Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara geografis, perairan Laut Cina Selatan memiliki arti strategis baik
ditinjau dari segi lalu lintas pelayaran serta memiliki wilayah perbatasan dengan
Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan
di wilayah perbatasan melalui berbagai usaha perikanan selain dapat
meningkatkan aspek kesejahteraan juga keamanan. Dengan aspek kesejahteraan,
dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan
kemakmuran

atau

kesejahteraan,

sedangkan

aspek

keamanan

adalah

meningkatkan upaya pengamanan wilayah perairan perbatasan tersebut.


Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Cina Selatan memiliki luas perairan
sekitar 550.000 km2 dan mempunyai sumber daya ikan sebesar 1.057.050 ton
pertahun dengan tingkat produksi 379.900 ton pertahun dengan pemanfaatan
sekitar 35,94% (pelagis besar 53,21%, pelagis kecil 33,07%, ikan demersal
16,34% dan udang penaid lebih dari 100%) dari potensi lestari. (Departemen
kelautan dan perikanan (DKP) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
tahun 2001).
Jika dilihat tingkat pemanfaatan ikan demersal di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Laut Cina Selatan yang baru mencapai 16,34% dengan peluang
pengembangan sebesar 83,66% dari potensi sebesar 334.800 ton/tahun. Hal ini
berarti bahwa Propinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah perairan
yang termasuk kategori masih potensial untuk ditingkatkan produksinya.
Walaupun sumber daya ikan termasuk sumber daya yang dapat pulih
(renewable resources) tetapi penangkapan yang terus meningkat tanpa adanya
pembatasan akan menyebabkan habisnya sumber daya tersebut. Mengingat
tingginya intensitas penangkapan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Cina
Selatan, yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun, maka dikhawatirkan kondisi
pemanfaatannya akan mengancam kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan
sumber daya ikan kakap di perairan ini. Dalam kaitan ini, Naamin (1984)
1

menyatakan bahwa penambahan jumlah upaya penangkapan pada batas tertentu


akan menyebabkan peningkatan produksi, tetapi apabila terus terjadi penambahan
upaya maka pada suatu saat akan terjadi penurunan stok. Dengan demikian
apabila kondisi pola pemanfaatan yang ada saat ini tetap berjalan, maka diduga
dalam jangka panjang akan dapat menyebabkan sumber ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Laut Cina Selatan terancam mengalami kepunahan (over
fishing).

[01-Selat Malaka]
[06-Laut Arafura]
[07-Laut Maluku]
[02-Laut Cina Selatan]
[03-Laut Jawa]
[08-Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik]
[09-Samudera Hindia]
[04-Laut Flores dan Selat Makassar]
[05-Laut Banda]
Gambar 1.1 Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan laut (WPP) perairan Indonesia
(DKP, 2006)
Ikan kakap merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting dan
tertangkap oleh nelayan di Kabupaten Sambas. Ikan ini telah cukup lama
dimanfaatkan sebagai salah satu produk perikanan dan sejak tahun 1999/2000
merupakan ikan kelas satu di Kalimantan Barat karena pangsa pasar yang luas
namun produksinya kecil sehingga pemanfaatannya akan terus ditingkatkan untuk
mendukung ekspor maupun kebutuhan lokal. Ikan kakap dapat ditangkap dengan
berbagai macam alat tangkap. Khususnya di daerah Kabupaten Sambas ikan

kakap biasanya ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap seperti
jaring insang, rawai dasar, pancing dan bubu.
Melihat fenomena yang ada tersebut maka di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Laut Cina Selatan harus dilakukan upaya-upaya pengelolaan
pemanfaatan sumber daya ikan kakap yang lebih baik, sehingga sumber daya ikan
kakap yang ada masih dapat menjadi modal bagi perbaikan (recovery) stok dalam
kaitan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Agar pemanfaatan sumber daya ikan
kakap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Cina Selatan dapat dilakukan
secara berkelanjutan maka pola penangkapan ikan harus didasarkan pada
pengetahuan tentang keadaan stok dan aspek biologi serta aspek sosial ekonomi
dan teknologi penangkapannya. Dengan demikian potensi lestari dan optimalisasi
pemanfaatan sumber daya ikan kakap dapat ditentukan serta selanjutnya dapat
disusun suatu pola penangkapan ikan yang berbasis daya pulih sumberdaya.

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah


Permasalahan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah:
a.

Seberapa besar potensi lestari ikan kakap, agar penangkapan bisa


berkesinambungan di Kabupaten Sambas?

b.

Bagaimana pola penangkapan ikan kakap yang optimal baik dari segi biaya
maupun alokasi unit penangkapan?

c.

Bagaimana tingkat kelayakan usaha dari pola penangkapan yang diterapkan


di daerah tersebut?
Untuk menjawab permasalahan yang ada maka dilakukan pembatasan

masalah, antara lain:


1.

Daerah penangkapan ikan kakap adalah di Wilayah Pengelolaan Perikanan


Laut Cina Selatan dengan daerah pendaratan ikan di seluruh Kabupaten
Sambas - Kalimantan Barat.

2.

Alat tangkap yang menjadi prioritas untuk digunakan adalah alat tangkap
yang eksis di gunakan nelayan di Kabupaten Sambas - Kalimantan Barat
(jaring insang, rawai dasar, pancing dan bubu).

3.

Pada penelitian ini pola penangkapan ikan lebih dititik beratkan pada
penggunaan kapal ikan dalam mengangkut hasil tangkapan dari daerah
penangkapan (fishing ground) ke pangkalan pendaratan ikan (fishing base).

4.

Optimasi dibangun untuk penentuan skala armada penangkapan ikan untuk


target hasil tangkapan dengan perhitungan Maximum Sustainable Yild (MSY)
ikan kakap.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
a.

Mengestimasi potensi lestari ikan kakap yang menjadi target penangkapan


jaring insang, rawai dasar, pancing dan bubu di Kabupaten Sambas

b.

Mengoptimisasi pola penangkapan ikan kakap agar penangkapan ikan di


Kabupaten Sambas dapat dilakukan secara terus menerus.

c.

Menganalisis tingkat kelayakan usaha dari pola penangkapan yang akan


diterapkan.
Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1.

Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas


dalam menyusun kebijakan di bidang perikanan tangkap.

2.

Memberikan gambaran/informasi pada pengusaha/pemilik kapal penangkap


ikan mengenai pola penangkapan ikan yang layak dan menguntungkan.

3.

Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan


permasalahan yang sama.

Anda mungkin juga menyukai