Anda di halaman 1dari 23

TUGAS TERSTRUKTUR

PERTANIAN BERLANJUT ASPEK TANAH


ANALISIS SPASIAL

Oleh:
Nama

: Dwi Novia Sari

NIM

: 125040201111279

Kelas

: M (AA)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

1. Contoh Aplikasi GIS


A. Aplikasi GIS untuk kegiatan pemantauan produksi dibidang pertanian
Teknologi Hiperspektral (hyperspectral remote sensing technology)
merupakan suatu paradigma baru dalam dunia pengindraan jauh (remote sensing)
dengan memanfaatkan jumlah kanal (channel) yang berlebih (hyper) sehingga
pengguna akan mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan
aplikasi sesuai dengan kebutuhan, khususnya dalam konteks pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem multispektral dengan
keterbatasan jumlah kanal, yang selama ini digunakan. Secara definisi teknologi
hiperspektral merupakan cara memperoleh gambaran kondisi di permukaan bumi
secara simultan dengan jumlah band/kanal yang banyak (lebih dari 200) serta
menggunakan panjang gelombang yang sempit (narrow band) dan saling
berdekatan (Evri, M. et. al., 2004).
Teknologi Hiperspektral (hyperspectral technology) yang juga dikenal
dengan istilah Imaging Spectrometer, merupakan kelanjutan dari teknologi
multispektral (multispectral). Sistem Penginderaan Jauh Hiperspektral merupakan
paradigma baru dalam dunia penginderaan jauh. Teknik ini menggunakan jumlah
sensor hyper alias berlebih sehingga hasil yang didapat lebih detail dan akurat.
Pemanfaatan data pengindraan jauh hiperspektral yang dapat diperoleh secara
periodik dan berkesinambungan dapat menjaga kontinuitas penyediaan informasi
yang

lebih

akurat

tentang

ketersediaan

sumber

daya

pertanian

dan

karakteristiknya seperti sebaran dan luas lahan sawah, informasi kondisi tanaman
padi dalam waktu yang singkat untuk lahan pertanian yang luas, potensi produksi,
kerawanannya terhadap pengaruh iklim atau bencana kekeringan, dan pendugaan
produksi yang akan dipanen.
B. Aplikasi GIS untuk penilaian resiko usaha pertanian
Dalam

proyek-proyek

pembangunan,

tujuan

utama

VCA

adalah

menyediakan data analisis untuk mendukung rancangan proyek dan keputusan


perencanaan, terutama dalam memastikan bahwa risiko masyarakat rentan
berkurang akibat dilaksanakannya proyek. VCA dapat diterapkan dalam berbagai
konteks (misalnya, dalam penanggulangan kemiskinan, pembangunan sektoral,
manajemen bencana, penyesuaian terhadap perubahan iklim), dan pada tingkatan
yang berbeda (dari tingkat nasional atau tingkat program sampai ke masyarakat

dan rumah tangga). VCA dapat menjalankan berbagai macam fungsi: pencakupan
(scoping) atau penyaringan (sreening), rancangan program dan proyek, riset,
penelitian acuan data, dan pemantauan serta evaluasi. Meskipun terdapat
pengakuan yang semakin besar akan nilainya, VCA masih belum secara
sistematis menjadi faktor dalam proses-proses perencanaan proyek pembangunan,
ataupun bahkan ke dalam pengkajian risiko.
Perangkat-perangkat

perencanaan

proyek

pembangunan

yang

lain,

misalnya, analisis sosial dan pengkajian dampak sosial, dan terutama pendekatanpendekatan penghidupan yang berkelanjutan, menjawab masalah-masalah yang
sama. Perangkat yang lain mungkin menggunakan metode pengumpulan dan
pengkajian data yang sama; hasil yang diperoleh dapat diumpanbalikkan ke
dalam VCA dan, pada gilirannya mereka juga bisa menggunakan temuan-temuan
VCA.
Banyak metode VCA yang telah dikembangkan. Para akademisi dan
praktisi dari berbagai disiplin ilmu menggunakan beragam konsep dan definisi
kerentanan, yang mengarah pada metode pengkajian yang berbeda dan juga fokus
pada aspek kerentanan dan risiko yang berbeda.
C. Aplikasi GIS untuk kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman
Dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi spasial, PT. Astra Agro
Lestari Tbk telah melakukan pengambilan data spasial dari foto udara dan satelit
Ikonos yang belum dimanfaatkan dan diintegrasikan dengan sistem informasi
yang ada. Sebagai perusahaan swasta nasional yang cukup besar, PT Astra Agro
Lestari Tbk membutuhkan pengembangan sistem informasi yang handal
danterintegrasi yang dapat menunjang kegiatan operasional untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan perkebunannya. Untuk mewujudkan hal ini, maka
membutuhkan pengembangan sistem informasi yang berbasis data spasial atau
yang lebih dikenal dengan sistem informasi geografis. Ruang lingkup penelitian
dibatasi pada beberapa aspek informasi pengelolaan perkebunan yaitu informasi
panen tandan buah segar harian, infformasi kegiatan pemupukan, informasi hama
dan penyakit tanaman, serta informasi infrastruktur perkebunan seperti bangunan,
jalan angkutan, dan jembatan.
Dalam proses pengembangan sistem informasi geografis ini digunakan
pendekatan metoda System Development Life Cycle (SDLC) yang dimodifikasi

dan

dikombinasikan

dengan

Rapid

Application

Development

(RAD)

menggunakan protyping. Tahap-tahap yang ditempuh dalam pengembangan


sistem ini adalah analisis dan perancangan sistem secara cepat, serta
pengembangan prototipe yang melibatkan pengguna secara langsung.
D. Aplikasi GIS untuk pemantuan budidaya pertanian
Informasi Statistik pertanian di Indonesia berasal dari perolehan data jangka
panjang dan jangka pendek. Jangka panjang dilakukan melaui sensus pertanian
dalam periode waktu 10-tahunan. Jangka pendek dilakukan dalam periode
bulanan/ 4-bulanan dengan pendekatan pengukuran dan estimasi. Produktivitas
(ton/ha) didasarkan pada system ubinan (cutting plot) yang jumlah sampel dan
distribusinya ditetapkan oleh BPS secara acak-proporsif. Sistem ubinan
didedikasikan untuk level propinsi, sehingga untuk data level Kabupaten masih
berdasarkan estimasi. Sedangkan luas panen didasarkan pada estimasi yang
dilakukan oleh MANTAN (Mantri Tani) sering dikenal dengan pendekatan Eye
Estimate.
Perolehan data statistik berdasarkan estimasi tersebut sifatnya sangat
subyektif dan sulit untuk mengukur tingkat akurasi dan tingkat kesalahannya.
Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk mengembangkan sistem pendekatan
atau metodologi yang bersifat obyektif serta terukur tingkat akurasinya.
Dengan berkembangnya teknologi remote sensing dan GIS yang sangat
pesat didukung oleh perkembangan teknologi dan kapasitas memori komputer,
sangat memungkinkan mengembangkan estimasi dan peramalan produksi
pertanian dengan pendekatan Spasial Statistik. Rancangan Kerangka Sampel
Areal untuk tanaman padi merupakan salah satu contoh spasial statistik pertama
yang dikenalkan di Indonesia tahun 1999, melalui proyek SARI dengan sebutan
Regional Inventory2.
E. Aplikasi GIS untuk kegiatan presisi pertanian
Pertanian Presisi (precision farming/PF) merupakan informasi dan
teknologi

pada

sistem

pengelolaan

pertanian

untuk

mengidentifikasi,

menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam


lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan, dan menjaga
lingkungan. Tujuan dari PF adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan
kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman
berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Hal tersebut berpotensi

diperolehnya hasil yang lebih besar dengan tingkat masukan yang sama (pupuk,
kapur, herbisida, insektisida, fungisida, bibit), hasil yang sama dengan
pengurangan input, atau hasil lebih besar dengan pengurangan masukan
dibanding sistem produksi pertanian yang lain. PF mempunyai banyak tantangan
sebagai sistem produksi tanaman sehingga memerlukan banyak teknologi yang
harus dikembangkan agar dapat diadopsi oleh petani. PF merupakan revolusi
dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi.
PF sebagai teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar
Indonesia perlu segera dimulai penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan
perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan hasil, menekan biaya produksi
dan mengurangi dampak lingkungan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan PF
melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta
pertumbuhan (growth map), peta informasi lahan (field information map),
penentuan laju aplikasi (variable rate application), pembuatan yield sensor,
pembuatan variable rate applicator, dan lain-lain. Penggabungan peta hasil, peta
tanah, peta pertumbuhan tanaman menghasilkan peta informasi lahan (field
information map) sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik
lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application. Pelaksanaan kegiatan
ini akan lebih cepat dan akurat apabila sudah tersedia variable rate applicator.
Sebagai awal dari pengkajian PF di Indonesia, penelitian ini belum sampai
pada pembuatan perangkat keras seperti yield sensor, remote sensor, variable
rate applicator, dan lain-lain. Di samping itu penelitian tidak dilakukan pada
semua bagian kegiatan budidaya dan jenis tanaman. Penelitian ini dilakukan pada
kegiatan pemupukan dan jenis tanaman tebu.
F. Aplikasi GIS untuk pengelolaan sumberdaya air
Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air yang baik mutlak diperlukan
untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu dipelukan informasi yang memadai yang
bisa digunakan oleh pengambil keputusan, termasuk diantaranya informasi
spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi spasial yang
sedang berkembang saat ini. Sebagaian besar aplikasi SIG untuk pengelolaan
sumberdaya

air

masih

sangat

kurang di

negara

Indonesia

meskipun

perkembangan SIG sudah maju pesat di negara-negara lain. Perencanaan dan


pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan terpadu mulai dari sumber air

sampai dengan pemanfaatannya. Informasi secara spasial akan sangat membantu


pada proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya air.
Saat ini, telah tersedia alat bantu untuk proses analisa secara spasial berupa
software-software SIG diantaranya adalah program ArView GIS yang dikeluarkan
oleh ESRI (Environmental System Research Institute) Inc. ArcView GIS saat ini
telah tergabung ke dalam jajaran perangkat lunak mainstream seperti halnya
spreadsheets, database dan semakin luas jelajah bidang aplikasinya, semakin
dibutuhkan dan populer. ArcView GIS memiliki ciri khas arsitektur perangkat
lunak yang dapat diperluas dan menyediakan scalable platform untuk prosesproses komputasi dan analisis-analisis yang diperlukan di dalam SIG. Arsitektur
ini diimplementasikan sebagai sekumpulan modul-modul plug-in yang daat
disesuaikan dan dikombinasikan untuk memperluas secara dramatis kemampuankemampuan fungsionalitas perangkat lunak ArcView GIS. Salah satu model yang
ada yaitu Model Builder.
Model Builder adalah extention yang merupakan patner sekaligus
komplemen bagi spatial analyst, dia bertindak sebagai pengembang model
analisis spasial yang handal. Bicara tentang model maka tidak terlepas dari: Input
Poses Output. Model dalam analisis spasial disini diartikan sebagai
sekumpulan proses spasial yang mengkonversikan data-data masukan ke dalam
peta-peta keluaran dengan menggunakan fungsi-fungsi spasial tertentu.
G. Aplikasi GIS untuk kajian biodiversitas bentang lahan
Metode penelitian yang digunakan meliputi pemetaan dan pendekatan
diskriptif dan kuantitatif yang secara garis besar bentuk analisanya adalah
menggunakan teknologi Sistim Informasi Geoggrafis (SIG) atau Geographic
Information System (GIS). Analisa penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara
pengaplikasian SIG melalui Software ArcView dalam mengolah peta-peta digital
yang dibutuhkan seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan
produktivitas. Hal dimaksudkan untuk penetapan luas tutupan lahan, penetapan
luas lahan kritis, penetapan kemiringan lereng, penetapan bentuk lahan serta
identifikasi sumber-sumber air.
Metode yang digunakan untuk perolehan data ini adalah overlay dengan
cara skoring untuk penentuan tingkat kekritisan suatu lahan. Data lereng yang
dihasilkan pada kegiatan ini merupakan suatu produk dari aplikasi otomatis
perangkat lunak GIS ArcView 3.2 melalui fasilitas ekstensi Spatial Analysis.

Salah satu kelebihan piranti lunak ini adalah pengguna dapat menentukan kelas
lereng secara fleksibel sesuai peruntukannya. Hal ini dikarenakan format data
yang digunakan sebagai bahan analisa adalah format grid. Selanjutnya data ini
harus dikonversi kembali ke format vektor agar dapat dianalisa bersamaan dengan
data-data atau pemodelan spasial.
2. Penjelasan aplikasi GIS, pada sistem pertanian yang bagaimana penerapkan
GIS tersebut dilakukan, macam data spatial apa saja yang dibutuhkan dalam
menyusun contoh tersebut, bagaimana manfaat penerapan GIS tersebut dalam
menjalankan sistem pertanian.
A.

GIS untuk kegiatan pemantauan produksi dibidang pertanian


Dengan menggunakan teknologi hiperspektral, pengguna (user) akan
mampu menyerap informasi kuantitatif mengenai objek di permukaan bumi.
Walaupun demikian, untuk dapat memahami bagaimana cara melakukan
interpretasi data hiperspektral dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai
prinsip dasar mengenai sistem pengindraannya dan faktor-faktor yang
memengaruhi pantulan objek. Secara umum, kualitas dari hamburan dan serapan
dari objek di permukaan bumi akan menentukan besarnya nilai pantulan yang
lebih dikenal dengan kurva spektral (spectral signature) (Thenkabail, P.S., et.al,
2001). Besarnya hamburan dan serapan ini sebenarnya ditentukan oleh bentuk
fisik (physiognomy) dan kenampakan dari material, termasuk struktur dalam dari
material tersebut dan juga komposisi kimianya. Yang dimaksud dengan sidik jari
tanaman adalah sekumpulan nilai-nilai spektral yang terkandung pada tanaman
padi yang lebih dikenal dengan istilah pustaka spektral (spectral library) yang
dapat dilacak atau dideteksi dengan menggunakan alat pengukur spektral. Ada 3
tahap, yaitu: tahap observasi, analisis, dan diseminasi informasi ke pengguna.
Pada tahap observasi dilakukan akuisisi data, baik melalui survei lapangan, survei
dari udara (airborne survey), maupun dari satelit (spaceborne).
Dalam pemanfaatan teknologi hiperspektral untuk pertanian, untuk akuisisi
data digunakan pendekatan multi-skala (multi-scale sensing), yakni pada saat
yang bersamaan dilakukan akuisisi data dari satelit pengindraan jauh, dari
pesawat udara (airborne), pengukuran di lapangan (field atau in-situ), serta
pengukuran data pada skala yang lebih detail (farmland). Pendekatan ini
bertujuan untuk melakukan validasi terhadap model prediksi berbasis
hiperspektral yang dibangun. Setelah model diuji dan divalidasi, pada fase

operasional/implementasi akan digunakan data satelit pengindraan jauh yang


mampu memonitor lokasi pertanian dengan jangkauan yang luas dan secara near
real time. Diperlihatkan juga contoh citra Kabupaten Indramayu dalam format
FCC (False Colour Composite) yang diakuisisi menggunakan pesawat udara
dengan sensor hiperspektral (HYMAP) pada tanggal 30 Juni 2008. Sensor
HYMAP terdiri atas 126 kanal spektral (spectral channel) dengan cakupan
panjang gelombang 450 nm 2500 nm.
Pada survei lapangan, dilakukan

pengukuran sidik jari tanaman

(pengukuran nilai spektral tanaman padi). Sedangkan pada kegiatan farmland


dilakukan pengukuran spektral tanaman padi setiap fase pertumbuhan (time base)
dengan beberapa jenis varitas (Ciherang, IR42, Ketan) dengan menggunakan
hand-held spectrometer yang dihubungkan dengan laptop secara lebih detail.
Selanjutnya diproses dan dianalisis untuk mendapatkan kumpulan spektral
berdasarkan kondisi setiap fase pertumbuhan, lalu dilakukan validasi untuk
mendapatkan pustaka spektral yang akurat. Dari pustaka spektral tersebut dapat
diketahui karakteristik tanaman padi setiap fase pertumbuhannya serta kondisi
kesehatannya. Pustaka spektral yang telah dibangun diintegrasikan dengan
variabel tanaman padi (crop variables) yang akan digunakan sebagai parameter
untuk model prediksi pertumbuhan padi berbasis hiperspektral serta estimasi
produksinya. Perolehan spektral kanopi tanaman (sidik jari tanaman) secara rutin
selama satu atau lebih fase pertumbuhan tanaman akan memberikan informasi
yang penting tentang parameter biofisik tanaman seperti indeks luas daun (Leaf
Area Index/LAI), status kandungan nitrogen, berat kering tanaman, indeks panen,
dan hasil panen.
Ratusan kanal atau bahkan puluhan ribu kombinasi kanal yang diperoleh
tersebut akan mampu menunjukkan kanal-kanal yang sensitif terhadap biofisik
tanaman. Perkembangan teknologi hiperspektral yang terkini menunjukkan
bahwa teknik untuk menentukan kanal yang optimal atau yang paling sensitif
telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, yang dikaitkan dengan
karakteristik biofisik, fisiologi, dan biokimia tanaman. Dengan demikian,
pemantauan kondisi (setiap fase pertumbuhan) tanaman padi dapat dilakukan
dengan baik dan terukur sehingga akan memudahkan dalam memperkirakan
produktivitas tanaman padi sebelum panen. Setelah informasi diperoleh,
dilakukan diseminasi ke pengguna.

B.

GIS untuk penilaian resiko usaha pertanian


Kerentanan sangat khusus berhubungan dengan waktu, tempat dan ancaman
bahaya tertentu dan sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu, masing-masing
VCA sebaiknya direncanakan sebagai kegiatan yang berbeda, sesuai dengan
tujuannya dalam siklus manajemen proyek dan sifat dari proyek yang
bersangkutan. Ini juga akan berpengaruh pada gabungan keterampilan yang
diperlukan dalam tim proyek, dan penting kiranya untuk mendapatkan tim yang
tepat pada saat dimulainya proses tersebut.
Langkah-langkah mendasar di VCA:
Pilih kerangka kerja analisis untuk merumuskan pemahaman bersama
yang jelas tentang apa yang perlu dianalisis dan apa peranan VCASeleksi
satuan/tingkatan analisis untuk mempermudah perencanaan jangkauan dan
fokus dari VCA dan seleksi metodologi
1. Identifikasi pemangku kepentingan untuk menyediakan pengetahuan
pakar dan memastikan kepemilikan temuan
2. Menyeleksi pendekatan bagi pengumpulan dan analisis data yang tepat
bagi skala, jangkauan, dan tujuan VCA
3. Mengumpulkan

data

dengan

menggunakan

serangkaian

metode

pengumpulan data untuk membangun bukti


4. Analisis data dengan tujuan untuk menautkan berbagai dimensi yang
berbeda dalam kerentanan untuk menyajikan gambaran yang lengkap dan
mengungkap adanya pertalian sebab-akibat
5. Pengambilan keputusan dan tindakan: masukkan temuan-temuan ke
dalam pengkajian risiko dan rancangan proyek, serta lakukan modifikasi
yang tepat untuk mengurangi kerentanan.
C.

GIS untuk pengendalian hama dan penyakit


Perencanaan data difokuskan pada struktur basis data spasial maupun non
spasial. Basis data spasial dibagi ke dalam beberapa lapisan data (layer) sesuai
dengan karakteristik data perkebunan, sedangkan basis data non spasial
ditentukan berdasarkan kebutuhan informasi untuk setiap kegiatan operasional
perkebunan. Kebutuhan data spasial untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit

mencakup 9 lapisan data grafis (layer). Layer-layer tersebut telah dianalisis sesuai
dengan kebutuhan data untuk mengembangkan prioritas aplikasi SIG.
Basis data atribut (non spasial) dirancang untuk menata dan menyimpan
data sistem informasi yang berkaitan dengan kebutuhan informasi pengguna yang
terdiri dari berbagai devisi di PT Astra Agro Lestari yaitu : Divisi tanaman, Divisi
tanah dan pemupukan, Divisi Hama dan Penyakit Tanaman, dan Divisi Teknik.
Basis data atribut dirancang sesuai dengan kebutuhan masing-masing divisi yang
terkait, dengan memperhatikan identifier yang unik sebagai kunci untuk
hubungan relasi dengan tabel-tabel atribut yang lain maupun dengan Feature
Atribute Table (FAT) data spasial yang bersangkutan.
Pengembangan prototipe sistem informasi geografis mengintegrasikan
data spasial dengan data kegiatan operasional perkebunan yang sebelumnya
ditangani oleh sistem informasi yang ada. Prototipe sistem informasi geografis
dibangun dengan perangkat lunak Arc/Info, ArcView dan bahasa pemrograman
Avenue. Pada prototipe sistem informasi geografis terdapat menu-menu serta
button untuk memproses data menjadi produk informasi dasar, panen,
pemumpukan, hama dan penyakit, serta infrastruktur perkebunan. Sistem
informasi geografis dilengkapi dengan tools untuk berinteraksi dengan peta
digital yang ditampilkan pada area peta.
Areal perkebunan kelapa sawit ditata menjadi beberapa afdeling dan blok
tanam untuk mempermudah pengelolaan dan pengawasan kegiatan operasional
perkebunan. Selanjutnya terdapat menu yang berfungsi untuk memantau hasil
infeksi hama dan penyakit tanaman kelapa sawit pada seluruh areal perkebunan.
Informasi serangan hama dan penyakit untuk jenis tertentu pada satu bulan
inspeksi terdiri dari : nama blok tanam, tanggal inffeksi pada bulan yang dipilih,
jumlah sampel pohon kelapa sawit, jumlah pohon yang terserang, intensitas
serangan, kategori serangan, dan luas areal blok yang terserang hama atau
penyakit. Blok-blok yang telah terserang hama atau penyakit tanaman tertentu
dapat diperlihatkan pada area peta dengan warna berlainan untuk setiap kategori
serangan (berat, sedang, atau ringan). Informasi serangan hama/penyakit ini
digunakan oleh divisi Hama & Penyakit Tanaman (HPT) sebagai dasar untuk
pengendalian hama/penyakit yang berkategori sedang dan berat dengan perlakuan
khusus sesuai dengan kondisi serangan.

Setelah aplikasi pengendalian dilaksanakan, selanjutnya sistem dapat


memberikan informasi deteksi hasil pengendalian pada blok-blok yang terkena
serangan hama/penyakit. Deteksi umumnya dilakukan sebanyak tiga kali dalam
selang waktu 5-10hari setelah pengendalian. Deteksi hasil pengendalian
hama/penyakit dapat terus dipantau hingga kondisi tanaman kelapa sawit menjadi
lebih baik dan luas serangan hama/penyakit berkurang. Informasi pengendalian
dan deteksi ini akan sangat berguna khususnya bagi divisi HPT untuk
menentukan langkah selanjutnya dalam memberantas hama dan penyakit tanaman
serta proteksi terhadap blok-blok tanaman disekitarnya, sehingga keputusan yang
akan diambil benar-benar berdasarkan informasi yang akurat.
D.

GIS untuk pemantuan budidaya pertanian


Untuk mengaplikasikan pendekatan kerangka sampel areal untuk estimasi
dan peramalan produksi padi penelitian dilakukan pada tahun 2006, di mana 2
wilayah, yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, Jawa Barat
dijadikan daerah studi kasus.
Penjabaran Spasial Statistik dalam estimasi produksi padi diwujudkan
dalam suatu pendekatan rancangan kerangka sampel areal. Prinsip dasar
pendekatan ini adalah estimasi luasan yang didasarkan pada observasi langsung di
lapangan terhadap tutupan lahan pada sampelsampel terpilih (yang disebut
segmen) secara reguler. Proporsi tutupan lahan pada sampel segmen tersebut
kemudian diekstrapolasikan untuk memperoleh luasan populasi setiap jenis
tutupan lahan. Adapun tahapan pekerjaan yang harus dilakukan meliputi
stratifikasi lahan, pembentukan kerangka sampel, ekstraksi sampel segmen,
survai lapangan dan analisis data.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, berupa (1) data sekunder
berformat spasial atau peta digital, (2) Software GIS berserta perangkat kerasnya,
(2) Foto udara berskala antara 1:10.000 sampai dengan 1:20.000, (3) peralatan
survai (kompas, peta lapangan, ATK, dan lain-lain).
Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu statistik dilakukan stratifikasi wilayah
studi, penentuan kerangka sampel dan ekstraksi sampel segmen. Survai yang
bertujuan untuk memetakan fase-fase pertumbuhan tanaman dilakukan satu
setengah bulan sekali sebanyak tiga kali terhadap sampelsampel segmen yang
telah terpilih. Adapun fase pertumbuhan yang dipetakan meliputi: (1) Olah Tanah

(OT), (2) Fase Vegetative (V), (3) Fase Generative (G), dan Fase Panen (P).
Survai dilakukan oleh para Mantri Tani dan PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan)
yang telah dilatih untuk menjadi surveyor pemetaan. Hasil-hasil survai pemetaan
lapangan terhadap segmen terpilih, kemudian dikonversi menjadi peta digital
melalui penyekenan dan digitasi. Ekstraksi data luasan setiap fase pertumbuhan
padi di masing-masing sampel segmen diperoleh dari peta digital tersebut.
GIS merupakan alat untuk mengembangkan pengelolaan berbagai layer
informasi yang berbeda. Saat menganalisis antar layer, perlu diperhatikan untuk
menghindari jumlah terlalu besar bagi poligon-poligon kecil berisi informasi yang
salah. Visual interpretation photo satelit beresolusi tinggi dengan dibantu peta
topografi atau peta penggunaan lahan adalah sistem yang paling banyak
digunakan untuk stratifikasi. Pendekatan ini sudah digunakan oleh beberapa
negara dalam kaitannya dengan MARS (Monitoring Agriculture by Remote
Sensing) Project5). Informasi yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra beresolusi
tinggi atau dari citra beresolusi rendah (AVHRR, Resurs, dll) dapat digunakan
untuk stratifikasi, namun belum digunakan dalam MERA 92.
Tahap awal untuk seleksi sampel adalah menentukan kerangkanya agar
dapat digunakan untuk menentukan elemen-elemen suatu populasi, dimana suatu
sampel dapat dideskripsikan untuk mengestimasi karakter tertentu dari populasi
secara keseluruhan. Metoda Systematic Aligned Radom Sampling dengan
menggunakan ambang jarak (threshold) akan diaplikasikan untuk mengekstraksi
sample segmen. Daerah studi area yang sudah dibagi kedalam blokblok
berukuran 10 km x 10 km kemudian dibagi lagi menjadi 400 sub-blok berukuran
500 m x 500 m yang menjadi spatial unit dalam penentuan sample segmen.
Tahap berikutnya adalah mengidentifikasi segmen untuk dapat dilakukan survai
di lapangan terhadap segmen-segmen tersebut. Dalam sistem survei ini, segmensegmen tidak dibatasi oleh kenampakan fisik, melainkan dibatasi oleh garis
berdasarkan koordinat geografi. Target utama dalam estimasi dan peramalan
produksi padi dengan kerangka sample areal adalah angka statistik untuk luasan
tanaman padi beserta produktivitasnya. Untuk mendapatkan angka statistik
tersebut, harus dikumpulkan data dari lapangan. Data tersebut diperoleh melalui
pengamatan di lapangan yang dilakukan hanya pada area sample segmen. Peta
lapangan yang berisi fase pertumbuhan tanaman di setiap sample segmen
dikonversi menjadi peta digital penyekenan dan digitasi. Dengan soft-ware GIS,

peta digital dikoreksi geometris dan kemudian diekstrak luasan masing-masing


fase pertumbuhan. Analisis selanjutnya adalah perhitungan statistik luasan beserta
produktivitasnya untuk mendapatkan produksi padi.
Setiap kali survai dapat dilakukan estimasi luas sawah untuk tanaman
padi. Hasil estimasi menunjukan, bahwa di Indramayu luas sawah 117.000 hektar
dengan koefisien variasi 4 %, sedangkan di Subang seluas 90.000 hektar dengan
koefisien variasi 7,5 %. Secara kumulatif dari survai-1 sampai dengan survai-3
(periode Januari-Mei) 2006 produksi padi di Indramayu sebesar 669.152 Ton
GKP dan di Subang 546.956 Ton GKP. Peramalan pada survai-1 (Januari),
menunjukkan bahwa 3 bulan kedepan (Mei) akan terjadi panen seluas 98.727
hektar di Indramayu dan 84.177 hektar di Subang. Peramalan tersebut
mempunyai perbedaan 14 % dan 4 % dengan kenyataan masing-masing untuk
Idramayu dan Subang.
E.

GIS untuk presisi pertanian


Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2002 Juli 2003 di
perkebunan tebu PT Gula Putih Mataram, Wilayah Mataram Udik, Kecamatan
Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Pada
penelitian ini tidak dilakukan pembuatan yield sensor dan variable rate
applicator. Data hasil (yield) diperoleh dari pemanenan tebu secara manual.
Aplikasi pupuk dilakukan secara manual.
Beberapa petak digunakan untuk lokasi plot-plot percobaan. Selanjutnya
dilakukan pembuatan sel-sel di dalam plot (grid cell plotting) dan pemetaan plot
percobaan Pembuatan peta tidak berdasarkan geo-referencing dengan global
positioning system (GPS) tetapi dengan pemetaan secara konvensional.
Sistem Pendukung Keputusan untuk Pendekatan Pertanian Presisi dalam
Pemupukan N, P, dan K pada Budidaya Tebu yang dibangun diberi nama
STRAFERT-PF. Program komputer tersebut dibuat dalam bahasa Delphi 7.0.
STRAFERT-PF menggunakan empat software untuk mendukung operasionalnya,
yaitu (1) Backpro2N dari Rudiyanto dan Budi Indra Setiawan, (2) GS+ for
Windows dari Gamma Design Software, (3) Surfer 8 dari Golden Software, dan
(4) ArcView 3.3 dari Environmental Systems Research Institute.
ArcView 3.3 digunakan untuk membuat peta spasial parameter-parameter
seperti kandungan hara tanah N, P, K; kandungan hara daun N, P, K; jumlah
anakan tebu, jumlah daun, tinggi tebu, diameter tebu, persentase gap, kadar air

tanah, jumlah tebu roboh, bobot biomassa tebu, persentase penutupan gulma,
bobot tebu, bobot nira, nilai Brix, nilai Pol, nilai Purity, rendemen, dan taksasi
tebu. Peta dari lahan yang menjadi cakupan penelitian ini didigitasi dengan
ArcView 3.3 dan parameter-parameter pengamatan dimasukkan sebagai atribut
peta tersebut.

Peta spasial hasil penelitian ini juga untuk menunjukkan

kekurangan dan kelebihan pupuk serta dosis aplikasi pupuk yang dibutuhkan.
Pada menu utama dapat diakses Model Spasial untuk membuat peta
spasial dengan menggunakan piranti lunak ArcView 3.3. Pada penelitian ini, data
dosis pupuk, populasi tebu, taksasi, dan kelebihan/kekurangan pupuk pada peta
spasial tidak berdasarkan perhitungan dengan ArcView 3.3, tetapi data tersebut
berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukan sebelumnya dan kemudian baru
dimasukkan sebagai atribut.

Oleh karena itu untuk menunjang efisiensi dan

efektivitas sistem maka perlu perbaikan model spasial. Selain itu pada penelitian
ini pemetaan dilakukan secara konvensional, maka untuk efisiensi dan efektivitas
sistem perlu penggunaan GPS pada pemetaan objek.
F.

GIS pengelolaan sumberdaya air


Pada kasus ini pengguna akan mengembangkan suatu model bahaya erosi
yang dapat mengidentifikasi area-area mana saja yang sangat beresiko mengalami
erosi. Faktor yang mempengaruhi erosi pada suatu lahan dalam kasus ini dibatasi
oleh dua tiga faktor saja terlebih dahulu (sekedar contoh) yaitu: Tingkat
Kelerengan, Jenis Tanah, dan Keadaan vegetasi penutup di atas tanah. Model ini
akan melibatkan beberapa proses seperti: (1) mengkonversikan data spasial
vektor jenis tanah dan Vegetasi ke dalam format grid, kemudian (2)
mengkalsifikasikan nilai-nilai bobot resiko erosi ke dalam setiap jenis tanah dan
vegetasi serta kelerengan tanah ke dalam suatu skala potensi bahaya erosi
(Nilai 1 5). Selain itu pengguna akan memberikan prosentase pengaruh terhadap
potensi bahaya erosi dari setiap faktor jenis tanah (25%), vegetasi (25%), dan
kelerengan (50%). Akhirnya pengguna akan mengeksekusi model ini untuk
mendapatkan keseluruhan peta digital potensi bahaya erosi.

G.

GIS biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan pertanian berlanjut


Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu: survei lapangan dan
analisis data dilanjutkan dengan pembuatan peta-peta tematik yang dibutuhkan.
Survei lapangan adalah dengan mencari titik-titik pengamatan terhadap jenis

penutupan lahan dan kondisi fisik lahan yang sedang terjadi di tiap-tiap daerah
pengamatan, khususnya di kawasan-kawasan koridor satwa liar, yaitu Lobu
Pining dan Hutaimbaru serta target kawasan harangan desa.
Kegiatan utama penelitian ini adalah menganalisis dan memetakan kondisi
tutupan hutan alam dan fisik lahan untuk mengetahui sebaran lokasi dan luasan
lahan kritis, tingkat kekritisan dan prioritas lokasi rehabilitasi lahan di Kawasan
Hutan Batang Toru, khususnya di kawasan koridor satwa liar di Hutaimbaru dan
Lobu Pining.
1. Prosedur penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Peta digital vegetasi permanen/ tutupan lahan skala 1:50.000 yaitu hasil
interpretasi Citra Satelit SPOT Tahun 2009/2010 resolusi spasial 2,5 meter

Peta digital DAS Batang Toru skala 1:50.000

Peta digital administrasi dari Bappeda Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan

Peta digital Rupa Bumi Indonesia

P128-R059 Landsat 5 Thematic Mapper July 14, 1994

P128-R059 Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper July 9, 2001

P128-R059 Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper January 28, 2006

P128-R059 Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper June 29, 2009

Peta digital Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan


Hutan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System

(GPSmap 60CSx Garmin), kamera digital, PC serta kelengkapannya dengan


perangkat lunak ArcView 3.3 yang dilengkapi dengan ekstensi Spatial Analyst,
kalkulator dan alat tulis serta printer untuk mencetak data dan peta.
a. Pengumpulan Data Primer
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data
spasial yaitu data berbentuk peta digital. Data spasial lahan kritis diperoleh

dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter
penentu tingkat kekritisan lahan.
Selain data mengenai kondisi penutupan lahan ini, dalam kegiatan
survei lapangan juga didapatkan informasi lain mengenai bagaimana jenis
tutupan lahan, kemiringan lereng, dan tingkat bahaya erosi yang ditemukan di
lapangan. Disamping itu juga untuk mengetahui tingkat manajemen/ usaha
pengolahan lahan dan teknologi konservasi tanahnya.
b. Pengumpulan Data Sekunder
Proses pengumpulan data sekunder parameter lahan kritis ini
dilakukan dengan cara studi pustaka yaitu mencari informasi dari literatur dan
dari instansi-instansi terkait seperti BPDAS Asahan Barumun, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan. Kajian literatur ini
perlu dilakukan karena kenyataannya keberadaan lahan kritis tidak hanya
terkait dengan aspek biofisik. Namun juga berkaitan dengan aspek legal,
seperti status kawasan hutan. Studi pustaka ini juga penting dilakukan agar
kegiatan penyusunan lahan kritis ini tetap mengikuti kaidah-kaidah ilmiah
dari disiplin.Ilmu yang relevan dengan kajian lahan kritis ini seperti ilmu
tanah, geomorfologi, geologi dan lain-lain. Dalam pengumpulan data
sekunder ini, juga dikumpulkan peta topografi dan peta-peta tematik yang
dapat memberi masukan dalam analisis keruangan lahan kritis.
c. Input Data Spasial
Penyusunan data spasial ini dapat dilakukan bila unsur-unsur diatas
telah lengkap dan disusun terlebih dahulu. Data spasial untuk masing-masing
parameter harus dibuat dengan standar tertentu guna mempermudah dalam
proses analisis spasial untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Standar
data spasial untuk masing-masing parameter meliputi kesamaan dalam sistem
proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan atributnya.
d. Data Spasial Vegetasi Permanen
Informasi

mengenai

vegetasi

permanen

diperoleh

dari

hasil

interpretasi citra satelit yang meliputi daerah aliran sungai. Dalam penentuan
tingkat kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai bobot sebesar
50% sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian dengan
bobot (skor x 50).
e. Data Spasial Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng merupakan perbandingan antara perbedaan tinggi


atau jarak vertikal suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Data spasial
kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data kontur dalam
format digital. Data kontur terlebih dahulu diolah untuk menghasilkan model
elevasi digital (Digital Elevation Modem/ DEM). Pengolahan data kontur
untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan dengan
menggunakan extension demat yang terdapat pada extension ArcView.
f. Data Spasial Tingkat Erosi
Data spasial tingkat erosi adalah salah satu kriteria atau parameter
yang digunakan untuk menilai kekritisan lahan. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu satuan
lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut.
Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata
tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus
Universal Soil Loss Equation (USLE). Perhitungan tingkat erosi dengan
rumus USLE terdiri dari beberapa parameter yang besarannya dapat dilihat
pada data-data yang telah diperoleh dan berdasarkan survei lapangan.
g. Kriteria Manajemen/ Produktivitas dan Batuan
Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk
menilai kekritisan lahan di kawasan lindung, yang dinilai berdasarkan
kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan
hutan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya
penyuluhan. Sesuai dengan karakternya seperti halnya dengan kriteria
produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi
informasi mengenai aspek manajemen.
h. Produktivitas
Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang digunakan
untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian. Data ini
diperoleh dari hasil survei sosial ekonomi, data dari instansi Dinas pertanian,
Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya. Data produktivitas dinilai
berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada
pengelolaan tradisional. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan
data atribut.
i. Geologi (Batuan)

Batuan merupakan salah satu parameter penentu lahan kritis pada


kawasan budidaya pertanian dengan bobot 5%. Hal ini dapat dilihat dari
kriteria sedikit banyaknya batuan yang terdapat pada kawasan budidaya
pertanian.
j. Analisis Spasial
Analisis spasial dengan menggunakan SIG. Kelima data spasial
dilakukan dengan cara overlay (tumpang susun) dengan bantuan software
ArcView. Proses overlay ini dilakukan dengan secara bertahap dengan urutan
mulai dari overlay theme dengan kelas kemiringan lereng kemudian hasil
overlay tersebut di overlay-kan lagi dengan theme erosi. Proses ini dilakukan
untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama. Setelah itu dapat
dibuat kriteria dan prosedur Penetapan lahan kritis pada kawasan lindung, di
luar kawasan hutan dan pada kawasan budidaya pertanian
3. Uraian peluang masing-masing contoh bila diterapkan di salah satu sistem
pertanian di Indonesia menuju penerapan pertanian berlanjut
A. Peluang aplikasi pemantauan produksi dibidang pertanian
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir teknologi hyperspectral remote
sensing telah berkembang pesat di negara-negara maju dan juga negara yang
mempunyai iklim monsoon seperti Jepang, Korea, maupun Cina. Bagi Indonesia,
teknologi ini masih relatif baru dan penerapannya masih sangat sedikit. Sebagai
negeri yang berbasis pertanian atau masih bersandar pada sektor pertanian,
teknologi ini sangat menjanjikan untuk membantu krisis informasi seputar pangan
atau bisa juga dikatakan krusial untuk mendukung program ketahanan pangan
nasional.
BPPT, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan
pengkajian dan penerapan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional
telah memilih teknologi hiperspektral sebagai salah satu teknologi lanjutan
(frontier) untuk diuji-kaji, dikembangkan, dan selanjutnya diaplikasikan di
Indonesia. BPPT telah melakukan kerja sama dengan beberapa institusi riset di
luar negeri dalam bidang teknologi hiperspektral. Pada tahun 2005-2006, BPPT
telah bekerja sama dengan institusi di Belgia dalam melakukan uji-kaji dan
aplikasi teknologi hiperspektral untuk pemantauan kondisi terumbu karang di
Pulau Fordate, Nusa Tenggara Barat. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini

memperlihatkan bahwa teknologi hiperspektral dapat memantau kondisi terumbu


karang secara lebih akurat, dibandingkan dengan menggunakan sistem
multispektral.
Pada Desember 2007 BPPT juga telah melakukan penandatanganan MoU
dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC) Jepang dalam
kegiatan kerja sama Research Project of Hyperspectral Technology for
Agricultural Application in Indonesia (HyperSRI Project). Kerja sama ini
disepakati selama 3 tahun. Tujuan utama dari kerjasama ini adalah mengkaji,
mengembangkan metode/algoritma untuk memantau pertumbuhan tanaman padi,
serta membangun model prediksi produksi padi. Untuk pelaksanaan kegiatan
HyperSRI ini, BPPT juga bekerja sama dengan institusi di dalam negeri, seperti
LAPAN, Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian, Masyarakat Pengindraan Jauh Indonesia (MAPIN),
serta Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Subang yang dipilih sebagai lokasi
kegiatan.
Hasil kegiatan HyperSRI ini sangat strategis karena akan digunakan
sebagai salah satu rekomendasi kepada Pemerintah Jepang (dalam hal ini
Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri) mengenai kelayakan rencana
peluncuran satelit baru Jepang dengan sensor hiperspektral pada tahun 2011.
Keuntungan untuk Indonesia jika Jepang meluncurkan satelit baru tersebut adalah
fase operasional dari model prediksi produktivitas padi nasional yang dibangun
pada kegiatan HyperSRI ini dapat menggunakan data satelit tersebut dalam
kerangka kerja sama dan harganya relatif murah dibandingkan dengan satelit lain.
Oleh karena itu, sistem pemantauan pertumbuhan padi beserta estimasi
produksinya dapat dilakukan secara cepat dan near real time.
B. Peluang aplikasi penilaian resiko usaha pertanian
Aplikasi GIS ini baik bila diterapkan pada sistem pertanian di Indonesia
karena dapat mencegah atau menanggulangi bila terdapat resiko bencana yang
ada. Karena pemberian dukungan terhadap anggaran semakin dikaitkan secara
langsung dengan pembangunan nasional dan sektoral serta strategi-strategi
penanggulangan

kemiskinan,

pemerintah

memprioritaskan

pengurangan

risiko

dan

bencana

masyarakat
sebagai

sipil

suatu

harus

tantangan

pembangunan yang penting di negara-negara yang rawan bencana dan


mengembangkan kebijakan-kebijakan, kemampuan, pengaturan tata hukum dan

kelembagaan. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan perlu


menjajaki insentif-insentif untuk mendorong pemerintah dalam proses ini,
mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan
isu-isu kebencanaan dan melakukan kerja advokasi untuk mengkampanyekan
manfaat pengurangan risiko bencana, termasuk dengan memfasilitasi dan bekerja
dengan jaringan para tokoh di masyarakat sipil yang berkomitmen
C. Peluang aplikasi pengendalian hama dan penyakit
Sistem informasi geografis dapat digunakan untuk membuat pemodelan
dan analisis sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dan
akurat, dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan perkebunan kelapa sawit
di PT Astra Agro Lestari Tbk. Sistem informasi geografis pengelolaan perkebunan
kelapa sawit dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap efisiensi biaya
secara signifikan dibandingkan dengan sistem informasi yang ada sekarang.
Supaya sistem informasi geografis (SIG) dapat berjalan dengan baik dan
bermanfaat, maka disarankan kegiatan editing dan updating data harus dilakukan
secara rutin, sistematis, dan terkoordinasi. Diperlukan pengembangan SIG yang
berbasiskan internet untuk mempercepat distribusi informasi. Perlu dilakukan
analisis dan pengembangan pemodelan lanjutan, sehingga SIG dapat menjadi
decission support system yang multigunan dan handal. Dan diperlukan
peningkatan SDM, sehingga PT Astra Agro Lestari dapat mengoprasikan SIG
secara mandiri.
D. Peluang aplikasi pemantuan budidaya pertanian
Teknologi Remote Sensing dan GIS memungkinkan perancangan spasial
statistik untuk estimasi dan peramalan produksi padi dalam pemantauan budidaya
pertanian baik bila digunakan pada sistem pertanian di Indonesia. agar dapat
memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat, maka diperlukan pengelolaan
secara komprehensif yang melibatkan kegiatan on-farm, maupun kegiatan offfarm. Dengan teknologi ini, dapat memantau perkembangan luasan fase tumbuh
budidaya pertanian dan dapat mengetahui persawahan tersebut bisa ditanami
tanaman lain dilain waktu.
E. Peluang aplikasi presisi pertanian
Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam pertanian presisi pada kegiatan
pemupukan di perkebunan tebu dapat mempermudah dan mempercepat
pengolahan dan penampilan data sebagai bagian dari sistem pendukung keputusan
untuk strategi pemupukan pada budidaya tebu dengan pendekatan pertanian
presisi.

F. Peluang aplikasi pengelolaan sumberdaya air


Aplikasi SIG untuk pengelolaan sumberdaya air di Indonesia masih
belum banyak digunakan, oleh karena itu masih sangat luas kesempatan untuk
mengembangkan aplikasi SIG untuk bidang pengelolaan sumberdaya air dengan
menghasilkan informasi-informasi secara spasial yang dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan oleh instansi yang berkepentingan.
G. Peluang aplikasi biodiversitas bentang lahan untuk kegiatan pertanian berlanjut
Peluang bila diterapkan di sistem pertanian baik karena pengelolaan
lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi
optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan lahan
yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan
alamiahnya (Wirosoedarmo dkk, 2007). Dengan diterapkannya bisa untuk
mengetahui sebaran lokasi dan luas lahan kritis, tingkat kekritisan lahan serta
mengetahui prioritas lokasi rehabilitasi lahan.
Perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi Kawasan Koridor Satwa Liar
dengan penanaman jenis-jenis pohon yang dapat mendukung pergerakan
(lokomosi) orangutan liar, seperti jenis-jenis pohon pakan dan pohon sarang dan
juga keterhubungan ekologis antar habitat alamiah bagi orangutan Sumatera
ataupun harimau Sumatera. Lokasi kegiatan direhabilitasi ditekankan pada daerahdaerah potensial pelintasan satwa liar, seperti sempadan sungai dan anak sungai,
kawasan penyempitan sungai dan kawasan yang mempunyai kelas Lahan Agak
Kritis.
4. Pembahasan Umum dan Kesimpulan
Sebagai daerah agraris maka mata pencaharian utama penduduknya adalah
sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian terutama diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, karena keanekaragaman sumber pangan yang ada juga dapat
memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Analisa potensi lahan
pertanian sangat diperlukan, karena dengan diketahuinya lahan pertanian dapat
diprediksi hasil panen dan rekomendasi pemanfaatan lahan yang sesuai, sehingga
pada akhirnya mendapatkan hasil panen yang maksimal.
Dalam dunia yang serba digital sekarang ini, ditambah lagi teknologi yang
terus berkembang, penerapan aplikasi teknologi dalam berbagai bidang pun terus
dilakukan, tidak terkecuali dalam sektor pertanian, sektor perekonomian utama di
Indonesia mengingat sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dalam
dunia pertanian. Salah satu contohnya adalah aplikasi GIS atau Geographical

Information System, dan jika diterjemahkan secara bebas ke bahasa Indonesia, kita
bisa menyebutnya SIG atau Sistem Informasi Geografi.
Walaupun saat ini penggunaan GIS dalam bidang pertanian belum umum
dipakai, karena seringnya GIS diapakai untuk melihat kerusakan lahan akibat bencana
alam, tapi bukanya tidak mungkin penerapan GIS dalam dunia pertanian akan makin
sering dipakai. Sistem GIS ini bukan semata-mata software atau aplikasi komputer,
namun merupakan keseluruhan dari pekerjaan managemen pengelolaan lahan
pertanian, pemetaan lahan, pencatatan kegiatan harian di kebun menjadi database,
perencanaan system dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan merupakan perencanaan
ulang pengelolaan pertanian menjadi sistem yang terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anjar S, STP., 2002, Pemanfaatan GIS Untuk Penyusunan Sistem Informasi Irigasi.
Diterbitkan Dalam Prosiding Seminar Tahunan Jurusan Teknik Pertanian 2003.
ISBN : 979-95896-5-7, Yogyakarta
Arif Imam Suroso., Kudang B. Seminar., Pramadia Satriawan. 2004. Pengembangan Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal
Manajemen & Agribisnis Vol. 1. Hal 33-41
Atie Puntodewo, Sonya Dewi dan Jusupta Tarigan, 2003, Sistem Informasi Geografis Untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam, CIFOR, Jakarta.
Eddy Prahasta, Ir, MT, 2004, Sistem Informasi Geografis Tools dan Plug-Ins, Penerbit
Informatika, Bandung

Mubekti. 2008. Spasial Statistik Untuk Estimasi dan Peramalan Produksi Pertanian. J. Tek.
Ling Vol. 9 . Hal 242-254
Niccolas Chrisman, 2002, Exploring Geographic Information Systems : Second Edition, John
Wiley & Sons, New York
Sukirno, Ir. MS, 1999, Handout Ilmu Ukur Wilayah, Fakultas Teknologi Pertanian UGM,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai