dari sistem konseptual manusia yang sama dan universal, oleh karena bahasa itu
merupakan produk dari pemikiran kita, maka, jelas hal yang masuk akal jika kita
melihat bahasa itu sendiri sebagai jalan, maupun penghubung atau jembatan untuk
dapat mengerti sistem konseptual kita.
Metafora adalah bagian dari bahasa, Metafora berbeda dari bahasa
konvensional yang selalu kita gunakan, karena metafora memberikan arti yang
berbeda dari apa yang kita sebutkan. Atau dengan kala lain, metafora tidak
memberikan arti literal, sebaliknya, metafora memberikan suatu "ide" atau
"pandangan" dibelakangnya. Berdasarkan itu, sekarang pekerjaan kita adalah
melihat dan mencari tahu keterlibatan metafora tersebut di dalam musik.
Misalnya, metafora yang digunakan di dalam rangka teori musik, estetika
musik, atau hal-hal yang berhubungan antara musik dengan musisinya maupun di
dalam hal pertunjukan musik itu sendiri. Di samping itu, tidak kalah pentingnya,
melalui teori yang telah dikemukakan, boleh juga kita mencari tahu bagaimana
metafora itu menyusun ide-ide yang dikandungnya sehingga bisa dimengerti oleh
pihak lain.
Bahasa adalah satu alat yang kita gunakan untuk mengkomunikasika musik,
di samping media-media lainnya. Mana kala kita mendiskusikan teorinya,
estetikanya, mengajarkannya dan menjelaskan tengtang hubungan musik itu dalam
konteks kehidupan manusia, maka kita tidak akan terlepas dari bahasa itu. Namun,
tanpa kita sadari, kita acap sekali menggunakan "kata" ataupun rangkaian kata-kata
di dalam kalimat, padahal ketika kita melihat arti kata-kata tersebut secara
semantik, kata tersebut tidak mempunyai hubungan dengan musik yang kita
bicarakan. Di sinilah salah satu letak keunikan dari musik, sebagai suatu hasil
tingkah laku manusia yang berbudaya. Kita harus mengkiaskan pengalaman, ide,
ataupun pengetahuan kita, agar kita dapat membagi pengetahuan tersebut kepada
orang lain.
Perhatikan salah satu contoh metafora yang diekspresikan di dalam kalimat
ini: "musik sudah mendarah daging di dalam tubuhnya". Di dalam kalimat tersebut,
musik dimetaforasikan sebagai sesuatu yang sebenarnya mengalir di dalam tubuh,
yaitu, darah. Mungkin bagi kita hal yang mudah sekali untuk mencerna maupun
memahami arti yang terkandung di dalam ekspresi itu. Tetapi coba kita simak arti
literal dari kata-kata tersebut. Jelas tidak akan terdapat hubungan. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya, di dalam kalimat tersebut, arti literal bukan menjadi masalah
utama. Yang menjadi penting di sana adalah arti yang ada di balik kalimat tersebut
(the underlying meaning). Jika kita sudah mendapatkan arti yang ada di balik
kalimat tersebut, maka kita akan mendapatkan ide yang dikandungnya sehingga kita
mengerti apa yang dimaksudkan metafora tersebut.
Sekarang perlu pula bagi kita untuk mengetahui dasar apa yang digunakan
sehingga musik tersebut dimetaforasikan dengan "mendarah daging di dalam tubuh"
Bagi manusia, darah adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya. Seorang ibu atau
ayah akan mengakui bahwa putra putrinya adalah darah dagingnya. Sebuah
keluarga akan diikat oleh hubungan "darah". Sekarang kita perlu pula mengkaji kata
"darah" di dalam konteks tersebut. Tidak lain, apa yang dipertegas di sana adalah
bahwa "darah" merupakan suatu "ikatan" yang erat sekali. Darah, di sisi lain, adalah
sesuatu yang mengalir di dalam tubuh. "Darah" yang mengalir juga merupakan
indikasi tentang adanya kehidupan. Oleh sebab itu, musik dimetaforasikan dengan
darah untuk menjelaskan hubungan yang erat sekali antara musik dengan orang
yang dimaksudkan. Berdasarkan kajian tersebut, maka kita akan dapat memahami
Dalang sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama pertunjukan ia minum sedikit teh untuk
mengurangi ketegangan suaranya. Ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai
dengan meletakkan sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di depan layar. Dalang berdoa
untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya. Dalang mengambil wayang berbentuk daun besar
yang disebut gunungan (kayon), menyentuhkannya ke dahi serta meletakkannya di sebelah kanan atau
kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan pertunjukan dimulai. Gerakan
permainan dan nyanyian diiringi oleh gamelan lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam
bahasa Kawi arkais dan sulit dimengerti. Dalang mengimprovisasi banyak dialog, sementara kisahan
dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan pengisahan.
2. Mak Yong
Tradisi teater Mak Yong berasal dari Pattani di Muangthai Selatan mulai abad ke 16 dan menyebar ke
selatan melalui Semenanjung Melayu ke Singapura dan tempat-tempat yang sekarang disebut provinsi
Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Mak Yong disebut teater terindah karena menggabungkan
banyak unsur pertunjukan seperti drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya. Aslinya Mak Yong
dipertunjukkan bagi kelas atas di istana sultan, khususnya di Kelantan (sekarang Malaysia bagian timur
laut) dan Raiu-Lingga, jantung peradaban Melayu hingga tahun 1700-an.
Fungsi Mak Yong memberi penghormatan kepada Yang Mahakuasa. Sultan dan isterinya merupakan
wakil Tuhan di bumi. Pertunjukan untuk sultan sebenarnya merupakan persembahan kepada Tuhan.
Bahkan kini Mak Yong dianggap suci, dan pertunjukan selalu diawali dengan panjak atau bomoh
(seorang pemain gamelan) membaca doa. Setelah berdoa
penari dan pemusik mengambil tempat masing-masing beralas tikar di atas panggung. Unsur ritual
dilengkapi oleh gong, topeng serta penari diperciki air suci. Penari yang berperan ratu (Mak Yong) dan
putri (putri Mak Yong) memanjatkan doa, memberi sesaji yang akan memberi mereka kepercayaan diri
dan membuat mereka menarik serta mampu menguasai keseluruhan pertunjukkan. Di akhir
pertunjukan, sang panjak (seorang pemain gamelan) membaca doa lagi untuk mengumumkan akhir
pertunjukkan dan minta dewa-dewa kembali ke surga mereka.
Seluruh pemain Mak Yong duduk di pinggir daerah permainan. Perempuan sebelah kanan, laki-laki
sebelah kiri. Alat musik ada di antara mereka. Musik paduan suara dan instrumental merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Mak Yong, sebagai penanda perubahan episode dan adegan. Lagu-lagu Mak
Yong kira-kira berjumlah 30. Orkesnya terdiri atas sekitar selusin alat; dua gendang berukuran ibu dan
anak, beberapa tambur gedomba yang lebih kecil, gong dengan bermacam bentuk, canang, sebuah
serunai, dan kadang-kadang rebab bersenar yang biasanya merupakan alat utama.
Pemain yang memerankan raja memberikan pengumuman dengan cara menghadapkan telapak
tangannya ke luar setinggi pinggang. Tangannya melingkar ke dalam, keluar lagi dan berakhir dengan
semua jarinya kecuali jempol bergeliat perlahan sekali. Gerakan itu bermakna raja sedang
mengeluarkan titah atau ksatria sedang menyerap kebaikan dari luar dan menolak kejahatan. Para lelaki
tidak menari, tetapi melawak dengan cara yang aneh dan lucu. Mak Yong menggunakan sedikit
peralatan panggung. Bilai, seikat batang bambu atau rotan, digunakan oleh tokoh utama sebagai
tongkat wasiat untuk memukuli punakawan untuk menunjukkan siapa raja (pangeran atau ratu) dan
siapa si tolol.
3. Didong
Didong adalah bentuk kesenian tradisional orang Gayo di daerah bagian tengah provinsi Riau di
Sumatera. Kata didong dipercaya berasal dari dendang yang berarti sama dengan denang dan donang
dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi musik sambil bekerja.
Didong meliputi seni sastra, suara dan tari. Pemain menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti
iringan musik khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala dan badan.
Kelompok didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk berkeliling selama pertunjukkan. Empat
atau enam di antara mereka dikenal sebagai ceh. Mereka merupakan penyanyi didong. Seorang ceh
harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya. Pertunjukan didong sering
berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Pada
awalnya didong diadakan sebagai bagian dari keramaian untuk merayakan perkawinan, hari-hari libur
penting dan upacara tradisional lainnya. Kemudian berubah menjadi cara untuk menghormati dan
menghibur tamu.
Pertunjukan didong diadakan sebagai hiburan umum dengan bantuan panitia. Panitia mencari dana
untuk membangun mesjid atau sekolah. Pertunjukkannya akan diadakan beberapa malam. Karcis
dijual, dan untuk menarik pembeli, acara mengentengahkan kelompok-kelompok didong terkenal.
Pertandingan didong memakan waktu hampir sepanjang malam dengan dua kelompok yang bertanding
tampil bergantian. Tiap kelompok diberi waktu 30 menit setiap pergelaran. Kedua kelompok
melakukan pergelaran bersama, sambil memberi setiap ceh kul (ceh besar) kesempatan menggelar sajak
permintaan maafnya atas sindiran dan cemoohan yang tidak dimaksudkan sebagai hinaan. Pemenang
ditetapkan oleh juri yang khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan. Juri terdiri atas tiga orang
ahli kesenian didong dan diketahui bersikap netral dan objektif.
4. Tanggomo
Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair Tanggomo
menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak
penganut. Selain menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam peristiwa
sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara harfiah, tanggomo berarti
menampung; dan penyanyi tanggomo (ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan
cerita dengan semenarik mungkin.
Tanggomo merekam peristiwa, yang terjadi di dalam atau di luar Gorontalo, kemudian disebarkan oleh
si pencerita sebagai berita untuk dinikmati oleh pendengar. Di samping menyediakan informasi,
tanggomo juga menawarkan hiburan bagi pendengar. Ta motanggomo tidak hanya mengambil peritiwa
yang yang terjadi untuk bahan syair. Sumber cerita tanggomo juga meliputi dongeng, mitos dan
legenda, peristiwa rekaan dan ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Pada
saat penuturan, ta motanggomo membuat ceritanya lebih nyata dengan bermacam cara dan gaya.
Pendongeng diiringi alat musik seperti gambus, (semacam kecapi, enam senar), kecapi (sitar) dan
rebana. Pendongan juga dapat menuturkan ceritanya tanpa alat musik, tetapi ia menggunakan gerakan
tangan, kepala, muka, permainan suara, nada dan irama untuk menghidupkan ceritanya. Ta
motanggomo menggunakan gaya bahasa, misalnya, paralelisme, pembalikan, ellipsis, dan analogi
untuk meningkatkan cerita dan memperkuat makna.
5. Rabab Pariaman
Rabab Pariaman merupakan tradisi pertunjukkan lisan dari Sumatera Barat. Penyampaian cerita
dipersembahkan dalam bentuk nyanyian oleh tukang rabab, yang selalu laki-laki. Tukang rabab
semuanya pribumi Pariaman. Tukang rabab duduk bersila, rabab dipegang berdiri di depannya,
lehernya dijepit kendur antara jempol kiri dan jari-jari lain agar ia juga dapat memetik senarnya, dan
penggeseknya di tangan kanan. Pertunjukkan biasanya diadakan pada malam hari setelah salat Isya dan
berakhir tak lama sebelum salat subuh. Panggung dapat berupa tempat berkumpul yang mana saja
dengan suasana tradisional, di dalam atau di luar warung kopi (lapau), pesta perkawinan, perayaan
nagari, dan pestapesta untuk merayakan pengangkatan seorang penghulu baru (pemimpin satuan
matrilineal).
Rabab Pariaman pernah memiliki sifat keagamaan. Pada saat ini Rabab Pariaman mengambil nuansa
yang lebih duniawi dan tak boleh dimainkan di tempat keagamaan atau di pesta yang bersifat
keagamaan. Isi cerita yang disampaikan menyoroti perjuangan untuk mencapai keberhasilan dalam
hidup. Tokoh menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan dan menimbulkan tanggapan dari
penonton.
Teks Rabab Pariaman terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba. Dendang berbentuk pantun (syair
berbaris empat atau lebih) dengan sistem persajakan a-b-a-b. Bagian pertama setiap syair agak tak
bermakna, isinya dibagian kedua. Jumlah baris dalam syair selalu genap, kecuali bila ada ulangan pada
baris tertentu, tergantung pada irama. Isi dendang mengenai perjuangan, kemiskinan, nasib malang,
rindu kampung halaman, dan sebagainya. Kaba adalah cerita. Ada sejumlah kaba yang dipertunjukkan
dalam Rabab Pariaman. Sebagian besar kaba bergaya klasik, dimainkan dengan latar kerajaan dengan
tokoh yang berkekuatan gaib. Perlu beberapa malam untuk menyampaikan keseluruhan cerita,
kecenderungannya adalah memilih hanya satu episode yang dapat diselesaikan dalam satu malam.
6. Pantun Sunda
Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda di Jawa Barat. Dipertunjukkan
dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita cerita pantun merupakan campuran antara percakapan,
lagu dan syair cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan pantun Sunda
dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional, seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan,
juru pantun mungkin akan berpuasa selama beberapa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai
bernyanyi.
Seni menyanyikan pantun merupakan pekerjaan tunggal. Penyanyi menyanyi, mendaki dan menuruni
skala pentatonik (lima nada) memetik kecapi indung, Induk kecapi berbentuk perahu.
Kedelapanbelas senar kecapi dipasang di satu ujung, direntangkan di atas ganjalan kayu kecil ke pasak
penata di sisi alat itu. Musik kecapi bagian dari pantun Sunda menandai suasana hati dan perubahan
adegan cerita serta menarik perhatian, seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan.
Kebanyakan kisah pantun Sunda, mencampur percakapan dan nyanyian dengan syair cerita, berasal
dari masa kerajaan Hindu Pajajaran, sebelum beralih ke Islam akhir abad ke 16. Pada tingkat yang
tertinggi, kisah itu melambangkan perjalanan kerohanian yang dijalani setiap orang dalam hidupnya.
Kisah itu dapat dinikmati sebagai dongeng. Juru pantun seringkali berimprovisasi, tergantung seleras
penonton. Salah satu pantun Sunda yang paling sering diceritakan adalah lutung kasarung, yang
menceritakan tentang lutung dalam kutukan.
Sumber :
Supriyanto, 2009, Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XI, Jakarta :
Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 150 156.
Aswatama,
Putera Maharsi Druna dari perkawinan dengan
Dewi Wilutama.
Bersama dengan Kartamarma dan Rsi Krepa,
ia merupakan salah satu senapati Kurawa
yang masih hidup setelah Baratayuda usai.
Ia mati oleh Pasopati yang ditendang
oleh Parikesit yang masih bayi.
Raden Kartamarma,
Salah satu senapati Kurawa yang matinya
setelah perang Baratayuda selesai
(di Lakon Aswatama nglandak)
Umumnya dibuat tidak menggunakan "topong"
(tutup kepala senapati, seperti Karna), namun hanya
berjamang dua susun, garuda mungkur. Ciri lainnya: praba,
berpontoh dan berkeroncong, berkain kerajaan lengkap,
dan bercelana cinde.
Karya Mas Hernot ini dibuat dengan ber-t0pong.
Antareja,
putera sulung Bima hasil perkawinan dengan
Dewi Nagagini (anak Bhatara Anantaboga).
Beberapa sumber menyebut bahwa Antareja dan Antasena
adalah sosok yang sama, namun sejak saya kecil
setahu saya (dari pementasan wayang purwa)
Protista
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Klasifikasi ilmiah
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Protista*
Haeckel, 1866
Jenis-jenis Fila
Chromalveolata
Heterokontophyta
Haptophyta
Cryptophyta (cryptomonad)
Alveolata
Dinoflagellata
Apicomplexa
Ciliophora (ciliata)
Excavata
Euglenozoa
Percolozoa
Metamonad
Rhizaria
Radiolaria
Foraminifera
Cercozoa
Archaeplastida (sebagian)
Rhodophyta (alga merah)
Glaucophyta (basal archaeplastida)
Unikonta (sebagian)
Amoebozoa
Choanozoa
Masih banyak lagi;
Klasifikasi ada bermacam-macam
Wikispecies mempunyai informasi mengenai
Protista
Protista adalah mikroorganisme eukariota yang bukan hewan, tumbuhan, atau fungus. Mereka pernah
dikelompokkan ke dalam satu kerajaan bernama Protista, namun sekarang tidak dipertahankan lagi.[1]
Penggunaannya masih digunakan untuk kepentingan kajian ekologi dan morfologi bagi semua
organisme eukariotik bersel tunggal yang hidup secara mandiri atau, jika membentuk koloni, bersamasama namun tidak menunjukkan diferensiasi menjadi jaringan yang berbeda-beda.[2]. Dari sudut
pandang taksonomi, pengelompokan ini ditinggalkan karena bersifat parafiletik. Organisme dalam
Protista tidak memiliki kesamaan, kecuali pengelompokan yang mudah[3]baik yang bersel satu atau
bersel banyak tanpa memiliki jaringan. Protista hidup di hampir semua lingkungan yang mengandung
air. Banyak protista, seperti algae, adalah fotosintetik dan produsen primer vital dalam ekosistem,
khususnya di laut sebagai bagian dari plankton. Protista lain, seperti Kinetoplastid dan Apicomplexa,
adalah penyakit berbahaya bagi manusia, seperti malaria dan tripanosomiasis.
Ciliata
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Cilliata)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
?Ciliates
"Ciliata" dari buku Ernst Haeckel berjudul Kunstformen der Natur (1904)
Klasifikasi ilmiah
Domain:
Eukaryota
Kerajaan: Chromalveolata
Superfilum: Alveolata
Filum:
Ciliophora
Doflein, 1901 emend.
Classes
Karyorelictea
Heterotrichea
Spirotrichea
Litostomatea
Phyllopharyngea
Nassophorea
Colpodea
Prostomatea
Oligohymenophorea
Plagiopylea
Ciliata (latin, cilia = rambut kecil) atau Ciliophora/Infosoria bergerak dengan cilia (rambut getar).
Cilia terdapat pada seluruh permukaan sel atau hanya pada bagian tertentu. Cilia membantu pergerakan
makanan ke sitostoma. Makanan yang terkumpul di sitostoma akan dilanjutkan ke sitofaring. Apabila
telah penuh, makanan akan masuk ke sitoplasma dengan membentuk vakuola makanan. Sel Ciliata
memiliki dua inti: makronucle dan mikronuclei. Makronukleus memiliki fungsi vegetatif. Mikronukleus
memiliki fungsi reproduktif, yaitu pada konjugasi. Ciliata hidup bebas dilingkungan berair, baik air
tawar maupun laut. Ciliata dapat hidup secara baik parasit maupun simbiosis. Contoh dari Ciliata
adalah Balantidium coli, Vorticella, dan Paramecium
Flagellata
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Daftar isi
[sembun
yikan]1
Prasejar
ah
1
.
1
M
a
s
y
a
r
a
k
a
t
p
e
r
t
a
n
i
a
n
a
w
a
l
1
.
2
Z
a
m
a
n
p
e
r
u
n
d
a
g
i
a
n
a
w
a
l
d
i
s
e
m
e
n
a
n
j
u
n
g
A
s
i
a
T
e
n
g
g
a
r
a
1
.
3
Z
a
m
a
n
n
e
o
li
ti
k
u
m
a
k
h
i
r
d
a
n
z
a
m
a
n
p
e
r
u
n
d
a
g
i
a
n
a
w
a
l
d
i
A
s
i
a
T
e
n
g
g
a
r
a
k
e
p
u
l
a
u
a
n
2
Kerajaa
nkerajaan
kuno
3
Penjajah
an
Eropa
4 Asia
Tenggar
a masa
kini
5 Lihat
pula
6
Bacaan
lebih
lanjut
7
Pranala
luar
[sunting] Prasejarah
[sunting] Masyarakat pertanian awal
Pertanian adalah perkembangan alami yang berasal dari kebutuhan. Sebelum pertanian, berburu dapat
memenuhi kebutuhan makanan. Masyarakat Asia Tenggara telah melakukan berbagai kegiatan
domestikasi baik berupa hewan maupun tanaman seperti memelihara anjing, ayam, dan babi beriburibu tahun yang lalu. Makanan terkait dengan status sosial. Apabila makanan tersedia berlebih, orang
mengadakan pesta besar dan semua orang boleh makan sepuasnya. Orang-orang kaya seperti ini
biasanya bekerja bertahun-tahun mengumpulkan makanan atau kekayaan yang dibutuhkan untuk pestapesta ini. Kebaikan orang-orang kaya itu akan diingat oleh masyarakat, menjadi semacam tabungan
budi untuk masa yang akan datang. Kebiasaan ini tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara, bahkan
sampai ke Papua. Masyarakat dengan ciri seperti ini dikenal sebagai masyarakat agraris.
Pada saat tekanan jumlah penduduk mencapai titik yang membutuhkan intensifikasi pertanian,
berkembang teknik bercocok tanam, seperti menanam ubi jalar di Papua atau menanam padi di wilayah
Indonesia lainnya. Para ahli prasejarah berpendapat, teknik bercocok tanam padi sawah dikenal
masyarakat Asia Tenggara dari Tiongkok, khususnya lembah Sungai Yangtse dan Yunnan.
[sunting] Zaman neolitikum akhir dan zaman perundagian awal di Asia Tenggara
kepulauan
Bagian ini membutuhkan pengembangan.
Kekuasaan dominan yang pertama kali muncul di kepulauan adalah Sriwijaya di Sumatra. Dari abad
ke-5 Masehi, Palembang sebagai ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan besar dan berfungsi sebagai
pelabuhan persinggahan (entrepot) pada Jalur Rempah-rempah (spice route) yang terjalin antara India
dan Tiongkok. Sriwijaya juga merupakan pusat pengaruh dan pendidikan agama Buddha yang cukup
berpengaruh. Kemajuan teknologi kelautan pada abad ke-10 Masehi membuat pengaruh dan
kemakmuran Sriwijaya memudar. Kemajuan tersebut membuat para pedagang Tiongkok dan India
untuk dapat secara langsung mengirimkan barang-barang diantara keduanya, serta membuat kerajaan
Chola di India Selatan dapat melakukan serangkaian penyerangan penghancuran terhadap daerahdaerah kekuasaan Sriwijaya, yang mengakhiri fungsi Palembang sebagai pelabuhan persinggahan.
Pulau Jawa kerap kali didominasi oleh beberapa kerajaan agraris yang saling bersaing satu sama lain,
termasuk diantaranya kerajaan-kerajaan wangsa Syailendra, Mataram Kuno dan akhirnya Majapahit.
Para pedagang Muslim mulai mengunjungi Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Samudera Pasai
adalah kerajaan Islam yang pertama. Ketika itu, Sriwijaya telah diambang keruntuhan akibat
perselisihan internal. Kesultanan Malaka, yang didirikan oleh salah seorang pangeran Sriwijaya,
berkembang kekuasaannya dalam perlindungan Tiongkok dan mengambil alih peranan Sriwijaya
sebelumnya. Agama Islam kemudian menyebar di seantero kepulauan selama abad ke-13 dan abad ke14 menggantikan agama Hindu, dimana Malaka (yang para penguasanya telah beragama Islam)
berfungsi sebagai pusat penyebarannya di wilayah ini.
Beberapa kesultanan lainnya, seperti kesultanan Brunei di Kalimantan dan kesultanan Sulu di Filipina
secara relatif mengalami sedikit hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
dan pemerintah Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara langsung administrasi wilayah jajahan
mereka. Hanya Thailand saja yang terlepas dari pengalaman penjajahan asing, meskipun Thailand juga
sangat terpengaruh oleh politik kekuasaan dari kekuatan-kekuatan Barat yang ada.
Tahun 1913, Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan wilayah-wilayah Borneo, Perancis
menguasai Indocina, Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika Serikat mengambil Filipina dari
Spanyol, sementara Portugis masih berhasil memiliki Timor Timur.
Penguasaan kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia Tenggara. Kekuatan-kekuatan
kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar dari sumber daya alam dan dan pasar Asia
Tenggara yang besar, akan tetapi mereka juga mengembangkan wilayah ini dengan tingkat
pengembangan yang berbeda-beda. Perdagangan hasil pertanian, pertambangan dan ekonomi berbasis
eksport berkembang dengan cepat dalam periode ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja
menghasilkan imigrasi besar-besaran, terutama dari India dan Cina, sehingga terjadilah perubahan
demografis yang cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti birokrasi
pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern (dalam lingkup yang terbatas},
turut menaburkan benih-benih kebangkitan grakan-gerakan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan
tersebut.