Anda di halaman 1dari 17

Tugas Kesembilan

MAKALAH
Indonesia di Tengah Pencaturan Ekonomi Global

Disusun Oleh :
Andreas Franzona Pangaribuan
270110130130

GEOLOGI B
PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013/2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga
penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul Indonesia di tengah
Pencaturan Ekonomi Global.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Nana Sulaksana
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan asisten
dosen kang radit S.T yang telah membimbing dan memberikan kuliah
demi lancarnya terselesaikan tugas makalah ini.
Demikianlah tugas ini saya susun semoga bermanfaat, dan dapat
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI

1.1

Latar belakang

1.2

Rumusan Masalah

1.3

Tujuan Penulisan

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN
2.1

Ekonomi Indonesia Dalam Percaturan

2.2

Mensiasati Globalisasi . ..

2.3

Peran Bnagsa Indonesia dalam Pencaturan

Globalisasi

11

BAB III PENUTUP

16

16

16

DAFTAR PUSTAKA .

17

Globalisasi

3.1

Kesimpulan

3.2

Saran

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Globalisasi merupakan era perubahan-perubahan yang cepat yang mengandung hal-

hal yang positif, namun juga membawa segi-segi negatif bagi bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia harus pandai-pandai menangkap dan memanfaatkan peluang dari segi-segi
positifnya dan tetap berdiri pada nilai-nilai yang telah diikrarkan, dibela, dan dijunjung
tinggi.

Di tengah-tengah perubahan, bangsa

Indonesia harus senantiasa mampu

mengantisipasi dan mengendalikan perubahan demi kemajuan dan kejayaan bangsa, bukan
ikut larut dengan hal-hal yang negatif dari dampak globalisasi.
Menghadapi globalisasi, bangsa Indonesia harus dapat tegak dengan memiliki
kedaulatan di bidang politik, kemandirian bidang ekonomi, berkepribadian dalam
kebudayaan, dan memiliki daya lenting yang kuat dalam ketahanan nasional. Lebih dari itu,
harus tetap memperkokoh jati diri sebagai Pancasilais yang menjunjung tinggi UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Thun 1945 dan memperkokoh tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan ke Bhinekaan Tunggal Ika nya.
Presiden Susilo Bambang Judhoyono pernah mengatakan: Indonesia harus menjadi
pemenang dalam persaingan dunia yang kini mengglobal. Kita harus menjadi the winner,
bukan the loser. Lebih lanjut, Presiden juga berpesan Indonesia jangan menjadi penonton,
harus jadi bagian pelaku untuk kepentingan bangsa, negara, dan kemanusiaan sedunia. Di
sinilah peran Indonesia perlu dilakukan dengan baik.
Tidak ringan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan seperti tuntutan tersebut di
atas karena kondisi pada saat ini justru ada kelemahan yang memprihatinkan. Banyak
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Banyak yang tidak
bisa konsisten mengikuti cita-cita kemerdekaan. Terjadilah banyak korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta kejahatan lainnya yang bertentangan dengan semangat dan cita-cita para
pendahulunya Bapak Pendiri Bangsa. Banyak orang melakukan pelanggaran hukum seperti
penyalahgunaan Narkoba, suka tawuran, mafia hukum dan mafia kasus, berperilaku

menyimpang, melanggar etika dan sebagainya. Banyak pula yang berperilaku menerabas
dalam mencapai tujuan karena tidak memiliki semangat dan tekad yang kuat, malas bekerja
keras, dan bermoral rendah.
Hal tersebut di atas, menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia terutama generasi
mudanya agar dapat berperan dalam percaturan global, dan itu juga merupakan amanat
Pembukaan UUD 1945 untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebenarnya selama ini sudah
dilaksanakan baik di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan pertahanan, namun tentunya
harus berlanjut, didasari oleh prinsip politik bebas aktif yang dipegang oleh bangsa Indonesia.
Peran itu dalam banyak bidang kehidupan seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan militer.

1.2

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ekonomi Indonesia dalam Pencaturan Globalisasi?
2. Bagaimana cara mensiasati Globalisasi?
3. Bagaimana peran Bangsa Indonesia dalam Pencaturan Globalisasi?

1.3

Tujuan Penulisan
1.

Mengetahui Ekonomi Indonesia dalam Pencaturan Globalisasi

2.

Mengetahui bagaimana itu mensiasati Globalisasi

3.

Memahami peran Bangsa Indonesia dalam Pencaturan Globalisasi

BAB II
Pembahasan
2.1

Ekonomi Indonesia dalam Percaturan Globalisasi

Banyak pihak menilai fenomena globalisasi sebagai kebangkitan ekonomi


Internasional atau globalisasi ekonomi. Dalam teori ekonomi internasional ada dua faktor
yang menyebabkan timbulnya perdagangan Internasional, yakni faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran. Sejatinya interaksi perdagangan antar Negara di
dunia bukan sesuatu hal yang baru, namun telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila
ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan
antarnegera sekitar tahun 1000 dan 1500 Masehi.
Namun dewasa ini banyak ekonom yang menilai perkembangan globalisasi ekonomi saat ini
kian tak menentu dan sangat rentan dengan gejolak. Terutama akibat dari arus finansial
global yang semakin "liar". Padahal, kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki
daya saing (dan daya tahan) yang cukup untuk terlibat langsung dalam kancah lalu-lintas
finansial global, yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial negara, dan cenderung semakin
sulit untuk dikontrol oleh pemerintah sebuah negara yang berdaulat.
Di sisi lain ada kelompok yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa (kelompok G-8) sebagai bentuk eksploitasi atau pejajahan ekonomi
terhadap negara-negara berkembang, sehingga orang memiliki pandangan negatif terhadap
Globalisasi. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam
bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak
mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia.
Gambaran diatas betapa kita harus mewaspadai globalisasi meskipun kita tidak harus
menolaknya. Sri Edi Swasono Ekonom UI, mengemukakan paling tidak ada tiga kelompok
yang mempunyai pandangan berbeda mengenai globalisasi yang harus kita perhatikan dengan
cermat: (1) Kelompok pengagum; (2) Kelompok kritis dan obyektif; (3). Kelompok yang

menolak Saya sendiri cenderung untuk memihak kelompok kedua dalam arti demikian, saya
memandang globalisasi memang tidak bisa dielakkan. Maka kita harus kritis dan objektif
dalam menyikapi mahluk bernama globalisasi. Tidak semua efek globalisasi buruk, namun
juga tidak semua implikasi dari globalisasi membawa manfaat bagi semua orang.

Kasus Indonesia
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Kebijakan ekonomi yang terus didominasi oleh
ekonom pro-liberal dalam pemerintahan (seperti, Menteri Keuangan: Sri Mulyani, Menteri
Ekonomi: Boediono, Menteri Perdagangan: Marie Elka Pangestu, Menteri BUMN: Sofyan
Djalil) akan menjadikan perekonomian Indonesia berpeluang terpuruk. Mereka menganggap
bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia. Padahal faktanya kita bisa melihat banyak rakyat yang menjadi korban dari sistem
ekonomi bermuka dua ini. Kemiskinan tak kunjung berkurang, yang miskin tetap miskin dan
yang kaya menjadi semakin kaya melalui sistem ini.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu net importer terbesar komoditas pertanian di dunia,
sedangkan petaninya terjerembab dalam kubang kemelaratan yang tidak bertepi. Pada 1998,
atas tekanan IMF melalui Letter of Intent (LoI) Januari 1998, pemerintah mengeluarkan
kebijakan Impor beras. Impor beras menjadi lahan perburuan rente ekonomi besar-besaran
bagi para konglomerat dan elite politik. Terakhir harga kedelai yang melambung tinggi
karena selama ini ternyata kita banyak mengimpor, bukan memproduksi sendiri. Itu
merupakan ironi yang tidak termaafkan karena sumber daya ekonomi Indonesia justru ada di
sektor pertanian.
Industri perkayuan pun mengalami nasib yang sama. LoI mengharuskan pemerintah
melakukan liberalisasi terhadap ekspor kayu gelondongan. Dikatakan bahwa dengan
liberalisasi ini, harga kayu gelondongan dalam negeri akan sesuai dengan nilai ekonomisnya.
Akibatnya, efisiensi industri perkayuan meningkat, penggunaan kayu menjadi lebih arsional,
dan akhirnya deforestasi bisa ditekan.
Kebijakan diatas terbukti salah besar. Kehancuran industri perkayuan justru semakin parah
karena mereka kesulitan memperoleh bahan baku. Pembalakan dan perdagangan kayu ilegal
melanjak drastis. Kerusakan hutan semakin luas dan cepat. Mengapa ini terjadi? Karena
kebijakan tersebut mengabaikan kondisi kelembagaan dan transisi demokrasi yang ada di

Indonesia. Euforia otonomi daerah membuat penguasa lokal leluasa mengaveling hutan dan
melakukan pembalakan besar-besaran. Kesulitan bahan baku membuat industri mau membeli
kayu ilegal agar bertahan hidup.
Selain contoh sektoral di atas, ada lagi fakta agregat yang lebih memprihatinkan, yang belum
banyak diketahui masyarakat. Yaitu mengenai utang luar negeri (Wibowo, 2005). Pada 1969,
utang luar negeri pemerintah hanya sebesar US$ 2,44 miliar. Pada tahun 2003, jumlahnya
menjadi US$ 80,86 miliar. Berarti selama 34 tahun ada kenaikan nominal sebesar US$ 78,42
miliar, atau Rp. 729 triliun dengan kurs akhir Desember 2004. Ini dengan asumsi nilai waktu
dari uang (time value of money) tidak dihitung.
Selama periode yang sama, pemerintah sudah membayar cicilan pokok dan bunga sebesar
US$56,52 miliar. Di lain pihak, jumlah utang baru yang ditarik oleh pemerintah adalah
US$37,68 miliar. Jadi, pembayaran kembali utang pemerintah sudah US$ 18,84 miliar, atau
Rp. 175 triliun lebih besar dari hutang yang baru diambil. Logika sederhananya, kalau kita
sudah membayar lebih banyak dari utang yang kita ambil, jumlah utang seharusnya menurun.
Tapi tidak demikian. Kita sudah membayar terlalu banyak (jumlahnnya Rp. 175 triliun), tapi
hutang kita malah bertambah Rp. 729 triliun.
Beban hutang yang menggunung tersebut jelas menhabiskan sumber dana yang semestinya
bisa digunakan untuk keperluan yang lebih penting seperti pendidikan, kesehatan dan
penciptaan lapangan pekerjaan. Sebagai contoh dalam realisasi APBN 2005, belanja negara
untuk membayar pokok dan bunga hutang luar negeri mencapai di atas 2,5 kali lipat belanja
perumahan dan fasilitas umum, hampir 120 kali belanja ketenagakerjaan, atau hampir 28 kali
belanja lingkungan hidup. Dalam realisasi APBN 2006, rasio-rasio di atas diperkirakan tidak
akan jauh berkurang. Inilah biaya oportunitas sosial yang harus ditanggung sebagai akibat
dari rezim ekonomi yang pro kreditor seperti Bank Dunia dan IMF.
Dengan besarnya dana yang dipakai untuk membayar hutang luar negeri, kita patut bertanya
bagaimana Indonesia bisa melakukan investasi untuk memperkuat industri, kapasitas
teknologi bangsa, dan kemampuan sumber daya manusianya? Tanpa investasi ini, bagaimana
Indonesia bisa menjadi pemenang dalam globalisasi?
2.2

Mensiasati Globalisasi

Globalisasi sejatinya bukan dimaknai sebagai pembukaan pasar tanpa batas sehingga seluruh
bidang barang/komoditas ekonomi bebas dimasuki asing. Globalisasi seharusnya dimengerti

sebagai kebebasan untuk melakukan pertukaran kepentingan ekonomi yang saling


menguntungkan. Dengan demikian, bila terdapat praktik transaksi ekonomi yang merugikan,
salah satu pihak bebas pula untuk menggagalkan atau memproteksi kepentingan
domestiknya.
Globaliasi ekonomi yang dikampanyekan lemabaga Internasional seperti IMF, WTO, dan
Bank Dunia, serta diagung-agungkan oleh korporasi multinasional, merupakan sebuah
gambaran kompetisi yang sama sekali tidak seimbang. Dari sisi kekuatan industri, teknologi,
kemampuan SDM dan keuangan, negara-negara miskin di Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan
jelas sangat kalah kelas jika dibandingkan dengan negara-negara maju dibelahan bumi Utara.
Bagaimana mungkin misalnya, negara seperti Malawi bertanding pasar bebas barang, jasa,
dan keuangan melawan raksasa seperti Jerman? Bagaimana mungkin perusahaan minyak
gurem seperti Pertamina, yang neraca awal saja belum punya, harus bertarung bebas di pasar
global melawan raksasa seperti Exxon Mobil? Apalagi melalui Undang-Undang Migas yang
sangat liberal, kekuatan Pertamina digunting drastis, baik pada sektor hulu maupun hilirnya.
Peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz berpendapat bahwa kita bisa
membangun dunia yang lebih baik dengan globalisasi yang adil. Sebuah dunia dengan proses
globalisasi yang memberikan keadilan manfaat bagi kelompok kaya dan miskin dalam
generasi sekarang, maupun bagi generasi mendatang. Oleh sebab itu, kita perlu melakukan
reformasi terhadap globalisasi.
Stiglitz mempunyai pandangan yang jauh berbeda. Dia percaya bahwa pemerintah harus
mengambil peranan aktif dalam menggerakkan pembangunan dan melindungi kelompok
miskin. Tidak bisa semuanya diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Peranan yang
sama juga harus diambil oleh lembaga-lembaga publik internasional seperti IMF, Bank dunia,
dan WTO.
Stiglitz juga memberikan idenya terkait dengan kondisi Negara Indonesia, terutama dalam hal
pengelolaaan utang internasional. Dalam perdagangan bebas, Stiglitz mengajukan konsep
yang menarik. Baginya, putaran Doha sudah gagal. Karena itu, negoisasi perdagangan
multilateral harus diubah fokusnya, menjadi lebih pro negara miskin dan pro pembangunan.
Untuk itu Stiglitz mengusulkan perubahan yang drastis terhadap asas reprositas (timbal-balik)
yang tidak memperhitungkan kondis kelas tiap-tiap Negara.

Dalam konsep Stiglitz, negara-negara kaya harus membuka pasarnya kepada negara yang
lebih miskin, tanpa reprositas, tanpa adanya kondisionalitas politik dan ekonomi. Selama ini,
negara kaya (terutama AS dan Uni Eropa) sering menggunakan perlakuan khusus
perdagangan sebagai alat politik untuk menekan negara miskin. Sedangkan negara-negara
berpenghasilan menengah harus membuka pasarnya kepada negara yang lebih miskin, dan
memberikan perlakuan khusus sesama mereka tanpa harus memberi perlakuan yang sama
kepada negara kaya. Dengan konsep baru ini, reprositas hanya diberlakukan di antara negaranegara yang seimbang kekuatannya.
Stiglitz juga mengajukan ide untuk mendorong demokratisasi globalisasi, termasuk agar
lembaga-lembaga publik internasional lebih demokratis dan transparan. Adalah sebuah ironi
ketika lembaga seperti IMF, Bank dunia, dan WTO memaksa negara-negara miskin lebih
demokratis dan transparan, namun mereka sendiri justru tidak demokratis dan transparan.
Memang ide-ide Stiglitz masih jauh dari realisasi. Resistensi dari kelompok status quo yang
terlanjur menjadi penguasa globalisasi akan sangat besar. Namun, jika kita gagal mengelola
globalisasi secara manusiawi dan bersahabat dengan lingkungan seperti yang diusulkan
Stiglitz, globalisasi akan dnegan mudah berubah menjadi keangkuhan kapitalisme.
Bagi Indonesia sendiri, yang terpenting adalah menyadari bahwa dalam berbagai bidang,
kelas Indonesia masih jauh dari memadai untuk terjun ke dalam pertarungan keras percaturan
globalisasi, khususnya dibidang ekonomi. Indonesia tidak perlu gagah-gagahan proglobalisasi tanpa mengukur kemampuan sendiri. Pemberian wewenang eksploitasi Blok Cepu
kepada Exxon Mobil, bukan kepada Pertamina adalah salah satu contoh dari sikap gagahgagahan Indonesia. Karena dengan valuasi deposit migas sekitar US$40 miliar, akan lebih
bermanfaat jika dikelola secara maksimal oleh Pertamina dan pelaku migas dalam negeri.
Yang perlu dilakukan Indonesia adalah mengkonsolidasikan seluruh potensi SDA dan dana
yang ada untuk membangun kekuatan industri, teknologi, SDM dan keuangan, sehingga kita
mampu bertanding di arena percaturan globalisasi. Kita juga perlu mengatur agenda
stabilisasi makro, liberalisasi perdagangan, investasi dan sektor keuangan, serta privatisasi
hanya dilakukan apabila sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan kelembagaan di
Indonesia. Dengan perubahan orientasi kebijakan ekonomi seperti ini, Indonesia akan lebih
berpeluang menjadi pemenang, bukan pecundang globalisasi.

10

2.3

Peran Bangsa Indonesia dalam Percaturan Global

Kondisi Umum Saat Ini


Sesuai proposal yang diajukan panitia, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
dalam menghadapi tantangan global yang secara umum dan singkat dibicarakan pada
kesempatan ini yaitu di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan. Apa
yang akan disampaikan merupakan hasil pengamatan terhadap apa yang sedang terjadi dalam
kehidupan bangsa pada saat ini.
Dari perspektif Ideologi, kondisinya dapat dilihat antara lain adalah bahwa kesetiaan bangsa
Indonesia pada Pancasila dipandang kuat, namun perlu dilakukan peningkatan secara terusmenerus pemahaman dan pengamalannya. Nampaknya pada akhir-akhir ini kurang greget
dalam membicarakan atau memahami dan menghayati Pancasila. Sementara itu, kadar
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa masih perlu ditingkatkan. Masih ada
sebagian kecil masyarakat yang bersikap dan berpandangan sempit. Kesadaran nasional pada
dasarnya cukup baik walaupun masih banyak yang tererosi dampak globalisasi yang
berakibat berkembangnya sikap mementingkan diri sendiri, sedangkan integritas moral juga
masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius.
Di bidang kehidupan politik nampak relatif stabil, namun pengaruh liberalisme dan
individualisme menyebabkan adanya kelompok-kelompok yang mendesakkan keinginannya
dan mengambil jalan yang terkadang tidak sesuai prinsip demokrasi. Sementara kedaulatan di
bidang politik masih perlu secara terus menerus dibangun dan dimantapkan. Secara umum
kematangan berpolitik memang masih perlu waktu untuk menjadi mantab. Rakyat masih
mudah dihasut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab maupun oleh avonturis
politik. Sering terjadinya perpecahan dalam tubuh organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan terkadang bukan sekedar dinamika demokrasi tetapi lebih diakibatkan
kurang kematangan berpolitik dan wawasan kebangsaan. Demikian juga kesadaran hukum
dan disiplin, masih jauh dari harapan karena dalam kenyataannya masih banyak sekali
pelanggaran hukum.
Di bidang ekonomi nampaknya kemandiriannya masih jauh dari harapan, sementara liberalis
dan kapitalis selalu berusaha agar Indonesia dapat bergantung kepadanya dan dikendalikan.
Pada masa kini, konsumerisme dan gaya hidup, materialistis, individualistis, dan

11

hedonisme yang hanya mencari kesenangan bagi diri sendiri banyak menjangkiti kalangan
masyarakat tertentu. Hal itu akan mendorong untuk berbuat korupsi, kolusi dan perilaku
lainnya yang menyimpang dalam rangka menopang gaya hidupnya. Akibat lanjutannya bisa
meruntuhkan moralitas.
Dalam perspektif sosial budaya dapat disaksikan masih kurangnya disiplin, tidak jujur, malas,
bekerja asal jadi, yang mengabaikan mutu dan hanya bersifat formalitas. Banyak orang
tampil mendua, artinya apa yang ditampilkan tidak sesuai dengan pribadinya melainkan
mengikuti arus atau gaya yang tidak dipahami makna hakikinya. Penetrasi budaya asing
khususnya dari Barat sangat mempengaruhi generasi muda. Erosi akibat kebudayaan asing
banyak terjadi seperti maraknya pornografi dan pornoaksi dengan dalih kebebasan
berekspresi yang sebenarnya tidak sesuai dengan pandangan hidup dan sistem nilai bangsa
Indonesia, norma, dan etika ketimuran. Sistem nilai Indonesia yang religius semestinya
merupakan dasar karakter dan etika yang memancarkan dalam berbagai karya termasuk karya
seni, dan kehidupan sosial mesti dapat menyesuaikan dengan tatakrama kemanusiaan yang
berlaku bagi kebersamaan. Tanpa itu mustahil hidup bermasyarakat dapat harmoni. Sifat
ketergantungan dan rendah diri juga masih menjangkiti masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan kehidupan, masih terdapat sifat-sifat dan sikap hidup yang
tidak positif. Sifat dependensi yang berlebihan, kekacauan tata pikir, pesimistik, rendah harga
diri. Terlihat dalam kehidupan sehari-hari antara lain sikap ingin mendapatkan sesuatu tanpa
mau berbuat sesuatu, menggantungkan diri pada orang lain, selalu menunggu petunjuk,
mudah putus asa, sikap menerabas, pasifitas dan tidak bertanggung jawab. Kadar
kemandirian, ketangguhan, kreatifitas, dan sikap mau bertanggung jawab perlu ditingkatkan.
Orientasi nilai budaya yang terlampau terarah ke atas mengandung kelemahan yang bisa
berdampak negatif antara lain disiplin pribadi kurang, hasrat untuk berdiri dan berusaha
sendiri serta rasa tanggung jawab kurang.
Di bidang pertahanan dan keamanan masih perlu perhatia terutama alat utama TNI untuk
mewujudkan profesionalisme. Kesadaran bela negara cukup baik, namun juga perlu
dipelihara secara berlanjut, apalagi makin besarnya pengaruh negatif dunia yang makin
terbuka.

Kelemahan

hukum,

keadilan,

ketertiban,

dapat

saja

menimbulkan

kekacauan. Fenomena global paradox mengisyaratkan bahwa walaupun kekuatan-kekuatan


konvergensi mendorong menuju satu dunia terintegrasi, satu dunia tanpa batas, namun juga
terdapat kekuatan-kekuatan divergensi yang dapat mencetuskan separatisme, primordialisme,

12

nasionalisme sempit etnik yang menyebabkan keadaan tidak stabil. Kriminalitas meningkat
berupa kejahatan Narkoba, culture of violence, dan tipe kriminalitas baru seperti kejahatan
Bank dan cyber.
Upaya Menghadapi Tantangan
Pemahaman dan penghayatan terhadap Pancasila perlu digalakkan. Perlu revitalisasi
Pancasila dan pengamalannya secara nyata dan dengan pemberian teladan dari pemimpin dari
semua tingkatan. Dalam era globalisasi, Pancasila sebagai ideologi terbuka harus tampil
dengan keterbukaannya, tidak dogmatis dengan lebih menekankan sikapnya yang kontekstual
dalam arti relevan dengan kenyataan yang tumbuh di masyarakat, dan prospektif dalam arti
dapat dirasakan kemanfaatannya secara nyata dalam menghadapi globalisasi. Selain itu, perlu
kewaspadaan terhadap pengaruh ideologi asing, karena pada saat ini sedang terjadi
pertarungan ideologi-idelogi di dunia yang ingin menancapkan ideologinya seperti
liberalisme, individualisme, dan kapitalisme. Boleh jadi kerusakan moral salah satunya
diakibatkan karena pengaruhnya.
Terkait dengan peningkatan kualitas moral, Ketetapan MPR Nomor X/MPR/ 1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara mengamanatkan untuk melakukan agenda
peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui
peningkatan kualitas kelembagaan pengajaran dan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianut peserta didik dengan tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai
dengan agama yang diajarkan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan.
Manusia diciptakan dalam keadaan yang sempurna, termasuk dalam hal karakter, watak, dan
akhlaknya (laqod kholaknal fi ahsani taqwim). Namun, dalam perjalanan hidupnya dapat
mengalami kemunduran bahkan bisa terjerumus ke dalam perbuatan yang sangat buruk,
bahkan dalam perbuatan yang sangat hina (asfala safilin).Oleh karena itu, peningkatan akhlak
mulia dan budi pekerti luhur harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk mencegah
dan menangkal setiap usaha dan kegiatan yang dapat mendorong dan menumbuhkan akhlak
yang tidak terpuji di kalangan masyarakat maupun yang dipublikasikan melalui media massa.
Pendidikan bukan sekedar menyiapkan anak didik untuk siap bekerja, tetapi menyiapkan
nalar, inderawi, dan afektif, juga siap menjadi anggota masyarakat yang memenuhi

13

kepatutan, berguna, dapat bekerjasama, menghormati orang lain dan memiliki kehormatan
diri.
Di bidang politik peran bangsa Indonesia sudah berlangsung lama sampai sekarang.
Keberhasilan Konferensi Asia Afrika merupakan contoh yang cukup membanggakan. Juga
dalam Konferensi Islam, dan sebagainya, yang dilaksanakan dengan prinsip bebas dan aktif.
Tentu saja dalam era globalisasi peran itu tetap dilakukan. Beberapa prinsip yang perlu
dipegang dalam hubungan dengan negara lain adalah prinsip anti penjajahan, saling
menghormati dan menghargai sebagai negara berdaulat, prinsip saling percaya, saling tidak
mencampuri urusan dalam negeri, dan sebagainya. Kondisi dan kesetabilan politik dalam
negeri akan membuat pengakuan dunia luar dan menimbulkan kewibawaan. Dengan diiringi
kemampuan diplomasi maka akan memudahkan peran Indonesia di tingkat global.
Di bidang ekonomi perlu lebih besar perhatian pada pemberdayaan ekonomi makro, kecil,
dan menengah, tanpa mengurang perhatian pada enonomi makro. Secara empiris, dalam
kondisi krisis ternyata usaha mikro, kecil, dan menengah justru memiliki ketangguhan. Untuk
itu, perlu kewaspadaan perhadap praktik ekonomi liberalis kapitalis. Negara-negara kapitalis
banyak yang menawarkan dan atau mencari kerjasama ekonomi, mungkin melalui AFTA,
APEC, WTO dan sebagainya untuk mengembangkan industri dan produksi. Sudah barang
tentu hal itu memerlukan sumber daya alam untuk keperluan awal dari proses produksi yang
pada kelanjutannya mereka juga perlu pasar sebagai pelemparan hasil produksinya. Indonesia
yang relatif memiliki sumber daya alam akan menjadi incaran para kapitalis tersebut, juga
memiliki sumber daya manusia yang akan dijadikan lahan pembeli. Dapat diperkirakan
mereka ingin dan berusaha menguasai Indonesia dan pada era kini dan ke depan menguasai
tidak mesti berarti secara fisik dalam arti menduduki tetapi ,menguasai kepentingan dan
mengendalikan. Bagaimana caranya, itulah yang perlu diwaspadai dan merupakan tantangan
bagi pemimpin terutama pemimpin masa depan atau genersi muda saat ini. Yang penting
melakukan peran di tingkat global tidak merugikan bangsa dan ngara.
Konsep Islam dapat digunakan dalam memajukan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.
Islam sebenarnya amat dekat dengan kehidupan masyarakat dunia sehari-hari, dengan sains
dan teknologinya yang diperlukan dalam upaya proses nilai tambah. Dalam kaitan tersebut,
pemahaman terhadap Quran harus dalam konteks ad-diin al Islam. Islam harus dipahami
secara insiklopedik, bukan hanya secara kamus bahasa. Partikel al (the) pada al Islam yang
terhubung langsung dengan ad-diin mengantarkan pengertian Islam sebagai tamaddun

14

(peradaban) dan Madinah (kota) ataupun Madniyyah yaitu sebagai peradaban atau kota
sebagai tempat peradaban. Ciri utama peradaban adalah bisnis dan pasar di mana barang dan
jasa diperjual balikan, yang merupakan kegiatan proses nilai tambah. Islam menjamin
sebagai model atau cara transaksi bisnis dan kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Untuk
itu, perlu dikembangkan Islamic Ekonomic Sciencies atau ilmu ekonomi Islam misalnya
tafsiran operasional riswah, Islamic System atau sistem ekonomi Islam misalnya tafsiran
tentang riba dan memanipulasi timbangan itu haram.
Di bidang sosial budaya harus terus dibangun dan lebih dimantabkan budaya Indonesia dan
budaya daerah yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Kerja sama di bidang kebudaayaan
dengan negra lain akan dapat mempererat hubungan antar negara. Indonesia harus secara
tegas menerapkan Undang-Undang tentang Pornografi. Dalam hal ini, perlu konsistensi
pelaksanaan tugas dan kewajiban lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), misalnya
melarang acara-acara di televisi yang menampilkan hal-hal yang seronok, acara-acra yang
berbau mistik. Di samping itu, perlu diwaspadai pengaruh negatif akibat globalisasi
khususnya keterbukaan informasi.
Di bidang pertahanan dan keamanan perlu secara berlanjut meningkatkan profesionalisme
TNI dan kesadaran bela negara, serta keamanan lingkungan dengan meningkatkan peran serta
masyarakat yang bermitra dengan polisi sipil (POLRI). Tentang peran Indonesia dalam
percaturan global telah dilakukan sejak lama. Indonesia sering ikut dalam proses perdamaian
di bawah bendera PBB. Tentu hal ini merupakan kepercayaan bangsa lain karena prinsip
bebas aktif Indonesia. Di samping itu, karena para pelaksana tugas itu (TNI) telah
menunjukkan kredibilitasnya.

15

BAB III
Penutup
3.1

Kesimpulan

Peran Indonesia dalam percaturan global telah dilakukan Sejas lama. Hal ini harus
dilanjutkan karena merupakan amanat kostitusi. Agar ke depan Indonesia lebih memiliki
kapabilitas, kredibilitas, dan akseptabilitas, perlu meningkatkan aspek-aspek yang berkaitan
dengan peran di tingkat global seperti di bidang politik, ekonomi, social budaza, dan militer.
Kondisi aspek-aspek itu, baik di dalam negeri maupun untuk menunjang peran di tingkat
global akan lebih mendapat kepercayaan internacional. Generasi muda, termasuk warga HMI
harus menyiapkan diri sebagai kader bangsa. Hal yang sangat penting hdala membangun
karakter yang meliputi antara lain memiliki integritas yang tinggi dan kuat, jujur, disiplin,
proaktif, penuh semangat, mandiri dan percaya diri, tekun dan pantang menyerah, patriotik,
berkepribadian,ramah dan santun, rendah hati, kritis dan lugas. Itu yang diharapkan menjadi
ciri-ciri manusia Indonesia. Manusia masa depan yang akan menjadi pemimpin itu saat ini
merupakan pemuda khususnya mahasiswa termasuk anggota HMI.
3.2

Saran
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan

dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

Daftar PUSTAKA
16

http://politik.kompasiana.com/2012/03/30/peran-bangsa-indonesia-dalam-percaturan-global1446195.html
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/162-desember-2011/1290-postur-aseandiperhitungkan-dalam-percaturan-global.html
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1362

17

Anda mungkin juga menyukai