Anda di halaman 1dari 19

8

BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Gambaran Umum Propinsi Aceh


2.1.1 Keadaan Wilayah
Propinsi Aceh merupakan propinsi terbarat dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Propinsi Aceh terletak pada koordinat 20-6 LU dan
95-98 BT dengan luas wilayah 55.390 km 2. Berdasarkan sensus penduduk pada
tahun 2013, jumlah penduduk Aceh mencapai 4.791.924 jiwa dengan kepadatan
80 jiwa/km (http://aceh.bps.go.id., diakses pada 20 Agustus 2014).
Propinsi Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur dan propinsi
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Sejak tahun 1999, propinsi Aceh telah mengalami beberapa pemekaran
Hingga tahun 2010, propinsi Aceh memiliki 5 Kota, 18 Kabupaten, 264
Kecamatan dan 6.656 Kelurahan/Desa (http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh.diakses
pada tanggal 20 Agustus 2014).
Propinsi Aceh terkenal sebagai daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam
(SDA), mulai dari minyak bumi, gas alam, emas, hingga hutan, kayu, kopi, ikan
dan rempah-rempah. Sebagian besar telah dimanfaatkan, baik oleh pihak
pemerintah maupun swasta. Terbukti dengan banyaknya perusahaan perusahaan
besar yang beroperasi disana, seperti PT Arun, Exxon Mobil dan PT. Lafarge
Cement Indonesia (Ikrar Nusa. 2008:10).

2.1.2 Sejarah
Propinsi Aceh memiliki akar sejarah yang kuat dan panjang, baik sebelum
maupun setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945). Pada masa kesultanan
Aceh (abad ke-16), Aceh telah mampu menguasai wilayah pesisir barat
Minangkabau hingga Perak. Semenjak masuknya negara-negara Eropa seperti
Portugal, Inggris dan Belanda, kesultanan Aceh sering terlibat perang dengan
negara-negara Eropa tersebut dalain usaha mempertahankan dan memperebutkan
wilayah kekuasaan. Inilah awal masuknya kolonialisme di Aceh yang juga
menjadi malapetaka besar bagi seluruh wilayah Indonesia (Kawilarang. 2008:32).
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.
Sejak saat itu, peperangan besar selalu terjadi. Namun, berkat perlawanan yang
heroik dari rakyat Aceh sendiri, Belanda merasa gagal hingga kemudian merubah
taktik perangnya. Atas masukan Dr. Snouck Hurgronje (ahli Islam Universitas
Laidcn), kesultanan Aceh akhirnya runtuh pada tahun 1904 (Rani Usman,
2003:22).
Perjuangan rakyat Aceh ternyata belum pudar. Penjajahan harus diusir dari
tanah rencong. Berbagai taktik dan strategi kembali dipikirkan. Salah satunya
adalah membangun semangat nasionalisme dengaa mengadakan kerjasama
dengan daerah-daerah lain. Sejak saat itu, muncul tokoh-tokoh diawali dengan
lahirnya gerakan separatis di bawah pimpinan Teuku Mansur yang akhirnya gagal
karena tidak mendapat dukungan dari tokoh masyarakat serta rakyat Aceh.
Kemudian lahir juga gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
dibawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Beureueh yang bcrawal dari protes

10

rakyat Aceh atas kebijakan Soekamo (presiden 1ndonesia waktu itu) yang
menggabungkan wilayah Aceh dengan propinsi Sumatera Utara. Terakhir,
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Muhammad Hasan Tiro yang
rnenganggap pemerintah pusat sebagai penjajah baru karena tidak pernah
memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Saat ini, GAM telah
menyatakan damai dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) setelah bencana
tsunami meluluh lantakkan sebagian besar wilayah propinsi ACEH pada akhir
tahun 2004 (Fadli Zain, 2009:23)
Selain itu, propinsi Aceh selalu menjadi sengketa kepentingan politik.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sepanjang konflik antara
pemerintah RI-GAM seperti pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer
(DOM) bagi propinsi ACEH belum juga diusut tuntas, bahkan otak pelakunya
belum diketahui hingga sekarang.
Pemerintah RI pada dasarya telah memberi solusi bagi rakyat Aceh yang
selama ini merasa dirugikan. Sebelumnya telah ada UndangUndang (UU) No. 24
Tahun 1956 dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang propinsi Aceh sebagai propinsi
Daerah Istimewa (DI). Semua produk hukum tersebut gagal dalam manampung
seluruh aspirasi masyarakat Aceh.
Suasana politik di propinsi Aceh baru bisa pulih sejak pihak GAM
menyatakan damai dengan pemerintah RI. Dalam nota kesepahaman perdamaian
antara pemerintah RI-GAM diamanatkan bahwa untuk penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, nantinya akan dibuat lagi satu paket. UU tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.

11

Setelah menunggu proses yang cukup panjang, akhirnya pada tanggal 1


Agustus 2006 talu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mensahkan UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang kemudian disingkat menjadi UU PA
(Nurhasim, 2008:8). Banyak pihak berharap, UU PA ini mampu menjadi jawaban
atas permasalahan yang selama ini terjadi di propinsi ACEH. Walaupun sempat
ada pihak-pihak yang merasa belum puas dengan materi UU PA tersebut,
setidaknya kondisi sosial politik di propinsi aceh selama ini telah mulai mernbaik.
Hingga saat ini, penerapan UU-PA mulai dirasakan oleh seluruh
masyarakat di propinsi aceh. Salah satunya adalah pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (pilkada) yang diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006. Dalarn
pilkada ini, masyarakat propinsi aceh memilih secara serentak kepala daerah di 20
(dua puluh) wilayah, mulai dari tingkat propinsi hingga kabupaten/kota.

2.2 Gambaran Umum Gerakan Aceh Merdeka


2.2.1 Dasar Hukum
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sering juga disehut Acheh Sumatera
National Liberation Front (ASNLF). GAM adalah organisasi perjuangan yang
bertujuan untuk memperoleh kembali hak penentuan nasib sendiri dari
kolonialisme Indonesia (mereka juga menyebutnya Jawa).
Dalam situs resminya (www.asnlf.go.id), GAM menyatakan berdiri atas
dasar hukum sebagai berikut:
a) Resolusi Dewan Umum PBB No. 2621-XXV, diterbitkan pada tanggal 12
Oktober 1970, yang berisikan program aksi lengkap untuk menjalankan

12

pemyataan kemerdekaan, menyebutkan suatu tindak kejahatan adalah


segala usaha-usaha untuk mempertahankan dominasi kolonial atas setiap
bangsa, dan rnengakui "hak bangsa-bangsa terjajah untuk berjuang dengan
segala cara yang perlu" untuk melawan kekuatan penjajah
b) Resolusi Dewan. Umum PBB No. 2711-XXV, diterbitkan pada tanggal 14
Oktober 1970, mengakui legitimasi peduangan pembebasan, termasuk.
perjuangan bersenjata, yang dilancarkan oleh bangsa terjajah untuk
meraib, hak-hak penentuan nasib sendiri mereka dan untuk membebaskan
diri dari dominasi penjajah atau asing. Seluruh bangsa-bangsa diminta
untuk memberikan pertolongan yang perlu kepada peijuangan-perjuangan
seperti itu.
2.2.1 Sejarah Berdirinya GAM.
Dalam catatan sejarah, Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang
tidak pernah lepas dari konflik. Pasca kemerdekaan Indonesia, konflik antara Aceh
dan Pemerintah Pusat pertama kali terjadi pada saat gerakan Darul Islam
(DI/TII) Pimpinan Tengku Daud Beureueh diproklamirkan pada 1953 (Rani
Usman, 2003:124).
DI/TII muncul di Aceh disebabkan ketidakpuasan rakyat Aceh kepada
pemerintah pusat. Pasalnya, pada tahun 1949, berdasarkan sebuah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), Aceh dikukuhkan sebagai
provinsi yang berstatus otonom. Namun, dalam perkembangannya, bukannya
pelaksanaan otonomi yang diterapkan, pemerintah pusat malah mencabut status
provinsi Aceh. Daerah Aceh diminimalisasikan statusnya menjadi sebuah

13

karesidenan yang tunduk di bawah Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di
Medan. Tentu saja, keputusan itu ditentang para alim ulama Aceh, karena
masyarakat Sumatera Utara dan Aceh memiliki karakter dan kultur yang berbeda.
Rakyat Aceh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan
struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan
bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama.
Pada tahun 1953, rakyat Aceh mengangkat senjata melawan negara.
Perlawanan senjata yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh yang
mengagaskan Negara Islam Indonesia ini didukung sepenuhnya oleh rakyat Aceh
yang notabene Islam. Beureueh melakukan gerilya. Tentara NII pun dibentuk,
bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII
di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Ada tragedi di sini. Pada 1955 telah
terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa
dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang
pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh
memperoleh status provinsi daerah istimewa (Moch. Nurhasim dkk, 2003:21).
Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh kekuatan
militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan Indonesia (RPI) pun
ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin
Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi,
Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan Soekarno.
Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh
dibujuk untuk menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh

14

menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh
(Moch. Nurhasim dkk, 2003:21).
Setelah beberapa saat mengalami masa damai, konflik antara Aceh dan
Pemerintah Pusat kembali terjadi pada saat Hasan Tiro memproklamasikan
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Pemicu Konflik ini adalah kemarahan
atas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa

dan

ekploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi
masyarakat Aceh. Legitimasi kekuasaan Orde Baru banyak disandarkan pada
kemampuan Pemerintah dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi pada
angka yang tinggi. Dalam prakteknya, usaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi ini mengorbankan aspek keadilan dan kurang

memerhatikan aspek

keberlanjutan. Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besarbesaran serta kurang memerhatikan kepentingan masyarkat lokal kemudian
menjadi tak terhindarkan (Moch. Nurhasim dkk, 2008:8).
Di awal Pemerintahan tahun 1966, Soeharto memperoleh dukungan
kalangan elit dan membentuk partai Golongan Karya (Golkar). Pemerintahan
yang sentralistik ini dikuasai sepenuhnya oleh militer. Kepemimpinan Soeharto
menimbulkan kekecewaan terutama di kalangan elit Aceh. Pada era Soeharto,
Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14%
dari GDP nasional (Harry Kawilarang, 2008:156).
Sebagian besar hasil kekayaan Aceh diambil oleh pembentuk kebijakan
di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh
pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 milliar dolar Amerika tidak

15

memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagian besar dari pendapatan


di Aceh diserap oleh petinggi Pemerintahan di Jakarta (Harry Kawilarang,
2008:158).
Tahun 1980-an, Hasan Tiro dan pengikutnya hengkang ke Swedia dengan
kondisi Aceh tetap tidak aman. Rezim Soeharto bertindak semakin tegas dengan
mendeklarasikan Aceh Menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada 1989. Hal ini
terjadi setelah mengetahui bahwa pasukan GAM yang mengikuti latihan militer di
Libya telah berada di hutan-hutan aceh melanjutkan perang gerilya. Aceh Sumatra
National Liberation Front (ASLNF), Front Nasional Pembebasan Aceh Sumatra,
melakukan serangkaian penyerangan terhadap pos polisi dan militer di Pidie untuk
merampas amunisi dan lusinan senjata otomatis. Pelaksanaan DOM yang
melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota
GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1960 (Harry
Kawilarang, 2008:159).
GAM kembali menjadi perhatian publik dan Pemerintah Pusat setelah
mereka menegaskan kembali keberadaan mereka di tengah krisis mutidimensi
yang dialami Indonesia sejak pertengahaan 1997 dengan melakukan perlawanan
bersenjata yang semakin meningkat. Kebangkitan gerakan ini tentu saja
merisaukan pemerintah lokal maupun pusat, apalagi ketika gerakan ini
semakin membesar dan sulit untuk di padamkan. Pada periode ini GAM
mengalami pertumbuhan yang semakian pesat baik dari segi organisasi, jumlah
anggota maupun kekutan senjata. Bahkan, selaian melakukan modernisasi

16

organisasi dan kepemimpinan, GAM pun berhasil melakukan gangguan


keamanan yang lebih luas secara terus-menerus (Sulaiman, 2005:245).
Berbagai pendekatan yang diambil oleh Pemerintahan transisisi sejak masa
B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, hingga Megawati Soekarno Putri pada
akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah separatisme
di Aceh pun menjadi berlarut-larut. Namun, satu hal yang penting perlu
untuk dicatat dari upaya penyelesaian konflik pada masa transisi ini adalah
disertakannya aspek diplomasi, meskipun tataran operasional masih kental dengan
penggunaan kekuatan bersenjata (Sulaiman, 2005:246).
Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid upaya dialog
damai dengan nama Jeda Kemanusiaan I dan Jeda Kemanusian II telah dilakukan.
Upaya ini sempat dilanjutkan oleh Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
sebelum akhirnya berakhir dengan di keluarkannya kebijakan Operasi Terpadu.
Namun kebijakan yang memadukan operasi keamanan, oprasi kemanusiaan, dan
penegakan hukum ini pun tidak berhasil memadamkan pemberontakan GAM,
sehingga kemudian oleh Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 18 tahun 2003 pada Tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati
mengumumkan diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh. (Sulaiman AB,
2005:281).
Konflik pemerintah RI dan GAM yang pertama kali menjadi pihak ketiga
adalah Henry Dunant Centre (HDC). Pada awal Januari 2001 perwakilan RI dan
GAM kembali bertemu dengan fasilitator HDC yang dilaksanakan di Swiss.
Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama yang menyetujui diskusi solusi

17

politik bagi penyelesaian konflik. Dalam pertemuan ini mereka menyepakati


pembentukan Moratorium of Violence (Moratorium Kekerasan) selama satu bulan
pasca Jeda Kemanusiaan II.
Selain itu, para perwakilan juga menyetujui untuk membangun Joint
Council yang dimotori oleh HDC guna meninjau perkembangan, menjelaskan isu
yang timbul dengan jalan konsultasi demokratis, dan memastikan kepatuhan
seluruh pihak pada perjanjian (Anggie Utami, 2000:4)
Pada Agustus 2001 pemerintahan RI kembali berpindah tangan, dari
Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarno Putri. Ketika Megawati memegang
kendali pemerintahan, langkah menuju perdamaian dengan jalan dialog yang
sempat diwarnai kekerasan kembali dilanjutkan. Para anggota GAM yang
ditangkap sebelumnya kemudian dilepaskan dibawah pengawasan HDC. Akhirnya
proses dialog diperbaharui dengan melibatkan the Wise Man, yang akan
berpartisipasi menjadi penasehat dalam proses dialog antara kedua belah pihak
yang berseteru.
The Wise Man terdiri atas Budimir Loncar (Duta Besar Yugoslavia untuk
Indonesia), mantan Menlu Thailand Surin Pitsuwan, dan pensiunan Jenderal
Angkatan Laut AS Anthony Zinni (Anggie Utami, 2000:6).
Pertemuan antara pemerintah RI dan GAM kembali digelar pada tanggal
2-3 Februari 2002 di Swiss yang membahas masalah otonomi khusus NAD, yang
kemudian terjadi kesepakatan lagi mengenai adanya suatu jadwal bagi dialog
selanjutnya yang akan dipusatkan pada otonomi, kesepakatan perhentian

18

permusuhan, pelaksanaan All-Inclusive Dialogue, dan pemilihan umum yang


menyeluruh dan transparan.
Pada tanggal 10 Mei 2002 di Jenewa, Swiss diadakan kembali pertemuan
antara kedua pihak yang intinya keduanya menerima Joint Statement yang
mengandung kata Acceptance of the NAD Law as a starting Point. Pihak
pemerintah RI menginterpretasikan bahwa penerimaan Undang-Undang NAD
sebagai titik awal perundingan, sedangkan pihak GAM menginterpretasikan
bahwa UUD NAD hanyalah suatu isu yang perlu dibicarakan, dalam pengertian
bahwa GAM menolak menerimanya sebagai titik awal perundingan.
Penandatanganan

Cessation

of

Hostilities

Agreement

(CoHA)

dilaksanakan pada 9 Desember 2002 dan dihadiri oleh delegasi pemerintah RI,
delegasi GAM, perwakilan NGO Aceh, perwakilan komunitas diplomatik, dan
berbagai media internasional. Selanjutnya naskah ini ditandatangani oleh tiga
pihak, yakni perwakilan RI, GAM dan HDC selaku mediator. Pada intinya makna
dasar dari CoHA adalah kesepakatan penghentian permusuhan, all-inclusive
dialogue yaitu suatu forum dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat
Aceh dan pemilihan umum yang demokratis di Aceh.
CoHA juga memandatkan dibentuknya Zona Damai (Peace Zone), sebagai
upaya kepedulian terhadap kemanusiaan, bantuan rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Setelah memasuki periode Confidence Building, CoHA memprakarsai proses
untuk melakukan demiliterisasi yang mencakup pengurangan senjata GAM dan
relokasi kekuatan GAM dari offensice ke posisi yang lebih defensive.

19

Demiliterisasi ternyata malah memperburuk situasi keamanan di Aceh


sehingga diambil keputusan untuk mengamankan anggota tim monitoring
(Tripartite Monitoring Teams/TMTs) pada awal April. Joint Council berusaha
untuk mengidentifikasi perbedaan seputar proses demiliterisasi juga isu-isu lain,
dan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikannya. Pemerintah RI dan
GAM juga setuju untuk melakukan pertemuan di Tokyo, Jepang pada 17-18 Mei
2003.
Akhirnya, kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan tengah, dan
pada 18 Maret 2003 Presiden Megawati kembali menerapkan Darurat Militer di
Aceh dengan dikeluarkannya Keppres.No.28/2003 tentang pernyataan bahaya
(Anggie Utami, 2000:7-8).
Pendekatan diplomasi dalam penyelesaian konflik Aceh kembali
digunakan oleh Pemerontah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih
melalui pemilihan secara langsung pada 2004, dengan melakukan pembicaraan
informal dengan pihak GAM. Pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir
Januari hingga Mei 2005 ini dilakukan dengan bantuan dan fasilitas dari
Crisis Management Intiative (CMI),
dipimpin

oleh mantan

sebuah

lembaga

internasional

Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.

yang

Rangkaian

pembicaraan yang berlangsung empat tahap antara delegasi GAM dan Pemerintah
RI akhirnya menghasilkan sebuah Nota kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MOU) yang ditandatangani pada tanggal 15 agustus 2005, di
Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi sungai Vantaa, di luar kota
Helsinki, Finlandia. Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM ini,

20

yang

kemudian

lebih

dikenal dengan sebutan MoU Helsinki, membuat

kesepakatan dalam berbagai hal, antara lain penyelenggaraan Pemerintahan Aceh,


pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh,
pembentukan peraturan perundangan-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM,
pemberian amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam
masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan

misi monitoring Aceh dan

mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di


lapangan (Hamid Awaluddin. 2009:25).

2.3 GAM Menuju Ke Meja PerundiNgan


Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru
cenderung menggunakan cara militer saja tanpa disertai diplomasi. Memasuki era
Reformasi, kedua pendekatan itu sama-sama digunakan, meski masih menekankan
pada cara-cara pertama. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap
mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi
dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena meski secara
formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun ia tidak memiliki kontrol
penuh atas polisi dan militer, yang kala itu berada di tangan Jenderal Wiranto.
Kondisi Timor Timur pasca referendum juga meningkatkan gejolak di Aceh, yang
menuntut referendum pula sekaligus menciptakan sikap militer yang semakin
keras karena tidak mau kehilangan lagi (Ikrar Nusa Bhakti. 2008: 17-32).
Pada awal 2000, ketika Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan
pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan

21

mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada 12 Mei 2000, kedua pihak
yang bertikai melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani Jeda
Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) yang
berlaku 2 Juni 2000-15 Januari 2001. Sayangnya, kekerasan masih terjadi di
lapangan. Jeda tersebut digantikan melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada
Maret 2001, namun juga tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Akibatnya
pada 11 April 2001, Presiden mengumumkan Instruksi Presiden No.4/2001
tentang Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak
mencakup deklarasi keadaan darurat di Aceh.Tapi instruksi tersebut tetap saja
membuka jalan bagi peningkatan operasi militer. Impeachment terhadap Gus Dur
sebenarnya juga dipengaruhi ketidakmesraan hubungan Gus Dur dengan militer.
Pada Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur,
berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement,
CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Lagi-lagi jalan
buntu menghadang kedua belah pihak. Keluarlah Keputusan Presiden No.18/2003
yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat militer di
Aceh. (Ikrar Nusa Bhakti. 2008:17-20).
Sebuah harga yang harus dibayar Megawati atas kedekatannya dengan
militer pasca jatuhnya Gus Dur. Akibatnya bisa ditebak, sejarah berulang,
kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Serambi Kekerasan. Susilo
Bambang Yudhoyono (Menkopolsoskam) dan Jusuf Kalla (Menko Kesra) pada
Kabinet Gotong Royong Megawati, tampak keduanya memilih cara non-militer
untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja

22

di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan
GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus
membangun kepercayaan. Peran yang menentukan ini dijalankan oleh orangorang kepercayaan Jusuf Kalla, terutama Farid Husein yang mampu membangun
trust building dengan keseluruhan lini GAM sampai ke pucuk pimpinannya.
(Nurhasim. 2008:94).
Duet SBY-JK yang memenangi pemilu 2004, menyebabkan second track
diplomasi yang telah dijalani bisa dilanjutkan pada masa pemerintahan mereka.
Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26
Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang
bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih
memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di
Aceh. Antara Januari hingga Juli 2005, pemerintahan SBY-JK melakukan lima
kali pertemuan informal dengan GAM di Helsinki. Pertemuan informal itu
difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan
Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (Ikrar Nusa Bhakti. 2008: 17-32).
Pertemuan yang tentunya disertai dengan tarik ulur kepentingan tanpa
pertumpahan darah tentunya, akhirnya menghasilkan Nota Kesepahaman antara
Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005, yang dikenal
dengan MoU Helsinki. Sebuah kompromi politik untuk menyelesaikan masalah
separatisme yang telah terjadi begitu lama, sehingga tidak menghasilkan formula
win-win solution namun lebih ke lose-lose solution. Di satu sisi GAM kalah
selangkah karena mengubah tuntutannya dari self-determination menjadi self-

23

government, dan menerima konstitusi RI. Di sisi lain, Pemerintah RI juga kalah
selangkah karena tidak berhasil membubarkan GAM, dan hanya membubarkan
Tentara Negara Aceh (TNA-yang sekarang berubah menjadi Komite Peralihan
Aceh, KPA). Namun dengan munculnya formula kompromi di mana demokrasi
lokal menjadi instrumen bagi kedua belah pihak, cara inilah yang dapat
menyelamatkan nyawa ribuan orang di Aceh yang senantiasa terhimpit oleh
kekerasan demi kekerasan yang terjadi akibat konflik (Nurhasim. 2008:94).
Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh akan melaksanakan
kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan
dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,
kekuaaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut
merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi. Disepakati pula
untuk membentuk partai-partai lokal yang berbasis di Aceh. (Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, p.1, 2008
(http://www.asnlf.net/topmy.htm).

2.4 Arah Menuju Tranformasi Politik Di Aceh Pasca MoU Helsinki.


Dari banyaknya mantan anggota GAM yang menduduki jabatan-jabatan
politik di Aceh ini menandakan proses transformasi politik telah berjalan dengan
cukup baik walaupun masih ada rintangan-rintangan kecil. Partai politik lokal
memang belum terbentuk namun mantan anggota GAM bisa ikut berpartisipasi

24

dalam Pilkada dan ini semua sudah di atur dalam MoU Helsinki dan
mantan anggota GAM sudah mendapatkan hak politiknya sebagai mana warga
Indonesia lainnya walaupun saluran resmi yang di atur Oleh Undang-Undang
Negara republikIndonesia melalui partai politik belum bisa di laksanakan di
Aceh. Ini semua masih terikat dengan perjanjian dalam MoU Helsinki yang
memperbolehkan mantan anggota GAM untuk maju dalam Pilkada. Hal ini
yang bisa menjadi payung hukum bagi mantan anggota GAM untuk ikut
terlibat dalam kehidupan politik di Aceh.
Namun hal ini hanya berlaku sementara sampai partai politik lokal
terbentuk dan setelah itu mereka dapat maju menjadi kepala daerah hanya melalui
mekanisme partai politik sama seperti daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.
Kebijakan ini hanya berlaku untuk sementara menunggu partai politik lokal
terbentuk sehingga mantan anggota GAM meminta mekanisme yang cepat untuk
dapat maju menjadi calon kepala daerah. Akhirnya keluarlah kebijakan dari
pemerintah yang memperbolehkan mantan Anggota GAM maju tanpa melalui
partai politik.
Sebelum partai politik lokal (Partai Aceh) terbentuk para mantan anggota
GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) yang di bentuk dengan tujuan
untuk menjaga kendali dan sebagai sumber atau data informasi tentang
mantan kombatan GAM. Pengurusnya terdiri dari atas Panglima GAM dari
tingkat kecamatan sampai Provinsi. Menurut beberapa narasumber dari unsur
GAM, KPA merupakan wadah bagi mantan kombatan

GAM agar mereka

memiliki keterikatan yang kuat didalamnya. Melalui wadah ini, dimaksudkan agar

25

mantan GAM atau kombatan tetap dalam kendali. Dalam konteks reintegrasi,
data yang diberikan KPA sangat menbantu dalam menginformasikan orangorang mantan GAM yang perlu mendapat santunan dan lain-lain (Nurhasim,
2008:91).
Dengan melihat posisi KPA dalam struktur organisasi sosial di Aceh,
adalah jelas bahwa KPA ini lebih mengutamakan kepentingan para mantan GAM
atau kombatan. Demikian juga dalam kaitanya dengan proses tranformasi,
KPA menempatkan diri sebagai wadah penampungan mantan Anggota GAM
sebelum bertranformasi menjadi Paratai Aceh. Jadi KPA dengan kata lain
merupakan wadah perkumpulan para mantan anggota GAM dan kombatan
sebelum bertranformasi kedalam Partai Aceh.
Setelah berlangsungnya proses tranformasi para mantan anggota GAM
baru lah pemerintah mengesahkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahaan
Aceh.

Dalam

Undang-undang

tersebut

diatur

dengan

jelas

tentang

diperbolehkannya masyarakat di Aceh untuk membentuk partai politik lokal


di Aceh. Sebagaimana Undang-Undang tersebut

tertuang dalam Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun


2007, baik pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 maupun pasal
1 Butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 memberikan batasan
pengertian yang sama mengenai istilah partai politik lokal. Menurut kedua
peraturan itu, bahwa:
Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili di
Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan

26

Negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan rakyat Aceh


(DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota(DPRK), gubernur
dan wakil gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan
wakil walikota. (UU No-11-tahun-2006-tentang-Pemerintahan-Aceh).
GAM sebagai salah satu elemen masyarakat nampaknya sudah siap
bertransformasi dari gerakan bersenjata menjadi partai politik lokal seperti yang
disebut oleh PP No. 20 tahun 2007 dan diberi nama Partai Aceh. Dari sinilah cikal
bakal terbentuknya partai Aceh dan partai politik lokal lainnya di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini juga tertuang di dalam MoU Helsinki yang
menyebutkan paling lambat satu tahun setelah perjanjian damai antara pemerintah
dan GAM partai politik lokal harus sudah terbentuk di Aceh.

Anda mungkin juga menyukai