Anda di halaman 1dari 4

Aku Bangga Sesat!

..tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?


(Matius 20:15)
Pernah, saat masa kegiatan pratikum perkuliahan sedang berlangsung, seorang sahabat
berencana mengambil cuti beberapa hari untuk mengurus organisasi kerohanian yang
diikutinya di kampus. Sempat ada sedikit perdebatan kecil di antara kami. Hitung-hitungan
prioritas jadi masalah. Menukarkan beberapa hari masa praktik kerja di lapanganyang
merupakan kewajiban akademikdengan urusan organisasi dalam bentuk apa pun tentu
kesannya agak berlebihan. Apalagi, lokasi praktikum terpisah ratusan kilometer jauhnya dari
kampus.
Saya sempat menawarkan satu-dua opsi, semacam win-win solution, agar ditemui jalan
tengah yang tak merugikan masa praktik yang dia punya. Tapi sahabat saya itu tetap keukeh.
Ia harus cuti. Dengan serius, teman saya yang lain (yang juga anggota dari organisasi yang
sama) lalu menimpali, mungkin bagimu, tindakan kami ini bodoh. Ia kemudian berucap
soal totalitas diri dalam melayani Tuhan. Kepentingan Tuhan harus didahulukan dibanding
urusan duniawi. Dan lain-lain yang semacam itu.
Saya hanya diam. Jelas salah kalau saya mengangap pengorbanan sahabat saya itu sebagai
satu kebodohan. Malah muncul rasa maklum. Walau kadang masih saja ada bingung yang
menggelitik, sejak lama saya meyakini bukanlah hal yang luar biasa saat seorang individu
dengan level ketertarikan tertentu terhadap ajaran agama melakukan hal seperti itu. Teman
saya bukan satu-satunya contoh. Setiap agama tentu memiliki konsep pengorbanan
transendental, yang gaib atau perjuangan keilahiannya sendiri-sendiri. Mungkin sebutannya
saja yang beda, tapi jika didalami, motivasinya tetaplah serupa.
Saya harus akui, saya bukanlah spesies manusia religius (jika patokannya adalah intensitas
keaktifan di kegiatan agama atau kemampuan menghafal ayat-ayat di kitab suci). Tapi bukan
berarti saya menolak peran Sosok Si Pengada. Saya masih jauh dari golongan agnotisme,
apalagi jika menyebut diri seorang ateis. Hanya saja ketika berbicara soal pengakuan
terhadap Sesuatu yang punya banyak sebutan iniTuhan, Allah, Yehova, dllsaya punya
cara yang tak selalu sama dengan yang lain.
Jika boleh beranalogi, sebut saja saya dan semua manusia yang percaya akan keberadaan
Tuhan adalah sekumpulan orang-orang yang sedang sakit parah. Tanpa diperintah,
kebanyakan penderita sakit pasti akan lekas mencari bantuan dokter. Dalam mencari dokter
pun tak sembarangan. Kredibilitas dan track record si pengobat jadi alasan utama
kepercayaan yang diberikan para pasien.
Agama dan penganutnya juga punya pola yang persis sama. Ada keyakinan akan
penyembuhan saat seseorang memilih (atau dipilihkan) sebuah kepercayaan agama. Tak
cuma memilih dokter, menentukan aliran agama pun tak jarang perlu selera. Tak puas dengan
layanan aliran A, siapa saja bebas meloncat ke aliran B dan seterusnya.
Di sinilah letak perbedaan saya. Saya tak perlu mengikuti pemikiran si sakit yang seperti itu.
Alih-alih pergi ke dokter, saya putuskan untuk bertahan mengumpulkan sendiri bahan obat.
Dengan sepasang tangan yang gemetar menahan rasa sakit, saya racik takaran panasea tanpa
bantuan, tanpa butuh diagnosa macam-macam dari tabib. Saya berusaha temukan campuran

obat yang tepat bagi penyakit jalang yang gerogoti tubuh saya. Ya, saya adalah dokter bagi
dari saya sendiri!
Alasannya sederhana saja, saat seseorang memilih aliran kepercayaan, tentu ia akan meneguk
sebanyak mungkin doktrin dari ajaran yang ia yakini itu. Dengan tekun, dia akan selektif
dalam memilah referensi kerohanian yang ia akan dalami.
Namun dari manakah obat yang ia telan itu berasal?
Jika coba dirunut lebih jauh, akan kita temui sebuah pola kaki-kaki di dalam penyebaran
ajaran atau aliran agama. Ingatlah konsep dagang Multi Level Marketing. MLM.
Penjual akan mencari konsumen untuk kemudian menjadikan konsumen itu sebagai penjual
yang ditugaskan mencari lagi calon konsumen baru dan begitu seterusnya. Sebuah pola
murid yang memuridkan, aksi dakwah; difusi ajaran dari satu titik mula ke segala arah.
Namun tentu, titik ini tak pernah berjumlah satu. Tidak ada agen tunggal. Semuanya bermula
dari sumur yang berbeda-beda. Ajaran agama, beragama jenis obat, bukanlah produk hasil
cipta, karsa dan karya satu orang saja.
Ada banyak versi, ada bermacam variasi.
Layaknya sebuah supermarket raksasa, kita disuguhkan begitu banyak pilihan. Dan lucunya,
semua serentak melabeli diri sebagai produk terunggul, berkeras mengaku sebagai si nomor
satu.
Jujur saja, saya tak mau kepercayaan saya dikendalikan.. dikendalikan oleh segelintir konsep
bentukan manusia yang hidup dengan keyakinan kalau keimanan miliknya lebih sempurna
dari yang lain. Apalagi, saya tak sudi jadi bagian dari persaingan multi level marketing
berkedok jalan lengang menuju surga.
Saya meyakini prinsip Rosseau untuk memaksa setiap orang bertindak bebas selama dalam
menggunakan kebebasan itu tidak muncul ancaman bagi kebebasan individu lain.
Saya menjaga jarak terhadap monopoli kebenaran, apalagi jika menyangkut soal kepercayaan
akhirat.
Sebagai anak dari keluarga Protestan yang cukup taat, sejak kecil orangtua ajarkan agar saya
rutin pergi ke gereja ketika hari minggu tiba. Namun semakin mendekati usia dewasa,
muncul kebutuhan mendesak, keinginan untuk memeroleh pengetahuan yang lebih mendalam
akan penjelasan dibandingkan nrimo secara a priori berbagai rutinitas aksioma (hal yang
diterima sebagi kebenaran tanpa pembuktian) terutama tentu jabaran jalur yang benar milik
klaim agama. Mulai muncul tanya dan bermacam ragu.
Tak puas dengan jawaban ironis seperti terima saja, pengetahuan tak bisa sejalan dengan
agama, saya memilih berkeluh kesah dengan banyak celoteh pemikir-pemikir raksasa. Saya
kunyah seluruh tesis soal teisme, ekstensialisme, rasionalisne, dan isme-isme yang seakan
menyajikan pertarungan sepanjang masa untuk mengukuhkan supermasi di tengah jagad
pemikiran yang pernah hidup di atas tanah bumi.
Saya seperti mencari keberadaan Tuhan di antara tumpukan buku-buku. Tapi lagi-lagi, saya
terjebak dalam kondisi dokter dan obat, konsep yang tak mampu saya sukai. Lagi-lagi,
saya tak ingin tersangkut pada satu arus pemikiran soal keberadaan Tuhan yang kini
jumlahnya tak lagi terhitung.

Saya melepaskan diri dari pilihan. Mencoba menyatu dan terpisah di saat yang bersamaan.
Identitas saya yang seorang Protestan, membuat saya dekat dengan kisah-kisah agama yang
dulunya lahir dari pemberontakan ini. Saya terpesona dengan legenda keberanian seorang
Marthin Luther saat mendobrak dominasi gereja dan kemunafikan alim ulama Katolik Abad
Pertengahan yang menjadikan agama sebagai komuditas dagang di gelapnya selimut zaman
medieval.
Jadilah pendeta bagi dirimu sendiri! katanya waktu itu. Inilah yang saya cari! Sebagai anak
kelahiran Renaisans, Luther menjadi pengoyak selubung monopoli kebenaran yang dilakukan
oleh segelintir pihak di masanya. Semangatnya itu menjadi penghancur borok arogansi yang
sampai saat ini masih saja ada di tengah hati sekelompok umat beragama yang merasa kalau
dirinyalah yang memegang kuasa akan kebenaran. Luther lalu menerjemahkan Akitabyang
sebelumnya hanya boleh diakses oleh para petinggi agamahingga menjadi bahan bacaan
umum yang terbuka untuk diinterpretasikan tanpa intervensi gereja. Ia bebaskan kungkungan
keseragaman menuju binar perbedaan.
Kalau saya tak keliru, Islam pun mengenalnya dalam konsep ijtihad.
Tapi bagaimana pun, bagi saya, Marthin Luther tetaplah seorang dokter dengan sebungkus
obat dan diagnosa. Alergi itu muncul lagi. Saya tetap bertahan untuk tak mau menjadikan
seseorang di luar diri saya mendominasi gerak keyakinan yang saya miliki. Luther tetaplah
manusia yang punya lubang dan celah untuk keliru dan salah, seperti halnya saya dan semua
manusia yang pernah ada. Lalu, daripada terjebak mengikuti ketidaksempurnaan sistem yang
dibangun oleh manusia lain, saya memutuskan untuk memilih menggunakan
ketidaksempurnaan sistem yang saya rakit sendiri.
Lagi pula, ketika saya menaruh rasa kagum dan hormat pada Marthin Luther dengan
reformasi bersejarah yang pernah ia lakukan, saya juga tak bisa tidak menaruh kekaguman
dan penghormatan yang serupa pada St. Augustinus, pada John Wesley, pada St. Thomas
Aquinas, dan pada beribu-ribu tokoh yang mendirikan aliran pemikiran yang tentunya
memiliki warna yang tak sama satu sama lain.
Kemunculan merekadengan keunikan pemikirannya masing-masingjuga membentuk
sebuah pertanyaannya di benak ini; apa beda saya, beda kita, dengan mereka?
Sejarah mencatat mereka semua adalah spesies manusia (tentu, tak berbeda dengan kita),
sejarah juga mencatat mereka memiliki akal budi dan keotentikannya sendiri (ini juga hal
yang sudah dan mampu kita miliki). Yang menjadi masalah adalah, perbedaan corak ajaran
seakan menciptakan keadaan seakan-akan ada begitu banyak Tuhan. Seperti bukan hanya
satu Tuhan yang bersuara. Karena tentu, kondisi heterogen selalu diikuti dengan kenyataan
jika ada ragam asal-muasal.. dan jika begitu, sumber manakah yang paling dapat dipercayai?
Siapa yang diberi kuasa oleh Tuhan untuk menyebarkan berita surga?
Siapa yang paling benar? Siapa yang sesat?
Awal inilah yang membuat saya akhirnya memilih. Tanpa perlu melibatkan diri pada
pertikaian soal siapa sesungguhnya yang menjadi sekretaris Tuhan di muka bumi, saya
mengambil kendaliseperti yang dikatakan oleh Marthin Luthermenjadi pendeta bagi diri
saya sendiri.

Kenalilah dirimu sendiri, ucap Marsilio Picino, wahai keturunan Ilahi yang menyamar
sebagai manusia! Kuda memang dilahirkan, tapi manusia dibentuk. Untuk itulah saya tak
ragu menjadi pengikut bagi diri saya. Otonom terhadap keyakinan yang saya racik tanpa
perlu menjadi pengekor yang ngungun menerima dikuasai oleh hegemoni kebenaran yang
bukan versi dirinya. Dan lebih penting, ini yang selalu saya ikrarkan, saya benar bagi diri
saya sendiri tanpa perlu menyalahkan kebenaran yang dimiliki oleh orang lain. Saya tak ingin
terperangkap pada semangat anti-perbedaan yang melekati kebanyakan individu dengan
tingkat kecanduan yang tinggi akan monopoli kebenaran religius. Karena saya adalah
komandan yang melegitimasi perintah bagi dirinya, jadi saya tak perlu takut akan kenyataan
akan adanya perbedaansebab saya adalah bagian dari perbedaan itu sendiri.
Jadi tak mengapa jika beda saya ini akhirnya disebut sesat!
Saya malah bangga, kalau sesat itu diartikan sebagai keinginan untuk jadi manusia yang
bebas menggunakan dan tentukan arah kehendak yang merupakan kemampuan mulia yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Baik sebagai pembeda derajat saya (dan seluruh manusia)
dari mahluk lainnya.
Saya beriman, karena itu saya berbeda.

Anda mungkin juga menyukai