Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF

STUDI KASUS KOMUNIKASI POLITIK DALAM RUANG


PUBLIK POLITIS DI KAWASAN KECAMATAN TG.
MORAWA

D
I
S
U
S
U
N
O L E H:

NAMA

: ARDI WINATA TOBING

NIM

: 110904045

DEPARTEMEN : ILMU KOMUNIKASI

BAB I

1.1. KONTEKS MASALAH

Sebagai negara demokrasi yang mendukung dan melindungi kebebasan dalam


mengutarakan aspirasi dan pendapat di dalam konteks bermasyarakat dan bernegara,
Indonesia jelas masih belum dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi yang
berhasil jika coba mengevaluasi penerapan faktor tersebut.
Realitas memberi bukti, jika masyarakatsebagai basis aspirasi terbesar dalam
mengarahkan laju roda pemerintahanmasih dibatasi porsinya dalam menentukan
kualitas praktis kebijakan-kebijakan negara.
Bagaimana mungkin, atensi pemerintah baru muncul jika sebuah masalah mendapat
ekspose luar biasa dari media, dan pada banyak kondisi akan dibiarkan tetap menjadi
permasalahan yang membusuk karena (sengaja) terlupakan jika media massa tak turun
tangan mentransmisikan sebuah problema ke ruang pengamatan masyarakat luas.
Negara yang diwakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengumpulkan tumpukan
suara problematik secara langsung dari masyarakat, nyatanya hanya menyaring
kepentingan-kepentingan partikular, sekadar satu sisi mentah tanpa verifikasi mendalam
dan akhirnya hanya mereduksi problem yang sebenarnya fundamental dan memiliki nilai
urgensi pemenuhan solusi yang jauh lebih tinggi dan mendesak.

1.2. FOKUS MASALAH

Melihat bagaimana pemanfaatan ruang publik politis di tengah masyarakat sebagai


salah satu sumber utama indikator proses demokratisasi berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Melalui berbagai bentuk ruang publik (ffentlichkeit) yang jamak terdapat di
masyarakat, misalnya pada perkumpulan keagamaan, musyawarah desa, institusi-institusi
kultural, organisasi sukarela dan lain sebagainya, peneliti juga ingin mengobservasi
secara langsung bagimana proses universalisasi kepentingan masyarakat dalam kondisi
inklusif, egaliter dan bebas dominasi seperti yang menjadi prasyarat mutlak
komunikasi yang harus dipenuhi untuk memeroleh sebuah konsensus rasional yang dapat
diterima secara umum.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum ditujukan untuk melihat adakah pemanfaatan ruang publik politis
yang eksis di tengah interaksi masyarakaT

Sedangkan secara khusus penelitian bertujuan untuk melihat pemenuhan prasyarat


komunikasi ruang publik politis yang mencakup proses etika diskursif, rasio
prosedural, penggunaan pisau universal dalam membagi prioritas kepentingan
yang partikular (sepihak, subjektif, lokal) dengan kepentingan-kepintangan
universal (luas, intersubjektif, inklusif) untuk nantinya diharapkan dapat
disalurkan kembali sebagai data faktual kepada pemerintahan lokal.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat teoritis: untuk membuktikan relevansi teori etika diskursus Jurgen


Habermas dalam konteks demokrasi deliberatif yang menjadi ciri khas interaksi
masyarakat Indonesia.

Manfaat praktis yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah sebagai salah satu
bentuk pengaktifan kembali unsur demokratisasi yang dijamin dan dilindungi oleh
negara ini di tengah-tengah masyarakat, melalui pemanfaatan ruang publik politis

dan segala prasyarat komunikasi berikut unsur diskursif yang melatarbelakangi


proses pelaksanaannya.

1.5. Kerangka Teori

ETIKA DISKURSUS
Teori etika diskursus adalah model etika politik gagasan Jurgen Habermas yang
menekankan vitalitas komunikasi dalam perumusan berbagai hal substanial dalam realitas
sosial, mulai dari etika, norma hingga kebijakan pemerintah.
Teori ini adalah bentuk penolakan (sekaligus perluasan) terhadap konsep imperatif
kategoris Immanuel Kant, di mana dalam putusan keharusan moral praktis segalanya
hanya

didasarkan

pada

aktifitas

kontemplasi

subjek

yang monologal

dan

jika

diimplementasikan secara luas akan rawan menumbuhkan benih-benih totaliterisme dan


absolutisme.
Dari titik tolak itu, Habermas kemudian mengubah konsepsi perumusan etika praktis
dari otonomi subjek menjadi aktifitas diskursif intersubjek. Intersubjek diartikan sebagai
kondisi alami tindakan komunikasi di mana komunikan dan komunikator memiliki kedua
identitas tersebut dalam waktu yang bersamaan.
Ia adalah inisiator yang melalui tindakan-tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dalam
menanggulangi situasi-situasi. Ia juga adalah produk tradisi-tradisi di dalamnya ia berada,
dari kelompok-kelompok solider di mana ia menjadi anggota, dan dari proses-proses
sosialisasi di dalamnya ia tumbuh.
Jadi inti dari teori etika diskursus adalah sifat rasional dari sebuah klaim rasio hanya
dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbal-balik dengan subyeksubyek lainnya:
..setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat bahwa efekefek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi karena
kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap individu
dapat di terima tanpa paksaan oleh semua orang yang bersangkutan
dengan norma itu.

Etika diskursus dalam komunikasi politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek
(intersubjektif) untuk mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian
menciptakan sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan

Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan mengkritisi
segala opsi

kepentingan

yang dibawa masing-masing subjek, sehingga prinsip

universalisasi yang Habermas istilahkan sebagai pisau yang kemudian akan membelah
bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana yang tetap dibiarkan
sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan pola komunikasi politik neo-liberal
yang cenderung mengekskulisifkan individu, Habermas mengatakan hal tersebut merupakan
bentuk kepartikularan dan hal yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni
terkait dengan sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan
dengan sejarah kehidupan individu, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau
diskriminatif.
Sebagai contoh, Habermas menjadikan keadilan sebagai hal yang dituju oleh semua
orang, apa pun latar belakang bangsa, agama atau sukunya, keadilan tidaklah berbicara soal
kerelatifan terhadap konteks komunitas tertentu, melainkan pengeneralisasian yang telah
dimafhumkan oleh seluruh manusia waras.
Sedangkan soal hidup yang baik atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas atau agama
tertentu yang menafsirkan jalan keselamatan atau gaya hidup menurut caranya sendiri jelas
bersifat relatif sehingga akan sangat mengkhawatirkan jika tendensi kepentingan tersebut
dibawa keranah kebijakan publik yang sangat heterogen secara identitas primordial.
Lebih lanjut, Habermas menggagas sebuah proses demokrasi yang deliberatif, di mana model
demokrasi deliberatif tersebut mampu menyediakan ruang publik politis yang disebut
Habermas sebagai ..tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya
sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para
warganegara dapat berlangsung.
Ruang publik itu memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka,
karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara
untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi
komunikasi, jadi bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu
dan dengan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali
ciri informal dan inklusifnya, karena istilah ruang publik (atau ffentlichkeit, dalam bahasa
Jerman) berarti keadaan dapat diakses oleh semua orang dan mengacu pada ciri terbuka
dan inklusif ruang itu sendiri. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan
dengan ciri-ciri etika diskursus yang telah saya bahas di atas.

Ruang publik dapat dijadikan momentum masyarakat untuk menentukan dirinya


sendiri di saat lembaga formal yang seharusnya befungsi untuk menyalurkan aspirasi publik
mengalami kesulitan bahkan tak jarang melahirkan disfungsi yang jelas adalah realitas
ironical bagi negara-negara yang mengaku dirinya demokratis, termasuk tentunya Indonesia.
Dapat disimpulkan, persyaratan untuk sebuah ruang publik yang berfungsi secara
politis adalah ciri otonomnya dari kekuasaan administratif negara dan dari kepentingankepentingan pasar kapitalis. Ruang publik yang dikooptasi (diatur atau dikontaminasi)
kekuasaan, adalah ruang publik yang berorientasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang
telah terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi kapital individualis dan kebijakan
sepihak. Seperti institusi-institusi sosial lainnya, ruang publik juga dapat dialienasikan,
diduduki, atau dipakai oleh kekuatan-kekuatan asing yang membawa berbagai pola
partikular.

1.6. Kerangka Konsep

Konsep Ruang Publik Politis Jurgen Habermas.

Inklusif
Universality Outcomes

Egaliter
Bebas dominasi

Berbasis agama/ideologi
Particular outcomes
Kooptasi pemerintah dan kapital

Anda mungkin juga menyukai