Anda di halaman 1dari 22

JULIA 1102010137

LO 1 Memahami dan Menjelaskan Steven Jhonson Syndrom


Definisi
SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel,
bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lender serta mukosa
kelopak mata Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsimukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi
virus.
Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi
kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini
diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane
mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui
adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan.
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula
sebagai eritema multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa.
Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina,
uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang
menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut
menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi
penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritema multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema
multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang
diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum
SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering
rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan
makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas
yang tinggi dan prognosisnya buruk
Penyebab
1. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
2. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
3. obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
4. makanan (coklat),
5. fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
6. lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang
dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami
segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu.
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab
1

JULIA 1102010137

timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin,
etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin,
sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan)
Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza,
gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin,
penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,
ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang
dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin
disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem
multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik),
penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin dilantin
(antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari
terjadinya SJS.
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson

Faktor predisposisi SJS


Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus persatu juta
penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.
Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan.
Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki.

JULIA 1102010137

Patofisiologi SJS
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi:
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului
panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut
berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias
(stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung
hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa
penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir
selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat
makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik

JULIA 1102010137

Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik)
menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung
kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi
keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5
meningkat, juga sitokinin-sitokinin yang lain. CD4 terutama terdapat pada deRmis, sedangkan
CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MCH II. Sel
langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis meningkat. Oleh karena proses
hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun dan infeksi
Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( targetorgan ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan
mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada
reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik
atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuk.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun . Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau prosesmetabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yangterjadi.
Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula
disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi
imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis. Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan
kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat
tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Sindrom Stevens-Johnson dapat muncul
dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah
4

JULIA 1102010137

paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab. Baru-baru ini kokain termasuk dalam daftar obatobatan yang dapat mengakibatkan sindroma ini. lebih dari setengah kasus sindrom SJS, tidak
ditemukan sebab pasti dari SJS
Manifestasi Klinis
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami
ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke
seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering
membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada
banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh
sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa
orang, kuku dan rambut rontok
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar
yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar
dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi,
yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada umumnya yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Pada sindrom ini terlihat adanya tris kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam dan
tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering adalah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus
kornea, iritis, dan iridosiklitis.

JULIA 1102010137

Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi
efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal
termasuk :
1. Ruam
2. Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
3. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
4. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula
terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa,
membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis
ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
5. Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
6. Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
7. kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi
dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun. Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru
mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Diagnosa SJS
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta
uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia
dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit
meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4
normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bias membantu diagnosa kasuskasus atipik
Diagnosis Banding SJS
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS
dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai
dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

JULIA 1102010137

3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan yang
menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul
perdarahan

JULIA 1102010137

Pemeriksaan penunjang SJS


1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain
pemeriksaan biopsy.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bacterial berat.
c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan.
2. Imaging studies :
a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
b. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnose
Penatalaksanaan SJS
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab
reaksi. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
1. Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3
hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3- 12 tahun 15
mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
9. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6
masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian
keratinosit yang dimediasi FAS

JULIA 1102010137

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
1. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2
jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
2. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan
konjungtiva
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan preanisone 30
40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat. Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksamate dan
intravena dengan dosis permulaan 4 6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien stevens-johnson berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5
mg intravena setelah masa kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid, misalnya
prenidesone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K, Na dan CI
) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg /
hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok dekanoat dan
nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa ( dosis untuk anak tergantung berat
badan ).
Antibiotik.
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat
sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan Transfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk
itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2 3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.
Tropikal
Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.
Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh
kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
laksimasi.
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
9

JULIA 1102010137

Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan


Gastroenterologi Esophageal strictures
Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari pneumonia
Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan
ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di
konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat
mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan
perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan
lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat
simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal
tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut
beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada
permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa
pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren,
hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada
kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan
akibat komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan
pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan
terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan
eviserasi dan enukleasi bola mata.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Prognosis SJS
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat
menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15
persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik
sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total,
kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 23 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis

10

JULIA 1102010137

LO 2 Obstruski Saluran Pernafasan Atas


Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas (laring) yang
disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren
bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu
Penyebab dan Gejala Klinis Obstruksi Saluran Napas Atas
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh trauma, tumor, infeksiakut, kelainan
kongenital hidung atau laring, difteri, paralysis satu atau kedua plikavokalis, pangkal lidah jatuh
ke belakang pada penderita yang tidak sadar karena penyakit, cedera, atau narkose maupun
karena benda asing. Obstruksi saluran napas bagian atas ditandai dengan sesak napas,
stridor inspiratore, ortopne, pernapasan cuping hidung, dan cekung di daerah jugularissupraklavikula-interkostal. Selanjutnya penderita akan sianotik dan gelisah.

11

JULIA 1102010137

Kelainan Kongenital
Atresia koane
Koane dapat menyumbat total atau sebagian, di satu atau dua sisi, akibatkegagalan absorpsi
membran bukofaringeal. Obstruksi mungkin berupa membranatau tulang. Gejalanya ialah
kesulitan bernapas dan keluar sekret hidung terusmenerus. Diagnosis mudah dibuat dengan
timbulnya sianosis pada waktu diam yangmenghilang pada waktu menangis, dan melihat
sumbatan di belakang rongga hidung.Pengobatan dengan pembedahan.
Sindrom Piere Robin
4Sindrom ini terdiri dari trias gejala yaitu mikrognasia, celah langit-langit, danoleh karena
mikrognasia, lidah jatuh ke belakang mengakibatkan obstruksi jalannapas atas. Kadang sindroma
ini disertai defek pada mata.
Selaput (web) glotis dan stenosis glotis
Pita suara terbentuk dari membran horizontal primordial yang terbelah padagaris tengah.
Kegagalan pemisahan mengakibatkan berbagai derajat stenosis glotis,mulai dari selaput pada
komisura anterior sampai atresia total glotis. Biasanyaditandai suara parau sedangkan pada bayi
menifestasinya berupa suara serak danmenangis tidak keras. Derajat sesak dan disfonia
tergantung dari luasnya kelainan.Pengobatan sementara pada bayi atau anak dengan businasi.
Diperlukantindakan bedah untuk memisahkan pita suara melalui tirotomi.Obstruksi di subglotis
jarang ditemukan, yaitu berupa penyempitan jalannapas setinggi rawan krikoid.

12

JULIA 1102010137

Radang
Angina Ludwig
Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang invasif,menyebabkan udem
hebat di leher bagian atas yang dapat menyumbat jalan napas.Kuman penyebab biasanya
streptokokus atau stafilokokus. Infeksi biasanya berasaldari lesi di mulut seperti abses alveolar
gigi atau infeksi sekunder pada karsinomadasar mulut. Kelainan ini cepat meluas melalui ruang
fasia tertutup dan dapatmenyebabkan udem glotis yang dapat mengancam jiwa karena obstruksi
jalan napas.Karena radang dasar mulut ini lidah terdorong ke palatum dan ke dorsal, ke
arahdinding dorsal faring sehingga menutup jalan napas.Diagnosis dibuat berdasarkan gejala
klinis dan dibantu dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman dari nanah.Bila dapat
dibuat diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadangmemberikan hasil yang
memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar mulut tidak segera berkurang maka dilakukan
dekompresi terhadap ruang fasia yang tertutup didasar mulut dan leher, selanjutnya dipasang
pipa penyalir.
Trauma
Menelan bahan kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuatseperti soda kaustik,
potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapamengakibatkan terbakarnya mukosa saluran
cerna. Pada penderita yang tak sengajaminum bahan tersebut, kemungkinan besar luka baker
hanya pada mulut dan faringkarena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja masuk ke
dalam lambung.Tetapi pada mereka yang coba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang luas
padaesofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam di sini agak lamasebelum
memasuki kardia lambung.Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka
bakar disekitar dan di dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usiadibawah
enam tahun, sedangkan kasus bunuh diri pada dewasa.
Trauma trakea
Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpultidak menimbulkan
gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat berupa sesak napas, karena
penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisemakutis bila trakea robek.Dari pemeriksaan
photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyertaseperti fraktur vertebra servikal atau
emfisema di jaringan lunak di mediastinum,leher dan subkutis.Trauma tumpul trakea jarang
memerlukan tindakan bedah. Penderitadiobservasi bila terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan
trakeotomi. Pada traumatajam yang menyebabkan robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di
distalrobekan. Kemudian robekan trakea dijahit kembali.
Trauma intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dantrakea. Keadaan ini
baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar parau dan ada kesulitan
menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajatobstruksi pernapasan. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bilaobstruksi napas terlalu hebat maka dilakukan
trakeotomi.Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalondalam waktu
lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai penyembuhan dengan
jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian
yang stenosis dalam waktulama, tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan
anstomosis ujungke ujung.
Dislokasi krikoaritenoid

13

JULIA 1102010137

Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoidyang mengakibatkan


suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada pemeriksaan roentgen leher tampak
dislokasi struktur laring, penyempitan jalannapas, dan udem jaringan lunak.Penanganannya
berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secaraterbuka dan dipasang bidai dalam.
Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoiddapat mengakibatkan stenosis laring.
Paralisis korda vokalis bilateral
Kedua pita suara tidak dapat bergerak sedangkan posisinya paramedian dancenderung bertaut
satu sama lain waktu inspirasi. Penderita mengalami sesak napashebat yang mungkin
memerlukan intubasi dan atau trakeotomi.
Tumor
Papiloma laring rekuren (papilomatosis laring infantil)
Tumor epithelial papiler yang multipel pada laring ini disebabkan oleh papovavirus yang banyak
didapatkan di lembah sungai Missisipi (AS). Penderitanya seringmempunyai veruka kulit yang
mengandung virus. Biasanya kelainan sudah mulai pada usia dua tahun. Jika si ibu mempunyai
veruka vagina maka kelainan ini dapatterjadi pada bayi usia enam bulan.Gejala khas berupa
disfonia dan sesak napas yang bertambah hebat sampaiterjadi sumbatan total jalan napas.Terapi
terdiri dari pembedahan dengan mikrolaringoskopi. Eksisi papilomadilakukan tanpa
mengikutsertakan jaringan sehat. Kadang digunakan laser CO2, pembedahan dingin atau radiasi
ultrasonik. Angka kekambuhan tinggi sehingga perludilakukan pembedahan berulang
kali.Papiloma pada orang dewasa merupakan lanjutan dari papilomatosis infantile atau tumbuh
pada usia pertengahan dan tetap sebagai satu lesi tunggal terbatas padasatu korda.Kedua keadaan
ini dapat berubah jadi karsinoma sel skuamosa. Perubahan kekeganasan terjadi khusus pada
penderita yang sebelumnya pernah mendapatradioterapi. Penanganannya sama seperti pada anakanak, hanya tidak memerlukan trakeotomi.
Neoplasma tiroid
Karsinoma tiroid dapat berinvasi ke laring dan mempengaruhi jalan napas.Adanya invasi ini
harus dicurigai bila tumor tiroid tidak dapat digerakkan daridasarnya, disertai suara parau dan
gangguan napas. Pada pemeriksaan photo roentgenleher terlihat distorsi laring atau bayangan
suatu massa yang menonjol ke lumenlaring dan trakea.Kadang tumor tiroid berada pada saluran
napas atas secara primer. Didugatumor primer di laring atau trakea bagian atas berasal dari sisa
tiroid yang terletak dalam submukosa yang melapisi krikoid dan cincin trakea atas yang
ditemukan pada1-2 % populasi. Tumor ini harus dieksisi dengan laringektomi.
Udem angioneurotik
Udem angiopneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab obstruksilaring yang disebabkan
oleh alergi. Gejala berupa suara parau yang progresif setelahkontak dengan menghirup atau
menelan alergen tanpa tanda infeksi. Kadangdiperlukan trakeotomi untuk menyelamatkan jiwa.
Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang.Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :
1. Serak (disfoni) sampai afoni
2. Sesak napas (dispnea)
3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,supraklavikula dan
interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan
oksigen yang adekuat
14

JULIA 1102010137

5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)


6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan,
diantaranya adalah :
1. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskopdapat dilakukan
secara direk dan indirek.
2. Nasoendoskopi
3. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas.Apabila
sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaranradiolusen. Pada epiglotitis
didapatkan gambaran thumb like.
4. Foto polos sinus paranasal
5. CT-Scan kepala dan leher
6. Biopsi
Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:
1. Stadium I : Adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang
2. Stadium II : Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,ditambah lagi
dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.
3. Stadium III
: Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
4. Stadium IV
: Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan
dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderitaakan kehabisan tenaga, pusat
pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada keadaan ini penderita tampaknya tenang dan
tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.
Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas
Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi salurannapas atas diusahakan
supaya jalan napas lancar kembali.
1. Tindakan konservatif: Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika serta pemberian
oksigen intermiten, yang dilakukan padaobstruksi laring stadium I yang disebabkan
oleh peradangan.
2. Tindakan
operatif/resusitasi:
Memasukkan
pipa
endotrakeal
melalui
mulut
(intubasiorotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea),membuat trakeostoma yang
dilakukan pada obstruksilaring stadium II dan III, atau melakukankrikotirotomi yang
dilakukan pada obstruksi laringstadium IV.
Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :
Intubasi
1. Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulutatau hidung.
2. Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving procedure) dan dapat
dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal denganxylocain 10%.
3. Indikasi intubasi endotrakea adalah :
a. Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas.
b. Membantu ventilasi
c. Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial.
d. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal darilambung.
15

JULIA 1102010137

4. Keuntungan intubasi, yaitu:


a. Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut
b. Mudah dikerjakan.
5. Kerugian intubasi, yaitu:
a. Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas
b. Tidak dapat digunakan dalam waktu lama.Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7-10 hari
c. Tidak enak dirasakan penderita.
d. Tidak bisa makan melalui mulut.e. Tidak bisa bicara.
6. Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea.
7. Teknik intubasi endotrakea
a. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri, dimasukkanmelalui
mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri.
b. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkatkeatas,
sehingga pita suara dapat terlihat.
c. Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terusmelalui celah
antara kedua pita suara kedalam trakea.
d. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
e. Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang itu
pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepalamudah diekstensikan
maksimal.- Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri
dandimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal
ketas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
f. Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara
sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakeadifiksasi dengan
plester.
Laringotomi (Krikotirotomi)
1. Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membrantirokrikoid (krikotirotomi).
2. Krikotiromi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaangawat napas.
Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus dikerjakancepat walaupun persiapannya
darurat.
3. Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah usia 12tahun, demikian juga
pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik danterdapat laringitis.
4. Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang
letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk
jaringan granulasi dan sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.
6. Teknik krikotirotomi:
a. Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasiatlantooksipitalis.
b. Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangankiri
c. Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawahsampai ditemukan
kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antarakedua tulang rawan ini. Daerah
ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudiandibuat sayatan horizontal pada kulit.
d. Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.
e. Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.

16

JULIA 1102010137

f. Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa plastik untuk
sementara.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau membuatlubang sehingga terjadi
hubungan langsung lumen trakea dengan dunia luar untuk mengatasi gangguan pernapasan
bagian atas.Indikasi trakeostomi adalah:
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus.
4. Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator).
5. Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi.

Keuntungan trakeostomi yaitu:


a. Dapat dipakai dalam waktu lama
b. Trauma saluran napas tidak ada.
c. Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat dihindari.
d. Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
e. Penderita dapat makan seperti biasa.
f. Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
g. Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.
Kerugian trakeostomi, yaitu:
a. Tindakan lama.
b. Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.
Jenis irisan trakeostomi ada dua macam:
a. Irisan vertikal di garis median leher.
b. Irisan horizontal.
Berdasarkan jenis trakeostomi:
a. Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3
b. Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3-4.
c. Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4-5.
Teknik trakeostomi:
a. Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30 untuk menurunkantekanan vena di
daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga terjadiekstensi. Leher harus lurus, tidak
boleh laterofleksi atau rotasi.
b. Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol.
c. Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur denganepinefrin atau
adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetapdiberikan meskipun
trakeostomi dilakukan secara anestesi umum.
d. Dilakukan insisi.
e. Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum,insisi ini
lebih mudah dan alir sekret lebih mudah
f. Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa sternum,membentang
antara kedua tepi depan dan medial m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm.Irisan
mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisialsecara tumpul. Bila
17

JULIA 1102010137

tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila mengalami kesukaran
dan tidak memungkinkan, potong saja
g. Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudiansuntikkan anestesi
lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk padawaktu memasang kanul.
h. Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakeayaitu dengan
menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut.Kemudian kanul
dimasukkan dengan bantuan dilator.
i. Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitanlonggar agar
udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.

Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)


1. Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yangmenyumbat laring secara
total atau benda asing ukuran besar yang terletak dihipofaring.
2. Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan pada paru. Diibaratkan
paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang tertutupoleh sumbatan. Dengan
memencet botol plastik itu sumbatan akan terlempar keluar.
3. Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak.
4. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati danfraktur iga.
5. Teknik perasat heimlich:
a. Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.
b. Tangan kanan dikepalkan dan dengqan bantuan tangan kiri, kedua tangandiletakkan pada
perut bagian atas.
c. Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan kearahatas dengan
hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar
keluar. Pada anak, penekanan cukup denganmemakai jari telunjuk dan jari tengah kedua
tangan.
d. Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara penolong
berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalantangan diletakkan di bawah
tangan kiri di daerah epigastrium.
e. Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udaradalam paru akan
mendorong benda asing keluar.

18

JULIA 1102010137

Obstruksi Laring
Obstruksi jalan napas atas adalah gangguan yang menimbulkan penyumbatan pada saluran
pernapasan bagian atas. Beberapa gangguan yang merupakan obstruksi pada jalan napas atas,
diantaranya adalah :
1. Obstruksi Nasal
Merupakan tersumbatnya perjalanan udara melalui nostril oleh deviasi septum nasi, hipertrofi
tulang torbinat / tekanan polip yang dapat mengakibatkan episode nasofaringitis infeksi
2. Obstruksi Laring
Adalah adanya penyumbatan pada ruang sempit pita suara yang berupa pembengkakan
membran mukosa laring, dapat menutup jalan dengan rapat mengarah pada astiksia.
Sumbatan laring biasanya disebabkan oleh:
1. Radang akut dan radang kronis.
2. Benda asing
3. Trauma akibat kecelakaan, perkelahian ,percobaan bunuh diri dengan senjata tajam
4. Trauma akibat tindakan medik
5. Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
6. Kelumpuhan nervus rekurens bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
1. Suara serak (disfonia) sampai afoni
2. Sesak nafas (dispnea)
3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,supraklavikula dan
interkostal.Cekungan ini terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernafasan untuk mendapatkan
oksigen yang adekuat.
5. Gelisah karena haus udara. (air hunger)
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala.
Stadium 1.
a. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal
b. Stridor pada waktu inspirasi
c. Pasien masih tampak tenang
Stadium 2
a. Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal maikn dalam
b. Cekungan di daerah epigastrium
c. Stridor terdengar pada waktu inspirasi
d. Pasien mulai tampak gelisah.
Stadium 3
a. Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklvikula dan diselasela iga.
b. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
c. Pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stadium 4
a. Cekungan cekungan diatas bertambah jelas,pasien sangat gelisah, tampak sangat
ketakutan dan sianosis.
b. Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena hiperkapnea.
c. Pasien lemah dan tertidur,akhirnya mninggal karena asfiksia.
19

JULIA 1102010137

3. Edema Laring
Edema laring adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan yang terdapat
di daerah laring. Pembengkakan adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan dibawah
kulit dalam ruang-ruang didalam jaringan-jaringan.Edema merupakan manifestasi umum
kelebihan volume cairan yang membutuhkan perhatian khusus.Pembentukan edema, sebagai
akibat dari perluasan cairan dalam kompartemen cairan intertisial, dapat terlokalisir, contohnya
pada pergelangan kaki;dapat berhubungan dengan rematoid arthritis; atau dapat menyeluruh,
seperti pada gagal jantung atau ginjal, edema menyeluruh yang berat disebut anasarka
Etiologi Edema Laring
Penyebab lain yang mungkin edema laring meliputi peningkatan tekanan kapiler akibat sindrom
vena kava superior, ligasi vena jugularis internal, kegagalan osmotik menurunkan plasma
disebabkan oleh gagal ginjal, gangguan aliran limfatik, dan peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein.
Manifestasi klinis dari edema laring antara lain:
a. Kesulitan untuk bernafas, bahkan bisa menyebabkan tidak bisa bernafas.
b. Takikardia
c. Peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, dan tekanan vena sentral
d. Peningkatan berat badan
e. Nafas pendek dan Mengi
f. Retensi Cairan
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium: urinalisa, urem, creatinin, darah lengkap, elektrolit, protein (albumin),
analisa gas darah, gula darah
b. Radiology: foto laring
c. Biopsy jaringan di sekitar laring
Penatalaksanaan konservatif meliputi pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis,
pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi komplikasi.
4. Benda Asing di Saluran Nafas
Benda asing jalan nafas adalah benda asing yang secara tidak sengaja terhirup masuk ke jalan
nafas ( laring, trakea dan bronkus ).Sering terjadi pada anak-anak dibawah 6 tahun yang
pertumbuhan gerahamnya belum terbentuk sempuma. Jenis benda asing: kacang, kecik,
sempritan mainan dll. Masuknya benda asing ke dalam laring, trakea/bronkus terjadi ketika
benda berada di dalam mulut penderita, penderita menghirup nafas ( inspirasi ) dengan mulut
terbuka (waktu tertawa atau menangis ), sehingga benda tersebut terhisap masuk ke dalam laring
atau trakea / bronkus.
Diagnosis
1. Anamnesis:
a. Pada awalnya timbul batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi dan dapat sampai biru
(sianosis).Kemudian diikuti dengan fase tenang, tidak batuk, sebab benda asing berhenti
pada salah satu cabang bronkus. Bila "lepas", dapat timbul batuk -batuk lagi.
b. Sesak nafas terjadi bila ada penyumbatan pada laring atau trakea.
c. Anamnesis yang cermat,sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

20

JULIA 1102010137

2. Pemeriksaan fisik:
a. Kadang-kadang tidak dapat diternukan gejala yang jelas.
b. Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak gelisah, sesak dan stridor inspirasi
c. Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra steroal biru (sianosis)
d. Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
Gerak nafas satu sisi berkurang
Suara nafas satu sisi berkurang
Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.
3. Pemeriksaan tambahan:
X-foto toraks, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila masih baru dan
bendanya non radio opaqe, sering tidak tampak kelainan.
Diagnosis banding
1. Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir.
2. Laringitis akut.
3. Trakeitis
4. Bronkitis
5. Pneumoni
Penyulit
a. Penyumbatan total laring/trakea ------ meninggal
b. Bronkitis
c. Pneumoni
d. Emfisema, terjadi bila timbul "check valve mechanism", di mana udara dapat masuk tetapi
tak dapat keluar.
e. Atelektasis, terjadi bila timbul penyumbatan total pada salah satu cabang bronkus.
Terapi
a. Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi
b. Bila sesak dapat dilakukan trakeotomi.
c. Bila penderita apatis dan tidak tersedia peralatan tersebut, dapat dilakukan "Heimlich
manouvre".
Cara-cara pengiriman penderita:
a. Duduk, miring ke sisi obstruksi ( anak dipangku ibunya ).
b. Jangan banyak bergerak atau menangis, sebab benda asing dapat cepat dibatukkan dan
mungkin dapat terjepit pada rima glotis sehingga menimbulkan penyumbatan jalan nafas
yang fatal
c. Diberikan oksigen.
d. Sebaiknya disertai paramedis yang dapat melakukan'Heimlich
Penanggulangan Sumbatan laring
Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya jalan nafas lancar
kembali .
Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamai, anti alergi,antibiotika, serta
pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan
peradangan.
Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran nafas ini dapat dengan cara
memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi
nasotrakea), membuat trakeostomi atau melakukan krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan
21

JULIA 1102010137

trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3, sedangkan
krikotirotomi dlakukan pada sumbatan laring stadium 4.
Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisa gas darah (pemeriksaan
astrup). Bila fasilias tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan pertama, sedangkan
jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi.
Indikasi intubasi endotrake adalah :
1.
Untuk mengatasi sumbatan saluran nafas bagian atas
2.
Membantu ventilasi
3.
Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeo-bronkial
4.
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung.
Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk
selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi. Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis
laring atau trakea

22

Anda mungkin juga menyukai