Anda di halaman 1dari 28

HELICOBACTER PYLORI

DAN PENYAKIT GASTRODUODENAL


Soewignjo Soemoharjo
I. SEJARAH
1. Bagaimanakah sejarah penemuan kuman H. pylori ?
Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah dilaporkan sejak
tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman berbentuk spiral pada
mukosa lambung. (Blaser, 2005) Pada tahun 1893, seorang sarjana Italia bernama Giulio
Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang hidup dalam lambung anjing yang
bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung
pertama kali dianjurkan oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman
yang ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu
dinamakan Vibrio rugula. Tetapi laporan tersebut tidak banyak mendapat perhatian karena
ditulis dalam bahasa Polandia. (Konturek, 2003) Laporan-laporan itu tidak mendapat
perhatian karena bertentangan dengan dogma yang banyak dianut oleh para dokter bahwa
tidak ada kuman yang bisa hidup dalam lambung yang begitu asam suasananya. Kuman ini
ditemukan kembali dan dilaporkan oleh Robin Warren seorang ahli patologi dari Australia
pada tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1981, Warren melanjutkan penelitian tentang
kuman tersebut bersama Barry Marshall, seorang residen Penyakit Dalam. Kedua orang
tersebut berhasil membiakkan kuman spiral tersebut. Dalam laporan Marshall dan Warren
pada tahun 1984 dalam majalah Lancet, mereka telah menyatakan bahwa kebanyakan ulkus
lambung dan gastritis disebabkan oleh karena kuman tersebut. (Warren dan Marshall,
1984) Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan
penyakit lambung, Marshall telah melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah
menelan kuman H. pylori yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi
dan ternyata terjadi gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H.
pylori. Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan
Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam laporan
Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan Campylobacter
pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori. Kedua sarjana yang
menemukan kembali kuman spiral yang kemudian dinamakan Helicobacter pylori ini telah
menerima hadiah nobel dalam ilmu kedokteran pada tahun 2005.

II. MIKROBIOLOGI
1. Bagaimana taksonomi kuman Helicobacter pylori ?
Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Epsilon Proteobacteria

Order

: Campylobacterales

Family

: Helicobacteraceae

Genus

: Helicobacter

Species

: H. pylori

2.

Bagaimanakah sifat kuman Helicobacter pylori ?

Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok dan
berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung yang
menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini dapat
bertahan hidup dalam suasana asam kuat dengan cara memproduksi enzim urease. Enzim
urease akan mengubah urea yang ada dalam cairan lambung menjadi amoniak. Tubuh kuman
Helicobacter selalu diliputi oleh awan amoniak ini, dan karenanya dapat bertahan terhadap
asam lambung.
Kuman ini bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam
keadaan normal kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan
tertentu yang kurang baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan
bentuk pertahanan yang resisten.
Kuman ini termasuk kuman mikroaerofilik artinya hanya tumbuh dalam suasana dimana
didapatkan oksigen dalam kadar rendah. Kuman ini mati pada suasana dengan kadar oksigen
normal, dan mati dalam keadaan anaerobik sempurna.
3. Mengapa kuman Campylobacter pylori kemudian dinamakan Helicobacter pylori ?
Karena menurut penelitian kuman-kuman tersebut mempunyai sifat-sifat yang berbeda
dengan kuman dari genus Campylobacter lainnya maka mulai tahun 1990 nama
Campylobacter pylori berubah menjadi Helicobacter pylori. Beberapa perbedaan misalnya
pada kuman genus Helicobacter didapatkan flagela yang berselaput (sheated), sedang kuman
dari genus Campylobacter flagelanya tidak berselaput dan tidak memproduksi urease.
4. Bagaimana cara membiakkan kuman H. pylori?
Sebenarnya teknik pembiakan kuman H. pylori tidak terlalu sulit, tetapi membutuhkan cara
dan syarat-syarat khusus yang agak berbeda dengan kuman lain. Kuman ini adalah kuman
mikroaerofilik dan karena itu untuk pembiakan diperlukan suasana mikroaerofilik. Yang
paling sering dipakai untuk menumbuhkan kuman H. pylori adalah anaerobic jar dengan
katalisator paladium. Kemudian ke dalam jar dimasukkan Campylobacter gas kit ditambah
air. Pertumbuhan kuman H. pylori memerlukan suasana yang lembab. Suasana yang hampir
serupa dapat dibuat menggunakan anaerobic jar dengan anaerobic gas kit tetapi tanpa
katalisator paladium.
Media yang paling sering dipakai adalah lempeng agar darah yang mengandung 7% darah.
Karena kuman H. pylori tumbuh lambat supaya tidak kalah dengan pertumbuhan kuman lain
yang mungkin ada dalam bahan yang akan dibiakkan maka diberikan suplemen antibiotik
yang menekan kuman kontaminan tapi tidak menekan pertumbuhan kuman H. pylori. Yang
paling banyak dipakai adalah suplemen Skirrow yang mengandung Trimetroprim,
Vankomisin dan Polimiksin-B. Karena Pseudomonas merupakan kuman kontaminan yang

sering mengganggu dan yang rupanya mulai kebal terhadap antibiotik dalam suplemen
Skirrow maka di laboratorium kami disamping suplemen Skirrow juga dicampurkan satu
antibiotik lagi yaitu Cefsulodin, suatu derivat cephalosporin yang dikhususkan untuk kuman
Pseudomonas, karena biakan kuman H. pylori sering terganggu oleh adanya jamur maka
sebaiknya ke dalam media ditambahkan Amphotericin B (Fungizone) 5 mg/liter.
Selain suplemen Skirrow suplemen lain yang banyak di pakai adalah suplemen Dent yang
terdiri dari Trimetoprim, Vankomisin, Cefsulodin dan Amphotericin B. (Dent et al, 1988)
Selain suplemen di atas untuk pembiakan kuman H. pylori dianjurkan penambahan Isovitalex
atau Vitox yang berisi asam amino dan vitamin.
Untuk memudahkan identifikasi koloni H. pylori ke dalam medium dapat dicampurkan
Triphenyl Tetrazoleum Chloride (TTC) dengan kadar 40 mg/liter. Dengan menambahkan
TTC maka koloni H. pylori akan menunjukkan warna kuning keemasan.
Medium lain yang dapat dipakai untuk kultur H. pylori adalah medium yang mengandung
emulsi kuning telur, medium yang mengandung 0,1% pati jagung (cornstarch), medium yang
mengandung 0,2 % arang (charcoal) dll. (Westblom, 1991)
5. Apakah ada selain menggunakan Campylobacter gas kit yang dapat dipakai untuk
inkubasi biakan kuman H. pylori ?
Cara yang lebih mudah dan lebih hemat untuk menumbuhkan kuman H. pylori adalah dengan
menggunakan inkubator CO2. Keuntungan penggunaan inkubator CO2 adalah lebih mudah
untuk mengendalikan kadar CO2, disamping murahnya harga gas CO2 dibandingkan dengan
harga gas pack. Disamping itu sewaktu-waktu bila diperlukan inkubator dapat dibuka untuk
melihat sediaan, yang mana tidak bisa dilakukan bila menggunakan anaerobic jar, karena
begitu jar dibuka maka gas pack harus diganti dengan yang baru.
Bila digunakan inkubator CO2 dipakai kadar CO2 sebesar 10%. Salah satu hambatan
pemakaian inkubator CO2 adalah tingginya harga inkubator CO2.
6. Apakah syarat-syarat yang diperlukan untuk media pertumbuhan kuman H.
pylori ?
Karena kuman H. pylori peka sekali terhadap produk-produk toksik maka untuk
menumbuhkan kuman H. pylori diperlukan medium yang mengandung substansi yang mudah
menyerap bahan-bahan toksik, misalnya darah, serum, heme, charcoal dll.
7. Saran-saran apakah yang dapat diberikan bagi yang baru belajar pembiakan
kuman H. pylori ?
Pertanyaan anda tepat sekali dan penting sekali karena hampir semua pemula (young players)
dalam H. pylori mengalami kekeliruan-kekeliruan teknis pada awal mereka bekerja dengan
kuman ini. Yang terpenting kita harus yakin bahwa yang ditumbuhkan adalah benar-benar
kuman H. pylori dan bukan kuman lainnya. Pertumbuhan kuman ini sangat rentan terhadap
kontaminasi oleh kuman lain, karena itu tidak jarang kita ingin menumbuhkan kuman H.
pylori tetapi yang tumbuh ternyata bukan kuman H. pylori. Kontaminan yang berbentuk
batang sering dikelirukan sebagai H. pylori yang ada dalam bentuk batang bengkok, apalagi

bila hasil pengecatan Gramnya negatif. Perlu diingat bahwa selain kuman H. pylori ada juga
kuman-kuman yang urease positif, sehingga kesalahan yang tersering adalah tumbuhnya
kuman batang Gram negatif dan urease positif yang dikira H. pylori. Yang perlu diingat
adalah prinsip bahwa kuman H. pylori pada biakan baru selalu berbentuk spiral, dan bukan
batang bengkok.
8. Media transpor apakah yang terbaik untuk membawa spesimen biopsi mukosa
lambung untuk pembiakan kuman H. pylori ?
Bila sediaan biopsi segara dibawa ke ruang mikrobiologi dan segera di tanam dalam waktu 24 jam maka dapat dipakai media transpor sederhana misalnya PBS, saline atau Dekstrosa
10% steril. Sebelum ditanam sediaan biopsi disimpan pada suhu 2-4Celcius.
Tetapi bila sediaan ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai laboratorium
mikrobiologi maka sediaan biopsi sebaiknya disimpan pada Stuart transport medium.
(Glupczynski, 1996)
9. Bagaimana cara melakukan tes kepekaan antibiotik untuk kuman Helicobacter
pylori ? Kapan kita perlu melakukan tes tersebut ?
Tes kepekaan antibiotika kuman H. pylori sebenarnya tidak berbeda dengan tes yang
dilakukan untuk kuman-kuman lain. Hanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang
terpenting adalah yakinkan bahwa kuman yang sedang anda teliti adalah benar-benar kuman
H. pylori dan bukan kuman kontaminan. Hal ini sangat penting karena biakan kuman H.
pylori sangat rentan terhadap kontaminasi, dan kontaminan ini lebih cepat tumbuh
dibandingkan dengan H. pylori. Tidak jarang dilaporkan spektrum kepekaan kuman H. pylori
yang aneh, tetapi setelah di teliti ternyata kuman yang diperiksa bukan H. pylori.
Kekeliruan ini banyak dialami bila kontaminannya adalah kuman berbentuk batang yang
dikelirukan dengan kuman H. pylori yang berbentuk batang bengkok. Karena itu suatu
prinsip yang harus diperhatikan adalah keharusan menggunakan kuman H. pylori yang baru
ditumbuhkan (paling lama 2-3 hari) yang berbentuk spiral. Karena zona hambatan antibiotika
yang biasa dipakai biasanya luas maka dalam tes difusi dalam 1 plate ditempatkan tidak lebih
dari 3 disk.
Indikasi utama pemeriksaan kepekaan antibiotika kuman H. pylori adalah kegagalan terapi.
Selain itu pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.
10. Apakah bentuk kokoid kuman H. pylori merupakan bentuk pertahanan diri ?
Ada 2 macam bentuk kokoid pada H. pylori yaitu bentuk kokoid besar dengan sitoplasma
yang longgar dan rongga perisitoplasmik yang lebar yang lebih merupakan bentuk
degeneratif dan bentuk kokoid kecil dengan sitoplasma yang lebih dense dan membran
sitoplasmik yang intak. Bentuk kokoid kecil ini merupakan bentuk pertahanan dan menurut
penelitian bentuk ini menunjukkan kadar protein yang paling tinggi. Dengan pengecatan
acridine orange bentuk ini tampak masih viable. Bentuk kokoid besar tidak dapat
ditumbuhkan dalam biakan, sedang bentuk kokoid kecil masih dapat dibiakkan walaupun
lebih sulit dan lebih lama. (Goodwin,1993)
III. BIOLOGI MOLEKULER

1. Bagaimana genom H. pylori ?


Genom H. pylori berbentuk sirkuler. Urutan DNA dari genom beberapa strain H. pylori telah
berhasil dikerjakan seluruhnya pada tahun 1997. (Tomb et al, 1997) Genom H. pylori terdiri
dari 1,7 juta pasang basa dan mengandung 1630 gen, 1576 diantaranya mengkode
pembentukan protein.
2. Sebagian besar pengidap infeksi H. pylori tidak menunjukkan keluhan dan sebagian
lagi menderita penyakit lambung. Apakah kedua kelompok ini dapat dibedakan secara
molekuler ?
Dalam genom kuman tersebut didapatkan urutan DNA sepanjang 40 kB yang disebut cag
pathogenecity island (cag PAI). Cag pathogenecity island ini didalamnya mengandung 40
gen. Cag pathogenecity island didapatkan pada kuman H. pylori yang diisolasi dari penderita
dyspepsia dan tidak didapatkan dalam kuman H. pylori yang menimbulkan infeksi tanpa
gejala. Pasien dyspepsia yang menderita infeksi H. pylori dengan cag PAI positif biasanya
pada pemeriksaan menunjukkan anti-cagA yang positif. (Peters et al, 2001; Nilsson et al,
2003)
3. Apakah fungsi sebenarnya dari gen cagA ?
Gen cagA mengkode sintesa protein yang merupakan protein utama yang menentukan
virulensi kuman H. pylori. Gen cagA mengkode suatu protein yang terdiri dari 1186 asam
amino yang disebut protein cag a. Protein cag a ini menyebabkan gangguan fungsi sel-sel
lambung. Sedangkan cag PAI mengandung 30 gen salah satu diantaranya gen cag A.
4. Bagaimanakah keanekaragaman genetik (genetic diversifity) pada H. pylori ?
Genetic diversifity kuman H. pylori sangat besar dan jauh lebih besar dibandingkan dengan
genetic diversifity manusia. Secara praktis perbedaan genetik antara strain kuman H. pylori
dipelajari dengan cara pemeriksaan genotype dari gen cagA maupun gen vacA atau seluruh
cag PAI. Dengan cara genotyping tersebut dapat dilihat perbedaan antara strain H. pylori
yang diambil pada populasi yang berbeda. Pada populasi yang mengalami migrasi dari satu
tempat ke tempat lain yang berbeda ternyata didapatkan genotype H. pylori yang sama.
(Yamaoka et al, 2000)
5. Apakah pemeriksaan genotype kuman H. pylori ini dapat dipakai sebagai cara untuk
mempelajari migrasi penduduk di zaman dulu kala ?
Benar. Sebagai contoh genotype H. pylori pada suku Indian di Amerika Selatan ternyata
sangat mirip dengan genotype H. pylori yang didapatkan di Asia Timur. Hal itu sesuai dengan
teori migrasi penduduk dimana sebenarnya orang-orang Indian di Amerika Selatan pada
zaman dulu berasal dari Asia Timur. (Ghose et al, 2002) Sedangkan orang-orang Peru dan
Guatemala yang merupakan campuran keturunan dari Indian dan Eropa menunjukkan
genotype H. pylori yang sangat mirip dengan genotype yang didapatkan pada orang-orang
Spanyol. (Kersulyte et al, 2000)
IV. DIAGNOSA
1. Bagaimana diagnosa infeksi H. pylori ditegakkan ?

Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang memerlukan
endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang tidak memerlukan
endoskopi dan biopsi. Diagnosa invasif meliputi :
1. deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik
2. tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi
lambung.
3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.
4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung
Diagnosa noninvasif meliputi :
1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada dalam
lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam darah
penderita.
3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan
dalam tinja.
2. Bagaimana sensitifitas dan spesifitas deteksi H. pylori secara
histologik ?
Penelitian menunjukkan bahwa di tangan yang berpengalaman sensitifitas deteksi H. pylori
secara histologik lebih tinggi dibandingkan dengan kultur mikrobiologik (sensitifitas dan
spesifisitas 98% bila diperiksa 2 spesimen biopsi).
3. Bagaimana diagnosa infeksi H. pylori dengan pembiakan ?
Secara teoritik diagnosa pasti infeksi H. pylori ditegakkan dengan pembiakan. Yang paling
sering dilakukan adalah pembiakan yang dilakukan terhadap spesimen biopsi mukosa
lambung yang diambil dengan endoskopi. Disamping itu ada cara-cara diagnosa tidak
langsung. Salah satu kendala dari pembiakan kuman H. pylori adalah diperlukannya
endoskopi untuk pengambilan spesimen dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan pembiakan. Untuk kultur kuman biasa kita hanya membutuhkan 2-3 hari. Tetapi
untuk kuman H. pylori yang pertumbuhannya lambat pembiakan baru memberikan hasil
setelah 4-7 hari.
Disamping itu pembiakan kuman H. pylori relatif sulit dan diperlukan expertice yang tinggi
serta biaya yang mahal. Karena itu kultur kuman H. pylori terutama dilakukan untuk tujuan
penelitian atau bila diperlukan tes kepekaan antibiotik pada kasus-kasus yang gagal dilakukan
eradikasi.
4. Bagaimana dengan Tes Urease Cepat ?
Salah satu kit untuk deteksi urease cepat adalah CLO (Campilobacter Light Organism).
Karena itu tes urease cepat sering dinamakan tes CLO.

Tes CLO memang sangat praktis untuk tujuan diagnostik karena hasilnya cepat diketahui.
Tetapi sebenarnya hasil tes CLO tidak mutlak. Bila jumlah kuman dalam jaringan biopsi
sangat rendah, maka ada kemungkinan tes CLO negatif, walaupun bila dilakukan kultur H.
pylori hasilnya positif. Demikian pula penggunaan tes CLO untuk follow up terapi eradikasi
tidak akurat. Misalnya bila pada biopsi awal hasil CLO positif, setelah dilakukan terapi
eradikasi hasilnya CLO negatif. Tetapi seringkali bila dilakukan pembiakan hasilnya masih
tetap positif.
Untuk menghindarkan hasil negatif palsu selama 2 minggu sebelum endoskopi sebaiknya
penderita tidak minum antibiotika, obat H2 antagonis atau penekan pompa proton.
5. Apakah manfaat PCR dalam diagnosa infeksi H. pylori ?
Manfaat utama PCR adalah untuk deteksi genom H. pylori. Primer yang paling sering dipakai
untuk deteksi genom H. pylori adalah primer yang berasal dari gen urease A dan gen urease
B. Tetapi belakangan ini lebih banyak dipakai primer yang berasal dari fragmen gen urease C
karena hasilnya lebih spesifik dan lebih sensitif. Keuntungan pemakaian PCR dalam diagnosa
infeksi H. pylori adalah kemampuan PCR untuk mendeteksi baik kuman H. pylori yang
berbentuk spiral maupun yang berbentuk kokoid. Sedang cara-cara lain misalnya test urease
dan tes nafas urea hanya dapat mendeteksi kuman yang berbentuk spiral karena ternyata
kuman yang berbentuk kokoid tidak menunjukkan aktifitas enzim urease. Disamping itu PCR
dapat dipakai untuk deteksi gen CagA dan gene cag A serta gene lain yang ada dalam
kelompok patogenecity island. Akhir-akhir ini PCR dipakai untuk memeriksa genotype H.
pylori berdasarkan variasi urutan DNA pada gene yang termasuk dalam kelompok
patogenecity island.
6. Bagaimana prinsip dari Tes Napas Urea?
Dalam tes napas urea penderita diberikan urea yang mengandung isotop C13 atau C14. C13
tidak radioaktif sedang C14 adalah radioaktif. Bila dalam lambung terdapat urease yang
dihasilkan oleh kuman H. pylori maka urease tersebut akan memecah urea menjadi CO2 dan
H2O. Kemudian radioaktifitas dari CO2 yang dikeluarkan diukur. Tes ini merupakan tes yang
sangat berguna untuk tujuan diagnostik maupun untuk follow up setelah terapi. Kerugiannya
pemeriksaan ini mahal. Lihat gambar 3.

Gambar 3
7. Bagaimana diagdnosa infeksi H. Pylori ditegakkan ?
Karena lamanya hasil pembiakan H. pylori maka untuk mendapatkan hasil yang cepat maka
sering digunakan rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO test (CLO adalah
singkatan dari Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini spesimen biopsi mukosa
lambung dimasukkan dalam medium agar yang dicampur urea dan indikator. Bila dalam
bahan biopsi tersebut mengandung urease maka akan terjadi perubahan warna dari kuning
menjadi merah.
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah dengan
diagnosa histologis
Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua cara ini
tidak memerlukan endoskopi.
Belakangan ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi antigen kuman
H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa (Vaira et al, 1999).
8. Bagaimana cara diagnostik infeksi H. pylori yang dianjurkan dalam praktek seharihari?
Untuk penderita dispepsia yang dilakukan endoskopi dilakukan biopsi mukosa lambung.
Kemudian dilakukan pemeriksaan urease cepat (CLO). Bila CLO positif maka tidak perlu
dilakukan pemeriksaan histologik untuk deteksi H. pylori maupun kultur H. pylori. Bila CLO
negatif maka perlu dilakukan pemeriksaan histologik untuk deteksi H. pylori. Kultur H.
pylori hanya dilakukan bila kita ingin mengadakan tes kepekaan terhadap antibiotika. Strategi
semacam ini perlu diambil untuk mengurangi beban biaya diagnostik yang harus dipikul oleh
penderita.
V. KLINIK
1. Bagaimanakah gambaran klinik penderita yang terinfeksi kuman H. pylori ?
Spektrum gambaran klinik akibat infeksi H. pylori sangat luas, meliputi :
1. Asimptomatik
Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan walaupun
pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik sebagian besar
didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.
1. Dyspepsia dengan gambaran endoskopik yang bermacam-macam, mulai dari normal
sampai dengan ulkus lambung atau ulkus duodeni, gastritis, duodenitis, gastritis
atrofik, gastritis hypertrofik.
2. MALT (Mucosal Associated Lifoid Tissue) limfoma dan kanker lambung di bagian
destal (tipe intestinal).

2. Bagaimana gambaran endoskopi pada gastritis kronik yang disebabkan oleh infeksi
H. pylori ?
Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi H. pylori sangat sulit karena seringkali
gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi
gambaran endoskopi yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran
endoskopi yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi H. pylori adalah
1. Erosi kronik di daerah antrum
2. Nodularitas pada mukosa antrum
3. Bercak-bercak eritemia di antrum
4. Area gastrica yang menonjol dengan bintik-bintik eritemia di daerah corpus.
(Malfertheimer, 1994)
3. Bagaimanakah hubungan infeksi H. pylori dengan keganasan
lambung ?
Banyak penelitian epidemiologik menunjukkan hubungan yang kuat antara adenokarsinoma
lambung di luar cardia dengan infeksi H. pylori. Salah satu diantaranya adalah suatu studi
multisenter yang melibatkan 3000 kasus adenokarsinoma lambung dari 13 negara di Eropa.
(Eurogast Study Group, 1993) Hubungan dapat diterangkan karena didapatkannya. cukup
bukti bahwa adenokarsinoma lambung erat hubungannya dengan gastritis atrofik. Sedangkan
telah terbukti pula bahwa infeksi H. pylori merupakan penyebab utama gastritis kronik aktif
yang merupakan penyebab utama gastritis atrofik. (Maltfertheimer, 1992)
Hubungan yang sangat kuat juga didapatkan antara infeksi H. pylori dengan limfoma pada
jaringan limfoid mukosa lambung (mucosa-associated lymphoid tissue lymphoma disingkat
MALT). Penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi H. pylori didapatkan pada 92-98% kasus
MALT. (Wotherspoon et al, 1991) Hubungan ini lebih diperkuat lagi bahwa pada fase awal
dari MALT eradikasi H. pylori dapat menimbulkan regresi spontan dari keganasan tersebut.
(Wotherspoon et al, 1993)
4. Dengan demikian, apakah dapat disimpulkan bahwa H. pylori adalah suatu
karsinogen ?
Benar, pada tahun 1994 WHO dan Badan Riset Kanker Internasional telah
mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelompok 1 (definite), sejajar dengan
Hepatitis B dan C untuk Kanker Hati Primer.
5. Bagaimanakah gambaran infeksi H. pylori pada anak-anak?
Infeksi H. pylori pada anak-anak memang belum mendapat perhatian, lebih-lebih di
Indonesia. Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita jumpai penderita anak dengan keluhan
dispepsia yang hilang kambuh berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Keluhan-keluhan
tersebut dapat berupa nyeri epigastrium, kembung, mual dan walaupun sangat jarang dapat
dijumpai hematemesis atau melena. Karena endoskopi relatif jarang dilakukan pada anak,
kecuali kalau ada keluhan yang hebat maka diagnosa pasti infeksi H. pylori pada anak jarang

ditegakkan. Belakangan ini banyak dilakukan penelitian baik berupa penelitian serologik atau
endoskopik, dan ternyata cukup banyak anak-anak yang menderita gastritis antral, dan pada
beberapa anak didapatkan ulkus duodeni.
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa keluhan yang paling sering pada anak dengan
infeksi H. pylori adalah nyeri epigastrium yang didapat pada 38-78%, nyeri tekan epigastrium
pada 80%. Pada beberapa kasus didapatkan muntah-muntah hebat. Keluhan lain dapat berupa
nyeri perut post pandrial, nyeri perut malam hari dan napas bau. (Mahoney, 1992)
6. Bagaimanakah definisi dispepsia non ulkus ?
Sebelum kita sampai pada definisi dispepsia non ulkus kita bahas dulu definisi dispepsia
yaitu
rasa tidak enak di epigastrum yang berhubungan dengan makan atau tidak (Taley, 1993).
Sedang definisi yang diajukan oleh suatu kelompok kerja internasional untuk dispepsia
adalah
sbb: rasa nyeri epigastrial atau retrosternal, rasa tidak enak, heart burn mual, atau muntah,
atau gejala lain yang berhubungan dengan saluran makanan bagian proksimal (Shalcross,
1992).
Sedangkan definisi dispepsia non ulkus adalah : dispepsia dimana tidak ditemukan kelainan
endoskopi (tidak ada ulkus, tidak ada oesophagitis makroskopik dan tidak ada keganasan),
dan
pemeriksaan fisik serta laboratorium sederhana tidak menunjang diagnosa (Taley, 1993).
Istilah yang sering dipakai untuk dispepsia non ulkus adalah dispepsia fungsional.
VI. PATOGENESA
1. Bagaimanakah patogenesis terjadinya gastritis kronik sebagai akibat dari infeksi H.
pylori?
Setelah berhasil menembus asam lambung dan masuk ke dalam habitatnya maka kuman H.
pylori dapat bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi. Kuman H. pylori mengadakan
kontak dengan epitel mukosa lambung melalui bagian kuman yang disebut adhesin. Melalui
adhesin H. pylori berikatan dengan suatu gliserolipid yang didapatkan pada epitel lambung.
Kuman H. pylori menghasilkan berbagai enzim misalnya urease, catalase, protease dan
fosfolipase dll. Protease dan fosfolipase dapat merusak mukus lambung. Disamping itu H.
pylori juga memproduksi beberapa macam toksin. Toksin-toksin ini akan menyebabkan
reaksi keradangan dan kerusakan jaringan dan menyebabkan gastritis kronik. Demikian pula
reaksi imun serta reaksi radang lokal akan menambah beratnya gastritis. (Dooley, 1991)
2. Bagaimana patogenesis terjadinya ulkus duodeni akibat infeksi H. pylori ?

Adanya infeksi H. pylori kronik menimbulkan gangguan fungsi sekretorik lambung misalnya
terjadinya hipergastrinemia dll. yang menyebabkan hiperasiditas dalam lambung dan
duodenum. Adanya hiperasiditas dalam duodenum merupakan salah satu keadaan yang
memungkinkan hidupnya sel-sel mukosa lambung dalam duodenum. Pindahnya sel-sel
mukosa lambung ke dalam duodenum disebut metaplasia gastrik dalam duodenum. Dengan
adanya pulau-pulau sel mukosa lambung dalam duodenum maka kuman H. pylori dapat
pula hidup dalam duodenum. Adanya kuman-kuman tersebut dalam dodenum akan
menyebabkan duodenitis dan akhirnya terjadi ulkus di daerah tersebut (Dooley, 1991). Lihat
gambar 1.
3. Bagaimanakah mekanisme terjadinya hiperasiditas pada infeksi H. pylori,
sedangkan dikatakan bahwa infeksi H. pylori justru menyebabkan hypoacidity?
Infeksi H. pylori akut menimbulkan gastritis yang disertai dengan hypochlorhydria. Hal itu
dibuktikan dengan infeksi buatan pada sukarelawan termasuk Marshall sendiri. Tetapi infeksi
kronik memang dapat menimbulkan hyperchlorhydria. Infeksi H. pylori terutama mengenai
daerah antrum dimana banyak didapatkan sel-sel G yang diketahui memproduksi
somatostatin. Somatostatin berfungsi memberikan umpan balik (feedback) untuk asiditas
dalam lambung. Dengan adanya infeksi pada sel-sel antrum maka sel G juga banyak terkena
dan produksi somatostatin terhenti. Sebagai akibatnya mekanisme umpan balik tersebut tidak
bekerja. Walaupun produksi asam sudah cukup atau berlebih tubuh tetap merangsang
produksi tersebut sehingga terjadi hyperchlorhydria. Bila dilakukan eradikasi kuman H.
pylori maka fungsi sel-sel G tersebut pulih, demikian pula produksi somatostatin. (Moss,
1992)

4. Pada sebagian besar individu yang menderita infeksi H. pylori tidak didapatkan
keluhan atau gejala klinik yang jelas, sedang pada kelompok penderita yang lain
didapatkan kelainan yang jelas misalnya ulkus duodeni. Apakah ada strain kuman
yang patogen dan strain yang tidak patogen ?
Penelitian menunjukkan bahwa adanya sifat tertentu dari kuman H. pylori yang berhubungan
dengan kemampuan untuk menimbulkan reaksi keradangan hebat, yaitu kemampuan untuk
memproduksi Vacuolating cytotoxin dan adanya gene yang berhubungan dengan hal itu yaitu
Cytotoxin Associated Gene A (cag A) I. Isolat yang menghasilkan Vacuolating cytotoxin
umumnya juga menghasilkan Cytotoxin Associated Antigen suatu antigen dengan BM 120
kDa.
Penderita yang mengidap infeksi H. pylori dengan Cytotoxin Associated Antigen yang positif
dalam darahnya menunjukkan antibodi yang positif terhadap antigen tersebut. Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita dengan ulkus duodeni dan keganasan lambung
dengan H. pylori positif menunjukkan anti-cag yang positif bila diperiksa dengan
imunoblotting. (Lee, 1995) Belakangan ini didapatkan juga bahwa individu-individu
penderita gastritis kronik yang H. pylori positif yang menunjukkan anti-cag yang positif lebih
banyak menunjukkan adanya gastritis atrofik dibandingkan dengan mereka yang anti-cag
negatif. (Asaka et al, 1997)
5. Bagaimana hubungan antara infeksi H. pylori dengan penyakit gastroduodenal ?
Pada saat ini diketahui bahwa infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis kronik aktif,
ulkus duodeni, ulkus lambung dan keganasan lambung.

6. Bagaimana patogenesis ulkus lambung karena infeksi H. pylori ?


Salah satu teori yang dikemukakan akhir-akhir ini mengatakan bahwa produksi asam lokal
menentukan lokasi serta berat ringannya inflamasi serta gambaran klinik infeksi H. pylori.
Sebagai contoh distribusi gastritis, distribusi kolonisasi H. pylori dan pola produksi asam
lokal sangat berbeda antara penderita dengan ulkus duodeni dan ulkus lambung (Lee,1995).
Faktor terpenting dalam terbentuknya ulkus lambung adalah terjadinya atrofi sel-sel mukosa
corpus serta adanya pangastritis, kedua hal tersebut tidak terjadi pada ulkus duodeni. Sebagai
akibat dari atrofi corpus dan pangastritis tersebut produksi asam lambung akan menurun.
Keasaman lambung yang menurun akan merangsang timbulnya metaplasia intestinal, yaitu
masuknya epitel usus ke dalam lambung. Ulkus lambung terjadi pada perbatasan antara epitel
usus dan epitel lambung (Dooley,1995). Lihat gambar 2.
VII. EPIDEMIOLOGI
1. Apakah pengaruh penemuan kuman H. pylori terhadap perkembangan
gastroenterologi?
Penemuan tersebut merupakan salah satu dari beberapa penemuan terbesar dalam bidang
gastroenterologi dalam abad ini, yang telah menimbulkan perubahan mendasar dalam konsep
patogenesis beberapa penyakit gastroduodenal. Gastritis kronik merupakan suatu keadaan
yang sangat banyak dijumpai di mana-mana. Bila dahulu penyakit ini dikenal sebagai
penyakit non infeksi maka kini diketahui bahwa sebagian besar gastritis kronik disebabkan
oleh karena infeksi kuman H. pylori.
2. Dengan demikian dapatkah dikatakan bahwa gastritis kronik merupakan suatu
penyakit menular?
Benar. Menurut konsep sekarang sebagian besar gastritis kronik disebabkan karena infeksi H.
pylori. Karena infeksi H. pylori dapat ditularkan dari seorang penderita kepada orang lain
maka penyakit ini dapat digolongkan dalam kelompok penyakit menular. Dan karena itu
epidemiologi gastritis kronik dan penyakit gastroduodenal lain yang berkaitan dapat
dipelajari seperti halnya penyakit menular lainnya.
Kesan bahwa penyakit lambung itu merupakan penyakit menular dapat kita jumpai dalam
praktek sehari-hari. Tidak jarang bahwa penyakit lambung mengelompok dalam keluarga.
3. Dengan adanya fakta bahwa gastritis kronik adalah penyakit menular memberikan
kesempatan untuk mempelajari epidemiologi penyakit ini sebagai suatu penyakit
menular. Bagaimana contoh kongkritnya ?
Sebagai suatu penyakit menular tentunya mempunyai suatu petanda atau marker tertentu.
Misalnya kalau kita mempelajari epidemiologi infeksi Hepatitis Virus B maka petandanya
adalah HBsAg dan anti-HBs atau anti-HBc. Oleh karena itu gastritis kronik yang kira-kira
identik dengan infeksi H. pylori kita bisa memakai IgG anti-H. pylori. Maka dengan
menggunakan IgG anti-H. pylori sebagai marker kita dapat mempelajari epidemiologi
gastritis kronik secara tidak langsung.

Banyak sarjana melaporkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori relatif lebih tinggi pada
populasi dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah (Megraud, 1993). Dan ternyata hal ini
sama dengan kesimpulan yang didapat oleh penelitian Siurala yang dilakukan sebelum
ditemukan H. pylori, yang mendapatkan bahwa gastritis kronik relatif lebih banyak
didapatkan dalam populasi dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Siurala et al, 1988).
4. Apakah kuman H. pylori dapat ditularkan dengan cara endoskopi?
Sebagai suatu kuman penghuni lambung maka pada prinsipnya penularan kuman H. pylori
terjadi akibat pemindahan kuman dari lambung ke lambung. Hanya saja perpindahan dari
lambung ke lambung memang sangat jarang terjadi dan hanya terjadi dalam ruang endoskopi.
Misalnya bila seseorang penderita infeksi H. pylori di endoskopi kemudian endoskop yang
sama dipakai untuk memeriksa orang lain yang tidak menderita infeksi H. pylori tanpa
dibersihkan dengan sempurna. Sebagai akibatnya kuman yang berasal dari lambung penderita
pertama akan dipindahkan langsung ke dalam lambung penderita ke dua.
Tetapi salah satu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko
penularan infeksi H. pylori melalui endoskopi antar penderita yang dilakukan endoskopi
sangat kecil bila endoskop dibersihkan dengan cara yang standar (Van der Linden et al,
1994).
Penularan dengan modus yang hampir sama pernah dilaporkan, yang terjadi pada beberapa
orang yang dilakukan pengukuran pH lambung dengan elektroda yang dimasukkan ke dalam
lambung yang dipakai oleh beberapa orang bergantian.
Risiko tertular juga terjadi pada para endoskopis dan perawat endoskopi, karena mereka
berhubungan dengan endoskop yang belum dibersihkan yang banyak mengandung sekreta
lambung. Dan ada suatu laporan yang menunjukkan bahwa para endoskopis menunjukkan
frekuensi antibodi terhadap H. pylori yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal.
Namun penularan melalui endoskop pada saat ini sudah sangat rendah karena cara
pembersihan endoskop setelah dipakai sudah lebih baik dan disinfeksi endoskop sudah jauh
lebih baik. Disamping itu para endoskopis maupun perawat endoskopi diharuskan memakai
sarung tangan pada waktu bekerja.
5. Penularan dalam ruang endoskopi adalah suatu contoh cara penularan yang nyata
terjadi dan mudah dimengerti karena modus yang jelas. Lalu bagaimana cara
penularan yang umum terjadi dalam masyarakat ?
Sampai sekarang modus penularan utama infeksi H. pylori belum dapat dipastikan. Adanya
pengelompokkan kasus-kasus infeksi dalam keluarga dan dalam lingkungan tertutup
menunjukkan bahwa penyakit ini ditularkan melalui kontak antar individu yang erat,
misalnya dalam keluarga dll. Tetapi bagaimana bentuk kontak yang menyebabkan penularan
belum diketahui. Yang jelas kontak itu harus dapat menjelaskan adanya kontak dari lambung
ke lambung (stomach to stomach contact) walaupun tidak langsung. Kalau modus kontak
dari lambung ke lambung hanya mungkin terjadi dalam bentuk yang sesungguhnya di
ruangan endoskopi, sebenarnya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari kontak dari
lambung ke lambung identik dengan kontak dari mulut ke mulut (mouth to mouth contact).
Penelitian menunjukkan bahwa kuman H. pylori dapat ditemukan dalam mulut, misalnya
pada kotoran gigi. Sehingga mulut dapat merupakan stasiun atau pemberhentian sementara

untuk H. pylori. Dari sini dapat dimengerti bahwa mouth to mouth contact dapat
merupakan perpanjangan tangan dari stomach to stomach contact tadi. Jadi perpindahan
oral secretion yang mengandung H. pylori secara langsung atau tidak langsung ke dalam
mulut orang lain akan memungkinkan penularan kuman H. pylori. Salah satu contoh yang
sangat menarik adalah suatu hasil penelitian di Cina yang menunjukkan bahwa kebiasaan
makan bersama dari suatu tempat makanan yang sama dengan menggunakan sumpit
berhubungan dengan peningkatan penularan infeksi H. pylori. Jadi di sini diperkirakan
sumpit ini yang dapat memindahkan oral secretion dari satu orang kepada orang lain
(Megraud, 1993).
6. Apakah personil kesehatan merupakan kelompok resiko tinggi untuk tertular infeksi
H. pylori ? dan bagaimana mekanismenya ?
Personil kesehatan yang jelas merupakan kelompok risiko tinggi untuk ketularan infeksi H.
pylori adalah para endoskopis dan paramedik ruang endoskopi. Tetapi beberapa penelitian
lain menunjukkan bahwa perawat secara umum juga merupakan kelompok risiko tinggi
(Willwhite et al, 1993). Hal itu juga kami dapatkan pada penelitian di RSU Mataram (Astuti
et al, 1993). Mekanismenya sampai sekarang belum jelas. Ada kemungkinan bahwa
paramedik mengalami banyak kontak dengan vomitus (bahan muntahan) atau sekreta oral
yang berasal dari penderita. Bahan-bahan yang infeksius ini mungkin melekat pada tubuh
penderita atau pakaiannya dan bahan tersebut pindah ke tangan perawat dan selanjutnya
masuk mulut melalui makanan, rokok, dll. Karena itu perlu ditekankan pentingnya cuci
tangan setiap kali selesai kontak dengan penderita, dan menghindarkan makan minum dalam
ruangan perawatan. Disamping itu para perawat diharuskan memakai sarung tangan pada
waktu memandikan pasien dan sebagainya.
7. Apakah infeksi kuman H. pylori dapat ditularkan secara fekal-oral ?
Keberhasilan Thomas dkk (Thomas et al, 1992) melakukan pembiakan kuman H. pylori
pada tinja anak-anak Gambia yang menderita infeksi H. pylori merupakan bukti bahwa
infeksi kuman ini dapat ditularkan secara fekal-oral. Tetapi didapatkan beberapa hal yang
menunjukkan bahwa mungkin modus penularan fekal-oral ini walaupun dapat terjadi tetapi
bukan cara penularan utama. Pertama ternyata cukup sulit untuk menumbuhkan kuman H.
pylori dari tinja. Dengan suatu metoda khusus Thomas hanya berhasil menumbuhkan kuman
H. pylori pada 39% kasus. Kedua Hazell (Hazell et al, 1994) mencoba membandingkan
frekuensi Anti-HAV (Antibodi terhadap Hepatitis Virus A) dengan frekuensi anti H. pylori
pada daerah perkotaan dan pedesaan di suatu daerah di Cina. Infeksi Hepatitis A yang
menular secara fekal oral memang telah terbukti dapat dipakai sebagai indikator yang baik
untuk infeksi yang ditularkan secara fekal oral. Bila infeksi H. pylori disebarkan melalui
masa tinja (fecal mass) secara luas maka diharapkan prevalensi anti-HAV akan mempunyai
korelasi yang baik dengan prevalensi anti-H. pylori. Ternyata di daerah perkotaan tidak
didapatkan Hepatitis A pada umur kurang dari 10 tahun, sedang di daerah yang sama
prevalensi infeksi H. pylori pada anak dengan umur kurang dari sepuluh tahun adalah 32%.
Hal ini menunjukkan bahwa infeksi H. pylori walaupun dapat ditularkan secara fekal-oral
tetapi tidak secara luas seperti halnya pada Hepatitis A.
Belakangan ini modus penularan fekal-oral diperkuat dengan fakta bahwa sumber air minum,
misalnya air sumur atau air sungai terbukti telah tercemar oleh kuman H. pylori. Walaupun
kultur H. pylori pada air yang ada dalam lingkungan, misalnya air sungai atau air sumur tidak

pernah berhasil tetapi dengan pemeriksaan PCR didapatkan bahwa dalam air tersebut
didapatkan genom kuman H. pylori.
8. Dari kedua modus penularan infeksi H. pylori mana yang lebih penting, oral-oral
ataukah fekal-oral ?
Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara maju penularan yang menonjol adalah oraloral, sedang di negara sedang berkembang modus penularan terpenting adalah fekal-oral.
Tetapi sebenarnya kedua modus penularan tersebut dapat terjadi dimanapun. (Talley, 1996)
9. Apakah pengaruh umur waktu terkena infeksi mempengaruhi epidemiologi infeksi
H. pylori ?
Betul, penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang infeksi H.
pylori terjadi pada masa kanak-kanak dan bahkan pada masa bayi. Hal ini berhubungan
dengan tingkat sosioekonomik
yang secara tidak langsung berhubungan dengan tingkat
higiene dan sanitasi. Sedang di negara-negara maju umur mulai terjadinya infeksi lebih
tinggi, tetapi sebagian besar infeksi terjadi pada umur kurang dari 15 tahun. Disamping itu
didapatkan bukti bahwa dengan makin membaiknya tingkat sosioekonomi, maka usia mulai
mendapat infeksi H. pylori makin meningkat (Megraud, 1995).
VIII. TERAPI
1. Apakah dengan ditemukannya kuman H. pylori serta cara-cara eradikasinya, berarti
ulkus duodeni merupakan suatu penyakit yang dapat disembuhkan ?
Benar, dahulu dalam pengobatan ulkus duodeni, kita hanya mampu untuk sementara
mengatasi suatu diathesis yang pasti akan kambuh kembali. Sehingga tidak berlebihan bila
dahulu ada pepatah bahwa sekali ulkus peptikum maka seumur hidup tetap ulkus peptikum.
Tetapi sekarang tidaklah demikian, karena kita ketahui bahwa hampir semua ulkus duodeni
disebabkan oleh infeksi H. pylori, dan dengan mengadakan terapi eradikasi maka angka
kekambuhan ulkus duodeni dapat diturunkan dari 70% lebih pertahun menjadi mendekati 0%
(Tytgat et al, 1993).
2. Bagaimana efektifitas terapi triple dan gabungan Omeprasol dan antibiotika?
Di negara-negara Barat terapi tripel yang terdiri dari gabungan bismuth, Amoksisilin dan
metrodasol menunjukkan angka keberhasilan eradikasi sekitar 90%. Sedang gabungan
Omeprasol dan Amoksisilin menunjukkan angka keberhasilan sekitar 70%.
3. Mengapa sampai sekarang dispepsia fungsional dengan H. pylori positif belum
merupakan indikasi untuk terapi eradikasi H. pylori ?
Memang dalam rekomendasi NIH (National Institute of Health) Amerika Serikat sampai
akhir tahun 1994 indikasi eradikasi hanyalah untuk ulkus duodeni dan ulkus ventrikuli
dengan H. pylori positif, dan belum dibenarkan untuk memberi terapi eradikasi pada
penderita dispepsia non ulkus dengan H. pylori positif. Ada beberapa alasan dari hal ini,
pertama banyak penelitian yang menunjukkan bahwa frekuensi infeksi H. pylori pada DUN
tidak berbeda dengan kontrol. Alasan kedua dari hal ini adalah belum didapatkannya bukti

bahwa terapi eradikasi dapat menghilangkan simtom dispepsia secara bermakna, karena hasil
penelitian yang masih merupakan kontroversi.
Beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Rauws dkk (Rauws et al, 1988) dan
Rokkas dkk (Rokkas et al, 1988) menunjukkan bahwa keluhan subyektif pada penderita H.
pylori positif yang berhasil dilakukan eradikasi menurun secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok penderita dimana eradikasi H. pylori tidak berhasil. Penelitian lain (Lofeld
et al, 1989) menunjukkan bahwa penurunan keluhan subyektif antara kelompok yang
mendapat obat untuk eradikasi tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang mendapat
plasebo. Tetapi banyak kekurangan dalam penelitian ini misalnya; kriteria diagnostik yang
kurang baik, kurangnya kelompok kontrol dengan H. pylori negatif, dan jangka waktu follow
up yang terlalu pendek (>3 bulan) (Lambert, 1993).
4. Bagaimana sikap dokter mengenai masalah eradikasi H. pylori pada kasus-kasus
dispepsia fungsional?
Yang perlu dipikirkan bila kita berhadapan dengan seorang penderita dispepsia fungsional
dengan H. pylori positif adalah apakah keluhan tersebut sebenarnya disebabkan oleh karena
infeksi H. pylori, dan bukan karena penyebab lainnya? Sebaiknya harus melakukan eradikasi
H. pylori pada kasus-kasus dispepsia fungsional jika kita yakin bahwa penyebab dispepsia
tersebut kemungkinan besar adalah karena infeksi H. pylori dan bukan karena sebab lain.
Marshall sendiri berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi H. pylori pada penderita
dispepsia fungsional diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
-

Keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita

Faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya pemakaian

NSAID)
- Terapi konvensional (antasida, H2 antagonist dll) tidak
menolong.
Bahkan belakangan ini banyak ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi H. pylori pada
semua kasus dispepsia dengan H. pylori positif (test and treat)
Bila dilakukan eradikasi H. pylori pada penderita dispepsia non ulkus yang memang
memerlukan eradikasi, berapa bagian yang akan
membaik secara klinis?
Menurut pengalaman Marshall (Marshall, 1991) di Universitas Virginia dari penderitapenderita DNU yang berhasil dilakukan eradikasi 50% praktis sembuh (keluhannya hilang),
25% keluhannya berkurang dan 25% lagi keluhannya tetap.
5. Bagaimana terapi eradikasi H. pylori pertama kali ditemukan?

Pengalaman pertama terapi H. pylori adalah dari Marshall sendiri yang telah minum kuman
H. pylori dan membuktikan bahwa kuman itu tumbuh dalam lambungnya dan menimbulkan
gastritis. Setelah itu Marshall mengobati dirinya dengan minum gabungan garam Bismuth
dan Metronidazol selama 2 minggu. Sejak lama sebelumnya Bismuth sub sarisiliat memang
sering dipakai untuk mengobati gastritis dan ulkus peptikum, tetapi kemudian obat itu
ditinggalkan karena mekanisme kerja Bismuth terhadap kedua penyakit itu belum diketahui.
Ternyata kemudian terbukti bahwa dalam pengobatan gastritis dan ulkus peptikum, Bismuth
bekerja seperti suatu antibiotik untuk membunuh kuman H. pylori.
6. Bagaimanakah prinsip-prinsip dasar terapi eradikasi H. pylori ?
Pada prinsipnya dalam eradikasi H. pylori kita harus menggunakan kombinasi obat-obat yang
sinergistik yang dapat membunuh kuman H. pylori. Penggunaan obat anti infeksi tunggal
praktis tidak akan berhasil. Salah satu contoh adalah terapi triple yang dianjurkan oleh
Borody dkk (Borody et al, 1992) yang terdiri dari :
Bismuth 4 dd tb II
Metronidasol 4 dd 250 mg
Amoksisilin 4 dd 500 mg atau
Tetrasiklin 4 dd 500 mg
selama 2 minggu
Dalam hal ini menurut penelitian ternyata penambahan Bismuth akan menurunkan
kemungkinan kekebalan terhadap metronidasol. (Goodwin et al, 1993)
Dalam memberikan terapi eradikasi yang menggunakan gabungan obat-obat anti infeksi
sedapat mungkin ada 2 komponen aktifitas obat yang penting yaitu obat-obat yang aktif
intraluminal untuk membunuh kuman yang ada dalam mukus, dan komponen obat yang aktif
secara sistemik, sebagai contoh Bismuth bekerja secara intraluminal, sedangkan Amoksisilin
bekerja secara sistemik. (Marshall, 1993)
7. Bagaimana munculnya konsep terapi eradikasi H. pylori yang juga menggunakan
obat penghambat pompa proton ?
Konsep baru tersebut muncul beberapa tahun kemudian. Konsep tersebut adalah gabungan
antara obat pengambat proton dengan antibiotik. Konsep ini berdasarkan pengertian bahwa
banyak antibiotika yang bekerja suboptimal dalam pH rendah, ternyata dapat bekerja baik
bila pH tersebut dinaikkan mendekati 6. Salah satu contoh adalah kombinasi :
Omeprasol 2 dd 20 mg
dengan
Amoksisilin 2 dd 1000 mg atau
Klaritromisin 3 dd 500 mg

Gabungan antara Omeprasol dengan satu macam obat anti infeksi di atas sering disebut terapi
dual Omeprasol. Tetapi efektifitas gabungan tersebut hanya sekitar 70%. Karena itu
kemudian para ahli menambahkan 1 macam lagi obat anti infeksi dan disebut terapi tripple
Omeprasol misalnya :
Amoksisilin 2000 mg/hari
Klaritromisin 3 dd 500 mg

( Selama 1 miggu )

Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Amoksisilin 2000 mg/hari
Metronidazol 3 dd 500 mg

( Selama 1 miggu )

Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Klaritromisin 3 dd 500 mg
Metronidazol 3 dd 500 mg

( Selama 1 miggu )

Omeprasol 2 dd 20 mg
8. Apakah Omeprasol juga mempunyai khasiat menghambat H. pylori?
Benar. Omeprasol mempunyai khasiat menghambat kuman H. pylori tetapi tidak dapat
menimbulkan eradikasi. Bila diberikan dalam dosis 40 mg/hari selama 2 minggu dan
kemudian dilakukan biopsi dan pembiakan untuk kuman H. pylori, maka hasil biakan bisa
negatif. Tetapi bila dilakukan biopsi dan biakan H. pylori satu bulan setelah Omeprasol
dihentikan, hasilnya akan kembali positif. Belakangan terbukti bahwa pemberian Omeprasol
dapat mengubah bentuk spiral menjadi bentuk kokoid. Sedangkan terbukti bahwa bentuk
kokoid sulit untuk dikultur dan tidak menunjukkan aktifitas enzimatik urease sehingga semua
diagnostik yang berdasar urease hasilnya akan negatif. (Jekti, 2003) Bentuk kokoid ini akan
kembali menjadi spiral setelah Omeprasol dihentikan selama satu bulan.
9. Apakah keuntungan gabungan Omeprasol antibiotika dibandingkan dengan terapi
tripel klasik?
Toleransi gabungan Omeprasol dan antibiotika lebih baik dibandingkan dengan terapi tripel
klasik. Memang sampai saat ini terapi tripel adalah paling efektif, tetapi penderita sering
tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek samping yang tinggi.
10.

Bagaimanakah situasi kekebalan kuman H. pylori di Indonesia ?

Dalam pemeriksaan kepekaan terhadap antibiotika isolat H. pylori dari Mataram ternyata
seluruhnya masih peka terhadap Amoksisilin, Tetrasiklin, Klaritromisin dan Siprofloksasin.
Kekebalan terhadap Metronidazol adalah sekitar 60%.
11. Apa yang dilakukan bila terapi tripple klasik atau tripple Omeprasol tidak
berhasil ?
Yang diberikan adalah kombinasi terapi tripple klasik dengan Omeprasol yang sering disebut
terapi kwadrupel yaitu :
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Tetrasiklin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Amoksisilin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
Yang diberikan selama 1 minggu (de Boer et al, 1996). Keberhasilan terapi kwadrupel ini
telah dilaporkan juga dari Mataram. (Palgunadi et al, 1997)
12. Menurut jawaban pertanyaan sebelumnya semua isolat H. pylori peka terhadap
Siprofloksasin invitro. Bagaimanakah kenyataannya dalam penggunaan invivo ?
Untuk Campylobacter jejuni Siprofloksasin memang merupakan obat yang sangat baik,
walaupun belakangan ini mulai banyak dilaporkan resistensi misalnya di Thailand. Tetapi
untuk H. pylori siprofloksasin mempunyai sifat yang unik. Penelitian menunjukkan bahwa
setelah diberikan peroral bila dilakukan biopsi mukosa lambung ternyata kadar siprofloksasin
dalam jaringan mukosa lambung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MIC siprofloksasin
untuk H. pylori. Tetapi kenyataannya dalam trial hasilnya tidak baik. (Marshall, 1993)
13. Bagaimana penggunaan Levofloksasin dalam penggunaan terapi eradikasi H.
pylori ?
Dua faktor penting dalam kegagalan eradikasi adalah kekebalan terhadap antibiotik yang
dipakai dan obat yang tidak diminum dengan baik oleh penderita (non compliance).
Levofloksasin ternyata dapat dipakai untuk mengatasi 2 hal tersebut karena angka resistensi
terhadap Levofloksasin sangat rendah. Di samping itu dalam protokol yang menggunakan
Levofloksasin jumlah tablet yang diminum lebih kecil. Walaupun beberapa peneliti
menganjurkan pemberian Levofloksasin dengan dosis 2500 mg atau 2250 mg tetapi secara

teoritik Levofloksasin cukup diberikan dengan 1 dosis tunggal misalnya 1500 mg. Yang
perlu dipertanyakan adalah dengan antibiotik yang mana Levofloksasin ini perlu
dikombinasikan. Dilaporkan bahwa kombinasi antara Levofloksasin, Penidasol, dan PPI
memberikan hasil yang baik. Demikian pula kombinasi Levofloksasin, claritomisin dan PPI
menimbulkan eradikasi yang cukup tinggi (85%). (Cammarota et al, 2004) Suatu penelitian
yang dilakukan di Korea yang membandingkan Levofloksasin 500 mg, Azitromicin 500 mg,
dan Omeprasol 50 mg selama 7 hari dengan terapi standar amoksisilin 21 gr, klaritromicin
2500 mg, serta omeprasol 2x 20 mg selama 7 hari menunjukkan angka keberhasilan 70,6%
dan 80,3% tetapi secara statistik tidak signifikan (p=0.390). Peneliti yang sama
membandingkan pemakaian gabungan Levofloksasin, Azitromicin dan Omeprasol dengan
gabungan terapi kuadripel yang terdiri dari Omeprasol 2 x 20 mg, Bismuth 4 x 120 mg,
Metronidasol 2 x 100 mg dan tetrasiklin 4 x 100 mg selama 2 minggu yang diberikan kepada
pasien-pasien yang sebelum mengalami kegagalan eradikasi dengan terapi standar
menunjukkan angka keberhasilan 65,5% dan 90% (p<0.0001). Karena itu para peneliti tidak
menganjurkan pemakaian gabungan Levofloksasin dan Metronidasol untuk terapi lini
pertama dan lini kedua di Korea. (Kang et al, 2006)
14. Bagaimana pendapat para ahli saat ini mengenai eradikasi H. pylori pada kasuskasus dyspepsia fungsional dengan H. pylori positif ?
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya eradikasi H. pylori pada
kasus-kasus dyspepsia fungsional pada H. pylori positif. Ada beberapa alasan dalam
kontroversi tersebut :
1. banyak penelitian yang menunjukan bahwa frekuensi H. pylori pada dyspepsia
fungsional tidak berbeda dengan populasi kontrol.
2. belum banyak penelitian yang membuktikan bahwa terapi eradikasi dapat
menghilangkan symptom dyspepsia secara bermakna.
Tetapi salah satu penelitian yang dilaporkan tahun 1998 oleh McColl et al menunjukkan
bahwa penderita dyspesia fungsional dengan eradikasi H. pylori yang berhasil lebih sering
mengalami hilangnya symptom dyspepsia dibandingkan dengan terapi Omeprasol saja, dan
perbedaan tersebut cukup signifikan. (McColl et al, 1998)
Demikian pula hasil review oleh Moayyedi dkk-nya (2006) yang dilakukan terhadap 20
penelitian yang dilakukan secara acak dan terkontrol (randomized and controlled) tentang
terapi eradikasi H. pylori pada dyspepsia fungsional menunjukkan penurunan keluhan
dyspepsia secara signifikan dibandingkan dengan terapi noneradikasi, walaupun perbedaan
itu kecil.
Makin banyak para ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi pada kasus-kasus
dispepsia fungsional yang berat dengan H. pylori positif. Misalnya 70% ahli gastroenterologi
di Inggris melakukan hal tersebut.
15. Bagaimanakah konsensus eradikasi H. pylori untuk Indonesia ?
Konsensus nasional tentang eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori Indonesia yang
ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan bahwa eradikasi H.
pylori :

1. a. Sangat dianjurkan pada :


-

Ulkus duodeni

Ulkus ventrikuli

Pasca reseksi kanker lambung dini

MALT lymphoma

b. Dianjurkan :
-

Dispepsia tipe ulkus

Gastritis kronik aktif berat

Gastropati AINS (NSAID)

Gastritis hipertrofik
1. Tidak dianjurkan :

penderita asimtomatik

16. Apa yang disebut dengan strategi Test and Treat ?


Belakangan ini banyak ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi H. pylori pada semua
kasus dyspepsia dengan H. pylori positif. Dengan strategi ini semua kasus dyspepsia baik
organik maupun fungsional dengan H. pylori positif diberikan terapi eradikasi.
17. Apakah kerugian strategi Test and Treat ?
Salah satu kerugian dari strategi tersebut adalah kemungkinan ada kecenderungan untuk
begitu saja memberikan terapi eradikasi tanpa melakukan pemeriksaan (war up) yang cukup.
Sehingga kemungkinan ada kelainan gastroduodenal yang serius yang tidak terdeteksi,
misalnya adanya keganasan lambung, dll, sehingga kelainan tersebut tidak mendapat
penanganan yang memadai.
18. Bagaimana urutan pemakaian protokol eradikasi H. pylori pada saat ini ?
Untuk terapi awal dipakai terapi lini pertama yaitu terapi yang memungkinkan keberhasilan
lebih dari 90%. Bila terapi lini pertama gagal maka dipakai terapi lini kedua. Bila terapi lini
kedua gagal maka terapi dilakukan berdasarkan hasil tes kepekaan antibiotika.
Terapi lini pertama :
PPI + Amoksisilin + Klaritromisin atau RBC (ranitidin bismuth complex) + Amoksisilin +
Klaritromisin.
Terapi lini kedua :

Terapi kwadrupel : PPI + Bismuth + Metronidasol + Tetrasiklin


Terapi penyelamatan (salvage):
Terapi kwadrupel atau PPI + Amoksisilin + Rifabutin Tergantung antibiogram.
19. Apakah kuman Helicobacter pylori hanya hidup pada manusia ?
Tidak, kuman ini juga ditemukan pada mamalia lain misalnya pada anjing dan kucing
didapatkan kuman Helicobacter felis, pada rodentia didapatkan Helicobacter muridarum.
Pada kera didapatkan Helicobacter nemestrinae dan pada ferret didapatkan Helicobacter
mustellae. Secara eksperimental kuman Helicobacter pylori dapat ditularkan kepada babi
muda dan kepada mencit.
20. Apakah adanya kolonisasi Helicobacter pylori pada lambung individu-individu yang
tidak menunjukkan keluhan lambung dapat diinterpretasikan bahwa kuman tersebut
merupakan kuman komensal?
Tidak, kuman H. pylori pada manusia bukan kuman komensal karena adanya kuman tersebut
dalam lambung hampir selalu disertai timbulnya gastritis kronik secara histologik. Disamping
itu jelas bahwa tubuh juga mengadakan perlawanan berupa reaksi imunologik lokal maupun
sistemik.
21. Apakah kuman H. pylori dapat ditularkan ke dalam lambung binatang ?
Bisa. Eksperimen untuk menumbuhkan kuman H. pylori dalam lambung binatang pertama
kali berhasil dilakukan pada babi muda. Karena itu babi muda sering kali dipakai eksperimen
untuk meneliti infeksi H. pylori. Tetapi pengelolaan binatang percobaan ini sangat sulit. Sejak
lama dicoba untuk menumbuhkan H. pylori pada lambung mencit tetapi tidak berhasil. Baru
pada tahun 1995 Marcheti dkk (Marchettti et al, 1995) berhasil menumbuhkan kuman H.
pylori dalam lambung mencit. Ternyata hanya kuman yang baru diisolasi dari lambung
manusia yang dapat dipindahkan ke dalam lambung mencit. Kuman yang telah tersimpan
lama di laboratorium tidak dapat tumbuh dalam lambung mencit. Kuman yang sudah mau
tumbuh dalam lambung mencit lebih mudah tumbuh bila dipindahkan kepada mencit lain.
22. Apakah ada kuman Helicobacter lain selain H. pylori yang dapat hidup pada
lambung manusia ?
Ada, dulu kuman ini disebut Gastrospirillum hominis. Tetapi sekarang dinamakan
Helicobacter heilmani. Secara morfologik kuman H. heilmani berbeda dengan H. pylori
karena kuman ini lebih panjang dan berbentuk seperti keris tumpul dengan 4 sampai 6
lekukan. Kuman ini mempunyai flagela pada kedua ujungnya. Kuman ini didapatkan pada
banyak macam binatang dan sesungguhnya merupakan kuman lambung dengan distribusi
yang paling luas. Kuman ini didapatkan pada kucing, anjing, babi, kera dan banyak macam
binatang lain. Diduga manusia mendapat penularan dari binatang peliharaan. Laporan
pertama infeksi H.heilmani pada manusia adalah pada tahun 1987 dimana didapatkan 3 kasus
dari 1300 jaringan biopsi lambung yang diperiksa (Lee et al,1993).
Laporan pertama tentang kasus dispepsia karena H.heilmani di Indonesia dibuat oleh Asuti
dkk. dari Mataram (Astuti et al, 1996).

Berbeda dengan H. pylori kuman H.heilmani dapat menembus sel-sel parietal lambung dan
masuk dalam jaringan. Kuman ini menimbulkann gastritis kronik dan dapat juga
menimbulkan ulkus duodeni. Gastritis yang timbul akibat infeksi H.heilmani lebih ringan dan
kuman H.heilmani lebih mudah di eradikasi dibandingkan dengan H. pylori (Lee et al,1993).
23. Bagaimana cara yang baik untuk melakukan biopsi mukosa lambung dengan
endoskopi untuk diagnosa infeksi H. pylori ?
Habitat utama kuman H. pylori adalah di daerah antrum lambung. Tetapi penelitian
menunjukkan bahwa pada penderita-penderita infeksi H. pylori yang telah mendapat terapi
baik berupa obat-obat penekan asam lambung maupun obat-obat antimikroba kuman H.
pylori mengadakan migrasi ke atas yaitu ke daerah corpus. Karena itu dalam melakukan
biopsi baik dari antrum maupun corpus. Pada penderita yang telah mendapat terapi tidak
jarang dari jaringan antrum hasilnya negatif untuk H. pylori tetapi dari jaringan corpus
ternyata hasilnya positif. Karena itu sedikitnya harus diambil 2 biopsi dari antrum dan 2
biopsi dari corpus.
24. Apakah kuman H. pylori dapat ditumbuhkan dari tinja ?
Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Hazell didapatkan bahwa kuman H. pylori akan
dihambat oleh garam empedu dalam usus, dan karena itu walaupun ada kuman H. pylori
dalam tinja tetapi banyak kuman H. pylori yang tidak viable dalam tinja. Tetapi pada tahun
1992 Thomas dkk melaporkan keberhasilan untuk menumbuhkan kuman H. pylori dari tinja
pada 9 orang dari 23 anak-anak (39%) yang diperiksa di Gambia, Afrika (Thomas et al,
1992). Hal ini memperkuat teori bahwa infeksi H. pylori dapat ditularkan secara fekal-oral.
IX. IMUNOLOGI
1. Bagaimana peran diagnostik serologik dalam diagnosa infeksi H. pylori ?
Diagnosa serologik infeksi H. pylori dilakukan berdasarkan timbulnya respon imun dari
penderita berupa adanya IgM anti-H. pylori, IgA anti-H. pylori dan IgG anti-H. pylori dalam
darah. Yang paling banyak dipakai untuk diagnosa adalah IgG anti-H. pylori. IgM anti-H.
pylori jarang dapat dideteksi karena hanya muncul pada infeksi akut. Sedangkan yang kita
jumpai sehari-hari adalah infeksi kronik.
Anti-H. pylori bukanlah suatu neutralizing antibody. Bila terdapat infeksi H. pylori anti-H.
pylori dalam darah umumnya positif, beberapa bulan setelah terjadi eradikasi (umumnya 6
bulan) anti-H. pylori akan menjadi negatif.
IgA anti-H. pylori diperlukan untuk deteksi anti-H. pylori pada bayi. Sebab IgG anti-H.
pylori pada bayi berasal dari ibunya bila ibunya juga menderita infeksi H. pylori.
IgG anti-H. pylori dapat menembus plasenta, sedangkan IgA anti-H. pylori tidak, karena
berat molekulnya tinggi.
IgG anti-H. pylori sangat bermanfaat untuk penelitian seroepidemiologi infeksi H. pylori
karena antibodi ini akan tetap positif bila tidak dilakukan eradikasi H. pylori.

2. Saya dengar bahwa diagnostik serologik anti-H. pylori yang dibuat di suatu negara
belum tentu kalau baik bila dipakai di negara lain ?
Benar, kami mempunyai bukti untuk hal tersebut. Dalam salah satu penelitian kami telah
dibuktikan bahwa sensitifitas suatu kit Elisa impor hanyalah 47,7%, sedangkan kit PHA yang
dibuat menggunakan antigen lokal sensitifitasnya adalah 93 % (Soewignjo et al, 1995).
Sebenarnya hal yang sama juga dilaporkan oleh para peneliti lain, dimana suatu kit Elisa
yang terbukti berkualitas tinggi ternyata bila digunakan di suatu tempat lain sensitifitas dan
spesifitasnya jelek.
3. Bila kita melakukan pemeriksaan anti-H. pylori pada penderita dispepsia, apa
bedanya
penderita yang anti-H. pylori positif dengan anti-H. pylori negatif ?
Adanya anti-H. pylori yang positif menunjukkan bahwa individu tersebut memang mengidap
infeksi H. pylori. Walaupun tidak semua individu yang mengidap infeksi H. pylori
menunjukkan keluhan atau gejala, tetapi jika dilakukan biopsi mukosa lambung hampir pasti
akan didapatkan gastritis kronis secara histologik. Menurut penelitian penderita yang anti-H.
pylori positif jika dilakukan endoskopi ternyata lebih sering ditemukan kelainan endoskopik
dibandingkan penderita yang anti-H. pylori negatif.
4. Dikatakan bahwa hampir pada semua kasus infeksi H. pylori akan menjadi kronik
dan tidakakan sembuh bila tidak dilakukanpengobatan. Bagaimana kira-kira
mekanismenya?
Memang benar, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi H. pylori akan
berlanjut menjadi kronik. Hanya sebagian kecil saja penderita yang mengalami infeksi H.
pylori dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hal itu mengherankan karena sebenarnya
respon imun tubuh baik lokal maupun sistemik cukup besar, tetapi rupanya respon imun
tersebut tidak efektif untuk membunuh kuman H. pylori, karena kuman H. pylori berada di
luar jaringan sehingga tidak terjangkau oleh respon imun yang sebagian besar terjadi dalam
jaringan. Salah satu kemungkinan penyebab lain adalah ketidakmampuan tubuh untuk
mengidentifikasi antigen yang terpenting dari H. pylori (critikal antigen) antara lain karena
H. pylori mampu merubah komposisi antigennya (antigenic variation) (Rathbone dan
Heatly, 1989).
5. Bagaimana prospek vaksinasi H. pylori ?
Untuk penyakit infeksi yang tersebar begitu luas yang sudah banyak terjadi pada masa anakanak, apalagi yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya keganasan, vaksinasi sangat
penting artinya untuk pencegahan penyakit. Apalagi kita ketahui bahwa eradikasi infeksi H.
pylori relatif sulit. Penelitian menunjukkan bahwa disamping untuk pencegahan ada harapan
besar bahwa vaksinasi H. pylori dapat juga dipakai untuk tujuan pengobatan.
Karena infeksi H. pylori terjadi secara oral, maka vaksin H. pylori yang tepat adalah vaksin
oral. Penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksinasi H. pylori per oral
dapat mencegah infeksi H. pylori dengan efektif (Chen et al, 1993, Marchetti et al, 1995).

Demikian pula belakangan ini percobaan binatang menunjukkan bahwa vaksin oral dapat
dipakai untuk eradikasi infeksi Helicobacter (Soewignjo et al, 1996; Lee, 1996; Soewignjo
et al, 1997).
6. Bagaimana prinsip dari vaksinasi oral untuk H. pylori?
Untuk menghindarkan toleransi oral (oral tolerance) terhadap antigen yang diberikan peroral
maka antigen yang dipakai sebagai vaksin diberikan bersama suatu zat yang mampu
merangsang respon imun pada mukosa yang sering disebut sebagai oral adjuvant. Oral
adjuvant yang paling efektif sampai saat ini adalah toksin cholera subunit B. Dalam vaksinasi
H. pylori antigen yang berasal dari kuman H. pylori diberikan bersama toksin cholera subunit
B sehingga antigen tersebut dapat merangsang sistem imun pada mukosa saluran makan
(antara lain Plaque of Peyer) dan selanjutnya sel T dan sel B yang telah dirangsang dalam
Plaque of Peyer akan masuk ke dalam sirkulasi umum melalui ductus toracicus. Selanjutnya
sel-sel tersebut akan ditahan secara selektif pada jaringan RES yang didapatkan dalam lamina
proparia sistem saluran makan dan juga lamina propria sistem-sistem lain (urogenital,
repiratorik, jaringan glandular). Dalam jaringan efektor sel-sel tersebut akan mengalami
proliferasi klonal dan tumbuh menjadi sel plasma yang akan memproduksi secretory IgA
yang spesifik terhadap kuman H. pylori.
7.Apakah vaksinasi terhadap H. pylori nantinya akan dipakai secarapreventif maupun
terapeutik? Bagaimana mekanisme dari vaksinasi terapeutik?
Benar. Secara preventif mungkin vaksin ini ditujukan pada anak-anak. Sedang secara
terapeutik vaksin ini dipakai untuk eradikasi infeksi pada penderita.
Mekanisme vaksinasi terapeutik sebenarnya belum jelas. Tetapi ada suatu teori yang
mengatakan bahwa pada infeksi alami respon imun pada jaringan mukosa terhadap infeksi H.
pylori sudah terjadi tetapi masih belum adekwat untuk melawan infeksi. Sehingga dalam hal
ini vaksinasi merupakan booster yang meningkatkan respon imun dalam mukosa yang
akhirnya menjadi efektif untuk melawan infeksi (Lee, 1996).
8. Secara teoritik apakah keunggulan eradikasi H. pylori menggunakan vaksin
terapeutik dibandingkan dengan eradikasi menggunakan antimikroba?.
Eradikasi H. pylori menggunakan gabungan antimikroba sering menimbulkan efek samping,
dan disamping itu kemungkinan terjadi reinfeksi cukup besar. Sedangkan eradikasi dengan
vaksinasi tanpa efek samping dan kemungkinan reinfeksi sangat rendah karena adanya
kekebalan yang berlangsung lama.
X. P A T O L O G I
1. Bagaimana pembagian patologik gastritis kronik yang praktis?
Banyak macam pembagian patologik dari gastiris tetapi yang paling praktis adalah
pembagian sebagai berikut (Robert, 1993) :
1.Gastritis erosif dan hemorhagik
2.Gastritis non erosif non spesifik

3.Gastritis spesifik
Gastritis erosif dan hemorhagik didiagnosa secara endoskopik, dan sering terjadi pada
penderita yang sakit keras (stress ulcer), dan pada penderita yang mendapat NSAID (Non
Steroidal Anti Inflamatory Drug).
Gastritis nonerosif nonspesifik adalah suatu diagnosa histologik. Penyebab utamanya adalah
infeksi H. pylori. Disini ditambahkan non spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak
dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan.
Gastritis spesifik menunjukkan gambaran histologik yang sangat khas, dan kadang-kadang
juga menunjukkan gambaran endoskopik yang khas. Tipe ini relatif jarang didapatkan. Salah
satu contoh adalah gastritis granulomatosa.
2.Sering disebut-sebut bahwa H. pylori merupakan penyebab utama Gastritis Kronik
tipe B. apa maksudnya?
Ada 4 tipe gastritis nonerosif nonspesifik yaitu : tipe antral yang sering disebut tipe B, tipe
fundik yang sering disebut tipe A, tipe pangastritis yang mengenai fundus dan antrum, serta
tipe gastritis atrofik multifokal.
Gastritis karena infeksi H. pylori terutama mengenai daerah antrum, tetapi seringkali juga
mengenai fundus walaupun dalam derajad yang lebih ringan. Jadi sebenarnya tidak semua
gastritis akibat infeksi H. pylori adalah tipe B, tetapi bisa juga dari tipe pangastritis
(Robert,1993).
3.Bagaimana gambaran histologik mukosa lambung pada gastritis karena infeksi H.
pylori?
Gambaran histologik gastritis akibat infeksi H. pylori adalah gambaran gastritis nonerosif
nonspesifik yang disertai dengan ditemukannya kuman H. pylori. Sel radang yang sering
terlihat adalah campuran sel radang mononuklir dan netrofil dan inilah yang menyebabkan
timbulnya istilah kronik aktif. Kedalaman proses gastritis dapat berbentuk gastritis superfisial
bila keradangan tidak lebih dalam dari gastric pit dengan kelenjar yang utuh. Pada full
thickness mucosal (panmucosal) gastritis keradangan meliputi seluruh ketebalan mukosa
tetapi sel-sel kelenjar masih intak. Pada gastritis atrofik terjadi atrofi mukosa serta hilangnya
sel-sel kelenjar dan sering terjadi metaplasia intestinal (Robert, 1993).
4. Pewarnaan apakah yang dipakai untuk deteksi H. pylori dalam sediaan histologik?
Sebenarnya dengan pewarnaan Hematosisilin Eosin (HE) biasa ahli patologi yang
berpengalaman dapat melihat kuman H. pylori yang bentuknya khas (spiral atau batang
bengkok). Dengan pewarnaan HE kuman H. pylori berwarna merah keunguan. Bila
meragukan dapat dilakukan pengecatan Gram atau Giemsa. Dengan pengecatan Gram biasa
kita dapat melihat jelas kuman H. pylori yang bersifat Gram negatif (berwarna merah), tetapi
perubahan yang tampak pada jaringan tidak bisa dievaluasi. Dengan teknik pewarnaan GramTwort baik jaringan maupun kuman dapat dilihat dengan jelas.
Dengan pewarnaan perak Warthin-Stary kuman H. pylori dapat dilihat dengan jelas karena
kuman tersebut menggembung. Sayang pewarnaan Warthin-Stary rumit, lama dan mahal

biayanya. Pada saat ini untuk deteksi kuman H. pylori dalam sediaan histologik yang paling
praktis adalah dengan pengecatan Giemsa (Westblom, 1991).

Anda mungkin juga menyukai