Anda di halaman 1dari 5

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Langgan: Poskan Komentar (Atom)


JUMAT, 20 MEI 2011
Label: Hukum
Diposkan oleh Maulana Abdul Hamid, MA di
22:21
ALKOHOL DALAM KAJIAN FIQH
Oleh : Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA
PENDAHULUAN
Dalam Islam, akal merupakan salah satu adDaruriyyat al-Khams (lima pilar pokok yang menjadi
sendi tegaknya hidup dan kehidupan manusia) yang
wajib dipelihara agar tetap berfungsi dengan baik.
Dengan akal yang sehat manusia bukan saja dapat
memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan
hidupnya serta dibedakan dari jenis hewan yang
lain, akan tetapi berdasarkan akal itu pula manusia
menerima pen-taklif-an (pembebanan hukum) atau
dipandang mukallaf (layak menerima pembebanan
hukum). Akal inilah yang meletakkan manusia pada
posisi yang paling terhormat di tengah-tengah
sekian makhluq Allah yang lain.
Dalam upaya memelihara akal, Islam antara lain
mempersilahkan manusia mempergunakan dan
mengonsumsi hal-hal yang halal dan baik (Halalan
Thayyiba), tidak boleh berlebih-lebihan, dan secara
bersamaan melarang hal-hal yang dapat
membahayakan dan merusak akal. Inilah antara lain
filosofisnya kenapa Islam melarang manusia
mengonsumsi minuman keras dan semua hal yang
dapat merusak jaringan dan saraf otak. Sebab, bila
akal manusia telah rusak maka dampak negatifnya
(malapetakanya) bukan saja bersifat individual atau
lokal, tetapi akan menembus seluruh sendi-sendi
kehidupan umat manusia secara total dan
menggelobal.
Memang, dalam kajian filfasat hukum Islam
ditegaskan bahwa tujuan pokok pensyari'atan/
penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan bagi
hidup dan kehidupan umat manusia (Jalb alMashalih wa-Daf' al-Madhar/al-Mafasid). Imam AsySyatibi menyatakan bahwa prinsip ini telah menjadi
konsensus para pakar hukum Islam berdasarkan
Istiqra'. Atas dasar ini maka muncullah prinsip:

"Dimana ada maslahat, di sanalah hukum
Allah"
Dari sini pula kita paham betul bahwa semua
yang diwajibkan dan dihalalkan oleh Islam pasti
akan mendatangkan manfaat dan kemaslahatan

apabila dipatuhinya. Dan kebalikannya semua yang


diharamkan pasti akan membawa mudlarat dan
menimbulkan mafsadat/bencana apabila dilanggar.
Dari sinilah nampak bentul kasih sayang Allah SWT
terhadap hamba-Nya. Hamba-Nya benar-benar
diarahakan untuk menuju jalan yang dapat
mengantarkannya meraih hasanah/kebaikan di dunia
dan akhirat...
MINUMAN YANG MEMABUKKAN
Dalam buku-buku Fiqh klasik tidak
ditemukan secara harfiah kata alkohol. Oleh karena
alkohol merupakan senyawa atau zat cair yang
memabukkan maka kajian tentang masalah ini akan
mengacu kepada masalah minuman yang
memabukan. Berdasarkan penelitian para Fuqaha',
minuman yang memabukkan dapat diklasikasikan
menjadi dua macam. Petama, khamr dan kedua,
muskir/nabiz. Khamr adalah minuman memabukkan
yang dibuat dari perasan anggur. Sedangkan
muskir/nabiz adalah minuman memabukkan yang
dibuat dari bahan-bahan selain anggur.
Tentang khamr, Fuqaha' telah konsensus bahwa
hukumnya haram bedasrkan Al-Qur'an, Sunnah/
Hadis, dan Ijma'. Zatnya dihukumi najis,
peminumnya - walaupun tidak sampai kadar
memabukkan - dikenakan sanksi had asy-Syurb
(hukuman karena meminum minuman keras). Ia
didera empat puluh kali menurut mazhab Syafi'i dan
delapan puluh kali menurut Jumhur (mayoritas
Fuqaha'). Ulama juga telah konsensus bahwa orang
yang menghalalkan khamr dipandang kafir/murtad
(keluar dari Islam).
Mengenai muskir/nabiz pada batas
memabukkan, ulama juga telah konsensus bahwa
hukum meminumnya haram. Hanya saja mereka
berbeda pendapat apakah hukum haram muskir/
nabiz tersebut berdasrkan nash ataukah ijtihad
(Manshush ataukah Gahiru Manshush)? Fuqaha'
Hijaz memandang bahwa hukum haramnya muskir/
nabiz adalah berdasarkan nash, yang oleh karenanya
hukum haramnya adalah qath'iy, atas dasar
pandangan bahwa tiap-tiap minuman yang
memabukan adalah khamr. Bedasrkan alur
pemikiran ini maka muskir/nabiz hukumnya persis
sama dengan khamr baik menghenai najsinya,
haramnya meminum, maupun sanksi hukumnya/
hadnya.
Berbeda dengan Fuqaha Hijaz, Fuqaha'
Kufah berpendapat bahwa hukum haram muskir/
nabiz tersebut adalah ijtihadi/berdasarkan ijtihad.
Dengan demikian maka status hukum haramnya
adalah Dhanni. Atas dasar pemikiran ini maka di

antara mereka ada yang berpendapat bahwa muskir/


nabiz itu tidak najis dan bagi peminumnya tidak
dapat dikenakan hukuman had. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa zatnya tidak najis, tetapi
peminumnya tetap dikenakan had.
KADAR YANG TIDAK MEMABUKKAN
Nah, sekarang bagaimanakah hukum
meminum muskir/nabiz dalam batas tidak
memabukkan? Apakah hukumnya sama dengan
meminum muskir/nabiz dalam batas memabukkan?
Dalam menanggapi masalah ini, Fuqaha' berbeda
pendapat atas dua golongan. Fuqaha' Hijaz
berpendapat bahwa meminum muskir/nabiz dalam
batas tidak memabukkan hukumnya sama dengan
meminum muskir/nabiz dalam batas memabukkan,
yakni haram. Sebab, bagaimanapun ia tetap
termasuk kategori khamr yang diharamkan itu.
Sementara itu Fuqaha' Kufah berpendirian
bahwa meminum muskir/nabiz dalam batas tidak
memabukkan hukumnya halal/mubah, karena
padanya tidak terdapat 'illat haram, yaitu
memabukkan/iskar sejalan dengan kaidah hukum
yang menyatakan:

"Hukum itu beredar sesuai dengan 'illatnya
mengenai ada atau tidak adanya (Ada 'illat ada
hukum, dan bila 'illat tidak ada maka hukum pun
tidak ada pula".
ARGUMENTASI MASING-MASING
Fuqaha' Hijaz yang berpendirian bahwa muskir/
nabiz dalam kadar tidak memabukkan hukumnya
haram mengajukan argumentasi sbb:
1. Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 67:

"Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
sakar dan rizki yang baik."
Kata sakar dalam ayat ini diartikan khamr, di
mana ayat ini diturunkan di Makkah pada saat
khamr belum diharamkan. Ayat ini kemudian
dinasakh/diralat oleh ayat 90 al-Maidah yang
mengharamkan khamr.
2. Hadis Nabi riwayat Turmuzi, Abu Daud dan
Nasai:

"Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikit dari nya juga haram"
3. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Ibn Umar:

"Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamr,
dan tiap-tiap
khamr adalah haram".
Sementara itu argumentasi Fuqaha' Kufah yang

berpendapat bahwa muskir/nabiz pada kadar tidak


memabukkan hukumnya mubah/halal adalah sbb:
1. Al-Qur'an Surat an-Nahl ayat 67:

"Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
sakar dan rizki yang baik."
Menurut mereka, sakar dalam ayat ini artinya
muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan. Sebab
dalam ayat itu disebutkan sebagai nikmat dari buahbuahan yang Allah tumbuhkan untuk umat manusia.
Golongan ini tidak dapat menerima kata sakar
pada ayat 67 an-Nahl tersebut diartikan khamr,
karena hal itu akan bertentangan dengan ayat 90 alMaidah yang mengharamkan khamar. Ayat 67 anNahl adalah Khabariyah/informatif. Berdasarkan
kaidah yang disepakati ayat semacam itu tidak
menerima nasakh (muhkam). Sedangkan ayat 90 alMaidah adalah ayat hukum yang berfungsi insyaiyah
(larangan).
2. Hadis Nabi riwayat Abu 'Aun ats-Tsaqafi:

"Khamr itu diharamkan karena zatnya, dan
muskir/nabiz itu diharamkan bukan karena zatnya."
Mengenai Hadis Turmuzi, Abu Daud dan
Nasai yang artinya "Sesuatu yang banyaknya
memabukkan maka sedikit darinya juga haram"
yang dijadikan alasan Fuqaha' Hijaz dipandang
lemah oleh Fuqaha' Kufah yang karenanya tidak
dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan Hadis Muslim yang artinya "Tiaptiap yang memabukkan adalah khamr dan tiap-tiap
khamr adalah haram" yang dijadikan alasan oleh
Fuqaha' Hijaz, menurut Fuqaha' Kufah, muskir di
sini diartikan "pada kadar yang memabukan" bukan
"kadar yang tidak memabukkan". Oleh karenanya
yang tidak memabukkan namanya bukanlah khamr.
Dengan demikian tentang hukum minuman
yang dibuat dari selain anggur (muskir/nabiz) dalam
batas/kadar tidak memabukkan terjadi perbedaan
pendapat di kalangan Fuqaha'. Fuqaha' Hijaz
memandang haram, sedangkan Fuqaha' Kufah
memandang halal/mubah. Kemudian perlu juga
ditegaskan di sini bahwa Fuqaha' Kufah yang
menyatakan bahwa haramnya muskir/nabiz dalam
kadar memabukkan itu Ijtihadi, ada yang
berpendapat bahwa zatnya hukumnya najis dan ada
pula yang berpendapat bahwa hal itu suci. Adanya
khilaf ini harus diakui sejalan dengan kaidah AlIjtihad La Yunqadlu bil-Ijtihad (Ijtihad tidak dapat
digugurkan oleh Ijtihad).
ALKOHOL DALAM ANALISIS
Dalam buku-buku Ensiklopedi disebutkan

bahwa alkhol adalah senyawa atau zat cair yang


memabukkan. Kegunaan alkohol disamping untuk
campuran minuman beralkohol, digunakan pula
untuk bahan baku senyawa kimia yang lain, pelarut
zat pewarna, bahan bakar, hal-hal yang berkaitan
dengan medis, pengobatan, dll.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis untuk
menentukan status hukumnya perlu dilihat kadar
dan keperluan penggunaannya dengan melakukan
metode TAKHRIJ terhadap status hukum muskir/
nabiz sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal
ini kita dapat mengikuti pandangan sebagian
Fuqaha' Kufah yang menyatakan bahwa muskir/
nabiz tidak najis. Kita juga dapat mengikuti
pendapat Fuqaha' Kufah yang menyatakan bahwa
muskir/nabiz dalam batas tidak memabukkan adalah
halal/mubah.
Atas dasar ini semua kita dapat mengkonsumsi
minuman beralkohol dalam batas tidak
memabukkan, seperti Green Sands misalnya (Konon
campran alkoholnya cuma satu persen). Demikian
juga kita dapat membenarkan penggunaan alkohol
untuk alat-alat kosmetika, zat pengawet, obatobatan, dll.
Sebaliknya, secara tegas kita tidak dapat
membenarkan penggunaan alkohol untuk minuman
keras dan hal-hal lain yang membahayakan atau
merusak fisik atau mental umat manusia.
Penggunaan alkohol semacam itu jelas haram dan
musti dihindarkan.
PENUTUP
Imam Abd al-Wahhab asy-Sya'rani dalam alMizan al-Kubra menyatakan bahwa adanya
perbedaan pandangan di kalangan Fuqaha' itu
berkisar antara dua prinsip, yaitu musyaddad/berat
dan mukhaffaf/ringan. Pendapat yang berat untuk
konsumsi khawas dan pendapat yang ringan untuk
konsumsi awam. Hal ini nampaknya amat dihayati
oleh tokoh reformasi Fiqh Imam Agung Abu Hanifah
ra. Beliau mengatakan:


"Seandainya aku diberi dunia dengan segala
isinya aku tidak akan menfatwakan haramnya nabiz,
karena hal itu akan membawa dampak terhadap
penilaian fasik bagi sebagian sahabat. Dan
seandainya aku diberi dunia dengan segala isinya
agar aku meminumnya, niscaya aku tidak akan
meminumnya, sebab aku tidak
membutuhkannya." (Radd al-Mukhtar, VI:453).
Wallahu A'lam..

Anda mungkin juga menyukai