BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1.2 Sejarah
Propinsi Aceh memiliki akar sejarah yang kuat dan panjang, baik sebelum
maupun setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945). Pada masa kesultanan
Aceh (abad ke-16), Aceh telah mampu menguasai wilayah pesisir barat
Minangkabau hingga Perak. Semenjak masuknya negara-negara Eropa seperti
Portugal, Inggris dan Belanda, kesultanan Aceh sering terlibat perang dengan
negara-negara Eropa tersebut dalain usaha mempertahankan dan memperebutkan
wilayah kekuasaan. Inilah awal masuknya kolonialisme di Aceh yang juga
menjadi malapetaka besar bagi seluruh wilayah Indonesia (Kawilarang. 2008:32).
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Sejak saat itu, peperangan besar selalu terjadi. Namun, berkat perlawanan yang
heroik dari rakyat Aceh sendiri, Belanda merasa gagal hingga kemudian merubah
taktik perangnya. Atas masukan Dr. Snouck Hurgronje (ahli Islam Universitas
Laidcn), kesultanan Aceh akhirnya runtuh pada tahun 1904 (Rani Usman,
2003:22).
Perjuangan rakyat Aceh ternyata belum pudar. Penjajahan harus diusir dari
tanah rencong. Berbagai taktik dan strategi kembali dipikirkan. Salah satunya
adalah membangun semangat nasionalisme dengaa mengadakan kerjasama
dengan daerah-daerah lain. Sejak saat itu, muncul tokoh-tokoh diawali dengan
lahirnya gerakan separatis di bawah pimpinan Teuku Mansur yang akhirnya gagal
karena tidak mendapat dukungan dari tokoh masyarakat serta rakyat Aceh.
Kemudian lahir juga gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
dibawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Beureueh yang bcrawal dari protes
10
rakyat Aceh atas kebijakan Soekamo (presiden 1ndonesia waktu itu) yang
menggabungkan wilayah Aceh dengan propinsi Sumatera Utara. Terakhir,
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Muhammad Hasan Tiro yang
rnenganggap pemerintah pusat sebagai penjajah baru karena tidak pernah
memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Saat ini, GAM telah
menyatakan damai dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) setelah bencana
tsunami meluluh lantakkan sebagian besar wilayah propinsi ACEH pada akhir
tahun 2004 (Fadli Zain, 2009:23)
Selain itu, propinsi Aceh selalu menjadi sengketa kepentingan politik.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sepanjang konflik antara
pemerintah RI-GAM seperti pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer
(DOM) bagi propinsi ACEH belum juga diusut tuntas, bahkan otak pelakunya
belum diketahui hingga sekarang.
Pemerintah RI pada dasarya telah memberi solusi bagi rakyat Aceh yang
selama ini merasa dirugikan. Sebelumnya telah ada UndangUndang (UU) No. 24
Tahun 1956 dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang propinsi Aceh sebagai propinsi
Daerah Istimewa (DI). Semua produk hukum tersebut gagal dalam manampung
seluruh aspirasi masyarakat Aceh.
Suasana politik di propinsi Aceh baru bisa pulih sejak pihak GAM
menyatakan damai dengan pemerintah RI. Dalam nota kesepahaman perdamaian
antara pemerintah RI-GAM diamanatkan bahwa untuk penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, nantinya akan dibuat lagi satu paket. UU tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
11
12
13
karesidenan yang tunduk di bawah Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di
Medan. Tentu saja, keputusan itu ditentang para alim ulama Aceh, karena
masyarakat Sumatera Utara dan Aceh memiliki karakter dan kultur yang berbeda.
Rakyat Aceh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan
struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan
bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama.
Pada tahun 1953, rakyat Aceh mengangkat senjata melawan negara.
Perlawanan senjata yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh yang
mengagaskan Negara Islam Indonesia ini didukung sepenuhnya oleh rakyat Aceh
yang notabene Islam. Beureueh melakukan gerilya. Tentara NII pun dibentuk,
bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII
di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Ada tragedi di sini. Pada 1955 telah
terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa
dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang
pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh
memperoleh status provinsi daerah istimewa (Moch. Nurhasim dkk, 2003:21).
Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan
militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun
ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin
Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi,
Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno.
Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh
dibujuk untuk menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh
14
menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh
(Moch. Nurhasim dkk, 2003:21).
Setelah beberapa saat mengalami masa damai, konflik antara Aceh dan
Pemerintah Pusat kembali terjadi pada saat Hasan Tiro memproklamasikan
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Pemicu Konflik ini adalah kemarahan
atas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa
dan
ekploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi
masyarakat Aceh. Legitimasi kekuasaan Orde Baru banyak disandarkan pada
kemampuan Pemerintah dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi pada
angka yang tinggi. Dalam prakteknya, usaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi ini mengorbankan aspek keadilan dan kurang
memerhatikan aspek
keberlanjutan. Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besarbesaran serta kurang memerhatikan kepentingan masyarkat lokal kemudian
menjadi tak terhindarkan (Moch. Nurhasim dkk, 2008:8).
Di awal Pemerintahan tahun 1966, Soeharto memperoleh dukungan
kalangan elit dan membentuk partai Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan
yang sentralistik ini dikuasai sepenuhnya oleh militer. Kepemimpinan Soeharto
menimbulkan kekecewaan terutama di kalangan elit Aceh. Pada era Soeharto,
Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14%
dari GDP nasional (Harry Kawilarang, 2008:156).
Sebagian besar hasil kekayaan Aceh diambil oleh pembentuk kebijakan
di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh
pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 milliar dolar Amerika tidak
15
16
17
18
Cessation
of
Hostilities
Agreement
(CoHA)
dilaksanakan pada 9 Desember 2002 dan dihadiri oleh delegasi pemerintah RI,
delegasi GAM, perwakilan NGO Aceh, perwakilan komunitas diplomatik, dan
berbagai media internasional. Selanjutnya naskah ini ditandatangani oleh tiga
pihak, yakni perwakilan RI, GAM dan HDC selaku mediator. Pada intinya makna
dasar dari CoHA adalah kesepakatan penghentian permusuhan, all-inclusive
dialogue yaitu suatu forum dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat
Aceh dan pemilihan umum yang demokratis di Aceh.
CoHA juga memandatkan dibentuknya Zona Damai (Peace Zone), sebagai
upaya kepedulian terhadap kemanusiaan, bantuan rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Setelah memasuki periode Confidence Building, CoHA memprakarsai proses
untuk melakukan demiliterisasi yang mencakup pengurangan senjata GAM dan
relokasi kekuatan GAM dari offensice ke posisi yang lebih defensive.
19
oleh mantan
sebuah
lembaga
internasional
yang
Rangkaian
pembicaraan yang berlangsung empat tahap antara delegasi GAM dan Pemerintah
RI akhirnya menghasilkan sebuah Nota kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MOU) yang ditandatangani pada tanggal 15 agustus 2005, di
Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi sungai Vantaa, di luar kota
Helsinki, Finlandia. Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM ini,
20
yang
kemudian
lebih
21
mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada 12 Mei 2000, kedua pihak
yang bertikai melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani Jeda
Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) yang
berlaku 2 Juni 2000-15 Januari 2001. Sayangnya, kekerasan masih terjadi di
lapangan. Jeda tersebut digantikan melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada
Maret 2001, namun juga tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Akibatnya
pada 11 April 2001, Presiden mengumumkan Instruksi Presiden No.4/2001
tentang Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak
mencakup deklarasi keadaan darurat di Aceh.Tapi instruksi tersebut tetap saja
membuka jalan bagi peningkatan operasi militer. Impeachment terhadap Gus Dur
sebenarnya juga dipengaruhi ketidakmesraan hubungan Gus Dur dengan militer.
Pada Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur,
berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement,
CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Lagi-lagi jalan
buntu menghadang kedua belah pihak. Keluarlah Keputusan Presiden No.18/2003
yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat militer di
Aceh. (Ikrar Nusa Bhakti. 2008:17-20).
Sebuah harga yang harus dibayar Megawati atas kedekatannya dengan
militer pasca jatuhnya Gus Dur. Akibatnya bisa ditebak, sejarah berulang,
kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Serambi Kekerasan. Susilo
Bambang Yudhoyono (Menkopolsoskam) dan Jusuf Kalla (Menko Kesra) pada
Kabinet Gotong Royong Megawati, tampak keduanya memilih cara non-militer
untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja
22
di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan
GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus
membangun kepercayaan. Peran yang menentukan ini dijalankan oleh orangorang kepercayaan Jusuf Kalla, terutama Farid Husein yang mampu membangun
trust building dengan keseluruhan lini GAM sampai ke pucuk pimpinannya.
(Nurhasim. 2008:94).
Duet SBY-JK yang memenangi pemilu 2004, menyebabkan second track
diplomasi yang telah dijalani bisa dilanjutkan pada masa pemerintahan mereka.
Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26
Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang
bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih
memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di
Aceh. Antara Januari hingga Juli 2005, pemerintahan SBY-JK melakukan lima
kali pertemuan informal dengan GAM di Helsinki. Pertemuan informal itu
difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan
Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (Ikrar Nusa Bhakti. 2008: 17-32).
Pertemuan yang tentunya disertai dengan tarik ulur kepentingan tanpa
pertumpahan darah tentunya, akhirnya menghasilkan Nota Kesepahaman antara
Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005, yang dikenal
dengan MoU Helsinki. Sebuah kompromi politik untuk menyelesaikan masalah
separatisme yang telah terjadi begitu lama, sehingga tidak menghasilkan formula
win-win solution namun lebih ke lose-lose solution. Di satu sisi GAM kalah
selangkah karena mengubah tuntutannya dari self-determination menjadi self-
23
government, dan menerima konstitusi RI. Di sisi lain, Pemerintah RI juga kalah
selangkah karena tidak berhasil membubarkan GAM, dan hanya membubarkan
Tentara Negara Aceh (TNA-yang sekarang berubah menjadi Komite Peralihan
Aceh, KPA). Namun dengan munculnya formula kompromi di mana demokrasi
lokal menjadi instrumen bagi kedua belah pihak, cara inilah yang dapat
menyelamatkan nyawa ribuan orang di Aceh yang senantiasa terhimpit oleh
kekerasan demi kekerasan yang terjadi akibat konflik (Nurhasim. 2008:94).
Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh akan melaksanakan
kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan
dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuaaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut
merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi. Disepakati pula
untuk membentuk partai-partai lokal yang berbasis di Aceh. (Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, p.1, 2008
(http://www.asnlf.net/topmy.htm).
24
dalam Pilkada dan ini semua sudah di atur dalam MoU Helsinki dan
mantan anggota GAM sudah mendapatkan hak politiknya sebagai mana warga
Indonesia lainnya walaupun saluran resmi yang di atur Oleh Undang-Undang
Negara republikIndonesia melalui partai politik belum bisa di laksanakan di
Aceh. Ini semua masih terikat dengan perjanjian dalam MoU Helsinki yang
memperbolehkan mantan anggota GAM untuk maju dalam Pilkada. Hal ini
yang bisa menjadi payung hukum bagi mantan anggota GAM untuk ikut
terlibat dalam kehidupan politik di Aceh.
Namun hal ini hanya berlaku sementara sampai partai politik lokal
terbentuk dan setelah itu mereka dapat maju menjadi kepala daerah hanya melalui
mekanisme partai politik sama seperti daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Kebijakan ini hanya berlaku untuk sementara menunggu partai politik lokal
terbentuk sehingga mantan anggota GAM meminta mekanisme yang cepat untuk
dapat maju menjadi calon kepala daerah. Akhirnya keluarlah kebijakan dari
pemerintah yang memperbolehkan mantan Anggota GAM maju tanpa melalui
partai politik.
Sebelum partai politik lokal (Partai Aceh) terbentuk para mantan anggota
GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) yang di bentuk dengan tujuan
untuk menjaga kendali dan sebagai sumber atau data informasi tentang
mantan kombatan GAM. Pengurusnya terdiri dari atas Panglima GAM dari
tingkat kecamatan sampai Provinsi. Menurut beberapa narasumber dari unsur
GAM, KPA merupakan wadah bagi mantan kombatan
memiliki keterikatan yang kuat didalamnya. Melalui wadah ini, dimaksudkan agar
25
mantan GAM atau kombatan tetap dalam kendali. Dalam konteks reintegrasi,
data yang diberikan KPA sangat menbantu dalam menginformasikan orangorang mantan GAM yang perlu mendapat santunan dan lain-lain (Nurhasim,
2008:91).
Dengan melihat posisi KPA dalam struktur organisasi sosial di Aceh,
adalah jelas bahwa KPA ini lebih mengutamakan kepentingan para mantan GAM
atau kombatan. Demikian juga dalam kaitanya dengan proses tranformasi,
KPA menempatkan diri sebagai wadah penampungan mantan Anggota GAM
sebelum bertranformasi menjadi Paratai Aceh. Jadi KPA dengan kata lain
merupakan wadah perkumpulan para mantan anggota GAM dan kombatan
sebelum bertranformasi kedalam Partai Aceh.
Setelah berlangsungnya proses tranformasi para mantan anggota GAM
baru lah pemerintah mengesahkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahaan
Aceh.
Dalam
Undang-undang
tersebut
diatur
dengan
jelas
tentang
26