Jbptitbpp-Gdl-Jimmyginti-27967-4-2007ta-3 RRQWRQ PDF
Jbptitbpp-Gdl-Jimmyginti-27967-4-2007ta-3 RRQWRQ PDF
DASAR TEORI
3.1
UMUM
Pada kegiatan penambangan, proses penggalian merupakan kegiatan yang
utama. Penggalian dilakukan terhadap massa batuan yang memiliki struktur geologi
yang kompleks didalamnya. Oleh karena itu diperlukan suatu perancangan yang tepat
agar massa batuan tetap dalam kesetimbangannya. Perancangan yang buruk dapat
mengakibatkan bahaya kelongsoran pada waktu-waktu yang akan datang yang dapat
berakibat pada keselamatan kerja, keamanan peralatan dan harta benda, serta kelancaran
produksi tambang yang akhirnya akan menaikkan biaya produksi, yang jelas tidak
diinginkan oleh suatu perusahaan tambang.
Ada empat parameter yang perlu diperhatikan dalam perancangan kemantapan
lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan, kondisi struktur geologi, sifatsifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng dan tekanan air tanah. Dari ke-empat
parameter tersebut, struktur geologi merupakan parameter yang paling dominan dalam
mengontrol kemantapan lereng batuan baik bentuk maupun arah longsoran lereng.
Terdapat tiga jenis metode analisis kemantapan lereng, yaitu metode analitik,
metode empirik, dan metode observasi.
Metode analitik
Metode analitik merupakan metode yang didasarkan atas analisis teganganregangan yang terdapat pada lereng.
Metode empirik
Metode empirik merupakan metode yang didasarkan atas pengalaman praktis
dan analisis statistik dari pengamatan berbagai pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.
Klasifikasi massa batuan merupakan pendekatan empirik yang paling terkenal
dalam analisis kestabilan lereng (Goodman, 1980; Hoek & Brown, 1980).
Metode observasi
Metode observasi merupakan metode yang didasarkan atas hasil pengamatan
langsung terhadap perpindahan yang terjadi pada massa batuan. Pengamatan
22
dilakukan terhadap lereng kerja (working slope) maupun lereng akhir (final
slope).
Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok
untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau
kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan atau
modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk merancang
kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan
parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk
berbagai tinggi lereng. Romana (1985 & 1991) menekankan deskripsi detil dari kekar
untuk melihat potensi kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap
kemantapan lereng.
3.2
MASSA BATUAN
Palmstorm (2001) menjelaskan konsep massa batuan yang idealnya merupakan
susunan dari sistem blok-blok dan fragmen-fragmen batuan yang dipisahkan oleh
bidang-bidang diskontinu yang masing-masing saling bergantung sebagai sebuah
kesatuan unit, lihat gambar 3.1.
23
batuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa
batuan. Melakukan test in-situ pada suatu massa batuan akan menghasilkan variasi yang
luar biasa dari sifat mekanik yang terdapat dalam satu massa batuan dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Kurang tersedianya data geologi untuk pengkarakterisasian dari suatu lokasi
batuan akan memberikan halangan utama terhadap proses desain, kontruksi dan operasi
penggalian batuan. Pengembangan dari metode dan teknik pengkarakterisasian suatu
lokasi batuan, serta intepretasi data adalah penelitian utama yang dibutuhkan, bukan
hanya untuk penggalian batuan dalam ukuran besar tapi untuk seluruh bentuk dari
rekayasa batuan (Brown, 1986).
Oleh karena itu, sifat atau karateristik massa batuan tidak dapat diperkirakan
tetapi harus dilakukan pengukuran dari hasil observasi, deskripsi dan melakukan test
langsung maupun tidak langsung yang didukung oleh test laboratorium dengan
menggunakan specimen kecil dari batuan, dimana karakteristik dari parameter massa
batuan akan didapatkan.
Gambar 3.2 Karakteristik batuan in-situ (A.A. Balkema publishers, 2001, pp. 49 97)
24
3.3
BIDANG DISKONTINU
Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang membagi-bagi massa
batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993), bidang diskontinu
adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki kuat tarik paling
lemah dalam batuan. Menurut Gabrielsen (1990), keterjadian bidang diskontinu tidak
terlepas dari masalah perubahaan stress (tegangan), temperatur, strain (regangan),
mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi dalam waktu yang panjang.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang diskontinu
terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal ini yang membedakan
antara diskontinuitas alami, yang terbentuk oleh peristiwa geologi atau geomorfologi,
dengan diskontinuitas artifisial yang terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya
pengeboran, peledakan dan proses pembongkaran material batuan. Secara tiga dimensi,
struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan
yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur batuan,
membentuk massa batuan.
Beberapa macam bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan
komposisi bidang diskontinu adalah sebagai berikut:
1. Fault atau patahan
Fault atau patahan adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan
tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut
diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slickensided atau jejak yang
terdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena
akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang
luas.
2. Joint atau kekar
Beberapa pengertian joint atau kekar :
Berdasarkan ISRM (1980), joint atau kekar adalah bidang diskontinu yang
terbentuk secara alami tanpa ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat.
Menurut Price (1966), joint adalah retakan pada batuan yang tidak
menunjukkan tanda-tanda pergerakan, atau meskipun mengalami pergerakan
tetapi sangat kecil sehingga bisa diabaikan.
25
3. Fracture
Fracture adalah bidang diskontinu pada batuan yang terbentuk karena adanya
proses pelipatan dan patahan yang intensif (Glossary of Geology, 1980).
Fracture adalah istilah umum yang dipakai dalam geologi untuk semua bidang
diskontinu. Namun istilah ini jarang dipakai untuk kepentingan yang
berhubungan dengan rock engineering dan engineering geology.
4. Crack
Crack adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil atau tidak menerus
(ISRM1975). Namun dibeberapa rock mechanic engineer menggunakan istilah
fracture dan crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat
pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya
batuan.
5. Rupture
Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinu yang terjadi karena proses
ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.
6. Fissure
Fissure adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil, terutama yang tidak
terisi atau terbungkus oleh material isian.
7. Bedding (bidang pelapisan)
Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding
terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan
26
orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi
selama proses pembentukan batuan sedimen.
8. Seam adalah:
-
9. Shear adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus
oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar
dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah ini
bervariasi dari ukuran beberapa millimeter sampai meter.
27
3.4
Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama
menjadi kelas massa batuan.
Mengambil
data
kuantitatif
dan
pedoman
untuk
rancangan
rekayasa
(engineering)
28
29
Tabel 3.1 Metode klasifikasi massa batuan utama (mod. Palmstrom, 1995)
Nama Klasifikasi
Penemu
Negara
Asal
Aplikasi Utama
Bentuk *)
Terzhagi, 1946
USA
Stand up time
Lauffer, 1958
Austria
General
NATM
Rabcewicz,
Austria
1964/65 and 1975
Tunneling
concept
RQD
General
Deskriptif
General
Deskriptif
General
Numerik
Fungsional
Numerik
Fungsional
A recommended rock
classification for rock
mechanical purposes
The Unified classification of
soils and rocks
Rock Structure Rating (RSR)
concept
USA
Patching and
Coates, 1968
Deskriptif,
behavioristik
Tipe **)
Deskriptif,
behavioristik
Fungsional
USA
Wickham et al.,
1972
USA
Bieniawski, 1974
South
Africa
Q-system
Fungsional
Mining RMR
Laubscher, 1975
Fungsional
Deskriptif
General
Deskriptif
General
Penggunaan umum
Deskriptif
General
Numerik
Fungsional
USA
Sweden
Cummings et al.,
1982
Fungsional
Brook and
Darmaratne,1985
Fungsional
Romana, 1985
Spain
Fungsional
Ramamurthy/Arora
Ramamurthy and
Arora, 1993
India
India
Arild Palmstrom,
1995
Norway
Fungsional
Fungsional
Numerik
Fungsional
Numerik
Fungsional
*)
Deskripstif
Numerik
: Data masukan berupa parameter yang dinyatakan dalam rating numerik berdasarkan karakteristiknya
30
3.4.1
sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan kualitas dari massa batuan secara
kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai persentasi dari perolehan inti bor (core) yang
secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang
lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core). Hanya bagian yang utuh
dengan panjang lebih besar dari 100 mm (4 inchi) yang dijumlahkan kemudian dibagi
panjang total pengeboran (core run) (Deere, 1967). Diameter inti bor (core) harus
berukuran minimal NW (54.7 mm atau 2.15 inchi) dan harus berasal dari pemboran
menggunakan double-tube core barrel.
31
RQD =
Metode ini telah dikenal luas sebagai parameter standar pada pekerjaan drill
core logging. Keuntungan utama dari sistem RQD adalah pengerjaan yang sederhana,
hasil yang diinginkan dengan cepat diperoleh, dan juga tidak memakan banyak biaya
(murah). RQD dilihat sebagai sebuah petunjuk kualitas batuan dimana permasalahan
pada batuan seperti tingkat kelapukan yang tinggi, lunak, hancur, tergerus dan
terkekarkan diperhitungkan sebagai bagian dari massa batuan (Deere & Deere, 1988).
Dengan kata lain, RQD adalah ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan yang
baik dari sebuah interval kedalaman lubang bor.
Hubungan antara nilai RQD dan kualitas dari suatu massa batuan diperkenalkan
oleh Deere (1967) seperti Tabel 3.3 berikut ini.
Tabel 3.3 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere, 1967)
3.4.1.1
RQD (%)
Kualitas Batuan
< 25
25 - 50
50 - 75
75 - 90
90 - 100
Metode Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs
tersedia. Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere diilustrasikan pada Gambar
3.4. Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus dilakukan sepanjang
garis tengahnya. Inti bor (core) yang pecah/retak akibat aktivitas pengeboran harus
digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian yang utuh. Ketika ada keraguan
apakah pecahan/retakan diakibatkan oleh ektivitas pengeboran atau terjadi secara alami,
pecahan itu bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami. Semua
pecahan/retakan yang bukan terjadi secara alami tidak diperhitungkan pada perhitungan
panjang inti bor (core) untuk RQD (Deere, 1967).
32
Berdasarkan pengalaman Deere, semua ukuran inti bor (core) dan teknik
pengeboran dapat digunakan dalam perhitungan RQD selama tidak menyebabkan inti
bor (core) pecah (Deere D. U. and Deere D.W., 1988). Menurut Deere (1988), panjang
total pengeboran (core run) yang direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m
(Edelbro, 2003).
Call
&
Nicholas,
Inc
(CNI),
konsultan
geoteknik
asal
Amerika,
mengembangkan koreksi perhitungan RQD untuk panjang total pengeboran yang lebih
dari 1,5 m. CNI mengusulkan nialai RQD diperoleh dari persentase total panjang inti
bor utuh yang lebih dari 2 kali diameter inti (core) terhadap panjang total pengeboran
(core run). Metode pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada Gambar 3.5.
L = 28 cm
L = 28 cm
L = 11 cm
L=0
No pieces > 12.2 cm
L=0
No pieces > 10 cm
L=0
No pieces > 12.2 cm
L = 20 cm
L = 20 cm
L = 25 cm
L = 25 cm
L=0
No Recovery
L=0
No Recovery
100%
28+11+20+25
100% = 84%
100
100%
RQD =
28+20+25
100% = 73%
100
menurut Deere
menurut CNI
33
3.4.1.2
logs tidak tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung :
34
3.4.2
yang dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR).
Metode rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan
pada pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyek-proyek terowongan dangkal.
Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi
yang berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi ini juga sudah dimodifikasi
beberapa kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dan sesuai dengan standar internasional.
3.4.2.1
dimana rating setiap parameter dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :
1. Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
2. Rock Quality Designation (RQD).
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)
a) Kuat Tekan Batuan Utuh (Strength of Intact Rock Material)
Kuat tekan batuan utuh dapat diperoleh dari Uji Kuat Tekan Uniaksial (Uniaxial
Compressive Strength, UCS) dan Uji Point Load (Point Load Test, PLI). UCS
menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial).
Sampel batuan yang diuji dalam bentuk silinder (tabung) dengan perbandingan antara
tinggi dan diameter (l/D) tertentu. Perbandingan ini sangat berpengaruh pada nilai UCS
yang dihasilkan. Semakin besar perbandingan panjang terhadap diameter, kuat tekan
akan semakin kecil. ASTM memberi koreksi terhadap nilai UCS yang diperoleh pada
perbandingan antara panjang dengan diameter ( Dl
=1
) sampel satu :
35
c ( Dl
)=
=1
0.22
0.778 + l
( )
D
= 2
) sample dua :
c ( Dl
= 2
)=
8 c
2
7 + l
( )
D
F =
50
0.45
UCS (MPa)
PLI (MPa)
Rating
> 250
100 - 250
50 - 100
25 - 50
5 - 25
1-5
<1
> 10
4 - 10
2-4
1-2
Penggunaan
UCS lebih
dianjurkan
15
12
7
4
2
1
0
36
Kualitas Batuan
Rating
< 25
25 - 50
50 - 75
75 - 90
90 - 100
3
8
13
17
20
Rating
>2
0.6 - 2
0.2 - 0.6
0.006 - 0.2
< 0.006
20
15
10
8
5
37
Kemenerusan (persistence/continuity)
Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar dengan mengamati
panjang jejak kekar pada suatu bukaan. Pengukuran ini masih sangat kasar dan
belum mencerminkan kondisi kemenerusan kekar sesungguhnya. Seringkali
panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar sesungguhnya,
sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak. Jika jejak sebuah
kekar pada suatu bukaan berhenti atau terpotong kekar lain atau terpotong oleh
solid/massive rock, ini menunjukkan adanya kemenerusan.
masing dan kemudian dijumlahkan sebagai bobot total kondisi kekar. Pemberian bobot
berdasarkan pada Tabel 3.7 dibawah ini.
38
Parameter
Panjang kekar
(persistence/continuity)
Jarak antar permukaan kekar
(separation/aperture)
Kekasaran kekar (roughness)
<1m
6
Tidak ada
6
Sangat kasar
6
Tidak ada
Material pengisi
(infilling/gouge)
6
Tidak lapuk
6
Kelapukan (weathering)
1-3m
3 - 10 m
10 - 20 m
> 20 m
4
2
1
0
< 0.1 mm 0.1 - 1.0 mm
1 - 5 mm
> 5 mm
5
4
1
0
Kasar
Sedikit kasar
Halus
Slickensided
5
3
1
0
Keras
Lunak
< 5 mm
> 5 mm
< 5 mm
> 5 mm
4
2
2
0
Sedikit lapuk
Lapuk
Sangat lapuk
Hancur
5
3
1
0
Kering
Lembab
(completely dry ) (damp )
Basah
(wet )
Tidak ada
< 10
10 - 25
25 -125
> 125
< 0.1
0.1 - 0.2
0.1 - 0.2
> 0.5
Rating
15
10
3.4.2.2
Bobot yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung pada hubungan antara
orientasi kekar-kekar yang ada dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena
itu dalam perhitungan, bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari lima
parameter lainnya.
39
Lima parameter pertama mewakili parameter dasar dari sistem klasifikasi ini.
Nilai RMR yang dihitung dari lima parameter dasar tadi disebut RMRbasic. Hubungan
antara RMRbasic dengan RMR ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
RMR = RMRbasic + penyesuaian terhadap orientasi kekar
dimana, RMRbasic = parameter (a+b+c+d+e)
3.4.2.3
jumlah keseluruhan bobot tersebut menjadi nilai total RMR. Nilai RMR ini dapat
dipergunakan untuk mengetahui kelas dari massa batuan, memperkirakan kohesi dan
sudut geser dalam untuk tiap kelas massa batuan seperti terlihat pada Tabel 3.9 dibawah
ini.
Tabel 3.9 Kelas massa batuan, kohesi dan sudut geser dalam berdasarkan nlai RMR
(Bieniawski, 1989)
Deskripsi
Rating
Kelas massa batuan
Kohesi
Sudut geser dalam
3.4.3
100 - 81
80 - 61
60 - 41
40 - 21
20 - 0
Sangat baik
Baik
Sedang
Jelek
Sangat jelek
> 400 kPa 300 - 400 kPa 200 - 300 kPa 100 - 200 kPa < 100 kPa
> 45
35 - 45
25 - 35
15 - 25
< 15
40
3.4.4
Kriteria faktor
koreksi
P
T
P/T
P
P
T
P
T
P/T
|j - s|
|j - s - 180|
F1
|j|
F2
F2
j - s
j + s
F3
Sangat
menguntungkan
Menguntungkan
Sedang
Tak
menguntungkan
Sangat tak
menguntungkan
> 30
30 - 20
20 - 10
10 - 5
<5
0.15
< 20
0.15
1
> 10
< 100
0
0.4
20 - 30
0.4
1
10 - 0
110 - 120
-6
0.7
30 - 35
0.7
1
0
> 120
-25
0.85
35 - 45
0.85
1
0 - (-10)
1
> 45
1
1
< -10
-50
-60
j = dip kekar
s = dip lereng
P = longsoran bidang
T = longsoran guling
Besar bobot untuk metode penggalian F4 diberikan pada Tabel 3.11 berikut ini.
Tabel 3.11 Bobot metode penggalian lereng (Romana, 1985)
Metode
F4
Lereng
alamiah
+ 15
Peledakan
presplitting
+ 10
41
No kelas
IV
III
II
100 - 81
Sangat baik
80 - 61
Baik
Longsoran
Tidak ada
Beberapa blok
60 - 41
Sedang
Beberapa kekar
atau banyak baji
20 - 0
Sangat jelek
Bidang besar atau
seperti tanah
Penyanggaan
Tidak ada
Sewaktu-waktu
40 - 21
Jelek
Bidang atau
baji besar
Sangat perlu
perbaikan
Rating
Kelas massa batuan
3.5
Sistematis
Reexcavation
CORE ORIENTING
Core orienting merupakan salah satu metode pengukuran kekar selain metode
informasi karakteristik dan orientasi kekar di bawah tanah. Sedangkan metode line
sampling dan metode window sampling bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan
orientasi kekar yang ada di permukaan. Cara pengambilan data pada metode line
sampling adalah dengan scan line dimana data-data karakteristik dan orientasi kekar
diukur pada kekar yang memotong tali yang dibentangkan di sepanjang permukaan
batuan. Berbeda dengan metode line sampling, metode window sampling mengukur
data-data karekteristik dan orientasi kekar pada semua kekar yang terlihat jejaknya pada
suatu luasan tertentu.
Pengukuran data-data karakteristik dan orientasi kekar yang digunakan dalam
penelitian tugas akhir ini menggunakan metode core orienting. Alat yang dipergunakan
adalah Ezy Mark Orientor yang patennya dimiliki 2IC Australia. Sedangkan prosedur
42
yang digunakan adalah prosedur core orienting yang dikembangkan oleh Call &
Nicholas, Inc (CNI).
Penjelasan mengenai prosedur core orienting yang dikembangkan oleh CNI
dapat dilihat pada Lampiran A. Tetapi secara garis besar, tahapan pelaksanaan core
orienting yang dikembangkan CNI adalah sebagai berikut :
1. Pengeboran core orienting menggunakan ezy mark tool
2. Rekonstruksi inti bor (core)
3. Pembuatan garis referensi (reference line) yang sejajar sumbu bor (core axis) dan
garis penanda bagian bawah inti bor (bottom line)
4. Pengukuran orientasi relatif terhadap sumbu bor (core axis) yang dinyatakan dalam
angle to core axis () dan circumference angle () yang masing-masing adalah dip
dan dip direction relatif terhadap sumbu bor (core axis)
5. Pengolahan data
Pengolahan data dimaksudkan untuk mengolah hasil pengukuran orientasi relatif
terhadap sumbu bor menjadi orientasi sebenarnya. Pengolahan data ini menggunakan
program komputer dcorcnv yang dikembangkan oleh Call & Nicholas, Inc.
Adapun langkah-langkah pengolahan data menggunakan program komputer dcorcnv
adalah sebagai berikut :
a. Membuat raw data format sebagai input program dcorcnv. Raw data dibuat dari
data Microsoft Excel yang yang berisi data-data pengukuran di lapangan. Tampilan
raw data format dapat dilihat pada Gambar 3.6.
b. Membuat suvey data sebagai input program dcorcnv. Format yang digunakan
dalam pembuatan survey data adalah sebagai berikut :
baris 1 : nama lubang bor atau nama proyek
baris 2 : koordinat lubang bor (easting, northing, elevation)
baris 3 : kedalaman, inklinasi, dan bearing dari lubang bor.
Data kedalaman, inklinasi, dan bearing diperoleh dari data downhole survey
Maxibor. Maxibor merupakan alat untuk melihat arah sebenarnya dari lubang bor.
Biasanya lubang bor akan berbelok arah dan tidak selalu tepat lurus sesuai dengan
rencana arah pengeboran awal. Tampilan survey data dapat dilihat pada Gambar
3.7.
43
c. Kedua input data diatas selanjutnya diolah dengan program komputer dcorcnv
untuk mendapatkan orientasi kekar yang sebenarnya. Tampilan program dcorcnv
dapat dilihat pada Gambar 3.8. Sedangkan tampilan hasil keluaran dari program
dcorcnv yang merupakan orientasi kekar yang sebenarnya dapat dilihat pada
Gambar 3.9.
44
Gambar 3.7 Tampilan program dcorcnv Call & Nicholas, Inc (CNI)
Gambar 3.8 Tampilan hasil keluaran program dcorcnv Call & Nicholas, Inc (CNI)
45