Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Hati memainkan peran sentral di dalam memelihara homeostasis metabolisme. Oleh
karena itu, perkembangan penyakit hati seringkali diikuti dengan berbagai manifestasi klinis
akibat gangguan metabolisme. Hati memiliki kapasitas cadangan fungsional yang cukup
besar, sehingga gangguan metabolic seringkali belum tampak pada kerusakan hati minimalmoderate.
Sirosis merupakan kondisi akhir pada berbagai kerusakan hati kronis. Istilah sirosis
pertama kali diperkenalkan oleh Laennec pada tahun 1826. Hal ini berasal dari istilah Yunani
scirrhus dan digunakan untuk menggambarkan permukaan oranye atau kuning kecoklatan
hati terlihat pada otopsi. Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi
mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh arsitektur hati mengalami perubahan
menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) di sekitar parenkim hati
yang mengalami regenerasi.
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien
yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Survey penelitian di
USA melaporkan bahwa sekitar 5,5 juta penduduk (2% dari populasi USA) menderita sirosis.
Sirosis ini menyebabkan kematian pada 26.000 jiwa tiap tahunnya dan merupakan penyebab
kematian terbesar ke-9 di USA pada usia antara 25-64 tahun (Sanchez and Talwalkar,
2008).Sedangkan di Indonesia, belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatis. Namun
dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia secara keseluruhan
prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau
rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan
Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan
untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian
atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta
Hepatosellular carsinoma.
Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan
gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus. Sirosis
hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini,
1

dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain,
sisanya ditemukan saat otopsi.

1.2

TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulisan referat ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai
penyakit sirosis hepatis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah
besar dan seluruh sistem arsitektur hepar mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan
terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi. Batasan fibrosis sendiri adalah suatu penumpukan berlebihan matriks
ekstraseluler (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di dalam hepar. Respons fibrosis
terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses
fibrosis biasanya ireversibel.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan
perempuan sekitar 1,6:1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 59
tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun. Penelitian di USA melaporkan bahwa sekitar
5,5 juta penduduk (2% dari populasi USA) menderita sirosis. Sirosis ini menyebabkan
kematian pada 26.000 jiwa tiap tahunnya dan merupakan penyebab kematian terbesar ke-9 di
USA pada usia antara 25-64 tahun. Sedangkan di Indonesia, belum ada data resmi nasional
tentang sirosis hepatis. Namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di
Indonesia secara keseluruhan prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.

2.3. ETIOLOGI
Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat adalah hepatitis C (26%), sedangkan di
Indonesia terutama diakibatkan infeksi virus hepatitis B dan C. Hasil penelitian di Indonesia
menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus
hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui, alkohol sebagai
penyebab sirosis hati di Indonesia masih lebih sedikit kekerapannya dibandingkan di negaranegara Barat.

2.4

PATOFISIOLOGI

Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi sirosis adalah
kematian sel hati, regenerasi, dan fibrosis progresif. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hati
normal mengandung kolagen interstitium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta dan sekitar vena
sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Di ruang antara sel endotel sinusoid dan hepatosit
(ruang Disse) terdapat rangka retikulin halus kolagen tipe IV.
Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di
semua bagian lobus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan penetrasinya. Juga terjadi pirau
vena porta ke vena hepatica dan arteri hepatica ke vena porta. Angiogenesis membentuk
pembuluh darah baru pada lembaran fibrosa yang mengelilingi nodul. Pembuluh darah ini
menghubungkan arteri hepatica dan vena porta ke venula hepatika. Adanya gangguan aliran
darah seperti itu, berkontribusi dalam hipertensi porta, yang meningkat akibat nodul
regenerasi menekan venula hepatica. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari
saluran endotel yang berlubang-lubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit,
menjadi saluran vaskuler tekanan tinggi beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara
khusus, perpindahan protein (misal albumin, faktor pembekuan, lipoprotein) antara hepatosit
dan plasma sangat terganggu.
Sumber utama kelebihan kolagen pada sirosis tampaknya adalah sel stellata
perisinusoid penyimpan lemak, yang terletak di ruang Disse. Walaupun secara normal
berfungsi sebagai penyimpan vitamin A dan lemak, sel ini mengalami pengaktifan selama
terjadinya sirosis, kehilangan simpanan retinil ester, dan berubah menjadi sel mirip
miofibroblas. Rangsangan untuk sintesis dan pengendapan kolagen dapat berasal dari
beberapa sumber: peradangan kronis, disertai produksi sitokin peradangan seperti faktor
nekrosis tumor (TNF), limfotoksin, dan interleukin 1; pembentukan sitokin oleh sel endogen
yang cedera (sel Kupffer, sel endotel, hepatosit, dan sel epitel saluran empedu); gangguan
matriks ekstrasel; stimulasi langsung sel stelata oleh toksin.
Hipertensi porta pada sirosis disebabkan oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
porta di tingkat sinusoid dan penekanan vena sentral oleh fibrosis perivenula dan ekspansi
nodul parenkim. Anastomosis antara system arteri dan porta pada pita fibrosa juga
menyebabkan hipertensi porta karena mengakibatkan system vena porta yang bertekanan
rendah mendapat tekanan arteri. Empat konsekuensi utama adalah asites, pembentukan pirau
vena portosistemik, splenomegali kongestif, dan ensefalopati hepatika.

1) Asites: adalah kumpulan kelebihan cairan di rongga peritoneum. Faktor utama


patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi
porta) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang
berperan adalah retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.
Kelainan ini biasanya mulai tampak secara klinis bila telah terjadi penimbunan paling
sedikit 500 mL, tetapi cairan yang tertimbun dapat mencapai berliter-liter dan
menyebabkan distensi massif abdomen. Cairan biasanya berupa cairan serosa dengan
protein 3g/dL (terutama albumin) serta zat terlarut dengan konsentrasi serupa, misalnya
glukosa, natrium, dan kalium seperti dalam darah.
2) Pirau portosistemik: dengan meningkatnya tekanan sistem porta, terbentuk pembuluh
pintas di tempat yang sirkulasi sistemik dan sirkulasi porta memiliki jaringan kapiler yang
sama. Tempat utama adalah vena disekitar dan di dalam rektum (bermanifestasi sebagai
hemoroid), taut kardioesofagus (menimbulkan varises esophagogastrik), retroperitoneum,
dan

ligamentum

falsiparum

hati

(mengenai

kolateral

dinding

abdomen

dan

periumbilikus). Walaupun dapat terjadi, perdarahan hemoroid jarang massif atau


mengancam nyawa. Yang lebih penting adalah varises esofagogastrik yang terjadi pada
sekitar 65% pasien dengan sirosis hati tahap lanjut dan menyebabkan hematemesis massif
dan kematian pada sekitar separuh dari mereka. Kolateral dinding abdomen tampak
sebagai vena subkutis yang melebar dan berjalan dari umbilicus ke arah tepi iga (kaput
medusa) dan merupakan tanda klinis utama hipertensi porta.
3) Splenomegali: kongesti kronis dapat menyebabkan splenomegali kongestif. Derajat
pembesaran sangat bervariasi (sampai 1000 g) dan tidak selalu berkaitan dengan
gambaran lain hipertensi porta.
Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari
nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Ukuran nodulus
sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim
regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel
stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peranan dalam
keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan
fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung secara terus menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka
sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus menerus

maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan
digantikan oleh jaringan ikat.

2.5

MANIFESTASI KLINIS

Stadium awal sirosis seringkali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis) sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan
penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas,
selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki
dapat timbul impotensi, testis mengecil dan hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut
(sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat, muntah darah
dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung,
agitasi, sampai koma.
Menurut Sherlock, secara klinis, sirosis hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic
Sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic

Sirosis hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal: Sirosis Hepatis ini
mungkin tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsy atau
pemeriksaan laparoskopi.
Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal: Pada penderita ini
sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada ikterus, perubahan sirkulasi darah,
kelainan laboratorium pada tes faal hati, juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal,
misalnya asites, splenomegali, venektasi di perut

Gambar 1. Manifestasi Hipertensi Portal

Gambar 2. Manifestasi Kegagalan Fungsi Hati

Gejala awal sirosis kompensata meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Sedangkan
sirosis dekompensata, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan
demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat,
muntah darah, atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai koma.
Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan
dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis
sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum
pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu.
Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa
keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk
memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid
wave.

Gambar 3. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis

Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider
telangiekstasis (suatu lesi vaskular yang dikelilingi vena-vena kecil) tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada
anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosterone bebas. Tanda ini bisa
juga ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pada orang sehat, walau
umumnya ukuran lesinya kecil.
Eritema Palmaris, warna merah pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga
dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik
pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan
keganasan hematologi.

Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna
normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia.
Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati hipertrofi suatu
periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jarijari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda
ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang
juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke
arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira
fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol
pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Splenomegali sering ditemukan terutama pada
sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien
karena hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor Hepatikum, Bau
napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfide
akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin
kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap, seperti air teh. Asterixis bilateral
tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya:
Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
Batu pada vesika felea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, akibat sekunder infiltrasi
lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis, akibat resistensi insulin dan tidak
adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

2.6

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Adanya sirosis dicurigai apabila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
seorang memeriksakan keesehatan rutin atau pada saat skrining untuk mengevaluasi keluhan
spesifik. Fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asestat (SGOT) dan alanin
aminotrasnferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transminase (SGPT) meningkat tapi tak
tidak terlalu tinggi. SGOT lebih meningkat dari SGPT, tapi apabila SGPT normal, diagnosis
sirosis bisa saja tetap ada. Alkali fosfatase meningkat lebih kurang 2 sampai 3x dari harga
normal. Kadar yang tinggi bisa ditemukan pada pasien dengan kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer. Gamma glutamil transpeptidase (GGT) kadar seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Kadarnya tinggi pada penyakit hati alkaholik kronik karena pada
alcohol akan menginduksi GGT mikrosomal hepatic dan juga bisa menyebabkan bocornya
GGT dari hepatosit. Pada kadar bilirubin bisa saja normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Sintesis albumin terjadi di jaringan hati, kadarnya
menurun sesuai dengan perburukan sirosisnya. Kadar globulin bisa meningkat pada penyakit
sirosis. Waktu protrombin mencerminkan derajat atau tingkatan disfungsi sintesis hati
sehingga pada penyakit sirosis, waktu protrombin akan memanjang. Natrium serum akan
menurun terutama pada sirosis hati dengan asite, dikaitkan dengan ketidakmampuan eksresi
air secara bebas.
Untuk pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. USG secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasive
dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dinilai
dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas dan adanya massa
atau tidak. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular dan ada
peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa melihat asites, splenomegali,
thrombosis vena porta dan pelebaran vena porta.

2.7

DIAGNOSIS

Pada stadium kompensata sempurna, terkadang sangat sulit untuk menegakkan


diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari stadium kompensata sempurna mungkin bisa
ditegakan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat.

10

Diagnosis sirosis hati dapat ditegakan dari anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik
yang teliti, laboratorium dan pemeriksaan USG. Pada kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan
biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat
dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata, penegakan diagnosis terkadang tidak sulit karena gejala
dan tanda-tanda klinisnya sudah tampak dengan adanya komplikasi.

2.8

PENATALAKSANAAN

Etiologi sirosis hati dapat mempengaruhi penanganan dari sirosis tersebut. Terapi
ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Jika tidak terdapat koma hepatikum,
dapat diberikan diet yang mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak 2.000-3.000
kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati dan menghilangkan etiologi, diantaranya :

Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat menciderai hati dihentikan penggunaannya.

Hepatitis autoimun, bisa diberikan obat steroid atau imunosupresif

Hemokromatosis, diterapi dengan flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi normal dan
dapat diulang sesuai dengan kebutuhan

Penyakit hati non alkoholik, dengan penurunan berat badan dapat mencegah terjadinya sirosis

Pada hepatitis B virus, pemberian lamivudin sebagai terapi lini pertama dapat diberikan
sebanyak 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin
setelah 9-12 bulan, akan menimbulakn mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3x seminggu selama 4-6 bulan,
namun ternyata masih banyak juga yang kambuh.
Pada hepatitis virus C kronik, dapat diberikan terapi kombinasi interferon dengan
ribavirin yang merupakn terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan
dosis 5 MIU 3x seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1.000 mg/hari selama 6 bulan.

Pengelolaan Pencegahan Perdarahan Berulang


Terapi farmakologis kombinasi (penghambat b nonselektif ditambah nitrat) atau
kombinasi ligasi varises endoskopi ditambah terapi obat perlu diberikan karena tingkat
kekambuhan yang tinggi, walaupun efek samping menjadi lebih tinggi dibandingkan terapi
11

tunggal. Terapi tunggal hanya direkomendasikan untuk profilaksis primer. Kedua cara
tersebut dibandingkan dalam suatu randomized controlled trial dan hasilnya menunjukkan
adanya penurunan perdarahan berulang varises yang bermakna pada kombinasi ligasi varises
dengan endoskopi dan terapi obat (penghambat beta nonselektif ditambah nitrat)
dibandingkan terapi obat saja.
Kesulitan pemberian terapi farmakologis untuk profilaksis sekunder VGE (varises
gastro esophagus) adalah intoleransi pasien terhadap obat, ketidak patuhan pasien, dan
kurangnya bukti.Intoleransi pasien terhadap obat tertentu perlu mendapatkan perhatian
penting jika pasien mengeluhkan hal yang berhubungan dengan efek samping. Selain itu,
pasien juga perlu diberikan edukasi untuk kontrol teratur dan minum obat secara rutin. Risiko
terjadinya perdarahan berulang perlu dipaparkan secara jelas, terutama jika pasien tidak
melakukan terapi sesuai dengan petunjuk dokter.
Tabel 1. Panduan Tata Laksana untuk Mencegah Perdarahan Berulang

12

Gambar 4. Algoritme Pencegahan Perdarahan Berulang. ISMN (Isosorbid mononitrat); EVL


(ligasi varises endoskopi); TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt)

Pengobatan Sirosis Dekompensata

Asites, terapinya dengan tiraah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehqri.
Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edem
kaki atau tidak 1 kg/hari dengan adanya edem kaki. Jika pemberian spironolakton tidak adekuat,
bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa
ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksiimal dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis
dilakukan bisa asites sangan besar. Pengeluaran asites bisa 4-6 liter dan dilindungi denga
pemberian albumin.

Ensefalopati hepatik, pemberian laktosa dapat membantu pasien dalam mengeluarkan


ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia. Diet
protein dikurangi sampai 0,5 gr/KgBB/hari terutama diberikan yang kaya asam amino rantai
cabang.

Varises esofagus, sebelum terjadinya perdarahan dan sesudah terjadinya perdarahan bisa
diberikan obat propanolol. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.

Transplantasi hati merupakan terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun
sebelum dilakukan transplantasi, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh pasien yang
menerima donor hati tersebut.

2.9

KOMPLIKASI

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Beberapa komplikasi


yang sering ditemukan pada pasien dengan sirosis hati diantaranya sebagai berikut:
13

Asites
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites
adalah komplikasi yang umum terjadi pada penderita sirosis hepatis, dan merupakan
tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Sekitar 60% pasien dengan
sirosis hepatis terkompensasi akan menjadi asites dalam waktu 10 tahun sejak awal mula
perjalanan penyakit. European Association for the Study of the Liver (EASL) membagi
asites menjadi tiga grade (tingkatan), yaitu:
Tabel 2. Grade Asites menurut EASL
Grade Asites
Grade 1
(Mild ascites)
Grade 2
(Moderate ascites)
Grade 3
(Large or gross ascites)

Definisi
Asites dalam jumlah sedikit
yang hanya bisa dideteksi
melalui USG
Asites yang ditandai
distensi abdomen yang
tampak simetris
Asites dalam jumlah besar
sehingga menimbulkan
distensi abdomen yang
sangat nyata

Tatalaksana
Tidak ada penatalaksanaan
khusus
Restriksi sodium dan
pemberian diuretik
Large volume paracentesis
(LVP) diikuti restriksi
sodium dan pemberian
diuretik

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


Peritonitis bakterial spontan (PBS) adalah infeksi cairan asites tanpa adanya penyebab
dari intraabdominal yang dapat diterapi operatif. Pada PBS didapatkan peningkatan sel
polimorfonuklear (PMN) lebih dari 250/mm3 dengan atau tanpa bakteremia yang
diisolasi dari dalam cairan asites. PBS merupakan komplikasi serius pada pasien sirosis
dengan asites, dari pasien sirosis hepatis yang menderita PBS, 70% tergolong dalam
Child-Pugh C. Sebagian besar disebabkan oleh bakteri Gram negatif, terutama
Escherichia coli. Dari beberapa penelitian didapatkan Cefotaxim dan Amoxicilin masih
sensitif untuk terapi infeksi pasien sirosis dengan asites. Angka mortalitas pada pasien
sirosis dengan PBS berkisar antara 40-70% jika tidak mendapatkan terapi yang adekuat.

Varises Esofagus
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang diproyeksikan ke
dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi portal. Hipertensi portal adalah
peningkatan tekanan aliran darah portal lebih dari 10 mmHg yang menetap, sedangkan
tekanan dalam keadaan normal sekitar 5 10 mmHg. Hipertensi portal paling sering
disebabkan oleh sirosis hati. Sekitar 50% pasien dengan sirosis hati akan terbentuk
14

varises esofagus. Sekitar 430% pasien dengan varises yang kecil akan menjadi varises
yang besar setiap tahun dan karena itu mempunyai risiko akan terjadi perdarahan.
Pada pasien dengan varises esofagus, sekitar 30% akan mengalami perdarahan pada
tahun pertama setelah didiagnosis. Angka kematian akibat episode perdarahan tergantung
pada tingkat keparahan penyakit hati yang mendasari. Kematian yang disebabkan karena
perdarahan berkisar antara <10% pada pasien sirosis dengan klasifikasi Child-Pugh A
yang kompensata sampai >70% pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C. Risiko
terjadinya perdarahan ulang tinggi mencapai 80% dalam 1 tahun. Bila tidak di terapi,
mortalitas

varises esofagus adalah 3050%, namun bila dilakukan terapi maka

mortalitasnya menurun hingga 20%. Penatalaksanaan perdarahan pada varises esofagus


dengan terapi farmakologi, endoskopi antara lain adalah skleroterapi dan ligasi,
tamponade balon, transjugular intrahepatic portosistemic shunt (TIPS), dan operasi.

Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati
tingkat berat baik yang akut maupun kronis, yang disebabkan terjadinya vasokonstriksi
pada sirkulasi ginjal. Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk menegakkan
diagnosis sindrom hepatorenal (SHR) terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria
tambahan, diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria mayor.
Kriteria Mayor:

Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan hipertensi portal

Laju filtrasi glomerulus (LFG) yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dL (130
mmol/L) atau bersihan kreatinin < 40 ml/menit)

Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan


nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida)

Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dL atau
peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian cairan isotonik
salin 1,5 liter.

Proteinuria < 500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit ginjal pada
pemeriksaan USG.

Kriteria Tambahan

Volume urine < 500 ml/hari


15

Natrium urine < 10 mEq/liter

Osmolaritas urine > osmolaritas plasma

Eritrosit urine < 50/lapangan pandang (high power field)

Natrium serum < 130 mEq/liter

SHR secara klinis diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu:


1. SHR tipe 1 terjadi peningkatan serum kreatinin 2x lipat (nilai awal serum kreatinin
lebih dari 2,5 mg/dL) atau penurunan bersihan kreatinin 50% dari nilai
awal hingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Prognosis umumnya sangat buruk.
2. SHR tipe 2 bentuk kronis SHR, ditandai dengan penurunan LFG yang lebih lambat,
dan kondisi klinis pasien biasanya lebih baik dibanding SHR tipe 1.

Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien sirosis
hepatis, prevalensinya sekitar 30-70%. Adanya kerusakan hati dapat menyebabkan
terjadinya gangguan sistem saraf otak akibat zat-zat yang bersifat toksik yang merupakan
gangguan neuropsikiatrik yang disebut ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik ditandai
dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan penurunan kesadaran. Pada
kasus yang berat, pasien dapat menjadi koma atau meninggal.

Tabel 3. Tingkat Derajat Koma Hepatik


Tingkat

Prodromal

Koma mengancam

Gejala
Afektif hilang,
eufori, depresi,
apati, kelakuan tak
wajar, perubahan
kebiasaan tidur
Kebingungan,
disorientasi,
mengantuk

Koma ringan

Kebingungan nyata,
dapat bangun dari
tidur, bereaksi
terhadap rangsangan

Koma dalam

Tidak sadar, hilang


reaksi rangsangan

Tanda

Elektroensefalografi
(EEG)

Asteriksis, kesulitan
bicara, kesulitan
menulis

(+)

Asteriksis, fetor
hepatik

(++)

Asteriksis, fetor
hepatik, lengan
kaku, hiperreflek,
klonus, reflek
menggenggam,
mengisap
Fetor hepatik, tonus
otot hilang

(+++)

(++++)

16

Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan koma hepatik adalah memperbaiki


oksigenasi jaringan, pemberian vitamin, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan,
serta menjaga agar tidak terjadi dehidrasi.
2.10 PROGNOSIS
Prognosis sirosis dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan
hati, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Klasifikasi Child-Pugh digunakan untuk
menilai prognosis pasien sirosis hati yang akan menjalani operasi. Terdiri dari Child A, B,
dan C. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80%, dan 45%.
Tabel 4. Klasifikasi Child-Pugh dalam Prognosis Sirosis Hepatis
Poin
Ensefalopati
Asites
Bilirubin (mg/dL)
Albumin (g/dL)
Prothrombin (s)

1
tidak ada

2
minimal

tidak ada

mudah dikontrol

<2
> 3.5
<4

2-3
2.8-3.5
4-6

3
berat/koma
sulit dikontrol
dengan diuretik
>3
< 2.8
>6

Skor Child-Pugh:
Kelas A (5-6 poin)
Kelas B (7-9 poin)
Kelas C (10-15 poin)

17

BAB III
KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir fibrotik hati akibat penyakit hati kronik difus
yang ditandai dengan adanya perubahan struktur hati yang membentuk jaringan ikat dan
gambaran nodul. Etiologi sirosis hepatis beragam, namun di Indonesia penyakit ini lebih
sering disebabkan infeksi virus hepatitis B dan C, sementara sirosis hepatis yang diinduksi
konsumsi alkohol masih sedikit angka kejadiannya di Indonesia bila dibandingkan dengan di
negara-negara Barat.
Pengobatan sirosis hepatis didasarkan pada etiologi dan gejala klinis yang tampak
serta ada tidaknya komplikasi dan penyakit lain yang menyertainya. Prognosis penyakit ini
baik bila diobati pada stadium dini (kompensata), namun jika telah sampai stadium lanjut
angka harapan hidupnya akan lebih rendah karena sirosis hepatis menimbulkan kerusakan
organ yang sifatnya irreversible. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien sirosis
hepatis dapat berupa medikamentosa, operatif, hingga transplantasi hepar.

18

DAFTAR PUSTAKA

Caropeboka MD. 2013. Ensefalopati Hepatikum pada Pasien Sirosis Hepatis. Medula,
Volume 1, Nomor 4, Oktober 2013.
David C W. 2011. Cirrhosis. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/185856overview#showall
Garcia-Tsao G, Bosch J. 2010. Management of varices and variceal hemorrhage in cirrhosis.
N Engl J Med:362:823-32.
Gayatri AAY, Wibawa IDN. Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati dan
Hubungannya dengan Beberapa Faktor Risiko. 2006. J Peny Dalam, Volume 84 7
Nomor 2 Mei.
Guyton & Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. 2005. Cirrhosis Hepatitis. Harrisons
Manual Of Medicine,16th edition.
Mark, Robert, Thomas, Justin, Michael, Fibrosis and Cirrhosis. 2006. The Merck Manual,
18th edition, Volume 1. page 214
Nurdjanah S. 2007. Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. Editor
Sudoyo AW, Setitohadi B, Alwi I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of pathophysiology: concepts
of altered health states. 2nd ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p. 494-516.
Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. 2005. Cirrhosis and its complication. In: Kasper DL
et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw
Hill; p. 1858-62
Sanchez W and Talwalkar JA. 2008. Liver Cirrhosis. The American College of
Gastroenterology.
Suharjo JB, Cahyono B. 2007. Manajemen Perioperatif pada Pasien dengan Penyakit Hati.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 11.

19

Anda mungkin juga menyukai