Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi

yang

dapat

mencetuskan

bangkitan

epileptik,

perubahan

neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang


diakibatkannya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.1
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yaitu:1,2
1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis,
dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana
seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah
penyakit menular, dan sebagainya.2
Serangan epileptik adalah gejala yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang secara tiba-tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak
boleh dianggap sebagai serangan epileptik, tetapi serangan yang timbul secara
berkala pada waktu-waktu tertentu barulah dapat disebut serangan epileptik.2

Epidemiologi
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi
yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih
tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita
wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.3

Peneliti umumnya memperoleh insiden 20-70 per 100.000 per tahun dan
prevalensi sewaktu 4-10 per 1000 pada populasi umum. Prevalensi total yang
dihitung berdasarkan jumlah penduduk dalam suatu populasi yang pernah
menderita epilepsi diperkirakan sekitar 2-5% sehingga diperkirakan sebanyak 1
diantara 20 penduduk di dalam suatu populasi akan mengalami kejang pada suatu
saat dalam hidupnya dan 1 diantara 200 akan mengalami epilepsi. Pada populasi
anak diperkirakan 0,3-0,4% diantaranya mengalami epilepsi.4
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.
Berdasarkan asumsi bahwa Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang,
maka kejadian epilepsi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju/industri.
Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi aktif 8,2 per 1.000
penduduk, sedangkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000
penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah pasien epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup
tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagu
pada kelompok usia lanjut.5

Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktorfaktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.1
Klasifikasi Internasional Bangkitan Epilepsi1
I.

Bangkitan Parsial
A. Bangkitan Parsial Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikik


B. Bangkitan Parsial Kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Bangkitan Umum Sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik )
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
4. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan Umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1. Bangkitan lena
2. Bangkitan mioklonik
3. Bangkitan tonik
4. Bangkitan atonik
5. Bangkitan klonik
6. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan Epileptik yang tidak tergolongkan
Etiologi3,5
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 3 kelompok :
1. Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia > 3 tahun. Biasanya tidak menunjukkan manifestasi cacat
otak dn juga tidak bodoh. Umumnya faktor genetic lebih berperan pada epilepsi
idiopatik. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat
alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
2. Epilepsi simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai
kelainan intracranial maupun ekstrakranial. Penyebab intracranial misalnya

anomaly congenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati,


abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian
juga mengganggu fungsi otak misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan,
gangguan metabolism (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan
keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi.

3. Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,


termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.

Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial
membran sel neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron,
yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang sekali ion Ca, Na, Cl, sehingga di dalam sel terdapat
konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca,Na, dan Cl, sedangkan
keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion
inilah yang menimbulkan potensial membran.2
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi
membran

neuron

berikutnya.

Ada

dua

jenis

neurotransmitter,

yakni

neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik


dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitterneurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric
acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan
terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran
neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.

Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel
akan melepas muatan listrik.2,3
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
menganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar fokus
epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.2,3
Secara teoritis ada dua faktor yang dapat menyebabkan hal ini4:
a. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron penghambat kurang optimal hingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. Fungsi neuron
penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak
normal. Otak pasien yang menderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik (IPSIs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
reseptor. Suatu hipotesa mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh
hilang atau berkurangnya inhibisi oleh GABA. Zat ini merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama di otak. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan.
b. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa
fungsi jaringan neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls
(eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak, sampai berapa jauh peran

peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita epilepsi belum diketahui
secara pasti.
Gejala3,7
1. Epilepsi umum
a. Major: grand mal (meliputi 75% kasus) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilepsi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonikklonik. Manifestasi klonik : kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,
perbedaan terletak pada ada tidaknya aura, yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu
didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai
dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian
penderita mengalami kejang tonik, otot-otot berupa berkontraksi sangat hebat,
penderita jatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong
keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.
Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah
menggucang-guncang dan membanting-banting tubuh penderita ke tanah.
Kejang tonik-klonik berlangsung 2-3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif,
mulut berbuih, dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan
penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian
penderita terbangun, termenung, dan kalau tidak diganggu akan tidur beberapa
jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
b. Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada
anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 menit. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan. Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan

bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan akitvitas


semula. Bangkitan petit mal yang tak tertanggulangi 50% akan menjadi grand
mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan
berdasarkan 4 ciri : timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang
normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah
ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, pola EEG khas berupa
gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik.
c. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang terjadi berulang-ulang, bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga
sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini
sangat peka terhadap rangsang sensorik.
d. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali.
e. Spasme infantile.
Jenis epilepsi ini timbul pada bayi 3-6 bulan dan lebih sering pada anak lakilaki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala ke
atas dan kedepan, lengan ekstensi, tungkai tertarik keatas, kadang-kadang
disertai tangisan atau teriakan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
f. Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah
satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran.
Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai
pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan. Manifestasi ini disebut Jacksonian Marche

2. Epilepsi parsial (20% dari seluruh epilepsi parsial)


a. Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada korteks
sensorik. Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di

gyrus

postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan
mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
b. Epilepsi lobus temporalis
Jarang terlihat pada usia 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinis fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi
kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga
indera tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini
bersifat psikomotorik. Manifestasi klinis ialah sebagai berikut : kesadaran
hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam
pikiran antara sadar dan mimpi, dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik
sampai beberapa jam.

Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu9 :
1. Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal menuju bangkitan
epilepsi atau bukan epilepsi.
2.

Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan


yang ada termasuk jenis bangkitan apa (klasifikasi)

3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau
epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik
dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang
oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan
untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut10 :

1. Anamnesis
Pola atau bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada atau tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan dan perkembangan bayi atau
anak
Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis


Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan
neurologis. Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru,
perut, hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya. Hal yang perlu diperiksa
antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat
terlarang dan kanker. Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran,
kecakapan, motoris dan mental, tingkah laku, berbagai gejala proses
intrakranium, fundus okuli, penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem
motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak terkendali, koordinasi,
ataksia), sistem sensorik (parastesia, hipestesia, anastesia), refleks fisiologis
dan

patologis.

3. Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur arus listrik dalam otak. Rekaman
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks).

Pemeriksaan pencitraan otak


MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. MRI dapat mendeteksi
sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa.
Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan

terapi

pembedahan.

Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit
dan apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi ginjal.
o Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi bertujuan agar kualitas
hidup optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya dapat tercapai. Tujuan tersebut
hanya akan dicapai melalui beberapa upaya yang diolah serta diterapkan secara
holistik antara lain adalah menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan
kematian serta mencegah timbulnya efek samping obat anti epilepsi.5
Tatalaksana epilepsi meliputi 3 bidang3 :
1. Penegakan diagnosis yang mengenai jenis bangkitan, penyebabnya dengan
tepat
2. Terapi
3. Rehabilitasi, sosialisasi, edukasi
Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan :
1. Terapi kausal
Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat
ditemukan, misalnya :
o Infeksi SSP dan selaputnya, diberikan antibiotic atau obat-obat lain yang
dapat memberantas penyebabnya
o Pada neoplasma dan perdarahan di dalam rongga intrakranium mungkin
diperlukan tindakan operatif

o Pada gangguan peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin dapat


membantu mengatasi keadaan hipoksia yang terjadi.
2. Terapi medikamentosa anti kejang3,5
Prinsip terapi farmakologik pasien epilepsi anak pada umumnya sama
dengan prinsip terapi farmakologik pasien dewasa yaitu:
1. Obat-obat anti epilepsi mulai diberikan bila:

Diagnosis epilepsi telah ditegakkan

Pasien, terutama keluarga pasien telah menerima penjelasan tentang tujuan


pengobatan

Pasien maupun keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek


samping obat anti epilepsi yang akan timbul.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi.


3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
mencapai

dosis

efektif.

4. Bila dengan pemberian dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan obat anti epilepsi kedua. Bila obat anti
epilepsi telah mencapai kadar terapi maka obat anti epilepsi pertama diturunkan
bertahan

(tapering

off),

perlahan-lahan.

5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua obat anti epilepsi pertama.
6. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
Dijumpai fokus epilepsi yang luas pada EEG
Pada pemeriksaan CT scan atau MRI dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan

otak

Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)


Riwayat bangkitan simptomatik
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi
Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

SSP

7. Efek samping obat-obat anti epilepsi perlu diperhatikan, demikian pula halnya
dengan interaksi farmakokinetik antar obat anti epilepsi.
Obat-obatan Epilepsi
a. Golongan Hidantoin
Fenitoin
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi : epilepsi umum khususnya grandma tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat
juga untuk epilepsi lobus temporalis
Dosis : dewasa 300-600 mg/hari, anak 4-8 mg/hari, maksimal 300 mg/hari
b. Golongan barbiturate
Fenobarbital
Merupakan golongan barbiturate yang bekerja lama (long acting). Kerjanya
membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang
Indikasi : epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal
Dosis : dewasa 200 mg/hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
c. Golongan benzodiazepine
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama status
epileptic
Dosis : dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak >5 tahun 5-10 mg
im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv
d. Golongan suksinimid
Etosuksimid
Indikasi : epilepsi petit mal murni
Dosis : 20-30 mg.kgBB/hari
e. Golongan anti epilepsi lainnya
Sodium valproat
Indikasi :epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi mempunyai cara kerja
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak
Indikasi : dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada epilepsi Grand Mal
dimana seranganya sering datang berhubungan dengan siklus menstruasi

Dosis : sehari total 8-30 mg/kgBB


Karbamazepin
Indikasi : epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi Grand Mal
Dosis : dewasa 800-1200 mg/hari

Pemakaian Obat Anti Epilepsi pada Anak4


Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara
spontan, tanpa faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan
kejang yang tidak dapat diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan
kerusakan pada otak, dapat pula menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan
inilah yang membuat pentingnya pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi.
Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan
epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan anti epilepsi
sebab

jarang

digunakan

untuk

gejala

konvulsi

penyakit

lain.

Terdapat dua mekanisme anti epilepsi yang penting yaitu:


1) Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam
fokus

epileptik

2) Mencegah letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus
epilepsi. Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan
terakhir

ini.

Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dipahami dengan baik. Berbagai
obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak,
terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.
Obat antiepilepsi terbagi dalam delapan golongan. Empat golongan antiepilepsi
mempunyai rumus dengan inti berbentuk cincin yang mirip satu sama lain yaitu
golongan hidantoin, barbiturate, oksazolidindion dan suksinimid. Akhir-akhir ini
karbamazepin dan asam valproat memegang peran penting dalam pengobatan
epilepsi; karbamazepin untuk bangitan parsial sederhana maupun kompleks,
sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan
kombinasi lena dengan bangkitan tonik klonik.

Penghentian Obat Anti Epilepsi4,5


Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menghentikan terapi obat
entiepilepsi yaitu:
1) Syarat umum untuk menghentikan pemberian obat antiepilepsi :

Pasien menjalani terapi secara teratur dan telah bebas dari bangkitan
selama minimal dua tahun

Gambaran EEG normal

Dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

Penghentian dimulai dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama.

2) Kekambuhan setelah penghentian obat antiepilepsi. Kekambuhan setelah


penghentian obat antiepilepsi akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai

berikut:

Semakin tua usia


Epilepsi simptomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung banyak sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25%
pada

epilepsi

lena

masa

kanak-kanak,

25-75%

epilepsi

kriptogenik/simptomatik, 85-95% pada epilepsy mioklonik pada anak.


Penggunaan lebih dari satu obat antiepilepsi
Masih mendapatkan satu atau lebih bangitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

parsial

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis obat
anti terapi), kemudian dievaluasi kembali.

Prognosis5
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas dari serangan paling
sedikit 2 tahun dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat
dihentikan, pasien tidak mengalami serangan epilepsi lagi, dikatakan telah
mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak mengalami remisi meskipun
minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan
ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan epilepsi parsial
kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah
remisi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Octaviana F. Epilepsi. Medicinus. Vol 21 Desember 2008. FKUI
2. Purba SJ. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter.
Medicinus. Vol 21 Desember 2008. FKUI
3. Machfoed, Hasan M. Epilepsi.http://www.journal.unair.ac.id [diakses
tanggal 18 Agustus 2010]
4. Kari K, Nara P. Epilepsi Anak. http://www.portalkalbe.co.id [diakses
tanggal 18 Agustus 2010]
5. Lazuardi S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T,
Ismael S. Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000.pp 237-38
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2003. p. 855-59
7. Heafield
MT.
Epilepsy.
BMJ.
Edisi
8
April
2000.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal
18 Agustus 2010]
8. Ilae.
Epilepsy.
http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/10epilepsy.pdf
[diakses tanggal 18 Agustus 2010]
9. Haslam HA. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor
Behrman, Kliegman, Arvin. Epilepsi. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-68
10. Christian M. Korff Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th
ed. In: Burg DF, editor. Epilepsy. USA: Saunders; 2006.

Anda mungkin juga menyukai