Anda di halaman 1dari 7

FIQIH JAMAK DAN QASHAR PRAKTIS

Oleh : www.ustadzfarid.com

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ala rasulillah wa ala aalihi wa ashhabihi
wa man walah, wa badu:
Jamak Shalat
Menjamak Shalat ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini
berdasarkan hadits berikut:

















Dari Anas bin Malik, dia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika dia
mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan
shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:


.
Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah
boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika
turun (berhenti).
Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya
jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.
Jamak ketika hujan
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

:
.
.

Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia
berkata: Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya. Bukhari telah
meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya
pada malam hujan.
Jamak ketika Sakit
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

:

: . .
Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al
Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafiiyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau
takhir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An
Nawawi: Dan Alasan hal itu kuat.
Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:




:

.
Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki
keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu
Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy
Syasyil kabir dari madzhab Syafii, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu
Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah agar umatnya keluar dari kesulitan.
Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu
Alam.
Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam
An Nawawi di atas.












Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menjamak
antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan
tidak hujan.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:

:
:
.
Berkata Ibnu Taimiyah: Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab
Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam An Nasai secara marfu (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan
juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.
Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu.
Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:


Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah
ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia
berteriak: shalat .. shalat ..! Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya
berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak
mengajari saya sunah?, lalu dia berkata: Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya. Berkata Abdullah bin
Syaqiq: Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku
tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu Abbas tersebut. Demikian.
Wallahu Alam.
Qashar (meringkas shalat)

Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah sedekah yang diberikan Allah
Taala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa qashar lebih
utama dilakukan dibanding shalat dengan sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk
mengqashar sudah terpenuhi. Karena qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang Allah
Taala berikan kepada hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan.
Sebagaimana hadits yang berbunyi:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)nya dilaksanakan, sebagaimana ia benci
jika maksiat dikerjakan.
Dari Aisyah Radhiallahu Anha, Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia
akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.
Allah Taala berfirman:
Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar
shalat ... (QS. An Nisa: 101)
Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika dalam bepergian, atau
sudah bertolak dari tempatnya berasal, alias sudah keluar dari kotanya. Adapun jika masih
ditempat kediamannya, belum boleh dilakukan qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, Aku
tidak menemukan sebuah keterangan pun bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari Madinah.
Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu qashar, tidak ada keterangan
yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu,
tidak sedikit para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib. Mereka
yang berpendapat wajib adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi
menguatkan pendapat ini. Adapun kalangan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah
sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), bahkan menurut mereka lebih utama dibanding
shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat secara sempurna. Sedangkan kalangan Hambali
mengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama dibanding shalat sempurna.
Demikian juga pendapat kalangan Syafii. Ini semua jika sudah pada jarak dibolehkannya
qashar.
Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh pendapat tentang jarak
dibolehkannya qashar. Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satupun hadits shahih
dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah, Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau
dekatnya bepergian itu.

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang
menyebutkan jarak, yakni:
Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia
menjawab,Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh
tiga mil atau satu farsakh.
Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak
minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar.
Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.
Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah
empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafii
dan Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan
sahabat, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak
tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 Km).
Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai riwayat yang saling bertentangan ini?
Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, Aku tidak
menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab,
keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan
dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil
yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama).
Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para
sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah
bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:
Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang
telah dijelaskan.
Kedua, teks ayat firman Allah Taala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam
perjalanan: Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu
mengqshar shalat ... (QS. An Nisa: 101)
Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan
dengan keterangan hadits Yala bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna
mencakupi seluruh macam jenis bepergian.
Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika,
1. sudah keluar dari daerahnya,

2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar).
Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah pandangan para
Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy
Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya.
3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar
Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang
dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.
Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu,
katanya: Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan
beliau senantiasa mengqashar shalatnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu
perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.
Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun
dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.
Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh
bulan dan tetap mengqashar shalat.
Berkata Al Hasan, Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul
selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.
Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu
tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.
Ibnu Umar pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab
terhalang oleh salju.
Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy
Syafii, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar
yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas hari saja,
dan ikuti oleh Imam Laits bin Saad.
Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di
Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari
itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak

dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar,
dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya
selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang
harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian,
walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.
Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma (sepakat) bahwa
seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap
di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.
Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah
dan para sahabat, beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu
Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.
Sekian. Wallahu Alam

Anda mungkin juga menyukai