Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mempunyai peraturan-peraturan
hukum, yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat atau rakyat Indonesia harus patuh
terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia bahkan juga
memaksa orang asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang
ada di Negara Indonesia dan negara pun membentuk badan penegak hukum guna
mempermudah dalam mewujudkan Negara yang adil dan makmur. Tetapi tidak dapat
dipungkiri di negara kita masih banyak kesalahan dalam menegakan hukum di negara kita.
Dan masih banyak juga ketidakadilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku.tetapi itu
bukanlah salah dalam perumusan hukum,melainkan salah satu keteledoran badan-badan
pelaksana hukum di Indonesia.
Akibat dari keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum,dan
pelangar-pelangar hukum yang seharusnya diadili dan dikenakan sanksi yang seharusnya,
malah dibiarkan begitu saja. Dan hal ini sangat berdampak buruk bagi masa depan negara ini.
Oleh karena itu kita akan membahas bagaimana peran-peran negara dalam penegakan
hukum yang adil agar membentuk negara yang memiliki hukum yang tegas dan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa peran pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia?
2. Apa saja lembaga hukum di Indonesia yang berperan dalam penegakan hukum?
3. Bagaimana peran dari aparatur penegakan hukum dalam penegakan hukum?
4. Apa peran masyarakat dalam penegakan hukum di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui peran-peran pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia.
2. Mengetahui lembaga-lembaga hukum yang turut serta dalam penegakan hukum.
3. Mengetahui peran dari aparatur negara yang menjalankan penegakan hukum.
4. Mengetahui peran masyarakat dalam penegakan hukum di Indonesia.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Indonesia Sebagai Negara Hukum
Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule
of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat,
sementara tradisi AngloSaxon menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah
Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah Negara Hukum. Gagasan
negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan oleh para pendiri negara
Republik Indonesia sejak hampir satu abad yang lalu. Citacita negara hukum yang
demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis
kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara hukum
yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar historis dan bias
menyesatkan.
Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan Negara hukum. Ketika
para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei 1 Juni 1945 dan tanggal 10-17
Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para anggota BPUPKI.
Melalui sidang-sidang tersebut dikemukakan istilah Rechsstaat (Negara Hukum) oleh Mr.
Muhammad Yamin. Dalam sidangsidang tersebut muncul berbagai gagasan dan konsep
alternatif tentang ketatanegaraan seperti: negara sosialis, negara serikat dikemukakan oleh
para pendiri negara. Perdebatan pun dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad
bersama untuk merdeka, jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para
pendiri negara, menjunjung tinggi azas kepentingan bangsa, secara umum menerima konsep
Negara hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat
(3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), Negara Indonesia adalah Negara Hukum
Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan
terlindungi hak asasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi
dasar yuridis bagi keberadaan negara hokum Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab
XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan
bertanggungjawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.

Makna negara Indonesia sebagai negara hukum dinamis, esensinya adalah hukum
nasional Indonesia harus tampil akomodatif, adaptif dan progresif. Akomodatif artinya
mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang dinamis. Makna hukum seperti
ini menggambarkan fungsinya sebagai pengayom, pelindung masyarakat. Adaptif, artinya
mampu menyesuaikan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak pernah usang.
Progresif, artinya selalu berorientasi kemajuan, perspektif masa depan. Makna hukum seperti
ini menggambarkan kemampuan hukum nasional untuk tampil dalam praktiknya mencairkan
kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum dapat menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi
setiap anggota masyarakat.
Dimana pun suatu negara hukum tujuan pokoknya adalah melindungi hak asasi
manusia dan menciptakan kehidupan bagi warga yang demokratis. Keberadaan suatu negara
hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya hak asasi manusia dan kehidupan
demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia adalah
bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar kodrati setiap orang yang keberadaannya sejak
berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian Tuhan, negara wajib melindunginya.
Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia secara yuridis didasarkan pada UUD Negara RI
1945.
2.2 Hukum yang Berlaku di Indonesia
Hukum juga mempunyai sumber, bisa disebut juga sesuatu yang dapat menimbulkan
aturan - aturan yang mempunyai sanksi tertentu. Sumber sumber hukum itu sendiri yaitu :
1. Sumber Hukum Material
Dalam sumber ini hukum dapat ditinjau dari sudut ekonomi, sejarah, filsafat, dll.
Contohnya : Seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa kebutuhan kebutuhan ekonomi dalam
masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2. Sumber Hukum Formal
Yaitu sumber yang berupa aturan tertulis seperti:
a. Undang undang
b. Kebiasaan
c. Keputusan hakim
3

Jenis-jenis hukum di Indonesia beragam dan berbeda dengan negara lainnya. Pasti di
semua negara mempunyai hukum dan sanksi tertentu untuk mendisiplinkan masyarakatnya.
Di Indonesia itu sendiri terdiri dari hukum :
1. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam
perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang undangan dan
berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan atau denda bagi para pelanggarnya.
Ada 2 jenis perbuatan dalam hukum pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan yaitu perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan perundang undangan
tetapi juga bertentangan denga nilai moral, nilai agama, dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh dari kejahatan yaitu mencuri, membunuh, memperkosa, dll. Hukuman untuk
kejahatan adalah pemidanaan. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang hanya dilarang
oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara
langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk
pengaman, dll.
2. Hukum Perdata
Adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan hubungan antara individu
individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum
privat atau hukum sipil. Contoh untuk hukum perdata yaitu jual beli rumah atau kendaraan.
Jenis jenis hukum perdata yaitu :
a. Hukum keluarga
b. Hukum harta kekayaan
c. Hukum benda
d. Hukum perikatan
3. Hukum Waris
Hukum waris adalah hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia dan diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga. Hukum waris itu
sendiri terdiri dari 3 yaitu : hukum waris adat, hukum waris islam dan hukum waris perdata.

4. Hukum Acara
Hukum acara disebut juga sebagai hukum formil. Hukum acara itu sendiri merupakan
ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum
materil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materil. Untuk menegakkan ketentuan
hukum materil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materil perdata
diperlukan hokum acara perdata.
5. Hukum Adat atau Kebiasaan
Hukum adat adalah serangkaian aturan yang berlaku di suatu wilayah. Contohnya di
pedesaan yang masih mengikuti hukum adat dan memiliki sanksi tertentu sesuai dengan
hukum yang berlaku di wilayah tersebut.
2.3 Perubahan dan Perkembangan Hukum di Indonesia
Setelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, dimana Indonesia saat itu masih
ikut menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem
hukum eropa kontinental. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan
masyarakat Indonesia, setelah itu terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Awal sistem hukum yang diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum eropa
kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengalami perpaduan
antara sistem eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon.
Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan
perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik,
selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya
ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang
tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar
sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan
undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan,
hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum
melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum

selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara
nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum
yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari
beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciriciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat
internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya
didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem
hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.
Pembentukan Undang-Undang Oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan
Presiden. Bentuk hukum yang diciptakan oleh lembaga ini adalah undang-undang. Ciri khas
undang-undang yang dibentuk oleh Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden adalah
materi atau isinya yang bersifat umum. Hal ini sesuai dengan pemikiran Hans Kelsen
bahwa Undang-undang sebagai norma hukum yang bersifat umum. Isi undang-undang selalu
bersifat umum, sehingga sebagian besar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya masih
membutuhkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi
kendala dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan
diri dengan setiap keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang
bahwa hukum itu bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru
karena mengabaikan aspek lain dalam pembentukan hukum.
Model penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran
positivisme. Menurut Kelsen bahwa norma hukum yang sah menjadi standar penilaian bagi
setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat . Standar
penilaian dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi
norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim
seseorang bersalah atau tidak harus diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa
memperhatikan aspek moral dan keadilan.
Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan hukum di
Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut penerapan pasal dan prosedur dalam
6

sistem pelaksanaan hukum. Oleh karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis
sehingga banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum
lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan
dengan ungkapan Hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah. Kenyataan ini
sangat bertentangan dengan prinsip Setiap orang bersamaan kedudukannya di depan
hukum.
Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan
oleh penyelenggara negara yang berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui
penciptaan berbagai peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik
yang berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan bernegara
(politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki komitmen tentang
pemabruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan atau kevakuman
hukum dalam berbagai segi kegidupan.
Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep
pembangunan hukum di Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan
dengan jalan :
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain
mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu
dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat, serta
5. Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara ke arah komitmen
yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlidungan terhadap harkat dan
martabat manusia.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peran Pemerintah dalam Penegakan Hukum


Pertama, pemerintah bertanggung jawab penuh untuk mengelola wilayah dan
rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Bagi Indonesia sendiri, pernyataan
tujuan bernegara sudah dinyatakan dengan tegas oleh para pendiri negara dalam
Pembukaan UUD 1945, di antaranya: melindungi bangsa dan memajukan kesejahteraan
umum. Bukan hanya pernyataan tujuan bernegara Indonesia, namun secara mendasar
pun gagasan awal lahirnya konsep negara, pemerintah wajib menjamin hak asasi warga
negaranya.

Memang,

dalam teoripemisahan

kekuasaan

cabang kekuasaan

negara

mengenai penegakan hukum dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun lembaga eksekutif
tetap mempunyai tanggung jawab karena adanya irisan kewenangan dengan yudikatif serta
legislatif dalam konteks checks and balances; dan kebutuhan pelaksanaan aturan hukum
dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung
untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya.Birokrasi
dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan
adanya penegakan hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang akan berdampak
pada sektor politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila
dikatakan penegakan hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah lembaga
eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah wewenang
Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan ketertiban umum,
Kejaksaan dan Kepolisian justru menjadi ujung tombak penegakan hukum yang penting
karena ia langsung berhubungan dengan masyarakat. Sementara itu, dalam konteks legal
formal, hingga saat ini pemerintah masih mempunyai suara yang sigifikan dalam
penegakan hukum. Sebab, sampai dengan September 2004, urusan administratif peradilan
masih dipegang oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Karena itu,
Pemerintah masih berperan penting dalam mutasi dan promosi hakim, serta administrasi
peradilan.
8

Evolusi masyarakat hingga menjadi organisasi negara melahirkan konsep tentang


adanya hukum untuk mengatur institusi masyarakat. Karenanya, ada asumsi dasar bahwa
adanya kepastian dalam penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan
memang, selama hukum masih punya nafas keadilan, walau terdengar utopis, kepastian
hukum jadi hal yang didambakan. Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman
bagi rakyat. Kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan
kepemilikan yang diraihnya dilindungi.
Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal mendorong perbaikan
politik

dan

pemulihan ekonomi.

Harus

disadari

bahwa penegakkan hukum justru

merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui penegakan hukum ini
Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang sudah mengakar dengan kuat
di berbagai sektor, menjalankan aturanaturan main dalam bidang politik dan ekonomi secara
konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, pemulihan ekonomi dan
tatanan politik juga bisa didorong percepatannya.
Hingga belakangan ini, hukum seringkali tidak dilihat sebagai sesuatu yang
penting dalam proses demokratisasi. Ia sering dipandang sebagai sektor yang menopang
perbaikan di bidang lainnya seperti politik dan pemulihan ekonomi. Alhasil, pembaruan
hukum sering diartikan sebagai pembuatan berbagai peraturan perundang-undangan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan rencana-rencana perbaikan ekonomi dan politik daripada
pembenahan perangkat penegakan hukum itu sendiri.
Indikasi gejala ini terlihat dari lahirnya berbagai undang-undang secara kilat di DPR,
yang didorong oleh rencana pemulihan ekonomi yang dipreskripsikan oleh berbagai lembaga
internasional dan nasionalsementara tidak banyak yang dilakukan untuk memperbaiki
kinerja kepolisian dan kejaksaan oleh pemerintah. Memang ada beberapa inisiatif yang
sudah dilakukan. Misalnya saja perbaikan ditubuh Kepolisian RI untuk mendorong
Kepolisian yang lebih profesional. Begitu pula halnya dengan studi-studi dalam rangka
perbaikan kejaksaan, seperti Governance Audit untuk Kejaksaan RI yang dilakukan oleh
Asian Development Bank dan Price Waterhouse Coopers Indonesia (Kejaksaan Agung RI,
2001). Saat inipun, dengan didorong dan diasistensi oleh beberapa institusi, ada gerakan
untuk pembaruan hukum yang dilakukan oleh institusi-institusi hukum negara, yaitu
Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Namun

perlu

dicermati

juga

bahwa

kebanyakan dari inisiatif tersebut adalah dorongan dari luar, dari masyarakat sipil dan
9

lembaga-lembaga non-pemerintahanlainnya, baik internasional maupun dalam negeri.


Sementara pemerintah sendiri tampaknya belum mempunyai visi yang jelas mengenai
penegakan hukum. Secara sederhana, asumsi di atas bisa dilihat dari tidak adanya kemauan
politik untuk menunjukkan komitmen terhadap penegakan hukum dengan dibiarkannya
beberapa koruptor kelas kakap berkeliaran di masyarakat. Bahkan, jajaran pemerintahan yang
terkena indikasi korupsi pun masih dibiarkan memegang jabatannya. Padahal, langkah
pertama untuk menunjukkan komitmen terhadap penegakan hukum justrudengan secara
konsisten menerima putusan, bahkaan sangkaan pengadilan mengenai tindak pidana tertentu,
terlepas dari final atau tidaknya putusan tersebut. Pasalnya, mereka adalah pejabat publik
yang memiliki pertanggungjawaban politik, sehingga soal teknis legal-formal menjadi tidak
lagi relevan.
Kebijakan yang Perlu Dilakukan Pemerintah dalam Penegakan Hukum
Menukik ke pembicaraan yang lebih konkrit, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
oleh pemerintah dalam penegakan hukum.Di tingkat substansi hukum - peraturan perundangundangan- pemerintah perlu mendorong pembentukan perangkat peraturan yang terkait
dengan penegakan hukum dengan visi di atas. Misalnya saja, pembentukan peraturan yang
mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Juga, pemerintah, sebagai salah satu aparat pembentuk undang-undang, perlu berinisiatf
membentuk undang-undang yang berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum:
Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian. Di tingkat aparat, perlu ada kebijakan yang berkaitan
dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat penegak hukum yang langsung berkaitan
dengan pengadilantetapi seluruh aparat birokrasi pemerintah. Sebab penegakan hukum
bukanlah hanya dilakukan di pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan
perundang-undangan secara konsisten, tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam konteks
kultur hukum, pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya
sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa penegakan hukum.
Kultur ini bisa saja menjadi keluaran dari proses disiplin yang kuat yang menumbuhkan
budaya penghormatan yang tinggi kepada hukum. Namun di samping itu, perlu juga
dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk mensosialisasikan hak dan kewajiban
warga negara, agar muncul kesadaran politik dan hukum.

10

Anggaran Penegakan Hukum


Masih dalam konteks kebijakan pemerintah, penegakan hukum inipun harus
didukung pendanaan yang mencukupi oleh pemerintah serta, yang lebih penting lagi,
perencanaan pendanaan yang memadai. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dana
untuk sektor hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat
dari tahun ke tahun. Namun, ada beberapa permasalahan dalam hal anggaran ini, seperti
diungkapkan dalam Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan
yang disusun oleh Mahkamah Agung bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan. Dalam hal perencanaan dan pengajuan APBN, kelemahan
internal pengadilan yang berhasil diidentifikasi antara lain: (i) ketiadaan parameter yang
obyektif

dan

partisipatif;

argumentasi

yang memadai;

(iii) ketidakprofesionalan

(ii) proses

pengadilan;

dan

penyusunan yang tidak


lain-lain. Kebanyakan

perencanaan dana pemerintah untuk satu tahun anggaran tidak dilakukan berdasarkan
pengamatan yang menyeluruh berdasarkan kebutuhan yang riil, melainkan menggunakan
sistem line item budgeting menggunakan metode penetapan anggaran melalui pendeketan
incremental (penyusunan anggaran hanya dilakukan dengan cara menaikkan jumlah
tertentu dari anggaran tahun lalu atau anggaran yang sedang berjalan). Akibatnya, dalam
pelaksanaan anggaran, muncul kebiasaan untuk menghabiskan anggaran di akhir tahun
anggaran, tanpa memperhatikan hasil dan kualitas dari anggaran yang digunakan.
Kertas Kerja tersebut merumuskan serangkaian rekomendasi yang sangat teknis guna
mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Kertas Kerja itu memang lebih banyak ditujukan
untuk mempersiapkan wewenang administrasi dan keuangan yang akan dipindahkan dari
pemerintah ke Mahkamah Agung. Meski begitu, setidaknya beberapa rekomendasi yang
sifatnya umum dan sesuai dengan arah kebijakan penegakan hukum, seharusnya dapat
diterapkan pula oleh pemerintah.
Kebijakan yang Mendesak
Dalam jangka pendek, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemerintah untuk
mendukung

penegakan

hukum misalnya

terkait

dengan

wewenang

administrasi

pengadilan yang masih ada di tangan pemerintah hingga September 2004. Di sini, pemerintah
bisa memainkan peranan penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga
melakukan praktek korupsi dan kolusi. Selain itu, perlu ada dorongan dalam pembentukan
undang-undang yang berkaitan dengan pembenahan institusi pengadilan. Seperti perubahan
11

lima undang-undang yang berkaitan dengan sistem peradilan terpadu (integrated justice
system), yaitu UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Tata
Usaha Negara, UU Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, dan UU Kejaksaan. Kelima
undang-undang ini tengah dibahas di DPR oleh Badan Legislasi. Sejauh perannya
bisadimainkan dalam proses pembahasan kelima undang-undang ini, pemerintah perlu
mendorong perbaikan institusi yang mengedepankan pengadilan yang bersih dan independen.
Begitu pula halnya dengan rencana penyusunan UU tentang Komisi Yudisial yang sudah
disampaikan oleh Badan Legislasi DPR kepada pemerintah namun belum mendapatkan
jawaban.
Dalam hal korupsi, yang tentunya berkaitan erat dengan konsistensi penegakan
hukum, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tengah
dilaksanakan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Demikian juga
dengan rencana pembentukan Pengadilan Khusus Korupsi yang direncanakan terbentuk pada
bulan Juni. Satu hal yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam
perbaikan institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang
pemerintah. Pada saat ini Kejaksaan tengah menyusun cetak biru pembaruankejaksaan
dengan asistensi Komisi Hukum Nasional. Di sini perlu ada dorongan politik yang kuat agar
cetak biru tersebut tersusun dengan baik dan, lebih penting lagi, dapat terlaksana dengan baik.
3.2 Lembaga Hukum di Indonesia
Salah satu unsur yang menentukan dalam penegakan hukum (law enforcement) adalah
institusi pengadilan. Karena selain sebagai penentu akhir terhadap setiap konflik hukum
(perkara), institusi pengadilan juga memiliki kewenangan dalam memutus sengketa yang
belum ada undang-undang yang mengaturnya (yurisprudensi). Berikut ini adalah lembaga
peradilan yang ada di Indonesia.
3.2.1 Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai
dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah:

12

a. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
b. Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
3.2.2 Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara.

Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung.

Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan
oleh Mahkamah Agung.

Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat
banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung

Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha
negara, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan
pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:


a. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UndangUndang.
b. Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

13

c. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.


3.2.3 Pengadilan Militer
Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Badan yang termasuk ke dalam ruang lingkup peradilan militer adalah adalah badan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer adalah Pengadilan Militer sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama. Klasifikasi Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer
ditetapkan berdasarkan :
a. Pengadilan Militer kelas A berkedudukan di kota tempat Komando Daerah Militer
(Kodam) berada.
b. Pengadilan Militer kelas B berkedudukan di kota tempat Komando Resort Militer
(Korem) berada.
3.2.4 Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Mayor ke
atas.
Selain itu, Pengadilan Militer Tinggi juga memeriksa dan memutus pada tingkat
banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Tinggi juga dapat memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana
pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota
yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.

14

3.2.5 Pengadilan Militer Utama


Pengadilan Militer Utama merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada
tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah
diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.
Selain itu, Pengadilan Militer Utama juga dapat memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili antar Pengadilan Militer yang
berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan, antar Pengadilan
Militer Tinggi, dan antara Pengadilan Militer Tinggi dengan Pengadilan Militer.
3.2.6 Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota
kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara
berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah
hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara
terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris.
3.2.7 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTTUN) merupakan sebuah
lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu
kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara
di tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
3.2.8 Pengadilan Agama
Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.

15

Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan


wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orangorang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah
d. Ekonomi syari'ah
Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA
dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
3.2.9 Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
3.2.10 Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
3.2.11 Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan
Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah
hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT
dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
16

3.3 Aparatur Penegakan Hukum


Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum
dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang
terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum,
jaksa, hakim,

dan petugas sipir pemasyarakatan.

Setiap

aparat dan aparatur

terkait

mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait
dengan

kegiatan

pelaporan

atau

pengaduan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali
(resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang

mempengaruhi,

yaitu: (i) institusi penegak

hukum beserta berbagai

perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya
kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii)
perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur
materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun
acaranya.

Upaya

penegakan

hukum

secara

sistemik

hukum

haruslah memperhatikan ketiga

aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh
lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai
Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau
belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya.
Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan
masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi
bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau
pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian
yang seksama, yang yaitu pembuatan hukum (the legislation of law atau law and rule
making), sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law, dan penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya membutuhkan dukungan adminstrasi hukum (the administration of law) yang
efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab
17

(accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di
atas. Dalam arti luas, the administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum
(rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit.
Misalnya

dapat

dipersoalkan

sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi

berbagai

produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian
peraturan-peraturan (regels), keputusan- keputusan

administrasi

negara

(beschikkings),

ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan
dari pusat sampai ke daerah-daerah.

3.4 Peran Masyarakat dalam Penegakan Hukum


Sebagai bagian dari Negara Indonesia, tentunya warganegara mempunyai peranan
penting untuk ikut serta membantu pemerintah dalam penegakkan hukum. Beberapa peran
warganegara dibidang hukum yang diatur dalam Undang-undang, diantaranya:

Setiap warganegara wajib patuh terhadap hukum yang berlaku dan dijalankan dengan
sebaik-baiknya.

Setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum.

Setiap warganegara wajib berpatisipasi dalam hal upaya penegakan hukum.


Berbagai wacana yang dituangkan dalam berbagai media, hasil penelitian, survei,

seringkali penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses peradilan di pengadilan.


Penegakan hukum hanya diartikan sebagai

tindakan represif belaka. Penegakan hukum

hanya diartikan sebagai proses penyelesaian perselisihan belaka. Pengertian-pengertian


tersebut dapat menyesatkan, karena tidak menyentuh secara menyeluruh fenomena dan
masalah penegakan hukum. Ketika penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses di
pengadilan belaka, maka akan menyesatkan, karena semestinya penegakan hukum bukan
sekedar beracara di pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan kepolisian.
Hukum merupakan aturan, ketentuan dan norma. Adanya hukum bermakna adanya
keteraturan yang tertib dan pasti, ketiadaan hukum dan penegakannya akan mengakibatkan
kekacauan.
Pendapat yang dikemukakan oleh Sukarton Marmosudjono, bahwa Penegakan hukum
adalah keseimbangan dari keseluruhan keberadaan dan kepribadiannya dan bertindak atas
dasar kebenaran serta pertimbangan hati nurani dan keyakinan. Hal senada juga dikemukakan
18

oleh Salahuddin Wahid, bahwa Penegakan hukum adalah upaya dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada dalam
kaidah-kaidah hukum tersebut.
Peran serta bila ditinjau dari kacamata politik hukum merupakan bagian dari
partisipasi masyarakat. Bentuk-bentuk peran serta antara lain pengajuan keberatan terhadap
rancangan keputusan atau rancangan rencana. Bentuk-bentuk lain seperti dengar pendapat,
angket lisan maupun tertulis, pertimbangan melalui lembaga masyarakat, hak bicara dari
komisi pertimbangan, dan sebagainya.
Pada tingkatan konstitusi, sebagaimana dalam Undang-undang Dasar 1945, secara
eksplisit dan implicit memberikan jaminan konstitusi kepada warganegara atau masyarakat
dalam kedudukannya di dalam pemerintahan maupun di dalam pembangunan, bahwa
masyarakat memiliki hak untuk berperan serta secara aktif dalam berbagai bentuk hak dan
kemampuannya dalam pemerintahan. Menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan
bahwa Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Kemudian diatur pula dalam Pasal 28 ayat (2) bahwa Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Kemudian dalam Pasal 28F disebutkan
bahwa Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan dan mengolah, serta menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Faktor krusial yang sangat dominan berperan sebagai upaya penegakan hukum dalam
masyarakat adalah amanahnya aparatur penegak hukum dalam mengembankan tugasnya. Hal
ini disebabkan karena aparatur penegak hukum merupakan subyek dan obyek dari hukum.
Artinya mereka memiliki dua identitas, yakni selain sebagai aparat yang bertugas
memberikan perlindungan dan ketentraman serta keadilan pada masyarakat ia juga
merupakan masyarakat biasa yang tidak bisa lepas dari jangkauan hukum. Oleh karenanya
baik dan buruk

penegakan hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sangatlah

bergantung pada keamanahan aparatur penegak hukum itu sendiri dalam menjalankan
tugasnya.
Akhir-akhir ini penegakan hukum yang terjadi dalam masyarakat belum mampu
memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Keadaan ini salah satu sebabnya tidak lain
19

ditimbulkan oleh perilaku dari aparat penegak hukum itu sendiri, mereka dalam menjalankan
tugas seringkali terjebak dalam praktek yang bertentangan dengan hukum, seperti kolusi,
korupsi dan nepotisme yang hanya mementingkan urusan pribadi. Sementara di sisi produk
hukum itu sendiri belum mampu mewujudkan dan memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.
Di sisi lain pula, hukum-hukum yang ada sekarang kebanyakan bersifat reaksioner, karena
kebanyakan Undang-undang dibuat ketika ada sebuah peristiwa.

20

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pemerintah bertanggung jawab penuh untuk mengelola wilayah dan rakyatnya


untuk mencapai tujuan dalam bernegara. Tidak hanya tanggung jawab, pemerintah
pun punya kepentingan langsung untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam
menjalankan pemerintahannya.

Lembaga-lembaga hukum yang berperan dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu


Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Pengadilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi, Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan
Negeri, dan Pengadilan Tinggi.

Aparatur penegak hukum adalah yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai

dari

saksi,

polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim,

dan petugas sipir

pemasyarakatan.

Peran warga negara dalam penegakan hukum menurut Undang-undang adalah setiap
warganegara wajib patuh terhadap hukum yang berlaku dan dijalankan dengan sebaikbaikny, setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum, dan setiap
warganegara wajib berpatisipasi dalam hal upaya penegakan hukum.

3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dari penulis yaitu seharusnya dari semua elemen
negara semakin lebih giat dan aktif dalam penegakan hukum di Indonesia. Bahkan dari
masyarakat tersebut, bagaimana bila melihat terdapat sesuatu yang melanggar hukum, dapat
ditegur maupun dilaporkan apabila merupakan pelanggaran berat. Selain itu, negara harus
lebih tegas dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan lebih adil dalam penegakan
hukum agar terciptanya suatu keadaan yang kondusif bagi negara dan warga negaranya.

21

DAFTAR PUSTAKA
Arief, B.N. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Arief, B.N. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Asshidiqie, J. Penegakan Hukum. dari
http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses pada tanggal 18
September 2014.
Djamali, R. A. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kansil, C.S.T. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
http://alber-dayak.blogspot.com/2011/11/makalah-pengantar-ilmu-hukum-upaya.html diakses
pada tanggal 18 September 2014.
http://danangadrian.blogspot.com/2011/12/salah-satu-unsur-yang-menentukan-dalam.html
diakses pada tanggal 18 September 2014.
http://najiyah-rizqi-maulidiyah-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-78872-PPKNIndonesia%20Sebagai%20Negara%20Hukum.html diakses pada tanggal 18 September 2014.
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/05/sistem-hukum-indonesia.html
diakses pada tanggal 18 September 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai