Anda di halaman 1dari 3

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Nutrisi Kromium


untuk Penderita Diabetes
Kusnindar Atmosukarto, Mitri Rahmawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Departemen Kesehatan RI
Jakarta

PENDAHULUAN
1) Manifestasi Defisiensi Krom
Kini Krorn telah diakui sebagai nutrien esensial yang
berfungsi antara lain dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan
asam nukleat (Bunker NW,Clayton BE,1983; Mervyn L,
1980)(1). Peranannya dalam menanggulangi diabetes melitus,
aterosklerosis dan penyakit jantung koroner masih terus
diteliti. Salah satu faktor yang disalahkan adalah pola diet
tinggi karbohidrat yang diolah(refined) seperti kue, es krim,
sirop kaya sukrosa, karena makanan sejenis itu selain miskin
krom, juga menguras kandungan krom tubuh. Dari berbagai
penelitian di banyak negara pada dekade terakhir, asupan
dietetik krom jauh di bawah anjuran (Mervyn L,1980) (1).
Berbagai penelitian juga menunjukkan toleransi glukosa, profil
lipid serum dan variabel lainnya berkaitan dengan suplementasi krom (Willis RA, Peng CJ,1984) (1).
Toleransi glukosa menyangkut banyak faktor, salah satunya krom; sehingga suplementasinya akan efektif hanya jika
penyebab gangguannya adalah defisiensi krom (McLaren DS,
1986).
Krom adalah nutrien esensial, efektif jika dipakai untuk
mencegah dan mengobati keadaan defisiensinya (WHO, 1973).
2) Tujuan Penulisan
Menyampaikan informasi terapi nutrisi dan diet kromium
untuk diabetes.
3) Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi baru diabetes melitus terdiri dari 4 kelompok,
yakni: diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes
melitus bentuk khusus dan diabetes melitus gestasional (tabel
1) (2).
Diabetes melitus tipe-1 terdiri dari dua bentuk yaitu
otoimun dan idiopatik; disebabkan oleh kerusakan sel beta
yang mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Diabetes tipe-2
bervariasi mulai yang dominan resisten insulin, defisiensi
insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin. Diabetes melitus tipe-2 merupakan
jenis diabetes melitus yang paling sering ditemukan dalam
praktek dan diperkirakan mencakup sekitar 90% dari semua
penderita diabetes melitus di Indonesia. Sebagian besar pasien

51

diabetes melitus tipe-2 gemuk (di negara Barat 85%, di


Indonesia 60%), disertai resistensi insulin dan tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan. Diabetes melitus tipe
khusus meliputi defek genetik fungsi sel beta, defek genetik
insulin, penyakit endokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat/zat kimia, karena infeksi, sebab imunologi yang jarang
dan sindrom genetik lainnya. Diabetes Gestasional (DMG)
diartikan sebagai intoleransi glukosa yang ditemukan pada
waktu hamil.
Tabel 1. Perbedaan klasifikasi diabetes melitus menurut American
Diabetes Association 1997 dan WHO 1985
American Diabetes Association
(1997)
Diabetes melitus tipe-1 (otoimun
dan idiopatik)
Diabetes melitus tipe-2
Diabetes melitus tipe lain

WHO(1985)
Diabetes melitus tergantung insulin
Diabetes melitus tidak tergantung
insulin
Diabetes melitus malnutrisi
Diabetes melitus bentuk lain
Toleransi glukosa terganggu
Diabetes melitus gestasional

Sumber : JMF Adam (2000)(2)

4) Kromium
Kromium adalah salah satu elemen renik (trace element)
yaitu elemen yang kadarnya dalam jaringan lazim dalam ukuran g. Sekarang paling tidak telah diakui 14 elemen renik yang
berperan esensial bagi kehidupan hewan dan manusia (Cotzias
GC, Miller ST dkk, 1976)(3), yaitu besi, iodium, tembaga, seng,
mangan, kobalt, molibdenum, selenium, kromium, nikel,
timah, silikon, dan vanadium.
PEMBAHASAN
(1) Pendekatan diagnostik defisiensi elemen renik
Teknik penentuan status kecukupan elemen-elemen renik
pada pasien mencakup anamnesis (gejala klinis dan riwayat
makanan/diet), pemeriksaan jasmani dan laboratorium penunjang (rutin dan khusus). Anamnesis dan pemeriksaan jasmani
dapat dikerjakan oleh setiap dokter tanpa perlu peralatan
canggih dan mahal. Demikian pula laboratorium rutin dapat
dikerjakan di laboratorium di puskesmas. Data laboratorik

Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

khusus untuk elemen renik tertentu, masih sulit diperoleh


karena menyangkut bahan radioaktif dan peralatan canggih
dan mahal.
Sesungguhnya dengan teknik anamnesis, pemeriksaan
jasmani laboratorium sederhana dan terapi percobaan
(therapeutical trial), setiap dokter mampu menangani kasuskasus defisiensi elemen renik dengan baik dan bertanggung
jawab.
Teknik anamnesis dilakukan dengan menanyakan jenis
dan jumlah makanan kaya elemen krom yang dimakan sehari-hari. Lalu dengan mengetahui kandungan elemen tersebut
di dalam makanan yang disantap, dicocokkan dengan kebutuhan asupan harian, diperoleh gambaran kasar kecukupan akan
elemen tersebut. Teknik anamnesis diet ini memiliki kesalahan
sekitar 20%.
Jika data klinis dan laboratorium sederhana mencurigakan
kelainan akibat defisiensi elemen renik tertentu, dapat dilakukan tindakan pembuktian sederhana berupa pengobatan percobaan. Cara ini sangat berguna jika tidak teredia peralatan
pengukur kadar nutrien (WHO, 1973; Bunker VW, Clayton
BE, 1983)(1).
(2) Pengobatan percobaan
Prinsip pengobatan percobaan ialah mengamati perubahan
tanda/gejala klinis ataupun laboratoris non spesifik (bukan
kadar elemen renik/metaloenzimnya) sebelum dan sesudah
pemberian dosis terapeutik suatu elemen renik yang diduga
defisien. Hasil positif berupa normalisasi/perbaikan kelainan
menunjukkan bahwa diagnosis defisiensi elemen renik yang
bersangkutan adalah benar, sehingga pengobatan dapat dilanjutkan. Sebaliknya, bila setelah jangka waktu tertentu
(maksimal 1 bulan) tidak ditemukan perubahan yang memadai/
diharapkan maka diagnosis defisiensi elemen renik tersebut
harus ditinjau kembali. Rasional (logika ilmiah) pengobatan
percobaan adalah karena profil klinis dan laboratoris rutin
akibat malnutrisi (khususnya defisiensi) elemen renik tubuh
seiring.
(3) Peran Krom dalam tubuh
Kandungan krom dalam tubuh manusia sekitar 5-10 mg
(Schroeder HA. Balassa JJ, Tiphon IH, 1961; WHO, 1973
Mervyn L, 1978) (1). Krom hampir selalu ada di hati, ginjal,
paru (Schroeder HA, 1961) (1). Kadar krom tinggi pada
neeonatus dan menurun dengan pertambahan usia (Schroeder
HA, 1961, WHO, 1973) (1). Penurunan kadar krom sesuai
pertambahan usia terjadi di ginjal, hepar, aorta, jantung, lien;
juga toleransi glukosa ikut menurun (Mertz W, 1976) (3). ; ini
berkaitan dengan defisiensi krom pada diabetes dewasa yang
kausanya bervariasi. Krom diduga berperan dalam proses
degeneratif dan proses metabolisme karbohidrat, lipid dan
lainnya (Anderson RA, Bryden NA, 1986; Schroeder HA,
Balassa JJ, 1961). Krom ditemukan dalam kadar tinggi di
nukleoprotein dan asam nukleat (WHO 1973) (2).
(4) Patogenesis defisiensi krom
Pada pasien defisiensi krom, lebih dari 90% asupan krom
di bawah dosis yang dianjurkan (Anderson RA, Kozlovsky

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

AS, 1985). Pada karbohidrat yang diolah (refined), elemen


nutriennya telah banyak hilang sehingga dapat menguras krom
tubuh (WHO,1973)(1). Lazimnya dibutuhkan bertahun-tahun
sebelum muncul tanda kekurangan kromium (Richard A)(6).
(5) Kandungan Krom dalam makanan
Seperti halnya pada elemen renik (trace element) lain,
banyak faktor yang mempengaruhi kandungan krom suatu
jenis makanan, antara lain lingkungan sumbernya,
pengolahannya, teknik analisisnya, tambahan eksogen (misal
dari wadahnya); sehingga tidak mengherankan jika data kandungan krom jenis makanan yang sama dapat jauh berlainan
dari satu ke lain sumber rujukan. Selain itu ada dua bentuk
krom dalam makanan dengan bioavailabilitas jauh berbeda,
sehingga pengukuran kadar krom total tanpa mengetahui
bentuknya (organik atau anorganik), kurang besar manfaatnya.
Bahan makanan yang kaya krom organik antara lain ragi
arak, daging, biji-bijian utuh (whole grains), keju (Mertz W,
1976), hati, lada hitam, tunas gandum (Merryn l, 1980.
Davidson S, dkk, 1979). Pencucian sayuran dapat melenyapkan sebagian besar kandungan khromnya (Marvyn L, 1980)
(tabel 2).
Tabel 2. Daftar kandungan krom, menurut besarnya kadar krom ug/g
(berat basah) dari 15 jenis makanan.
No

Jenis makanan

1.
2.
3.
4,
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Minyak jagung
Kerang hijau kulit beras
Margarine minyak jagung
Kerang hijau (kulit lemak)
Udang laut (besar)
Kulit ayam
Daging dada ayam
Mentega
Telur ayam
Minyak sayur
Tomat dimasak dalam wadah anti karat
Daging iga kambing muda
Tembolok/ dada ayam
Keju
Daging dan ikan (rata-rata)

Kandungan krom (ug/g)


berat basah
0,47
0,44
0,37
0,36
0,33
0,27
0,26
0,17
0,16
0,16
0,14
0,12
0,11
0,11
0,11

Sumber : Schroeder HA, dkk, 1961

(6) Absorbsi, ekskresi dan interaksi krom dengan bahan


lain.
Senyawa krom organik dalam diit dapat diabsorpsi hingga
10-25%, sedangkan garam anorganik krom hanya sekitar 1%
(Mertz W, 1976; WHO, 1973, Mervyn L, 1980) (1). Faktor lain
adalah jumlah kandungan; absorbsi krom berbanding terbalik
dengan jumlah tersebut. Absorbsi krom sekitar 2% pada
asupan 10 mg, pada pemberian 40 mg, absorbsi turun menjadi
0,5%. Belum diketahui dengan pasti bila asupan dinaikkan
sampai 200 mg, misalnya. Penelitian pada tikus menunjukkan
hanya krom bervalensi III yang efektif mengatasi defisiensi
krom (Schoeder HA, 1961)(1). Penelitian pada 76 orang dewasa
sehat secara terkontrol dan tersamar ganda selama 3 bulan,
suplementasi krom (III) 200 mg/hari menaikkan kadar serum
hampir 3 kali lipat {Anderson dkk (3)}. Krom bentuk apapun

ekskresinya 100% melalui urine (Mertz W, 1967, 1976) (1).


Ekskresi krom pada orang dewasa di Amerika Serikat berkisar
5-10 mg/hari (Mertz W, 1976; WHO, 1973, Mervyn L, 1980).
Dalam darah krom berikatan kuat dengan siderofilin (pembawa besi), sehingga berkompetisi dengan besi; pada
hemokromatosis, transferin sarat dengan besi, sehingga tidak
dapat mengangkut krom (Offenbocher EG dkk, 1985). Krom
dalam darah tidak sesuai dengan kadar jaringan dan tidak
mencerminkan status krom (WHO, 1973). Demikian pula
krom urine, dan rambut tak dapat memastikan status krom
(Anderson RA, dkk, 1985).
Defisiensi krom dapat menurunkan daya kerja insulin.
Terapi nutrisi kromium memperbaiki daya kerja insulin hingga
100 kali lipat (Walter). Peran krom, dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Krom bekerjasama dengan
insulin dalam memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel,
dengan demikian dalam pelepasan energi. Kekurangan krom
dapat menyebabkan gangguan toleransi terhadap glukosa,
walaupun konsentrasi insulin normal(5).
BERBAGAI HASIL PENELITIAN DIIT KROMIUM DI
LUAR NEGERI
1) Manifestasi defisiensi krom, disusun menurut berbagai
penelitian
Tabel 3. Manifestasi defisiensi krom menurut penemu, tahun/sumber,
dan hasil penelitian.
No
1.

Penemu, Tahun Sumber


Curran (1954)(1)

2.

Schwarz & Mertez


(1959) (1)

3.

WHO (1973) (1),


Anderson RA,
Kezlovsky AS (1985) (1)
Anderson RA,
Kozlovsky AS (1985) (1)

4.

Hasil Penelitian
Sintesis kolesterol dan asam lemak dari
asetat pada tikus, diperkuat dengan
keberadaan ion krom (sebagai efek
biologis)
Kromium trivalen (Cr bervalensi III)
sebagai faktor yang meningkatkan
toleransi glukosa tikus dan kelinci yang
diitnya kurang mengandung krom
Krom sebagai nutrien esensial berfungsi
dalam metabolisme karbohidrat, lipid,
asam nukleat
Krom berperan dalam penanggulangan
penyakit- penyakit diabetes melitus,
aterosklerosis, jantung koroner dan
masih terus diteliti
Status krom yang normal, memperbaiki
toleransi glukosa, profil lipid serum dan
variabel lainnya yang berkaitan

5.

Anderson RA, Bryden


NA, Polansky MM
(1985) (1)

6.

Offenbacher EG, Rinko


Cj, Pi Sunyer FX,(1980)(1)

Efektifitas krom pada sekitar 50%


pasien, tetapi tak memakai kelola dan
tak mengetahui status krom penderita

7.

Mervyn L, (1980) (1)

Pada sebagian besar penderita diabetes


melitus, terutama pada status kurang,
suplementasi krom menurunkan
kebutuhan dosis insulin

8.

53

Offenbacher EG, Rinko


Cj, Pi Sunyer FX,
(1985)(1)

Penelitian pada 23 orang tua dengan


asupan krom yang cukup, suplementasi
krom 200 mg sebagai CrC13.6H20 atau
5 g ragi selama 10 pekan, tidak
mengubah toleransi glukosa kolesterol
insulin dan trigliserida secara bermakna

9.

10.

Mertz W (1967) (1)

Hopkins LL, Majaj AS


(1986) (1)

Pada populasi terkontrol di Jordania,


Nigeria dan Turki (anak-anak malnutrisi
protein kalori), suplementasi 250 mg Cr
(dalam bentuk garam chlorida) peroral
ternyata menormalisasi kelainan
toleransi glukosa dalam waktu sehari
(pada orang dewasa umumnya perlu 1-2
minggu)
Suplementasi krom (III) klorida pada 4
orang anak hipoglikemi puasa, glukosa
puasa naik dari 59 9 mg %, menjadi
80 5 mg %.

2) Terapi Nutrisi Kromium Di Amerika


Dosis: Tablet kromium (dalam bentuk Chromium
pikolinat yang paling mudah diserap) 200 g/hr untuk orang
dewasa sehat, dan 400-1000 g/hr untuk penderita diabetes
melitus. (6)
Dampak fisiologis antara lain meningkatkan daya kerja insulin,
menormalkan gula darah, meningkatkan kolesterol HDL.
FUNGSI KHROM DALAM PROSES BIOLOGIS :
Kekurangan kromium menimbulkan resistensi insulin.
Kromium terikat pada insulin, sambil memperbaiki hingga 100
x lipat pekerjaan utama hormon tersebut (Walter).
Setiap orang membutuhkan sekurang-kurangnya 200
mikrogram krom setiap hari. (R A Anderson)(6)
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Khromium berperan dalam metabolisme karbohidrat.
Dari hasil penelitian di Amerika, khromium berperan
mengaktifkan kerja insulin hingga 100 kali.,
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan, bahwa
kekurangan khromium pada usia setelah 20 tahun,
memungkinkan terjadinya diabetes pada masa petengahan
umur sebesar 25%.
Berdasarkan bebagai penelitian, dianjurkan konsumsi
400 1000 ug khromium pikolinat untuk orang sehat; untuk
Indonesia perlu penelitian lebih lanjut, mengingat kondisi fisik
dan pola makan yang berbeda dari penduduk Amerika.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Willie Japaries, Rachmad. Elemen Renik dan Pengaruhnya terhadap


Kesehatan. ECG, Jakarta 1988.
Adam JMF. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru, CDK., 2000;127.
Andry Hartono DA, Nutz. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit, Diagnosis,
Konseling dan Preskripsi, Jakarta: EGC, 1997.
Price SA, Wilson LM.. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC, 1995
F. Sunita Almatsier. Prinsip-prinsip dasar ilmu gizi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001.
Carper J. Stop Aging Now - Rahasia Tetap Muda Seumur Hidup,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

Anda mungkin juga menyukai