Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

PENYAKIT INFEKSIUS 1
(IPH 323)

DERMATOFITOSIS PADA KUCING

Oleh:
Kelompok 2A Pagi
Muhammad Abhi Purnomosidi

B04110138

Mahana Andry

B04110139

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN


DAN KEEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia,

oleh karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis
adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat
mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai
penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan
kegagalan dalam penataklaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik
dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang
efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen
penyebab.
Kapang atau cendawan merupakan salah satu jenis parasit yang terdiri atas
genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Berbagai spesies dari
tiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit, bulu/rambut dan kuku/tanduk
dalam berbagai intensitas infeksi. Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya,
dan penyakit ini secara ekonomis sangat penting (Djenuddin 2005).
Secara umum penyakit yang disebabkan oleh kapang ini menginfeksi
hewan domestik, khususnya hewan ternak, anjing, kucing, hewan peliharaan kecil
seperti hamster dan kelinci percobaan bahkan semua mamalia dan burung.
Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara kontak langsung dengan lesi pada
tubuh hewan, yaitu kontak dengan kulit atau bulu yang terkontaminasi ringworm
maupun secara tidak langsung melalui spora dalam lingkungan tempat tinggal
hewan. Kapang mengambil keuntungan dari hewan dengan mengurangi kapasitas
kekebalan tubuh atau sistem imum hewan (Feline 2005).
Gejala yang terlihat pada anjing sering terjadi kerusakan disertai
kerontokan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga, perubahan yang tampak
pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan umumnya dijumpai
di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada kaki, dan perut bagian bawah.

Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan dibagian keropeng biasanya
bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada
bulberupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah, ditemukan pula kegatalan (Riza
2009)
B.

Tujuan
Tujuan praktikum ini yaitu menemukan agen penyebab dermatofitosis

pada kucing.

BAB 2
METODE
A.

Alat dan bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah ose, bunsen, lap,

mikroskop, korek api, glass object, kerokan kulit, cover glass, dan scalpel.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah hasil kerokan kulit dari kulit anjing,
Media SDA, pewarna LCB, media slide culture dan KOH.

B.

Metode
B.1 Koleksi kerokan kulit
Untuk mengoleksi kerokan kulit siapkan kucing, lalu lakukan
pengerokan pada kulit yang diduga mengalami kelainan dermatofitosis.
Kerok mulai dari yang sehat hingga yang terinfeksi. Simpan di wadah
plastik dan kering.
B.2 Pemeriksaan langsung
Bersihkan gelas objek dengan alkohol lalu keringkan, kerokan kulit
diletakkan di atas gelas objek lalu diteteskan KoH, terkahir tutup dengan
kaca penutup lalu amati dibawah mikroskop.
B.3 Pembiakan pada media agar
Sterilkan pinset yang akan digunakan mengambil kerokan kulit
dengan cara dipanaskan di atas api. Kerokan kulit yang tersisa diletakkan
dimedia agar SDA menggunakan pinset. Inkubasi dan amati minggu
berikutnya.
B.4 Identifikasi makroskopis
Diamati morfologi koloni yang terlihat dari media agar tersebut.
B.5 Identifikasi mikroskopis
Sterilkan ose dengan dipanaskan diatas api bunsen. Ambil hasil
biakan menggunakan ose dan letakkan di atas gelas objek yang telah diberi

aquades, lalu tutup dengan kaca penutup. Amati dibawah mikroskop dari
perbesaran terkecil hingga 40x.
B.6 Teknik pembuatan slide culture menurut riddle
Disiapkan sebuah cawan petri steril yang di dalamnya diberi kertas
saring steril yang dipotong memanjang dan telah dilembabkan dengan
menggunakan akuades steril untuk menjaga kelembaban kultur dalam
cawan petri. Pada cawan petri tersebut disimpan batang penahan berbentuk
segitiga, dan di atas batang penahan tersebut diletakkan sebuah gelas objek
steril beserta penutupnya. Blok agar steril kira-kira satu sentimeter
dipotong dari medium PDA. Letakkan di atas gelas objek dengan
menggunakan pisau atau alat pemotong steril. Kemudian ambil hasil
biakan kerokan menggunakan ose dan letakkan pada 4 titik sudut agar
tesebut, lalu tutup dengan penutup gelas objek, lalu inkubasi dalam suhu
kamar.
B.7 Pengamatan morfologi kapang dari slide culture
Disiapkan gelas objek steril yang telah diteteskan LCB lalu ambil
cover glass dari agar yang telah diinkubasi, letakkan di atas gelas objek
yang telah diberi LCB. Amati dibawah mikroskop. Cara lain dapat diamati
langsung, yaitu ambil gelas objek yang tedapat biakan agar dan langsung
diamati dibawah mikroskop.

Sample

Rendam KOH
Pengamatan
Media SDA
Pengamatan
Media Slide
Pengamatan dengan LCB
Pengamatan dengan LCB

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.

Hasil
A.1. Biakan Agar
Makroskopis

Mikrokopis (dengan pewarnaan CLB)

A.2. Slide Culture Riddle


Makroskopis

Mikroskopis (dengan pewarnaan CLB)

B.

Pembahasan
Microsporum canis merupakan salah satu jenis dermatofita yang sering

terjadi pada kucing, terutama kucing dengan bulu panjang. Gambaran


makroskopik pada kapang ini yaitu tumbuhnya agak cepat sampai lambat,
terdapat miselim yang berbentuk seperti kapas dan berwarna putih. Sedangkan
pada pengamatan mikroskopik, ditemukan makrokonidia yang memiliki dinding
tebal, memiliki septa 6-12 buah. Hifa bersepta, berhyalin, dan bercabang, serta
memiliki panjang konidia sebesar 10-25x35-110 mm. Makrokonidia ini berbentuk
spindle, dengan tepi kasar, dan dinding yang tebal. Ujung dari makrokonidia ini
berbentuk seperti tombol dan pada bagian ini lah yang terlihat paling kasar. Tidak
hanya itu, pada bagian ujung sering kali terlihat asimetris. Septanya berdinding
tipis . Makrokonidia menempel pada hifa dari sel yang hancur, ketika konidia
tumbuh dewasa, konidia akan meninggalkan benang berbentuk gelang di dasar
konidia. M. canis hanya sedikit menghasilkan mikrokonidia ketika ditanam di
media kultur (Campbell et al 1996). Mikrokonidia juga tidak bisa ditemukan di
glukosa pepton agar dan akan lebih jarang lagi pada maltose agar (Fisher 1998).
Sedangkan dari hasil praktikum tidak didapatkan BLABLABLA, dilihat
dari hasil pengamtan dengan mikroskop didapatkan BLABLABLA. Jamur ini
bukan termasuk dalam dermatofita tetapi kontaminan. BLABLABLA didapatkan
dari BLABLABLA yang XXXXX. Hal ini disebabkan kesalahan saat
pengambilan sample, penanaman, dan pemilihan sample biakan.
BAB 4
Kesimpulan

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Djenuddin, G. 2005. Penyakit Kulit oleh Kapang Dermatofit
(Ringworm) pada Kelinci. Balai Penelitian Veteriner, Bogor
Feline, A.B. 2005. Ringworm. http://www. Fabcats.org/ringworm
for breeders.html.
Riza, Z.A. 2009. Permasalahan dan Penanggulangan Ringworm
pada Hewan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai