Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikterus adalah masalah neonatus yang umum ditemukan. Peningkatan bilirubin
yang disertai ikterus ini dapat merupakan proses fisiologis pada bayi baru lahir, namun
dapat pula menunjukkan suatu proses patologis.1
Ikterus dapat merupakan suatu pertanda adanya penyakit (patologik) atau adanya
gangguan fungsional (fisiologik). Dikatakan ikterus patologik apabila di dapati ikterus
dengan dasar patologik atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia yaitu bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau lebih setiap
24 jam atau konsentrasi bilirubin serum lebih dari 15 mg/dl (250 mol/L) pada bayi
cukup bulan dan 12 mg/dl (250 mol/L) pada bayi kurang bulan.1,2
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin
Indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat menimbulkan kematian
atau cacat seumur hidup, oleh sebab itulah maka setiap bayi yang mengalami ikterus
harus mendapat perhatian, meskipun tidak semuanya memerlukan pemeriksaan atau
pengobatan yang khusus. 1-3
Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang paling
sering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan
darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematom
dan lain-lain.1-3
Pada Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan
dengan anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi selagi zat
anti dari ibu masih terdapat dalam serum bayi. 3
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
metabolisme bilirubin, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan serta prognosis dari inkompabilitas ABO. (3,7)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin.
(2,4,5,6,7,8,9,10)

Ikterus fisiologis
Yaitu ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar
patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi kernikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. (2,4,9)
Ikterus patologis
Yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. (2,4,9)
Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak
terkonyugasi dalam sel sel otak. (2,4,9)
2.2

Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus,
perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama
metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus
lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan
35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung
dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam
air tetapi larut dalam lemak. (2,7)
2.

Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai
cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer
melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel
bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan

sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan
proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan
ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi
dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat
bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi
ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. (2,7)
3.

Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi
bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam
bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer bilirubin
yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang
terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto). (2,7)

4.

Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin
direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin
indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,
bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat. (2,7)

5.

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus


Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12
minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas
darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya
hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus.
Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi
kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi
bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar
mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya
untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam
bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi
oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus

dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa
janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini
berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin
indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum.
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti
bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena
bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang
menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila
kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal
pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah
tercapai. (2,4,7,8)
2.3 ABO inkompatibilitas:
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti
bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B. Inkompabilitas ABO nantinya akan
menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari
60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat
Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai
sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar. Inkompabilitas
ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan secara umum
dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut
Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran
klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering
ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup
masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat
melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa kasus, penyakit
hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam
pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan. Tingginya
jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm.
Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin
diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat
inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.4 Ada tiga subtipe
antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d. Hanya gen D dipakai
sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah Rhesus (D), bukan

hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D) yang dapat
merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang
berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yantg dihasilkan oleh wanita
Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
3.0 Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu
menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada
saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi
darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk
imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian
masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti
(coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang
kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan
dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah
merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari
sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi
eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor
penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya
sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit
dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut.
Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi
janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara
normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi
kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis
menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat
berkembang menjadi kernikterus.

4.0 Manifestasi Klinis


Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau
100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat
kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. (7,9)

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer


Zona

Bagian tubuh yang


kuning

Rata-rata serum bilirubin indirek ( mol/l)

1.

Kepala dan leher

100

2.

Pusat-leher

150

3.

Pusat-paha

200

4.

Lengan + tungkai

250

5.

Tangan + kaki

> 250

5.0 Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode
paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi
dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit
dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran
eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi.
Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar

hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.11

6.0

Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan
mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela
atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama
dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa
tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat
fisiologik, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang
dinamakan hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma CrigglerNajjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul
setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia
sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama
sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder
akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau
sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan,
memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum
homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia,
anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain,
seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel
sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obatobatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase,
glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh
bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa
yang dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik
pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus
nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus
koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral
total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai
beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis
pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus,
hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap,
yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek)

hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus
darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan
bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak
terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan
adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya
hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai
suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk
normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik. (9)

7.0

Penatalaksanaan
Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi
kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada
donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif
sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan 14 dari tubuh
bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia
berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan
terjadinya anemia berat dan kematian janin.

A. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan
eritrosit normal.
3.Mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari
kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus
negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak
tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh

positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali
dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan
lama pemberian transfusi 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila
tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah
ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C
C.Transfusi Albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko
terjadinyaoverloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
D. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
8.0

Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus
negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah
1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

9.0.Tinjauan pustaka
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat Laboratorium Kesehatan
Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI; 2005.
2.James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2nd ed. USA: WB.
Saunders; 1999.
3.Salem L. Rh incompatibility. http:// www. Neonatology.org. 2001.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant FN, Leveno JK, et al. Obstetri Williams. Edisi 18.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.
5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA FKUI;
1991.
6. Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William Brooks
Queensland; 1985.
7.Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. http:// www. Neonatology.org. 2002. Downloaded
on November, 30th, 2009
8.Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ. Neonatal
perinatal medicine diseases of the fetus and infant. 6th ed. St. Louis: Mosby Year Book; 1997.
p.300-311.
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Edisi 4. Jakarta: Bagian IKA FKUI;
1996

Anda mungkin juga menyukai