keluhannya ketika dirawat di Omni. (isi lengkap emailnya bisa liat
disini ) Surat yang semula hanya ditujukan ke beberapa temannya itu ternyata
beredar ke pelbagai milis dan forum di Internet, dan diketahui oleh manajemen
Rumah Sakit Omni.
PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, lalu
merespons dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke milis dan memasang
iklan di harian nasional. Belakangan, PT Sarana juga menggugat Prita, baik
secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan perkara gugatan perdata
nomor 300/PDG/6/2008/PN-TNG
Prita, ibu beranak dua ini dibidik oleh jaksa penuntut umum dengan tiga
dakwaan alternatif. Pertama, penuntut umum menjerat dengan Pasal 45 ayat (1)
jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Sementara dakwaan kedua dan ketiga, penuntut umum menjerat
dengan Pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1). Sebagaimana diketahui, ketiga

pasal tersebut dirancang untuk menjerat bagi pelaku yang diduga melakukan
pencemaran nama baik dan penghinaan.

Ibu beranak dua ini dituntut oleh penuntut umum yang diketuai oleh jaksa
Riyadi selama enam bulan penjara. Dalam tuntutannya, terdapat hal yang
memberatkan. Bahwa perbuatan Prita dengan mengirimkan surat elektronik
(email) kepada 20 alamat dinilai tidak akan hilang terkecuali dihapus oleh
penerima. Alasan kedua, bahwa tidak terjadi kesepakatan untuk berdamai di
dalam persidangan meskipun ada upaya dari pihak Walikota Tangerang Selatan
HM Sholeh dengan manajemen RS Omni.
Majelis hakim melihat unsur dalam dakwaan pertama. Untuk unsur setiap
orang, dinilai majelis terpenuhi karena Prita diajukan ke persidangan dalam
keadaan sehat. Lalu, unsur dengan sengaja, majelis berpendapat, perbuatan Prita
dengan mengirimkan email berbunyi Saya informasikan juga dr H praktek di
RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan
perawatan medis dari dokter ini adalah perbuatan yang dikehendaki. Sehingga,
majelis berpendapat perbuatan Prita telah tercapai alias terpenuhi.
Ketiga, unsur mendistribusikan akses elektronik. Ketidakpuasan Prita atas
pelayanan dan tidak transparansinya dokter yang merawat menjadi pemacu
mengirimkan keluhan melalui email kepada sejumlah temannya. Namun majelis
justru mempertanyakan apakah isi dari keluhan email tersebut berupa muatan
pencemaran dengan judul Penipuan RS Omni Internasional. Majelis hakim
tentu menelaah dengan tidak sepotong kalimat. Tapi harus dilihat hubungan
hukum terdakwa dengan dr Hengki dan dr Grace, ujarnya Arthur.
Dalam uraian pertimbangannya, majelis berpendapat Prita mengirimkan
email kepada sejumlah temannya bukan pencemaran, melainkan sebatas kritikan
kepada dokter Hengki dan dokter Grace. Setelah berpidah ke RS Bintaro
Internasional, hasil deteksi menyatakan Prita menderita penyakit Gondongan dan
menular. Gara-gara diagnosis itu Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi.
Setelah tiga hari, Prita kembali ke rumah. Dengan demikian, pernyataan Prita
dalam email hanya sebatas kritikan kepada sang dokter. Kalimat terdakwa
merupakan satu cara agar masyarakat terhindar dan tidak mendapat pelayanan

medis dari dokter yang tidak baik. Demikian halnya kalimat terdakwa terhadap dr
Grace adalah kritikan sebagai customer service, ujarnya.

Dengan demikian, menurut pendapat hakim, perbuatan dr Grace dapat


dikatakan tidak profesional. Bahkan tidak menghargai hak seorang pasien yang
berharap sembuh dari penyakit. Berdasarkan uraian unsur ketiga, majelis
berpendapat bahwa email terdakwa Prita Mulya Sari tidak bermuatan
penghinaan atau pun pencemaran nama baik. Dalam kalimat tersebut adalah
kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktekpraktek dari rumah sakit dan dokter yang tidak memberikan pelayanan medis
yang baik, ujarnya.
Dalam pertimbangannya, majelis tidak sependapat dengan penuntut umum,
bahwa jika terdakwa tidak puas atas pernyataan dokter, pasien dapat
mengadukan dokter bersangkutan ke majelis

kehormatan kedokteran. Sebab,

sambung Arthur, kasus ini telah menjadi perhatian publik. Namun sayangya,
belum adanya tindakan dari majelis kehormatan kedokteran disiplin. Dalam
pertimbangannya, lantaran salah satu unsur dakwan pertama tidak terpenuhi,
maka Prita tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan pertama. Oleh karena itu terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan tersebut, ujarnya.
Sedangkan pada dakwaan kedua dan ketiga, yakni Pasal 310 ayat (2) dan
Pasal 311 ayat (1) KUHP, dalam pertimbangan majelis pada pokoknya sama
yakni tindak pidana menyerang kehormatan orang lain dengan tulisan.
Sedangkan Dalam Pasal 310 ayat (2) menyerang kehormatan dengan tulisan dan
gambar. Dalam Pasal 310 ayat (3), sambung Arthur, menyebutkan Tidak
termasuk pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Majelis berpendapat perbuatan terdakwa semata-mata demi kepentingan
umum. Majelis merujuk pada Pasal 310 ayat (3) KUHP. Sehingga, perbuatan
Prita Mulya Sari tidak secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan kedua
dan ketiga. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari kedua dakwaan
tersebut, ujarnya.

Dan akhirnya, Prita Mulyasari terdakwa dalam kasus pencemaran nama


baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera Tangerang, dapat
menghirup udara bebas. Tetes air mata mengalir dari pipinya saat mendengar
majelis hakim yang dipimpin Arthur Hangewa membacakan amar putusan. Duduk
di kursi pesakitan, Prita mendengarkan dengan seksama ketika Arthur
membacakan putusan. Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik.
Membebaskan terdakwa Prita Mulyasari dari dakwaan, ujar Arthur, di
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Selasa (29/12).

Sumber:
2012. Awal s/d Akhir Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni (Pencemaran Nama
Baik). http://doskow.blogspot.com/2012/11/awal-sd-akhir-kasus-prita-vsrs-omni.html, diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 20.17 WIB.
2.1

Bagaimana analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan kajian negara hukum


Prita Mulyasari berdasarkan HAM (Hak Asasi Manusia)?

2.2

Bagaimana analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan UU No. 36 Tahun


2009 tentang kesehatan dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE?

2.3

Bagaimana analisis kasus Prita Mulyasari berdasarkan kajian negara hukum?

BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan HAM (Hak Asasi


Manusia)
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar/pokok yang dimiliki manusia

sebagai anugerah dari Tuhan YME dalam hubungannya dengan tata kehidupan
masyarakat. Hak dasar manusia tersebut termasuk hak hidup, memeluk agama,
menyatakan pendapat, menentukan nasib sendiri. Hak asasi manusia ini tidak
boleh dirampas oleh siapapun. Selanjutnya manusia juga mempunyai hak dan
tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupan dalam
masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 telah mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right). Oleh
karena itu, bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam
deklarasi tersebut sebagaimana tertulis dalam mukadimah Deklasari Universal
Hak Asasi Manusia:
Memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
sebagai standar umum keberhasilan semua manusia dan semua bangsa
dengan tujuan bahwa setiap individu dan setiap organ masyarakat,
dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha melalui cara
pengajaran dan pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap hak
dan kebebasan ini, dan melalui upaya-upaya yang progresif baik secara
nasional dan internasional, menjamin pengakuan dan ketaatan yang
universal dan efektif, baik oleh rakyat Negara Pihak maupun rakyat yang
berada di dalam wilayah yang masuk dalam wilayah hukumnya.
Perumusan hak asasi manusia pada dasarnya dilandasi oleh pemahaman
suatu bangsa terhadap citra harkat dan martabat diri manusia itu sendiri. Bangsa
Indonesia memandang bahwa manusia hidup tidak terlepas dari Tuhannya, sesama
manusia, dan lingkunga, Bangsa Iindonesia pada hakikatnya menyadari, mengakui,
dna menjamin serta menghormati hak asasi manusia orang lain juga sebagai suatu

kewajiban. Oleh karena itu hak asasi manusia dan kewajiban manusia terpadu dan
melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat,
anggota suatu bangsa dan warga negara serta anggota masyarakat bangsa-bangsa.
Didorong oleh jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai pandangan mengenai hak asasi dan
kewajiban manusia, yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan
nilai luhur budaya bangsa serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right)
dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar utama dalam penegakan HAM
di Indonesia.
Kasus Prita yang terjadi pada tahun 2008 lalu dinilai sebagai salah satu
contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Prita Mulyasari,
seorang ibu dari dua orang anak ini, dianggap melakukan pencemaran nama baik
Rumah Sakit OMNI dan dokternya padahal Prita hanya menggunakan haknya
untuk mengemukakan pendapat dan menceritakan kekecewaanya mengenai
pelayanan rumah sakit tersebut. Prita mengirimkan electronic mail bercerita
tentang keluhannya kepada beberapa kerabatnya, yang kemudian sempat
menyebar milis dan forum online, seta membuat sebuah tulisan (surat pembaca) di
media elektronik detik.com. Tulisan Prita inilah yang kemudian mendapat
tuntutan dari Rumah Sakit OMNI atas tuduhan pencemaran nama baik.
Hak untuk menyampaikan pendapat, yang diatur dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 19 bahwa:
Setiap

orang

berhak

atas

kebebasan

berpendapat

dan

menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang


teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media
apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah
menunjukan bahwa setiap orang memiliki haknya untuk menyampaikan pendapat,
begitu pula pada kasus Prita dan tidak ada manusia lain yang boleh merampas hak
tersebut.

Memang, setelah pasal tersebut, terdapat pasal lain dalam DUHAM yaitu
pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya
tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan
kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral,
ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat
yang demokratis
yangmana pasal ini menjelaskan bahwa meskipun memiliki kebebasan, perilaku
bebas tersebut tetap harus terpelihara sehingga tidak menciptakan disintegrasi
social.
Apabila dipandang dari UUD 1945, adalah pasal 28F yang menyatakan
tentang kebebasan berpendapat:
Setiap orang berhak untuk berkomuniksasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialny, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia
isi dan tafsiran dari pasal ini kurang lebih sama dengan yang terdapat pada
DUHAM pasal 19. Kemudian untuk lebih menjelaskan dan mengatur tentang
kebebasan berpendapat ini, dibentuklah suatu Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam UU No. 9 Tahun 1998 ini kembali ditegaskan bahwa setiap warga
negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Namun dalam UU ini lebih dijelaskan mengenai apa saja asas,
tujuan, hak, serta kewajiban dalam mengemukakan pendapat. Asas dan tujuan,
tertulis dalam pasal 3:
Kemerdekaan

menyampaikan

pendapat

dilaksanakan berlandaskan pada :


a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
b. asas musyawarah dan mufakat;
c. asas kepastian hukum dan keadilan;

di

muka

umum

d. asas profesionalitas; dan


e. asas manfaat
penjelasan terhadap asa tersebut adalah sebagai berikut:
a) Asas

keseimbangan

atara

hak

dan

kewajiban,

artinya

meskipun

menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara, akan tetapi


tetap mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawab terhadap orang lain dan kepentingan umum.
b) Asas musyawarah dan mufakat, artinya bahwa adanya perbedaan Bpendapat
dan perbedaan kepentingan sejauh mungkin diselesaikan dengan musyawarah
untuk mencapai kata sepakat.
c) Asas kepastian hukum dan keadilan, bahwa dalam menyampaikan pendapat
di muka umum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
d) Asas proposional, artinya bahwa menyampaikan pendapat haruslah sesuai
dengan konteks dan tujuan sehingga tepat pada sasarannya.
e) Asas manfaat, artinya bahwa pendapat atau pemikiran yang disampaikan
memberI manfaat terhadap kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Jika kita kembalikan pada kasus Prita, maka apa yang dilakukan oleh Prita
ini telah sesuai dengan asas dan tujuan dari penyampaian pendapat, yaitu asas
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prita merasa bahwa haknya sebagai
pasien tidak terpenuhi, dimana ia tidak mendapat penjelasan dan penatalaksanaan
yang memuaskan. Kemudian tujuan Prita sendiri menulis keluhannya itu adalah
agar teman-teman lain yang membaca tulisannya dapat lebih berhati-hati dalam
menggunakan pelayanan rumah sakit, yang mana hal ini memenuhi asas manfaat.
Selain itu, Prita sendiri telah melaksanakan asas musyawarah mufakat terlebih
dahulu. Sebelum mengirimkan tulisannya ke media elektronik, Prita terlebih
dahulu menghubungi Manajemen OMNI dan diterima oleh Og (Customer Service
Coordinator), namun tidak mendapat respon yang baik.
UU No. 9 Tahun 1998 ini juga kembali menjelaskan bahwa:
Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam
menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus
tetap dipelihara agar seluruh layanan sosial dan kelembagaan baik

infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan


atau pelanggaran hukum yang, bertentangan dengan maksud, tujuan dan
arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum
sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat
menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan
dengan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip hukum intemasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain
menetapkan sebagai berikut :
1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang
memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan
penuh;
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk
semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang
dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan
terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat

yang

adil

bagi

moralitas,

ketertiban,

serta

kesejahteraan umum dalam suatu masyarakaat yang demokratis;


3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara
bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila kita memandang kasus Prita pada
tahun 2008 dari segi pelanggaran HAM, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi
pelanggaran hak dari Prita Mulyasari untuk menyampaikan pendapat. Dikutip dari
perkataan Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis,
kepada suatu surat kabar bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat Prita saat
itu sedang diadili.

3.2

Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE
3.2.1

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


Latar belakang umum lahirnya UU No 36 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit adalah karena beberapa pertimbangan tentang pentingnya


pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi
aktor dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Pertimbanganpertimbangan tersebut, antara lain bahwa, pertama pelayanan kesehatan
merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Kedua, bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketiga, bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan
pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit
dengan Undang-Undang.
Keempat, bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup
memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah
sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Kelima, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
serta untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah
Sakit, perlu membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit.
Selain itu, yang ingin ditekankan adalah bahwa rumah sakit harus
diselenggarakan berdasarkan asas Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien,
serta memiliki fungsi sosial.

Terkait wacana utama tentang Perlindungan dan Keselamatan


Pasien yang diangkat dalam penyusunan undang-undang ini serta dalam
rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta
pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan undangundang ini, maka adalah hal yang penting ketika isi dalam undang-undang
ini membahas tentang peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit jika
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah tercantum dalam Bab
V pasal 7-16 (pasal 17).
Terkait kasus Prita, isu yang menjadi wacana utama dalam
pembahasan undang-undang ini adalah tentang perlindungan dan
keselamatan pasien. Hal ini sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam UU
Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan 2009. Semua UU ini memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien dan kepastian hukum. UU
rumah sakit ini sebenarnya dibuat karena ada ketidakseimbangan antara
pasien dengan rumah sakit. Kedudukan pasien sangat lemah. Pasien sangat
tergantung pada dokter atau tenaga medis lainnya. Undang-undang ini
diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara si pemberi layanan
kesehatan dengan penggunanya.
Jika dihubungkan dengan kasus Prita Mulya Sari, jelas dapat dilihat
bahwa Prita tidak mendapat haknya sebagai pasien. Hal tersebut
dinyatakan dengan rekam medik yang menurut Prita tidak dibuat sesuai
dengan fakta. Jika pernyataan Prita tersebut memang benar, RS Omni telah
melanggar UU Nomer 36 tahun 2009 tersebut. Menurut UU tersebut,
pasien berhak mengetahui tindakan yang akan diberikan ke pasien,
meminta izin pasien serta pasien berhak menyetujui atau menolak tindakan
tersebut. Tapi menurut email yang ditulis Prita, dokter dari RS tersbut
tidak menginformasikan terapi apa yang akan diberikan kepadanya dan
justru tindakan tersebut berakibat hal yang lebih serius untuk kesehatan
Prita. Hal tersebut jelas sekali merupakan tindakan yang membahayakan
nyawa pasien. Tidak salah jika Prita menuntut RS Omni karena perbuatan
RS tersebut yang tidak melindungi keselamat pasien.

3.2.2

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE


Kasus antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional adalah

salah satu kasus yang termasuk pelanggaran UU No. 11 Tahun 2008. Alur
mula dari kasus ini adalah ketika Prita mulyasari menyampaikan keluh
kesal atas perlayanan yang diberikan kepada dirinya saat berobat di RS
Omni melalui surat elektronik yang disebarkan kepada teman-temannya.
Surat elektronik yang diberikan kepada teman-temannya sebagai sarana
"curhat" ini menjadi masalah ketika RS Omni menganggap tindakan
tersebut sebagai tindakan pencemaran nama baik. Prita mulyasari pun
akhirnya dijerat dengan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, pasal yang
dikenakan adalah pasal 27 dari undang-undang tersebut.
Dari sepenggal kasus diatas kita dapat mengambil sedikit gambaran
mengenai tindakan apa saja yang dapat dijerat ke dalam pasal 27 tersebut.
Pasal 27 sendiri berbunyi bahwa yang dimaksud dengan tindakan terlarang
adalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang mengandung muatan kesusilaan,
penghinaan, perjudiaan, pencemaran nama baik dan pemerasan.
Dari penjelasan mengenai pasal 27 mengenai tindakan yang
dilarang tersebut kita dapat melihat bahwa tindakan mengirimkan e-mail
yang berisi keluh kesah dari Prita Mulyasari tersebut dianggap oleh RS
Omni sebagai salah satu perbuatan mencemarkan nama baik. Namun, kita
tidak bisa menyalahkan Prita begitu saja karena e-mail yang ditulis Prita
tersebut tujuannya adalah pribadi dan tidak disebarkan untuk masyarakat
umum apalagi untuk menjatuhkan nama RS besar tersebut. Jadi perbuatan
Prita ini tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Keluhan
Prita tersebut pun merupakan fakta yang dialaminya sendiri dan bukan
suatu hal yang dibuat dengan sengaja. Dari kasus Prita ini kita juga dapat
belajar bahwa masih banyak RS yang tidak bertindak sesuai dengan
standart hukum. Dan sebagai individu yang akan mengabdikan diri di

dunia medis, kita juga dapat belajar untuk menjadi dokter yang
mementingkan kesehatan pasien dan tidak bertindak seenaknya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pasal 27 tersebut adalah
bahwa pada beberapa kasus seperti kasus prita mulyasari tersebut faktanya
membuktikan bahwa meskipun tindakan prita menyebarkan e-mail
mengenai ketidakpuasannya terhadap RS Omni menggunakan media
teknologi, itu merupakan salah satu bentuk dari kebebasan menyatakan
pendapat

yang

harus

lebih

hati-hati

disingkapi

sehingga

tidak

menimbulkan suatu kebingungan saat menggunakan pasal tersebut sebagai


tindakan melakukan pencemaran nama baik. Di sisi lain bagi para
pengguna internet tetap harus memperhatikan aturan yang berlaku
sehingga tidak berubah menjadi tindakan yang melanggar UU tersebut.

3.3

Analisis Kasus Prita Mulyasari Berdasarkan Kajian Negara Hukum


3.3.1

Indonesia Sebagai Negara Hukum


Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan

bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara Indonesia


adalah negara hukum dapat pula dilihat pada point pertama dari tujuh point
pokok sistem pemerintahan Negara Indonesia dalam penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan, yaitu:
1. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachtstaat).
2. Sistem konstitusionil.
3. Kekuasaan tertinggi ada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di
bawah MPR.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6. Menteri Negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung
jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :

1. Supremacy Of Law
Dalam suatu negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan
posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan
sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada
kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata
lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum
harus menjadi tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat.

2. Equality Before The Law


Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata
hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah
fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang
diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu,
yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang
yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada
prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi
backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backine
terhadap yang benar.

3. Human Rights
Human rights, meliputi 3 hal pokok, yaitu :
a. The rights to personal freedom (kemerdekaan pribadi), yaitu hak
untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik bagi dirinya, tanpa
merugikan orang lain.
b. The rights to freedom of discussion (kemerdekaan berdiskusi),
yaitu hak untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan
ketentuan yang bersangkutan juga harus bersedia mendengarkan
orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.

c. The rights to public meeting (kemerdekaan mengadakan rapat),


kebebasan ini harus dibatasi jangan sampai menimbulkan
kekacauan atau memprovokasi.
Jadi Indonesia adalah negara hukum yang berarti segala sesuatu
yang terjadi di Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku, dimana
semua orang harus tunduk akan hukum yang berlaku menurut UUD 1945.

3.3.2

Kasus Prita Mulyasari


Dikaji dari UU no. 11 pasal 27 ayat 3, banyak pihak melakukan

multitafsir terhadap pasal ini. Mungkin benar adanya pasal 27 (3)


menimbulkan multitafsir bila berdiri sendiri, akan tetapi sebenarnya pasal
ini merupakan pasal yang tidak lepas dari norma hukum pokok dalam
Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
Pasal 310 ayat (1) KUHP: Barang siapa sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal,
yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan
pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih
berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik
yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana
penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah
(dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51 ayat (2) UU ITE

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah)
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat
subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau
kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat
menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang
menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian
subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.
(Sitompul, 2012)
Maksudnya seseorang dapat menuntut secara hukum apabila ia
merasa dihina dan dicemarkan nama baiknya, akan tetapi keputusannya
secara objektif akan dilakukan berdasarkan hukum dalam UU yang
berlaku.
Sehingga dalam UU no. 11 pasal 27 (3), RS Internasional Omni
berhak melakukan tuntutan terhadap Ny. Prita karena telah secara sengaja
melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik RS Internasional Omni
(dengan jelas menulis nama RS tersebut yang tidak mungkin orang lain
menafsirkan lain) melalui media elektronik yang dapat diakses oleh umum
dan memang Ny. Prita bertujuan untuk hal tersebut diketahui oleh umum.
Akan tetapi dalam UU no.11 pasal 27 (3) juga disebutkan bahwa seseorang
tanpa hak yang akan mendapat sanksi dari pasal tersebut. Dalam hal ini ,
sejauh yang diketahui Penulis, tidak ada penjelasan tentang hak-hak
tersebut sehingga sulit untuk menganggap apakah Ny. Prita Mulyasari
memiliki hak tersebut atau tidak?, apakah dalam konteks Ny. Prita sebagai
pasien, hal tersebut diberikan hak?.
Memang dilihat dari UU no.11 pasal 27 (3), masih merupakan
pemikiran. Tetapi Ny. Prita Mulyasari memiliki hak berupa HAM yang
diatur dalam

pasal 28 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya


ditetapkan dengan undang-undang . Dan pada pasal asal 28 H (1) Setiap

orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Dalam kedua pasal tersebut Ny. Prita berhak
mengeluarkan pendapat dan berhak mendapat pelayanan kesehatan yang
baik.
Tapi dalam pasal 28 J (2) disebutkan juga pembatasan dalam hak
dan kebebasan tersebut yang berbunyi Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokrastis. Oleh karena itu RS Internasional Omni dan
nama-nama dokter yang tercantum secara jelas dalam email yang dikirim
oleh Ny. Prita juga melanggar HAM dari mereka.
UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pada pasal 7 : Setiap
orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab dan pasal 8 : Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Dikaji dari UU No.36 tahun 2009 diatas, apabila benar cerita yang
disampaikan Ny. Prita Mulyasari, beserta saksi dan bukti yang jelas dan
valid maka RS Internasional Omni dan dokter terkait telah melanggar UU
No. 36 tahun 2009 dan dapat dijatuhi hukuman kurungan paling lama 1
(satu) tahun berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 pasal 79 huruf b (dengan
sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 46 ayat (1))., dll.

BAB IV
PENUTUP

4.1

Kesimpulan
Terjadi pelanggaran HAM, UU No. 36 Tahun 2009 dan UU No. 11 Tahun

2008, serta kajian Indonesia sebagai negara hukum. Dilihat dari sudut pandang
HAM yang bersumber dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Declaration
of Human Right) dan Undang-Undang Dasar 1945, dapat dinyatakan bahwa
terjadi pelanggaran hak dari Prita Mulyasari untuk menyampaikan pendapat.
Tindakan Prita yang mengadukan kekecewaannya terhadap Rumah Sakit OMNI
terjadi karena tidak adanya tanggapan atas keluhan Prita yang sebelumnya ia
sampaikan kepada pihak rumah sakit. Dalam hal ini Prita semata-mata menuntut
haknya sebagai pasien. Hal ini tidak menyalahi asas mengemukakan pendapat.
Selain itu, berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009, Prita memang sudah sepantasnya
menuntut RS Omni dikarenakan Prita tidak mendapatkan hak nya sebagai pasien,
sehingga ia mengadukan keluhannya ke dalam surel yang ia kirim dan bersifat
pribadi dan tidak bermaksud untuk menjelekkan RS Omni. Surel itu sendiri
berisikan fakta yang dialami Prita yang jelas-jelas bukan rekayasa sehingga Prita
sudah seharusnya tidak dipermasalahkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008.
Namun sayangnya, Prita dianggap bersalah dan putusan ini terkesan berat sebelah
dimana RS Omni yang seharusnya mendapatkan hukuman memenangkan kasus
ini sehingga dapat dikatakan Prita tidak mendapatkan hak yang sama di depan
hukum (RS Omni lebih berkuasa) dan tindakan ini jelas-jelas tidak sesuai dengan
kajian Indonesia sebagai negara hokum dimana setiap orang memiliki derajat
yang sama di mata hokum.

4.2

Saran
Melalui kasus Prita ini diharapkan kita dapat mengubah hal-hal yang tidak

sesuai dengan norma, hukum, undang-undang, serta HAM yang berlaku di negara
kita. Sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara hukum, sudah
sepantasnya kita menegakkan hukum, HAM, dan undang-undang yang berlaku di
negara kita. Orang-orang yang melanggar hal-hal tersebut harus diberikan sanksi
yang tegas. Kita juga harus menciptakan warga negara yang bermoral dan beradab
untuk mencegah pelanggaran HAM, hukum, serta undang-undang yang berlaku di
negara kita sehingga terciptalah masyarakat yang madani, bertanggung jawab, dan
taat pada peraturan yang berlaku demi kedamaian, kesejahteraan, dan kesetaraan
bersama.

DAFTAR PUSTAKA
2009. Kronologi Kasus Prita Mulyasari.
http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-pritamulyasari-13940.html, diunduh pada 30 Oktober 2014, pukul 20.00 WIB.
2012. Awal s/d Akhir Kasus Prita Mulyasari vs RS Omni (Pencemaran Nama
Baik). http://doskow.blogspot.com/2012/11/awal-sd-akhir-kasus-prita-vsrs-omni.html, diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 20.17 WIB.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948.
Gradien Mediatama. Undang-Undang Internet & Transaksi Elektronik. Jakarta :
Transmedia Pustaka.
Kasus Prita Mulyasari. http://id.safenetvoice.org/2009/06/kasus-prita-mulyasari/,
diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 20.09 WIB.
Lbhmasyarakat. 2009. Wrong Diagnosis: The case of Prita Mulyasari and the
threat to free speech. Diakses pada http//www.indonesia.ahrchk.net pada
Kamis, 30 Oktober 2014.
Mulyasari, Prita. 2008. RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif.
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rsomni-dapatkan-pasien-dari-hasil-lab-fiktif, diakses pada 30 Oktober 2014,
pukul 20.29 WIB.
Redaksi Kawan Pustaka. 2010. UUD 1945 dan Perubahannya + Susunan Kabinet
RI Lengkap (1945-2014). Jakarta: Penerbit PT Kawan Pustaka.
Simanjuntak, P.N.H. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan SMP dan MTs Kelas
VII. Jakarta: PT Gramedia Widiasarna
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek
Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.
Tempo. Edisi 14 Juni 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Zulkarnaen, Iskandar. 2009. Kronologi Kasus Prita Mulyasari. Diakses pada
http//www.kompasiana.com pada Kamis, 30 Oktober 2014.

LAMPIRAN
Kronologis Kasus Prita Mulyasari
Inilah kronologi lengkap kasus yang menimpa Prita Mulyasari mulai dari awal dia
berobat ke RS Omni International sampai kemudian digugat secara perdata dan
pidana lalu dipenjara selama tiga minggu lamanya. Saya hanya bisa bilang,
Cukup Prita yang mengalami kejadian seperti ini:

7 Agustus 2008, 20:30


Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan keluhan panas tinggi
dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium: Thrombosit 27.000 (normal
200.000), suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan
diberi suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah.

8 Agustus 2008
Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000. Mulai
mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri mulai
membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke
39 derajat.

9 Agustus 2008
Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara.
Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya
Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan
kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik
lagi.

10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian
lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan
mata kiri.

11 Agustus 2008
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita
memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis
yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi
thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000.
Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat
inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya
memang tidak valid.

Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia
terserang virus yang menular.

15 Agustus 2008
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak
rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain
dengan judul Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra. Emailnya menyebar
ke beberapa milis dan forum online.

30 Agustus 2008
Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca Detik.com.

5 September 2008
RS Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus.

22 September 2008
Pihak RS Omni International mengirimkan email klarifikasi ke seluruh
costumernya.

8 September 2008
Kuasa Hukum RS Omni Internasional menayangkan iklan berisi bantahan atas isi
email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia.

24 September 2008
Gugatan perdata masuk.

11 Mei 2009
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata RS Omni. Prita
terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Prita divonis
membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di
koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan
banding.

13 Mei 2009
Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga
dilaporkan oleh Omni.

2 Juni 2009
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima
keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.

3 Juni 2009
Megawati dan JK mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI meminta MA
membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan dan bisa berkumpul
kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.

4 Juni 2009
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN
Tangerang.

NB: Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat pembaca yang


dibuat Prita.

Isi Bantahan yang Dimuat di Harian Kompas dan Media Indonesia:


Pengumuman dan Bantahan

Kami, RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS, Advokat dan


Konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat,
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama OMNI INTERNATIONAL
HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE
HILZA YARLEN. N;

Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari SAUDARI


PRITA MULYASARI beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13
Serpong Tangerang (mail from: prita.mulyasari@yahoo.com) kepada
customer_care @banksinarmas.com, dan telah disebar-luaskan ke berbagai alamat
email lainnya, dengan judul PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL
ALAM SUTERA TANGERANG;

Dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak


umum/masyarakat dan pihak ketiga, BANTAHAN kami atas surat terbuka
tersebut sebagai berikut :

1. BAHWA ISI SURAT ELEKTRONIK (E-MAIL) TERBUKA TERSEBUT


TIDAK BENAR SERTA TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA YANG
SEBENARNYA TERJADI (TIDAK ADA PENYIMPANGAN DALAM SOP
DAN ETIK), SEHINGGA ISI SURAT TERSEBUT TELAH MENYESATKAN
KEPADA PARA PEMBACA KHUSUSNYA PASIEN, DOKTER, RELASI
OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, RELASI Dr.
HENGKY GOSAL, SpPD, DAN RELASI Dr. GRACE HILZA YARLEN. N,
SERTA MASYARAKAT LUAS BAIK DI DALAM MAUPUN DI LUAR
NEGERI.

2. BAHWA TINDAKAN SAUDARI PRITA MULYASARI YANG TIDAK


BERTANGGUNG-JAWAB TERSEBUT TELAH MENCEMARKAN NAMA

BAIK OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY


GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA
MENIMBULKAN KERUGIAN BAIK MATERIL MAUPUN IMMATERIL
BAGI KLIEN KAMI.

3. BAHWA ATAS TUDUHAN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB


DAN TIDAK BERDASAR HUKUM TERSEBUT, KLIEN KAMI SAAT INI
AKAN MELAKUKAN UPAYA HUKUM TERHADAP SAUDARI PRITA
MULYASARI BAIK SECARA HUKUM PIDANA MAUPUN SECARA
HUKUM PERDATA.

Demikian PENGUMUMAN & BANTAHAN ini disampaikan kepada khalayak


ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak
berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut.

Jakarta, 8 September 2008.

Kuasa Hukum
OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA,
Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N
RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS.
Ttd. Ttd.
Dra. Risma Situmorang, S.H., M.H. Heribertus S. Hartojo, S.H., M.H.
Advokat & Konsultan HKI. Advokat.
Ttd. Ttd.
Moh. Bastian, S.H. Christine Souisa, S.H.
Advokat. Advokat.

Sumber:
2009. Kronologi Kasus Prita Mulyasari.
http://hukum.kompasiana.com/2009/06/03/kronologi-kasus-pritamulyasari-13940.html, diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 20.00 WIB.
Kasus Prita Mulyasari

Akhirnya,

17

September

2012, Mahkamah

Agung

(MA)

mengabulkan

permohonan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari, sehingga Prita bebas dari


segala tuduhan dan bebas dari hukuman percobaan 6 bulan penjara.
Berikut kronologi kasus Prita Mulyasari :
7 Agustus 2008 : Prita memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional.
15 Agustus 2008 : Setelah pemeriksaan tersebut, Prita mengeluhkan pelayanan
yang diberikan pihak RS Omni Internasional, serta dokter yang memeriksanya
yaitu dokter dr.Hengky Gosal SpPD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela ke
customer_care@banksinarmas.com dan juga ke kerabatnya. Email ini lalu
menyebar ke beberapa mailing list (milis) dan juga forum online.
30 Agustus 2008 : Prita mengirimkan keluhannya ke suarapembaca.detik.com
8 September 2008 : RS Omni Internasional memasang iklan berisi bantahan atas
isi email Prita di Harian Kompas. Pihak RS Omni menggugat Prita secara Perdata
atas pencemaran nama baik.
11 Mei 2009 : Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata dari
RS Omni Internasional terhadap Prita Mulyasari dan diputus untuk membayarkan
ganti rugi materil sebesar Rp. 161 juta dan ganti rugi immateril sebesar Rp. 100
juta.
13 Mei 2009 : Prita ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang.
3 Juni 2009 : Penahanan atas Prita dialihkan menjadi tahanan kota.
4 Juni 2009 : Sidang perkara pidana digelar, Prita didakwa dengan dakwaan
melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE, Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Pasal 311 ayat
(1) KUHP.
25 Juni 2009 : Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas
kasus Prita Mulyasari tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak
memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, oleh
karenanya melalui persidangan tersebut kasus Prita akhirnya dibatalkan demi
hukum.
29 Desember 2009 : Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan
Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah melakukan pencemaran nama baik
terhadap RS Omni International Alam Sutera Serpong Tangerang Selatan.

29 September 2010 : Majelis kasasi MA mengabulkan permohonan kasasi


gugatan perdata yang diajukan Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional.
Prita dibebaskan dari seluruh ganti rugi yang nilainya Rp.204 juta.
30 Juni 2011 : MA mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan
menjatuhkan Prita bersalah.
23 Agustus 2011 : Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menerima dan
menyatakan berkas Peninjauan Kembali (PK) terpidana Prita Mulyasari telah
lengkap.
17 September 2012 : MA mengabulkan PK, Prita pun bebas.

Sumber:
Kasus Prita Mulyasari. http://id.safenetvoice.org/2009/06/kasus-prita-mulyasari/,
diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 20.09 WIB.

Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa


manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhatihatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena
semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya
mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus
2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang
ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard
International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen
yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya
39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah
thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya
diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib
rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang
sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi,


saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu
referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan
saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau
izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H
visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan
27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus
memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam
suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama
dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat
khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih
memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan
saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap
suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta
keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster
hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks
lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan
suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya
dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke
39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa.
Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti
bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam
berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan
kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang


sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun
hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan
saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan
paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obatobatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami.
Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakakkakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab
awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam
riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan
membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut
malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali
dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi
saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang
pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab
dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga
mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap
tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya
membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan
diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar)
saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada
follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit
saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah
181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marahmarah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di

Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen
yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima
oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam
tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya
sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta
tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen.
Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service
Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang
terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat
pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan
181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi
thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah
komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain
dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai
dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan
dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas
(Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa
ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena
sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang
telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan
suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas.
Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya
tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000
tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta
diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya
saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang
dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan
keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4
sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya.
Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada
tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya
tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari
datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda
terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya
sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan
mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai
pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini
cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat
tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis
saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak

manajemen

hanya

menyebutkan

mohon

maaf

atas

ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang
menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang
mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS
Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya
ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya
RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya
adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu

rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak
makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini
dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya
semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni
(dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan
kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya
yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas
dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang
cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masingmasing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang
dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS
Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang
tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan
tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah
karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H,
dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi
perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak
mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter
ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600

Sumber:
Mulyasari, Prita. 2008. RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif.
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rsomni-dapatkan-pasien-dari-hasil-lab-fiktif, diakses pada 30 Oktober 2014,
pukul 20.29 WIB.

Anda mungkin juga menyukai