Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.
Tidur terdiri dari dua tipe yaitu tidur gelombang-lambat (tidur NREM yang terdiri
dari 4 stage) dan tidur dengan pergerakan mata yang cepat (tidur REM). Gangguan
tidur ataupun kesulitan dalam tidur dewasa ini cukup banyak diderita oleh banyak
orang. Gangguan ini paling tidak pernah diderita oleh seseorang paling tidak sekali
dalam hidupnya ataupun ada yang menderita hampir sepanjang hidupnya dan hal
yang inilah yang dapat mempengaruhi kwalitas hidup seseorang. Seseorang yang
terganggu dalam tidurnya akan dapat terjadi bermacam-macam gangguan seperti
hilang semangat, kesulitan dalam berkonsentrasi, selalu merasa mengantuk dan
gelisah, mudah marah atau temperamental menjadi tinggi, tekanan darah menjadi
tinggi dari biasanya/normal sampai berujung pada terjadinya penyakit-penyakit
tertentu yang bersifat kronis.
Insomnia atau kesulitan tidur atau gangguan dalam tidur sebenarnya bukan
suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab,
seperti kelainan emosional,kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Sulit tidur
sering terjadi, baik pada usia muda maupun usia lanjut; dan seringkali timbul
bersamaan dengan gangguan emosional, seperti kecemasan, kegelisahan, depresi atau
ketakutan. Kadang seseorang sulit tidur hanya karena badan dan otaknya tidak lelah.
Dengan bertambahnya usia, waktu tidur cenderung berkurang. Stadium tidur juga
berubah, dimana stadium 4 menjadi lebih pendek dan pada akhirnya menghilang, dan
pada semua stadium lebih banyak terjaga. Perubahan ini, walaupun normal, sering
membuat orang tua berfikir bahwa mereka tidak cukup tidur.1

Insomnia atau gangguan tidur terjadi pada hampir 30-50% dari seluruh
populasi didunia. Dari kesemuanya itu sekitar 10% mengalami insomnia kronis, yaitu
gangguan tidur yang terjadi sudah lama pada seseorang selama kurang lebih 3
minggu lebih

namun tidak terlalu mempengaruhi keadaan seseorang tersebut.

Insomnia kebanyakkan terjadi pada usia dewasa dan semakin meningkat frekuensinya
seiring bertambahnya usia dan terjadi kebanyakkan pada wanita dibanding pria.
Anak-anakpun dapat terjadi insomnia namun kebanyakkan insomnia yang terjadi
pada anak-anak banyak disebabkan oleh factor organic ketimbang orang dewasa yang
lebih banyak disebabkan oleh factor anorganik.1, 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang
lainnya. Terdapat berbagai tahap dalam tidur, dari tidur yang sangat ringan sampai
tidur yang snagat dalam. Para peneliti membagi tidur menjadi dua tipe yaitu tidur
gelombang-lambat (tidur NREM) dan tidur dengan pergerakan mata yang cepat (tidur
REM).
a. Tidur Gelombang Lambat (tidur NREM)
Pada tahap ini gelombang otak sangat kuat dan frekuensi nya sangat rendah.
Selain itu terjadi penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi
vegetative tubuh lainnya. Contoh, tekanan darah, frekuensi pernapasandan kecepatan
metabolisme basal akan berkurang 10-30%.
Tidur gelomang lambat sering disebut dengan tidur tanpa mimpi, namun
sebenarnya tidur pada tahap ini sering timbul mimpi dan bahkan mimpi buruk.
Namun mimpi pada tahap ini sulit untuk diingat karena tidak terjadi konsolidasi
mimpi dalam ingatan.
Tidur fase ini dibagi menjadi 4 stage, yaitu

Stage 1
Stage ini merupakan transisi dari keadaan siaga menjadi tidur yang terjadi
selama 5-10 menin. Stage ini ditandai dengan mata mulai tertutup, gelombang
otak menjadi lemah (amplitude gelombang alfa dan beta 8-12 Hz, gelombang

tetha 3-7 Hz), bersamaan dengan gerakan mata yang lambat dan dapat terjadi

klonus otot.
Stage 2
Karakteristik stage ini adalah retakan pendek dari gelombang otak yang
berfrakuensi cepat (12-15 Hz sleep spindles) dan K-complexes (gelombang
bifasik dengan amplitudo yang besar). Pada stage ini gelombang otak makin
lemah, gerakan bola mata berhenti, relaksasi otot-otot, denyut jantung

menurun dan suhu tubuh menurun.


Stage 3 dan 4
Kedua stage ini disebut juga tidur gelombang lambat dengan ciri-ciri adanya
gelombang otak yang lemah (gelombang delta yang berselang-seling dengan
gelombang kecil dan cepat). Tekanan darah menjadi turun, frekuensi napas
menurun, suhu tubuh makin menurun dan tubuh menjadi diam. Jika seseorang
terbangun saat stage ini, maka akan terjadi disorientasi dan lemah saat
memberi reaksi, serta sangat mudah untuk kembali tidur dan umumnya tak
diingat.

a. Tidur REM (Tidur Paradoksikal, Tidur Desinkronisasi)


Sepanjang tidur malam yang normal, tidur REM yang berlangsung 5-30 menit
biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit. Bila orang sangat mengantuk, tidur REM
hanya berlangsung singkat dan bahkan tidak ada.
Sampai saat ini belum diketahui mengapa tidur dalam diselingi dengan tidur
REM. Obat yang kerjanya menyerupai asetilkolin akan meningkatkan timbulnya tidur
REM. Oleh karena itu muncul postulat bahwa neuron-neuron besar pada formasio
reticular batang otak bagian atas yang menyekresi asetilkolin, melalui serabut
eferennya mengaktifkan sebagian besar batang otak. Keadaan ini secara teoritis dapat
menimbulkan aktifitas yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu di otak selama
berlangsungnya tidur REM.
Terdapat beberapa hal yang sangat penting dalam tidur REM antara lain

Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan tubuh yang

aktif.
Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur
gelombang lambat, namun dapat terbangun secara spontan di pagi hari saat

tidur REM
Tonus otot di seluruh tubuh berkurang, dan ini menunjukkan hambatan yang

kuat pada area pengaturan otot di spinal.


Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi ireguler, dan ini

menunjukkan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi


Walaupiun ada hambatan yang sangat kuat pada otot-otot perifer masih timbul
pegerakan otot yang tidak teratur. Keadaan ini mencangkup gerakan mata

yang cepat.
Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di seluruh otak
meningkat sebanyak 20%. Pada EEG terlihat gelombang otak yang serupa
dengan gelombang otak saat siaga. Tidur tioe ini disebut juga tidur
paradoksikal karena hal ini bersifat paradox, yaitu seseorang dapat tetap
tertidur walaupun aktifitas otaknya meningkat.

Gambar 1. Gelombang otak saat tidur.

Tabel 1. Perbedaan dari keadaan siaga, tidur NREM dan tidur REM.
Awake

NREM Sleep
Stage 1

REM sleep
Stage 2

Mixed
frequency
with
theta
waves 312
Hz

Sleep spindles
1214 Hz and
high
amplitude Kcomplexes

Stage
4
Delta
waves
> 50%

EMG High/moderate Moderate/low Low/moderate

Stage
3
Delta
waves
0.52
Hz
(20
50%)
low

EOG

Rare

Rare

EEG

Beta rhythm
16-25 Hz

Move
gaze

with Slow rolling

Rare

low

Desynchronized
low amplitude
mixed
frequency

Absent except
small
muscle
twitches
in
phasic
REM sleep
Bursts of REM
in phasic
REM sleep

2.1.1 Teori Dasar Tidur


Terdapat teori lama yang menyatakan bahwa area eksitatori pada batang otak
bagian atas yang disebut sistem aktivasi retikulas mengalami kelelahan setelah
seharian terjaga sehingga menjadi inaktif. Keadaan ini disebut teori aktif dalam tidur.
Teori baru menyatakan bahwa tidur disebabkan oleh proses penghambatan aktif, hal
ini terbukti bahwa pemotongan batang otak setinggi region mid pontil menghasilkan
otak dengan korteks yang tak pernah tidur. Dengan kata lain, ada beberapa pusat yang
terletakdibawah ketinggian mid pontil pada batang otak yang diperlukan untuk
menyebabkan tidur dengan cara menghambat bagian-bagian otak lain.
Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat menimbulkan
keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di separuh bagian bawah pons

dan di medulla oblongata. Ujung serabut nuklei rafe menyekresi serotonin yang
berfungsi sebagai neurotransmitter yang dihubungkan dengan timbulnya tidur.
Perangsanga beberapa area di nucleus traktus solitaries juga dapat
menimbulkan tidur. Nukleus ini merupakan daerah terminal di medulla dan pons yang
dilewati oleh sinyal sensorik visceral yang masuk melalui nervus vagus dan nervus
glossofaringeus.
Perangsangan beberapa region pada diensefalik juga dapat menyebabkan
tidur. Daerah itu meliputi bagian rostral hipotalamus, terutama area suprakiasma dan
suatu area yang terkadang dijumpai di nukleus difus thalamus.

2.1.2

Efek Fisiologis Tidur


Keadaan tidur menyebabkan timbulnya 2 macam efek fisiologis utama, yaitu

efek pada sistem saraf dan efek pada sistem fungsional tubuh. Keadaan siaga yang
berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir (kelambanan
dalam berpikir) dan gangguan perilaku (mudah tersinggung bahkan psikotik).
Sehingga tidur dianggap sebagai pemulihan tingkat aktifitas normal dan
keseimbangan normal diantara berbagai sistem saraf pusat. Fungsi fisiologis yang
spesifik dari tidur masih manjadi misteri
2.2 Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan
atau gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of
Diseases

mendefinisikan

Insomnia

sebagai

kesulitan

memulai

atau

mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal


satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders,

insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa
tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan
dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit,
tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan
emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat
mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan,
kinerja dan kualitas hidup.
2.2.1 Epidemiologi
Jajak Pendapat Tidur di Amerika yang dilakukan oleh National Sleep
Foundations pada tahun 2002, menunjukkan 58% dari orang dewasa di AS
mengalami gejala insomnia pada beberapa malam dalam seminggu atau lebih.
Meskipun insomnia merupakan masalah tidur yang paling umum di antara
sekitar setengah orang dewasa yang lebih tua (48%), mereka cenderung sering
mengalami gejala insomnia dari pada rekan-rekan muda mereka (45% vs 62%) dan
gejalanya lebih cenderung berhubungan dengan kondisi medis.3
Antara wanita dan pria ternyata insomnia banyak terjadi pada wanita daripada
pria. Satu alasan yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan hormone pada
siklus haid yang mempengaruhi siklus tidur. Selama perimenopause seorang wanita
dapat mengalami gangguan dalam tidur dan kesulitan dalam tidur. Seorang wanita
tersebut dapat mengalami rasa panas pada wajah dan dapat mengalami keringat
malam yang dapat mengganggu tidur seorang wanita. Selama kehamilan seorang
wanita dapat mengalami perubahan hormone, fisik dan emosional yang dapat
mengganggu tidur seorang wanita. Wanita hamil terutama pada trimester ketiga dapat
menyebabkan rasa tidak enak, keram pada kaki dan sering pergi ke kamar mandi
yang semuanya itu dapat menyebabkan gangguan tidur..

3.2.2

Patofisiologi Insomnia
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi

insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal dikaitkan


dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS ( ascending reticular activating
system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu
tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus. Hyperarousal merupakan
keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan yang merupakan respon
terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur. Data psikofisiologi dan metabolic
dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi

peningkatan suhu tubuh,

peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode

jantung selama tidur.

Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan

O2 persatuan

waktu ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal.
Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang
beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan
aktivitas gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia

dikaitkan

dengan

penurunan

aktivitas

gelombang

delta.

Data

neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol dan


adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah bagian
pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak konsisten
ditemukan. Data menurut

functional neuroanatomi studies of arousal

tentang

hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak selama tidur


NREM melalui SPECT (single-photon emission computer tomography) dan PET
( positron emission tomography). Pada penelitian PET yang pertama pada insomnia
primer terjadi peningkatan kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur
maupun terjaga. Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan
aktivitas

dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut

menunjukkan

hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama

terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien
baik pada saat terjaga maupun tidur.
10

Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi
peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik
di kortek orbita frontal dan mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga
mendukung hipotesis

mengenai

hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada

pasien insomnia primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat
yang paling jelas pada basal

ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai

menunjukkan perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan


dengan insomnia primer maupun sekunder.
2.2.3

Klasifikasi Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau

susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10
orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat
disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit
tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol.
Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

11

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu


International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik
Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti
mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1.
2.
3.
4.

Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain


Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia


diklasifikasikan menjadi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Acute insomnia
Psychophysiologic insomnia
Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
Idiopathic insomnia
Insomnia due to mental disorder
Inadequate sleep hygiene
Behavioral insomnia of childhood
Insomnia due to drug or substance

12

i. Insomnia due to medical condition


j. Physiologic insomnia, unspecified (organic)
Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Transient insomnia : insomnia yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan
biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung
sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah
oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat secara
retrospektif setelah keluhan pasien sudah hilang. Keluhan ini kurang lebih
ditemukan sama pada pria dan wanita dan episode berulang juga cukup sering
ditemukan, faktor yang memicu antara lain akibat lingkungan tidur yang
berbeda, gangguan irama sirkadian sementara akibat jet lag atau rotasi waktu
kerja,

stress

situasional

akibat

lingkungan

kerja

baru,

dan

lain-

lainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan terapi khusus dan


jarang membawa pasien ke dokter.
2. Short-term insomnia: Berlangsung 1-6 bulan dan biasanya disebabkan
oleh kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian salah satu
anggota keluarga.
3. Cyclical insomnia ( recurrent insomnia ): Kondisi ini lebih jarang daripada
transient insomnia. Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara tidur
dan bangun. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur
hidup. Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan fisiologis seperti
siklus premenstrual ataupun perubahan psikologik seperti manik depresif,
anorexia nervosa, atau kambuhnya perubahan perilaku tertentu seperti
kecanduan obat, dan lain sebagainya.
2.2.4 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 1

Pola tidur penderita.


Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
Tingkatan stres psikis.
13

Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan

pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian
kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda
selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu
permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa
menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan
dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh.
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan

pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan

diagnosis insomnia diabaikan.


Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis
14

di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan
penyesuaian (F43.2)
3.2.5 Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
-

Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan
latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat
tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi,
tonus otot, dan mood.

Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran
yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka

atau dalam grup.


Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat

tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.


Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:

15

1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20
menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat
tidur dan pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat
santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali
ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga dapat
tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang
dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa
lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal
tidur-bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan


pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur


pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti


menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit


setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

Menghindari makan besar sebelum tidur

16

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesi

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

17

18

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietas
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Prolong latent phase AntiInsomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan

Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia,
yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long
acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.


Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off

(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)


Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih

perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi


Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

19

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih
dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang menetap

sekitar 6 bulan lamanya.


Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological
Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan
tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping : Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi
disinhibiting effect yang menyebabkan rage reaction
Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and

respiratory failure
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang

menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.


Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau
CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus:

Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan

teratogenic

effect
20

(e.g.cleft-palate

abnormalities)

khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan


melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.2.6 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi :

Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.

Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan


reaksi kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya


tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

21

2.2.7 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan
lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

BAB III
KESIMPULAN

Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan


tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup
serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan
kehidupan sehari-hari.

22

Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan


berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi
medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur
penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis,
riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan
untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam,
Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital).
Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.

23

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A. C. dan Hall J. E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC.
Jakarta.
http//www.wikipedia.org./wiki/insomnia. Epidemiologi of Insomnia. Diakses tanggal
6.08-2010 jam 12.43
Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternati
ve-medicine Diakses tanggal 25 Oktober 2013)
Iskandar Y. 1985. Insomnia dan Depresi Dalam: Psikiatri Biologik Vol. II, ed.
Yul Iskandar dan R. Kusumanto Setyonegoro, Yayasan Dharma Graha,
Jakarta.
Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
Kryger, meir dan Zee, Phyllis. 2006. Sleep-Eake Cycle: Its Physiology and Impact on
Health. National Sleep Foundation. Washington, DC.
Marjdono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Dian Rakyat:Jakarta ;
1988 ; P. 183-92
Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Moynihan SH, Marks J. Insomnia, Management in Good Medical Practice,
Editiones, Roche, Basle, 1988.
Schenck,Carlos H. Mahowald,Mark.Sack,Robert.2003.Assesment and Management
of Insomnia. JAMA Vol 289.
Schupp, M., dan Hanning, C. D. 2003. Physiology of sleep. British Journal of
Anaesthesia CEPD Reviews Volume 3 Number 3.

24

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Ed 6. Jakarta: EGC

25

Anda mungkin juga menyukai