Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus
non-sistemik yang paling sering ditemui. Kasus LED adalah 50-85% dari
keseluruhan kasus lupus eritematosus kutaneus. LED lebih sering menyerang
ras afrika amerika dan lebih jarang pada ras kaukasia dan asia. LED dapat
timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45 tahun, dengan ratarata umur 38 tahun. LED juga berkisar antara 15-30% dari populasi kasus
LES. 5 % dari kasus LED dapat mengarah ke LES. [2,4]
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui tetapi kebanyakan ahli
menganggpnya sebagai suatu bentuk autoimunitas. Asumsi ini pertamakali
ditemukan dikemukakan dengan adanya gen major histocompatibility complex
(MHC), khususnya alel human lymphocyte antigen (HLA). Dilaporkan bahwa
penderita LED mengalami peningkatan bermakna dari HLA-B7,-B8,DR2, dan
-DQA0102 serta penurunan HLA-A2 dengan kombinasi dari HLA-DR3,HLA
DQA 0102 dan HLA-B7 menyebabkan resiko relatif LED yang paling
maksimal. Frekuensi LED juga meningkat pada karier penyakit granulomatosa
kronik terpaut kromosom X yang berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik
komplemen seperti C2,C3,C4 dan C5 serta inhibitor esterase C1 juga
dihubungkan dengan LED dan LECS [1,5]

1.2

Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu syarat salam mengikuti kepanitraan klinik
di bagian Kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Daerah
Adhiyatma, Semarang
b. Tujuan Khusus
Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui
definisi, anatomi dan fisiologi kulit, etiologi, patofisiologi, gambaran klinik,
penatalaksanaan, komplikasi serta prognosis dari kelainan kulit lupus
eritematosus discoid.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Definisi
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus
non-sistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai
makula atau papul berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau
plakat kecil yang permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat.
Lesi umumnya berubah menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid)
berbatas tegas yang ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel
rambut yang telah melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan
tampak seperti karpet yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut
sebagai penampakan paku karpet.[1,2]
LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus
lainnya serta Lupus Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih
berat hingga dapat mengancam jiwa adalah bagian dari lupus eritematosus
(LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan klinis dan pola
autoimunitas sel B poliklonal yang khas. [1]
Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya
diterangkan oleh tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi
dari klasifikasi Gilliam yang pertama kali dibuat pada tahun 1977: [3]
Lupus eritematosus kutaneus akut (LEKA)
Lupus eritematosus kutaneus subakut (LEKS)
Lupus eritematosus kutaneus kronik (LEKK)
Lupus eritematosus diskoid (LED)
Varian verukous/hipertrofik
Varian telangiektoid
Lupus eritematosus profundus
Lupus eritematosus Chilblain
Lupus eritematosus kutaneus intermitten
Lupus eritematosus tumidus
Lupus eritmatosus bullosa
Lesi kulit bullosa spesifik LE
Lesi kulit bullosa nonspesifik LE
Kelainan kulit bullosa primer yang dihubungkan dengan LE
Tabel 1. Klasifikasi LE Kutaneus Dusseldorf[1]

2.2

Epidemiologi
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus
kutaneus. LED lebih sering menyerang ras afrika amerika dan lebih jarang
pada ras kaukasia dan asia. LED dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama
pada umur 20-45 tahun, dengan rata-rata umur 38 tahun. LED juga berkisar
antara 15-30% dari populasi kasus LES. 5 % dari kasus LED dapat mengarah
ke LES. [2,4]

2.3

Etiologi
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui tetapi kebanyakan ahli
menganggpnya sebagai suatu bentuk autoimunitas. Asumsi ini pertamakali
ditemukan dikemukakan dengan adanya gen major histocompatibility complex
(MHC), khususnya alel human lymphocyte antigen (HLA). Dilaporkan bahwa
penderita LED mengalami peningkatan bermakna dari HLA-B7,-B8,DR2, dan
-DQA0102 serta penurunan HLA-A2 dengan kombinasi dari HLA-DR3,HLA
DQA 0102 dan HLA-B7 menyebabkan resiko relatif LED yang paling
maksimal. Frekuensi LED juga meningkat pada karier penyakit granulomatosa
kronik terpaut kromosom X yang berjenis kelamin wanita. Defisiensi genetik
komplemen seperti C2,C3,C4 dan C5 serta inhibitor esterase C1 juga
dihubungkan dengan LED dan LECS [1,5]
Pada suatu percobaan ditemukan bahwa pada kultur keratinosit yang
dipajani sinar ultraviolet, antigen yang seharusnya ada dalam inti dan
sitoplasma sel akan keluar ke membran keratinosit sehingga dapat diikat oleh
antibody seperti anti-SSA, anti-SSB atau anti-RNP. Hal ini dapat mengawali
keseluruhan proses imunologis yang mendasari terbentuknya lesi pada LED. [5]
Suatu penelitian berbasis case-control melaporkan bahwa perokok jauh lebih
beresiko menderita LE daripada orang yang tidak merokok dan bahwa
kemungkinan hal ini disebabkan oleh suatu zat yang disebut amina aromatik
lupogenik yang ada dalam asap tembakau.[1]
Sejenis struktur tubuler berukuran diameter 20 nm dan sangat mirip
dengan paramiksovirus ditemukan pada sel endotel pembuluh darah, histiosit
perivaskuler, atau fibroblast dari lesi LED. Struktur tersebut akan berkurang
jumlah dan ukurannya setelah penggunaan klorokuin. Jika struktur tersebut

terbukti adalah virus, kemungkinan struktur tersebut dapat berperan sebagai


presipitator LED. Penemuan antibodi RNA reovirus pada 42% pasien juga
menguatkan dugaan adanya peranan virus dalam perjalanan penyakit LED [6]
2.4

Patogenesis
Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih
belum diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari
pathogenesis LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan
yang menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum
adanya penampakan klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah
pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit,
induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:[1]

Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai


predisposisi LE. Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit
kulit spesifik LE dengan MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu,

gen lain juga dianggap berperan dalam pathogenesis LES, seperti gen yang
mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor (TNF), gen yang
memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel
serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun. [1]
Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu
permulaan proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T
autoreaktif yang telah kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh.
Mekanisme yang melandasi autoreaktifitas tersebut antatara lain: [1,3]
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel
stem, jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan
menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel
muda yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen
dapat memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen
yang bereaki silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit
autoreaktif untuk menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi
klonal sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh
antigen. Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat
menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari
patomekanisme LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas.
Seperti dibahas sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang
terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke
membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorium telah membuktikan
bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu,
faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan
dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma,
infeksi, pajanan dingin, sinar-X hingga bahan kimia.[5,6]
Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang
memperbanyak dan memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau
tahap ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan respon autoimun yang
dipicu antigen secara progresif. Pada tahap ini, autoantibody dihasilkan oleh
sel-sel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak, autoantibody LE

hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target
utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm
dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).[1]
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting
secara klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis.
tahapan ini sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan
kompleks imun yang terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu
dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun
karena terhambatnya fungsi molekul target. [1]
2.5 Gejala Klinis
Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang
paling umum ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit
kepala dan telinga, tetapi persebarannya juga bisa lebih luas. Walaupun begitu,
lesi di bawah leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher.
Lesi juga kadang-kadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk bibir,
lapisan mukosa oral lain, mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital. [7]
Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa
gejala subjektif dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2
cm. Seiring dengan perjalanan penyakit, sisik dapat menebal dan melengket,
disertai hipopigmentasi di daerah inaktif (tengah) dan hiperpigmentasi di batas
aktif. Jika mengenai daerah berambut seperti kulit kepala dan janggut, eskar
dengan alopesia permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali tersebar
mengikuti pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat
terkena lesi.[2,4,8]
Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem
berbatas tegas yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke bukaan folikel
rambut. Jika sisik yang melekat dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip
dengan paku karpet dapat terlihat di bagian bawah sisik (tanda paku karpet).
Lesi meluas dengan eritem dan hiperpigmentasi di pinggir dengan eskar atrofi,
telangiektasia dan hipopigmentasi di tengah. [9]
LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah
dan leher serta LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari
leher. Lesi LED di bawah leher. [8,9]

Gambar 2 : LED di wajah pasien[8]

Gambar 3 : Eskar dengan alopesia akibatLED[8]


Biasanya LED tidak menimbulkan gejala objektif pada pasien selain
ketidaknyamanan kosmetik akibat lesi dan eskar. Kadang-kadang daerah yang
terpengaruh terasa gatal dan jika mengenai jari, terasa lembut dan nyeri tekan.
LED juga tidak mempengaruhi status kesehatan pasien secara umum. [10]
2.6

Pemeriksaan Penunjang
1. PEMERIKSAN HISTOPATOLOGIS [3]

Secara histologis, epidermis dan dermis penderita LEDlah yang


mengalami perubahan sedangkan jaringan subkutannya tidak. Penampakan
mikroskopis yang khas untuk LED adalah hiperkeratosis dengan sumbatan
folikel, penipisan dan pendataran epitel serta degenerasi hidrofik lamina
basalis.Selain itu, terdapat keratinosit apoptotik yang tersebar (badan Civatte)
pada lamina basalis. Pada lesi yang sudah lama, penebalan membrana basalis
terlihat jelas pada pewarnaan acid-Schiff. Pada jaringan dermis terdapat
infiltrat limfositik berbentuk perca atau likenoid disertai pengangkatan folikel

pilosebaseus. Juga terdapat penimbunan musin pada ruang interstisial dan


udem, dan biasanya tidak dijumpai eosinofil maupun neutrofil.
Gambar 4. Degenerasi hidrofik lamina basalis pada LED[3]

2. LUPUS BAND TEST (LBT) [1]


Imunoglobulin

(IgA,IgG,

IgM)

dan

komponen

komplemen

(C3,C4,Clz,properdin, faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) akan


tertimbun menjadi susunan menyerupai pita linear atau granuler pada taut
dermo-epidermal dari kulit pasien LE sehingga dapat diamati dengan uji direct
immunofluorescence yang disebut Lupus Band Test (LBT).
Penelitian awal menyebutkan bahwa 90% lesi LED imunoreaktan
sehingga positif LBT tetapi penelitian terbaru menunjukkan angka yang lebih
rendah. Lesi di kepala, leher dan lengan lebih sering positif (80%) dari lesi di
badan (20%). LBT nampaknya lebih sering positif pada lesi yang lebih tua (>3
bulan)

Gambar 5. Pemeriksaan direct immunofluorescence pada biopsy kulit lesi LED.[1]

2. Tes lainnya
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium
untuk LED dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :
Ciri penyakit
ANA
Antibodi RO/SSA
-dg imunodifusi
- dg ELISA
Antibodi DNA antinatif
Hipokomplementemia

LED
+

LEKA
+++

LEKS
++

0
+
+++
+++

+
++
+
+

+++
+++
0
+

LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut;
ANA,antibodi antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay
+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan

Tabel 2: Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS.
(dari Cutaneus Lupus Erythematosus). [3]

2.7

Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi,
tetapi kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED
telah terlibat dalam kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin
terjadi. Jadi, anamnesis harus difokus pada riwayat penyakit dan gejala LE
yang berkaitan seperti fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata
serta fenomena Raynaud, aborsi spontan pneumonia, karditis serta gangguan

10

neurologis. Untuk mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan histologis serta


imunohistokimia lesi kulit akan dilakukan.[8,11]
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran
sisik (lihat gambar di bawah). Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin
menebal dan terjadi perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah
pusat lesi dan pada daerah perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi. [8,12]

Gambar 6: Bekas luka kronis lesi LED[8]

Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya


usia lesi, pelebaran bukaan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut
folikel patulous (lihat gambar di bawah). Resolusi lesi aktif mengakibatkan
atrofi dan terjadinya jaringan parut.[8]

Gambar 8: Lesi LED dalam konka menunjukkan folikel dengan sumbatan [8]

Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi
LED seringkali tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang
tidak terkena sinar matahari dapat pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena
sehingga menghasilkan alopesia .[8]

11

Gambar 9: Jaringan parut meluas dengan alopesia[8]

Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata.
LED lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata
terjadi ketika daerah lain [8]

Gambar 10: lesi LE kronik pada tubuh pasien [8]

2.8

Diagnosis Banding
Diagnosis Banding dari LED antara lain: [13]
1. Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama,
yang secara khas bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu,
dapat timbul ratusan lesi pada orang-orang yang sering terpapar sinar
matahari. [14]

12

Gambar 11: Aktinik keratosis hipertrofik pada dorsum manus pasien[1]

2.

Psoriasis
Gambaran utama psoriasis adalah, epidermis menajdi sangat
menebal (akantosis). Tidak terdapat stratum granulosum. Retensi
nukleus pada stratum korneum (parakeratosis). Akumulasi polimorf
pada stratum korneum (mikroabses). Pelebaran pembuluh darah
kapiler pada dermis bahagian atas.[14]
Gambar 12: Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher [1]

3.

Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi
bentuknya. Bentuk yang paling sering adalah adanya erupsi akut pada
papula yang gatal. Gambaran klinis: lesi-lesi kulitnya berpermukaan
rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran permukaannya tampak
seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis, disebut
sebagai Wickhams striae [14]

13

Gambar 13: plakat berpuncak rata dengan Wickhams striae pada ekstremitas penderita[1]

4.

Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut


Terdapat lesi-lesi papuloskuamosa

atau

anular

tanpa

pembentukan jaringan parut, terutama pada tempat-tempat yang


terpapar sinar matahari. Mugkin juga didapatkan gejala sistemik,
walaupun biasanya ringan. [14]
Gambar 14: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung
dan lengan

2.9

Penatalaksanaan
1. PENCEGAHAN

14

Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas


hidup pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan
untuk mencegah perkembangan lesi lebih lanjut. [1]
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh
paparan sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid
lupus harus mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya.
Pengobatan dimulai dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas,
obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan semua sumber yang
menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan untuk
melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar.
Selain itu pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan
fotosensitif seperti Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam.[1]
2. PENGOBATAN TOPIKAL
a. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum
luas-kedap air [SPF 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol
dan mikronized titanium dioksida. [1]
b. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari
preparat ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif
wajah, obat topikal superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat
atau betametason diproprionat memberikan hasil yang memuaskan
pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2
minggu periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti
atropi dan telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi
hiperkeratosis. [1]
c. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti
suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini
diindikasikan pada lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak
merespon pada penggunaan kortikosteroid lokal, namun perlu berhatihati menggunakan pengobatan ini pada pasien dengan jumlah lesi
cukup banyak. [1]
3. PENGOBATAN SISTEMIK
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara
tunggal atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum yang biasa digunakan
termasuk klorokuin, hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin

15

dimulai dengan dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek
samping gastrointestinal atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi
tidak diberikan lebih dari 6,5 mg/ kg/ hari. Penting ditekankan kepada pasien
bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan klinis.
Pada beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin
mungkin lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi
hydroxychloroquine

atau

klorokuin

sehingga

dianjurkan

penampahan

mepacrine ke dalam regimen pengobatan. [15]


Thalomide [50 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter
terhadap pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara
85-100%, dengan banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna.
Adapun efek sampingnya ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak
digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati sensorik dapat terjadi pada
sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.[1]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,
mycochrysine] dan clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada
tiap kasus. [1]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan
lesi yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain
seperti azatioprin [imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai
glukokortikoid-sparing pada kasus lupus eritematosus kutaneus berat.
Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang
serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali seminggu]
efektif untuk kasus berat yang refrakter. [1]
4. TERAPI BEDAH DAN KOSMETIK
LED dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi kulit, dan
perubahan pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan
dermabrasi beresiko karena LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari
eskar atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan
bermanfaat. Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya
sebaiknya dihindari. [1]
2.10

Komplikasi

16

Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi


menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter
serologis. Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau
atrofi. Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru
dianjurkan pada daerah yang sering terekspos.[12]
2.11

Prognosis
Prognosis LED umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan
berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama
pada musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%.
Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat
berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya
permanen [6,8,12]

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus nonsistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai makula atau
papul berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang
permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya
berubah menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid) berbatas tegas yang
ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel rambut yang telah
melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti karpet
yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku
karpet.[1,2]
Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling
umum ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan
telinga, tetapi persebarannya juga bisa lebih luas. Walaupun begitu, lesi di bawah

17

leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi juga kadangkadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk bibir, lapisan mukosa oral
lain, mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital. [7]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain
seperti azatioprin [imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai
glukokortikoid-sparing pada kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat
mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang serupa dengan
azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali seminggu] efektif untuk kasus
berat yang refrakter. [1]

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in
general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93
Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3 rd
edition. Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.587-625.
Kuhn A, Ruzicka T. Classification of Cutaneus Lupus Erythematosus. In: Kuhn A,
Lehmann P, Ruzicka T. Cutaneous Lupus Erythematosus. Heidelberg: SpringerVerlag Berlin. 1995. p. 53-7
AOCD. Discoid Lupus Erythematosus. www.aocd.org. 2007.
Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatol online
jour. 2001:7(1):2

Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T.,
Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology, 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793
Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York:
Mosby Elsevier.2008. p.105-13

18

Callen J.P. Lupus Erythematosus Discoid.www.emedicine.com.2007


Rai, V.M., Balachandran, C. Disseminated Discoid Lupus. Dermatol online jour.
2006:12 (4):23
The British Association of Dermatologist. www.bad.org.uk. 2008
Michael Hertl (ed.) Autoimmune Diseases of the Skin Pathogenesis, Diagnosis,
Management, 2nd ed. New York: Springer Wien. 2008
Draper R. Discoid Lupus Erithematous www.patient.co.uk. 2009
Wolff K., Johnson, R.A. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007. p.376-87
Graham-Brown,R. Burns T. Lecture Notes of Dermatology 8th ed. Jakarta:EMS. 2005.
p.172-3
Panjwani, Suresh. Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus.
JABFM. 2009;22:206-13
Skinsite. Discoid Lupus Erythematosus. www.skinsite.com. 2008
Casetty, C.T. Chronic Cutaneus Lupus Erythematosus. Dermatol online jour. 11(4):26
Ben Osman,A.Badri T. Discoid Lupus Erythematosus ini an infant.Dermatol online
jour.2005:11(3):38

Anda mungkin juga menyukai