Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker sistim reproduksi meliputi kanker serviks, payudara, indung telur,
rahim dan alat kelamin perempuan. Kanker serviks merupakan kanker yang paling
banyak diderita oleh wanita di Negara berkembang dan menempati urutan kedua
setelah kanker payudara. Di Indonesia, angka kejadian kanker serviks diperkirakan
sekitar 50 per 100.000 penduduk (Depkes, 2001)
Hingga saat ini kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbanyak
akibat penyakit kanker di Negara berkembang. Tingginya angka kematian ini adalah
karena penyakit ini tidak mempunyai ciri yang khas. Sesungguhnya penyakit ini
dapat dicegah bila dilakukan program skrining atau deteksi dini namun hal ini belum
dilakukan khususnya di negara berkembang. Diperkirakan setiap tahunnya dijumpai
sekitar 500.000 penderita baru diseluruh dunia dan umumnya terjadi di negara
berkembang. Kanker serviks terbanyak dijumpai di negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia, India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia kanker serviks menempati
urutan pertama (Depkes, 2007).
Menurut Rasjidi (2007), kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua
pada wanita dan menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005.
Kurang lebih 80% kematian

tersebut terjadi di negara berkembang. Tanpa

Universitas Sumatera Utara

penatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat kanker serviks akan


menjadi meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.
Di negara maju/industri kanker serviks menempati urutan ke 10 dari semua
jenis kanker, atau kalau menurut kejadian kanker ginekologi (kanker

pada alat

reproduksi wanita), kanker serviks menduduki urutan ke-5. Secara global kanker
serviks merupakan kanker kedua terbanyak ditemukan pada wanita. Menurut
Norwitz, insiden kanker serviks di Amerika 10.370 kasus baru dan 1.123 kematian.
Di Amerika Latin dan Afrika Selatan frekuensi kanker serviks juga merupakan
penyakit keganasan yang ada (Tambunan, 1991).
Di Negara Amerika Serikat kanker serviks memiliki age specific Rate (ASR)
kurang lebih 20 kasus per 100.000 penduduk wanita pertahun (Depkes 2007). Setiap
tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan lebih
dari 250.000 meninggal dunia. Total 2,2 juta perempuan di dunia menderita kanker
serviks. Kanker serviks cenderung muncul pada perempuan berusia 35-55 tahun,
namun dapat pula muncul pada perempuan dengan usia yang lebih muda (Djemi,
2007).
Menurut Wikenjosastro, (1999) di Asia dijumpai insiden kanker serviks
sebanyak 20-30/100.000 wanita dengan angka kematian 5-10/100.000 wanita
penderita kanker serviks terutama banyak dijumpai pada usia 45-50 tahun.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan di Indonesia tahun 2000 saat ini
sekitar 200.000 kasus kanker serviks setiap tahunnya, atau 100 kasus per 100.000

Universitas Sumatera Utara

wanita, 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam stadium lanjut,
( Sahil,2003. Mustari,2006).
Menurut Yayasan Kanker Indonesia (2007), saat ini penyakit Kanker serviks
menyebabkan korban meninggal sedikitnya 200.000 wanita per tahun atau
diperkirakan setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan
meningal dunia karena penyakit tersebut.
Di RSCM insidens

kanker serviks 78,8% dari sepuluh jenis kanker

Ginekologik. Data dari beberapa gabungan rumah sakit di Indonesia, jenis kanker
pada pria dan wanita menunjukkan frekuensinya paling tinggi yaitu (16,0%) disusul
oleh kanker hati/hepatoma (12,0%) payudara (10,0%) dan lain-lain. Dari 1717 kasus
kanker ginekologi (1989-1992) sebesar 76,2% diantaranya adalah kanker serviks.
Menurut data histopatologik tahun 1996 dari 10 jenis kanker pada wanita di Indonesia
terbanyak adalah kanker serviks sebanyak 4290 kasus dari 12450 kasus kanker pada
wanita (Aziz,MF 2000).
Berdasarkan kelompok umur penderita, insidens kanker serviks rendah pada
umur < 20 tahun, dan meningkat dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun;
sedangkan karsinoma in situ

mulai pada umur lebih muda/awal dan mencapai

puncak pada usia 30-34 tahun , sedangkan displasia mencapai puncak pada usia 2029 tahun dan turun sampai umur 50-59 tahun dan meningkat lagi pada umur yang
lebih tua (Aziz, MF,2000).

Universitas Sumatera Utara

Menurut penelitian Tjokronegoro (2002) kanker ginekologi di RSCM


terbanyak yaitu kanker serviks (62%) diantaranya dengan stadium lanjut ( stadium IIIII) dan merupakan penyebab kematian tertinggi dengan CFR 66%.
Berdasarkan data dari 13 pusat patologi di Indonesia menunjukkan penyakit
kanker serviks termasuk pada urutan pertama tumor ganas pada wanita dengan
frekuensi 28.7%, sebagian besar penderita (62%) datang berobat sudah pada stadium
lanjut (stadium IIB sampai IVA), dan pengobatan yang dilakukan dengan radiasi
merupakan pengobatan utama (POGI, 2003).
Berdasarkan stadium penyakit penderita yang datang ke pelayanan kesehatan
sudah pada stadium lanjut (II-IV) 62% (Dirjen Yanmed, 1996). Di RSUPN CM
pasien yang datang pada stadium lanjut (II-IV) lebih banyak lagi, mencapai 80%
dengan rincian sebagai berikut stadium I: 19,1%, stadium II: 32,0% stadium III:
40,7% stadium IV: 7,4% dan

survival rate atau ketahanan hidup tergantung dari

stadium penyakit. Jika stadium semakin tinggi usia harapan hidup semakin rendah.
Dari 262 penderita kanker serviks yang dirawat di RSUPN CM dari tahun 1990 dan
difollow selama 5 tahun, didapatkan probabilitas ketahanan hidup untuk stadium I, II,
III, IV masing-masing adalah 48%, 42%, 19% dan 0% . Kematian karena kanker
serviks di RSUNCM dari tahun 1990-1994 sangat tinggi yaitu sebanyak 66,1% dari
327 kasus kanker ginekologi disusul oleh kanker ovarium 22,6%, Penyakit trofoblas
ganas 7,3%, uterus 2,4%, vulva 0,9% dan vagina 0,6% (Aziz , 2002). Dari data diatas
dapat dilihat bahwa semakin lanjut stadium penyakit semakin rendah usia harapan
hidupnya.

Universitas Sumatera Utara

Di Sumatera Utara diperoleh data dari Dinas Kesehatan Provinsi jumlah


penderita kanker serviks pada tahun 1999 tercatat 475 kasus, tahun 2000 sebanyak
548 kasus dan tahun 2001 sebanyak 681 kasus. Data dari laboratorium USU tahun
2002 terdapat 21 kasus, dari jumlah tersebut 17 kasus sudah berada pada tingkat
displasia atau sel-sel ganas (Rahmi,2004).
Di Rumah Sakit dr Pirngadi Medan tahun 2000 menunjukkan bahwa kanker
serviks menempati urutan teratas dari seluruh kanker pada wanita. Pada tahun 1999
terdapat 57 kasus, tahun 2000 sebanyak 600 kasus, dan tahun 2001 sebanyak 85
kasus, tahun 2002 sebanyak 85 kasus dan 2003 sebanyak 92 kasus, tahun 2004
sebanyak 72 kasus, dan 2005 sebanyak 98 kasus.
Data dari RSUP Haji Adam Malik Medan penderita kanker servik tahun 2001
sebanyak 55 kasus, tahun 2002 sebanyak 53 kasus dan tahun 2003 sebanyak 56
kasus, tahun 2004 sebanyak 62 kasus, tahun 2005 sebanyak 111 kasus dan tahun
2006 sebanyak 140 kasus, tahun 2007 sebanyak (215 kasus), tahun 2008 sebanyak
220 kasus, tahun 2009 sebanyak 231 kasus.
Menurut Bustan (1997), Wikenjosastro (1999) kanker dapat disembuhkan jika
dideteksi dan ditanggulangi sejak dini, namun karena minimnya gejala yang
ditimbulkan oleh kanker serviks, maka penanganan terhadap penyakit sering kali
terlambat yang menyebabkan kematian.
Tingginya angka kematian penderita kanker serviks di Indonesia disebabkan
karena sebagian besar penderita kanker serviks datang sudah dalam stadium lanjut,

Universitas Sumatera Utara

dan karena masih kurangnya kesadaran wanita Indonesia untuk melakukan


pencegahan dan deteksi dini kanker serviks (Ratna , 2004).
Berdasarkan data RS Kanker Dharmais, pasien yang menderita kanker serviks
pada stadium lanjut pada tahun 1993-1997 sebanyak 710 kasus baru, 65 % pasien
datang sudah dalam stadium lanjut (IIB-IV). Angka ketahanan hidup (survival rate)
pada stadium lanjut berkisar 53,2% dan untuk stadium awal hampir 90% (Bambang,
2007).
Kanker serviks memperlihatkan bahwa dari 4467 kasus kanker serviks yang
tercatat pada tahun 1988 di Inggris, sekitar 1800 kasus mengalami kematian, dari
keseluruhannya 85% dari wanita penderita kanker serviks tersebut tidak pernah
melakukan pap smear (Evennet,K, 2004).
Di Amerika Serikat telah dilakukan 50 juta uji pap smear setiap tahun dan hal
ini berhasil menurunkan insidens kanker serviks sampai 70% (Winkelstein,1997).
Penelitian yang dilakukan Darnindro dkk (2006) dari 107 responden hanya 33,7%
yang pernah melakukan pap smear. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia
responden terhadap perilaku responden, dan antara pengetahuan dengan sikap
responden tentang pap smear. Pengetahuan sikap perilaku perempuan yang sudah
menikah di Rumah Susun Klender tentang pap smear masih rendah.
Di Indonesia pap smear belum menjadi suatu kebutuhan hal ini menyebabkan
rendahnya partisipasi wanita dalam program pap smear (Adhani,2004). Data
Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tahun 2003
telah dilakukan 2580 uji pap smear dan 2537 pada tahun 2004 dari data tersebut

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan jumlah wanita yang melakukan pap
smear (Sirait,2000).
Pap smear dapat dipakai sebagai deteksi dini kanker serviks, yang telah
dibuktikan oleh Nelson JH dan kawan-kawan menyatakan dengan melakukan pap
smear test maka insidens kanker serviks akan turun. Pada tahun 1988 Mayo Clinic
Health center menyatakan bahwa dengan ditemukannya teknologi pap smear,
selama 40 tahun terakhir ini, angka kematian disebabkan kanker serviks turun 70%
(Tara, 2001).
Data di atas menunjukkan bahwa masih rendahnya kesadaran wanita dalam
melakukan pap smear, hal ini disebabkan karena berbagai faktor. Menurut Wilopo
(2010) masyarakat dengan sosial ekonomi rendah kurang memiliki kesempatan untuk
melakukan pap smear karena alasan kekurangan biaya.
Tindakan pap smear terlaksana dengan baik jika ada dukungan. Dukungan
sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga
sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa
atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial
keluarga eksternal (Friedman, 1998). Suami sebagai kepala rumah tangga dapat
berperan

serta dalam kesehatan Reproduksi. Bentuk peran serta tersebut dapat

berupa pemberian dukungan terhadap kesehatan reproduksi (Sukaisih, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa dukungan suami


sangat diperlukan dalam hal kesehatan reproduksi wanita. Ada beberapa penelitian
yang membuktikan hal tersebut antara lain : penelitian Amatya dkk (1994) di
Bangladesh menunjukkan bahwa konseling terhadap suami tentang penerimaan alat
kontrasepsi norplant menunjukkan efek positif dengan tingkat drop out hanya 10%.
Penelitian Gate (1980) membuktikan bahwa dukungan emosional suami dapat
mengurangi ketidaknyamanan istrinya yang menjalani mastektomi. Demikian juga
hasil penelitian Kondo di Jepang (2004) membuktikan bahwa kecemasan dan depresi
pada wanita infertilitas di Jepang sangat tinggi akibat kurangnya dukungan psikologis
dari suami, dan diprogramkan untuk menghilangkan kondisi ini dengan intervensi
psikologis. Penelitian Sukaisih (2004) membuktikan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan suami terhadap pemakaian KB IUD

( p: 0,044 ).

Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar suami akseptor sebaiknya diberi


penyuluhan mengenai kontrasepsi IUD dan efek sampingnya. Dari beberapa
penelitian diatas terlihat jelas bahwa dukungan suami berperan penting dalam
kesehatan reproduksi wanita termasuk dukungan suami untuk pap smear.
Tindakan pap smear seorang ibu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti faktor internal (dari dalam dirinya sendiri) pengetahuan dan sikap ibu serta
dukungan suami. Sumber-sumber dukungan banyak diperoleh individu dari
lingkungan sekitarnya, namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan
keluarga ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan keluarga
merupakan aspek yang paling penting untuk diketahui atau dipahami. Dengan

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan dan pemahaman itu, sesorang akan tahu dari siapa ia akan mendapatkan
dukungan sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan
tersebut bermakna (Friedman, 1998).
Disini akan diteliti tentang hubungan karakteristik, pengetahuan dan sikap Ibu
serta dukungan suami dengan tindakan pap smear.

1.2. Permasalahan
Bagaimana hubungan karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan
keluarga), pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan suami dengan tindakan pap
smear.

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk menganalisis hubungan karakteristik ( umur,

tingkat pendidikan,

pekerjaan, pendapatan keluarga), pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan suami
(dukungan informasi, dukungan emosional dan dukungan nyata ) dengan tindakan
pap smear bagi ibu-ibu pasangan usia subur sebagai upaya deteksi dini kanker
serviks.

1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan karakteristik (umur,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga), pengetahuan dan sikap ibu

serta

Universitas Sumatera Utara

dukungan suami (dukungan informasi, dukungan emosional dan dukungan nyata)


dengan tindakan pap smear.

1.5. Manfaat Penelitian


1. Sebagai masukan dan informasi bagi RSUP Haji Adam Malik Medan dalam
upaya meningkatkan

pelayanan pemeriksaan

pap smear sebagai upaya

deteksi dini kanker serviks.


2. Sebagai informasi untuk meningkatkan pengetahuan ibu-ibu PUS tentang
pemeriksaan pap smear sebagai deteksi dini kanker serviks.
3. Untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan wawasan tentang pemeriksaan pap
smear sebagai deteksi dini kanker serviks bagi ibu-ibu PUS

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai