Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN OBAT ANALGETIK
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit
atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan akhirnya akan
memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh
dan merupakan bagian dari proses penyembuhan (inflamasi). Nyeri perlu dihilangkan jika
telah mengganggu aktifitas tubuh. Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen obat
yang kita minum biasanya mengandung analgetik atau pereda nyeri. Pada umumnya (sekitar
90%) analgetik mempunyai efek antipiretik.
B. MACAM-MACAM OBAT ANALGETIK
Ada dua jenis analgetik, analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain berdasarkan
struktur kimianya, pembagian diatas juga didasarkan pada nyeri yang dapat dihilangkan.
1. Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika
Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papever
somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri
sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan
tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Semua anlagetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat tetapi potensi, onzzet, dan
efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif maupun kuantitatif. Efek samping yang
paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis yang besar dapat
menyebabkan hipotensi serta depresi pernapasan.
Morfin dan petidinn merupakan analgetik narkotik yang paling banyak dipakai untuk
nyeri hebat walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di indonesia tersedia dalam
bentuk injeksi dan masih merupaan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi
analgetik narkotik lainnya. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euforia
dan gangguan mental. Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih
digunakan di Indonesia :
- Morfin HCl
- Kodein (tunggal atau kombinasi dengan parasetamol)
- Fentanil HCl
- Petidin
- Tramadol
2.
Obat Analgetik Non-narkotik
Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah
Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari

obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. obat analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat(SSP

Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf
pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik
/ Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna
(berbeda halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik :
a. Ibupropen
Ibupropen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama
dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminim obat ini.
b. Paracetamol/acetaminophen
Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai
analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,
parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati
analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak
menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasikan dengan cofein yang berfungsi
meningkatkan efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya.
c. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada
protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek
samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain
terhadap mukosa lambung.
d. Fenbufen
5.
6.
10.

Indometasin
Piroksikam dan Meloksikam
Allopurinol

C. CARA KERJA OBAT ANALGETIK


1. Mekanisme kerja Analgetik Opioid (analgetik narkotik)
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek sampingnya.
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin,
penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supreaditif ini tidak
diketahui dengan tepat mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi
opioid yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid
yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi
napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu dan selain itu ada efek hipotensi
fenotiazin.

2. Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik


Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri dan
temperature. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan
penurunan suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis
prostaglandin (PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer
(vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh.
Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus atau di tempat cedera.
Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti
brandikinin, PG dan histamin. PG dan brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan
membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan brandikinin
sehingga menghambat terjadinya perangsangan reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak
digunakan sebagai analgetik dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetominafin
(parasetamol).
o
o
o
o
o
o
o

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:


Analgesik
Medullary effect
Miosis
Immune function and Histamine
Antitussive effect
Hypothalamic effect
GI effect
PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida),
petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama kerjanya.
Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan
sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya
dengan sempurna.
Undang undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini,
seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang undang narkotika,
karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu
lama tidak dianjurkan.Pada tahun 1978, propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam
opiumwet.
PENGGUNAAN
Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri
hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a. Non-opioida : NSAIDs, termasuk asetosal dan kodein

b. Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan
kodein
c. Opioida kuat : morfin dan derivate derifatnya serta zat zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila efeknya kurang
beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila langkah ini tidak menghasilkan
analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin (
oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan adiksi untuk opioid
bila diberikan sembarangan

D. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI OBAT ANALGETIK


1. Analgetik Opioid atau Analgetik Narkotika
a. Morfin dan Alkaloid Opium
Indikasi
- Meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan dengan
analgesic non-opioid
- Mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal
jantung kiri.
- Mengehentikan diare
Kontraindikasi
Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem, kifoskoliosis, korpulmonarale kronik
dan obesitas yang ekstrim.
b. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanestetik.
Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya
perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain penekanSSP. Pada pasien yang
sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.
2. Obat Analgetik Non-narkotik
a. Salisilat
Indikasi
- Mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan
myalgia.
- Demam reumatik akut
Kontraindikasi
- Pada anak dibawah 12 tahun

b. Parasetamol
Indikasi
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan antipiretik, telah menggantikan
penggunaan salisilat. Sebagai analgesic lainnya, parasetamol sebaiknya tidka diberikan
terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesic.
Kontraindikasi
Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi
berpotensi menyebabkan nefropati analgesic.
c. asam mefenamat
Indikasi
Sebagai analgesic, sebagai anti-inflamasi,
Kontraindikasi
Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan
pemberian tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama
haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
d. Ibuprofen
Indikasi
Bersifat analgesic dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat.
Kontraindikasi
Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui karena ibuprofen
relative lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesic.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Analgetik yaitu obat anti nyeri. Mekanisame kerja menghambat sintase PGS di tempat
yang sakit/trauma jaringan.
Karakteristik :
1. Hanya efektif untuk menyembuhkan sakit
2. Tidak narkotika dan tidak menimbulkan rasa senang dan gembira
3. Tidak mempengaruhi pernapasan
4. Gunanya untuk nyeri sedang, contohnya: sakit gigi
Macam - macam Analgetik :
1.
Analgetik Opioid/analgetik narkotika
2.
Obat Analgetik Non-narkotik
http://farmakologibhm.blogspot.com/p/blog-page_30.html
http://yosamfajar.blogspot.com/2013/09/bab-i-pendahuluan-1_27.html

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalaurasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang
toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. (Tan dan Kirana 2002) Parasetamol merupakan
obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem
Syaraf Pusat(SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk
sediaan tunggalsebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat
flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002) .Parasetamol mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja antiradang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung hal ini disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak
terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid
sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai
sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak.Untuk
anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan
khusus lainnya dari dokter.Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi
Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendirisendiri. (Sartono 1996) Obat ini digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, misalnya
pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid dan lain sebagainya. Obat-obat golongan ini yang beredar
sebagai obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat ringan, sedangkan untuk sakit yang berat (misal:
sakit karena batu ginjal, batu empedu dan kanker) perlu menggunakan jenis obat yang lebih poten
(harus dengan resep dokter) dan untuk demam yang berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan
dokter. (Widodo 2004).Berbeda dengan obat analgetik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen,
parasetamol tidak memiliki sifat antiradang. Parasetamol aman dalam dosis standar, tetapi karena
mudah didapati, kejadian overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. (Nasution,
Y.A., 2009)
2.1 OBAT-OBAT SISTEM SARAF
A. ANALGETIKA-ANTIPIRETIKA
Pengertian
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit tanpa
menghilangkan kesadaran.Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk
menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.Hampir semua analgetika
ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana efek anti inflamasi sendiri berguna untuk mengobati
radang sendi (artritis remautoid).Jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obat analgetika
yang selain mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis
ini
digunakan
dalam
pengobatan
reumatik
dan
gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan obat yang paling banyak diresepkan dan juga
digunakan tanpa resep dari dokter.Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen
secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS dari
subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda
subgolongan tetapi memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).

Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek antipiretiknya
bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis
dari pada antipiretika klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi
sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan penyakit pirai. Respon individual
terhadap AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi
yang sama. Sehingga kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat
kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan
gradasi antar obat-obat ini.
Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran prostaglandin secara berlebihan
akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun rangsangan nyeri sendiri yaitu :
1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak
2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCL dan zat-zat kimia lainnya
3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun
sentral.Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif.Dalam keadaan patologis, misalnya
inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan
membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri.
AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan dengan sistem biosintesis
prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi PGG2 menjadi terganggu.Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut
COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda. Secara garis besar COX1 esensial dalam pemelihraan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya
ginjal, saluran cerna, dan trombosit.Dimukosa lambung aktivitas COX-1 menghasilakan prostasiklin
yang bersifat protektif.Siklooksigenase 2 diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk sitokin,
endotoksindan growth factors.Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan
agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot polos.Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang
disintesis oleh COX-2 di endotel malvro vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan
penghambatan
agregasi
trombosit.

Obat-Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)


Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :
1. Asam mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-inflamasi, asam mefenamat kurang
efektif dibandingkan dengan aspirin.Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada
reumatoid dan osteoartritis.Asam mefenamat dan meklofenamat merupakan golongan
antranilat.Asam mefenamat terikat kuat pada pada protein plasma.Dengan demikian interaksi dengan
oabt antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare sampai diare
berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung.Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250500 mg sehari.Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 240-400 mg

sehari.Karena efek toksisnya di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14
tahun dan ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
2. Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna
berlangsung lengkap dan cepat.Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek
metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%.Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam,
dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang
dari waktu paruh obat tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti
semua AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian selama
kehamilan tidak dianjurkan.Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
3. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali dibanyak
negara.Obat ini bersifat analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400
mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai
dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein plasma, ekskresinya berlangsung cepat
dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat anti hipertensi karena dapat
mengurangi efek antihipertensi, efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis prostaglandin
ginjal.Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan aspirin.Ibuprofen tidak
dianjurkan diminum wanita hamil dan menyusui.Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas
dibeberapa negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek samping serius pada
dosis analgesik dan relatif lama dikenal.
4. Fenbufen
Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug.Jadi fenbufen bersifat
inaktif. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat
melalui lambung dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam. Efek samping obat ini sama
seperti AINS lainnya, pemakaian pada pasien tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan
ginjal dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300 mg sehari dan dosis
pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.
5. Indometasin
Merupakan derivat indol-asam asetat.Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan
artritis reumatoid dan sejenisnya.Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan
obat ini dibatasi.Indometasin memiliki efek anti-inflamasi sebanding dengan aspirin, serta memiliki
efek analgesik perifer maupun sentral.In vitro indometasin menghambat enzim siklooksigenase,
seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%.Indometasin terikat pada protein plasma
dan metabolisme terjadi di hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam. Efek
samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan
lambung dan pankreatis.Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan disertai
pusing.Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat terhadap biosintesis prostaglandin
di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurkan pada anak, wanita hamil, gangguan psikiatrik dan pada
gangguan lambung. Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim indometasin
yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
6. Piroksikam dan Meloksikam

Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam
enolat. Waktu paruh dalam plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi berlangsung
cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma.Frekuensi kejadian efek samping dengan
piroksikam mencapai 11-46% dan 4-12%.Efek samping adalah gangguan saluran cerna, dan efek
lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema kulit.Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita
hamil, pasien tukak lambung dan yang sedang minum antikoagulan.Dosis 10-20 mg sehari.
Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada COX-1.Efek samping meloksikam
terhadap saluran cerna kurang dari piroksikam.
7. Salisilat
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin adalah analgesik
antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan.Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya
digunakan sebagai obat luar.Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat
dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi
yang
baik
dalam
kadar
plasma
perlu
dipertahankan
antara
250-300
mg/ml.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung.
Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera
menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinoval. Efek
samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek samping lain
adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan.
8. Diflunsial
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, bersifat analgetik dan anti
inflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam. 99% diflunsial
terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi untuk nyeri sedang sampai ringan
dengan dosis awal 250-500 mg tipa 8-12 jam. Untuk osteoartritis dosis awal 2 kali 250-500
mg sehari. Efek samping lebih ringan dari asetosal.
9. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat pirazolon. Dengan adanya AINS yang
lebih aman, fenilbutazon dan oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan digunakan sebagai anti-inflamasi
kecuali obat lain tidak efektif.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat dari pada kerja analgetiknya
jadi golongan ini hanya digunakan sebagai obat rematik.Fenilbutazon dimasukan secara diam-diam
dengan maksud untuk mengobati keadaan lesu dan letih, otot-otot lemah dan nyeri. Efek samping
derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia.
10. Allopurinol
Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat di dalam serum dan urin pada
penanganan gout primer dan sekunder. Allopurinol bekerja dengan menghambat xanthin oksidase,
enzim yang bertugas mengubah hipoxanthine menjadi xanthin kemudian menjadi asam
urat.Allopurinol mencegah atau menurunkan endapan asam urat sehingga mencegah gout
arthritis.Dengan dosis awal 2 kali sehari 100-300 mg sehari diminum segera setelah makan.Efek
samping allopurinol dapat menyebabkan hipersensitfitas, gangguan gastrointestinal, sakit kepala dan
megantuk.Maka harus berhat-hati pada pasien yang sedang mengendarai dan mengoperasikan
mesin.
B. ANALGETIKA NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang nyeri yang
kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat mengurangi kesadaran

(mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria). Analgetik opioid ini merupakan pereda
nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis
(adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat). Karena bahaya
dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi dengan seksama oleh DEPKES dan
dimasukkan kedalam Undang-undang Obat Bius (Narkotika).
Analgetika narkoti, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja terhadap
reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap
nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya menimbulkan
analgesia.Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat zat endorphin yang juga
bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka
pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa
senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan
dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan
dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin.Zat-zat ini dapat dibedakan antara -endorfin,
dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara
kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH), menstimulasi pelepasanya juga dari
somatotropin dan prolaktin. Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini.-endorfin pada
hewan berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan. Zat
ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan memperbaiki
penerimaannya. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan
kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama
elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera hebat).Peristiwa efek
placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan
toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal
dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh
terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan
analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor
opioid ,, , , . (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioidreceptor-like 1 (ORL-1) receptor or orphan opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas
fungsinya).
Reseptor memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari
opioid. Sedangkan reseptor 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik
dan berhubungan dengan toleransi terhadap opioid. reseptor telah diketahui dan berperan dalam
efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum
tulang belakang. Reseptor danreseptor menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin,
sedangkan reseptor selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya :
2+
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca ke dalam
+
sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K ke dalam
sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya
dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor reseptor nyeri di susunan saraf pusat,
hingga perasaan nyeri dapat diblokir.Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya untuk
menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin.Tetapi bila analgetika tersebut
digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin
di ujung saraf pusat dirintangi.Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

o
o
o
o
o
o
o

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:


Analgesik
Medullary effect
Miosis
Immune function and Histamine
Antitussive effect
Hypothalamic effect
GI effect

Efek samping umum


o Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat (kegelisahan,
rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
o Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi
darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti.
o Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia,
dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul
mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.
o Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu
empedu).
o Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas
o
o
o
o

uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).


Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.
Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala
abstinensia.
PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida),
petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.

Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama kerjanya.
Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan
sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3. Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya
dengan sempurna.
Undang undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini,
seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang undang narkotika,
karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu
lama tidak dianjurkan.Pada tahun 1978, propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam
opiumwet.
PENGGUNAAN
Tangga analgetika. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri
hebat misalnya pada kanker, yang mengolongkan obat dalam 3 kelas, yakni :
a. Non-opioida : NSAIDs, termasuk asetosal dan kodein
b. Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol, dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan
kodein
c. Opioida kuat : morfin dan derivate derifatnya serta zat zat sintetis opioid.
Menurut program ini, pertama-tama obat diberika 4 dd 1 g parasetamol, bila efeknya kurang
beralih ke 4-6 dd kodein 30-60 mg (bersama parasetamol).Baru bila langkah ini tidak menghasilkan
analgesi yang memuaskan, dapat biberikan opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin (
oral, subkutan kuntinu, intravena, epidural atau spinal).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk meghindari resiko kebiasaan dan adiksi untuk opioid
bila diberikan sembarangan.
KEHAMILAN DAN LAKTASI
Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi dapat digunakan beberapa waktu sebelum
persalinan.Bila diminum terus, zat ini dapat meursak janin akibat depresi pernafasan dan
memperlambat persalinan.Banyi dan ibu yang ketagihan menderita gejala abstinensi. Selama laktasi,
ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit terdapat pada air susu ibu.
KEBIASAAN DAN KETERGANTUNGAN
Penggunaan pada jangka waktu yang lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan
dan ketegantungan.Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resoprpsi opioid atau perombakan
/eliminasinya yang dipercepat atau bisa juga karena penurunan kepekaan jaringan.Obat menjadi
kurang efektif, sehingga diperlukan lagi dosis yang lebih tinggi lagi untuk mencapai efek
semula.Peristiwa ini disebut dengan toleransi dan bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih baik
diterima tanpa menimbulakn efek intoksikasi.
Disamping ketergantungan fisik tersebut dapat pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan
mental akan efek psikotrop (euphoria, rasa nyaman dan segar) yang dapat menjadi sangat kuat,
hingga pasien seolah olah terpaksa melanjutkan penggunaan obat.
Gejala abstinensi selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan ( dengan mendadak) dan
semula dapat berupa menguap, berkeringan hebat dan air mata mengalir, tidur gelisan dan merasa
kedinginan.. lalu timbul muntah-muntah, diare, tachycardia, ydriasis (pupil membesar), tremor, kejang
otot, peningkatan tensi, yang dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah dank e
khawatiran mati).

Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa penderita yang duah ketagihan sukar sekali
menghentikan opiate.Guna menghindari efek-efek opiate ini, mereka terpaksa melanjutkan
penggunaannya.
Ketergantingan fisik lazimnya sudah lenyak dua minggu setelah penggunaan obat
dihentikan.Ketergantungan psikis seringgkali sangan erat, maka pembebasan yang tuntas skar sekali
dicapai.
ANTAGONIS MORFIN
Antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek opioida tanpa mengurangi
kerja analgetisnya.Yang paling terkenal adalah nalokson, naltrekson, dan nalorfin. Obat ini digunakan
terutama pada overdose intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan berdasarkan penggeseran
opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor otak.Antagonis morfin juga berkhasiat analgetis, tetapi
tidak digunakan dalam terapi karena khasiatnya lemah an efeksampingnya mirip morfin (depresi
pernafasan, reaksi psikotis).
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver
somniferum (Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara kimia
sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain. Kelompok kedua adalah
isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat berlainan (antara lain non-narkotis), yakni
papaverin, nosapin ( = narkotin), dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula
memiliki jenin kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn euphoria,
menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya berdasarkan supresi susunan
saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan pupil
mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi.Efek perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi
kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti pasca-bedah dan setekah
infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk
memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai kerjanya
setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik,
secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam bentuk
glukuronida, dan hanya sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan
kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai antidotum, yakni nalokson
Dosis : dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam-HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg.
Anak-anak : oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan
a. Pulv. Opii : 10% morfin
b. Pulv. Doveri : 1% morfin + Rad. Ipecacuanhae + K2SO4.
c. Acidov II : p. Doveri150 mg + salamid 350 mg.
d. Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintesis dengan kerja analgetis yang 2 kali
lebih kuat, tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat sekali. Dengan alas an ini heroin tidak
digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat disukain sekali oleh para pecandu drug.
b.

Metadon : amidon, symoron

Zat sintetis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya analgetik dua kali
lebih kuat dari pada morfin, dan berkhasiat anastetik local.
Indikasi : Detoksifikasi ketergantungan morfin, nyeri hebat pada pasien yang di rawat di
rumah sakit.
Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t-1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat
bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para pecadu. Umumnya metadon tidak
menimbulkan eurofia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah
penghentian penggunaan zat opioida yang lain. Khusus digunakan sebagai zat pengganti heroin dan
morfin pada terapi subtitusi para candu.
Efek sampingnya kurang hebat dari morfin terutama efek hipnotis dan euforianya lemah,
tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah
disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan tetapi penggunaannya selama selama persalinan harus
dengan hati-hati karena dapat menekan pernafasan.
Dosis : pada nyeri oral 4-6 dd 2,5 -10 mg garam HCl, maksimum 150 mg/hari. Terapi
pemeliharaan pecandu : permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg selama 6
bulan.
*Dekstromoramida (patfium) adalah opioid sintetis (1956) yang rumusnya mirip metadon.
Khasiat analgetisnya lebih kuat sedikit dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, efeknya setelah 20-30
menit, dan bertahan lebih singkat, ca 3 jam. Depresi pernafasannya lebih kuat dibandingkan morfin,
pada dosis biasa dapat tejadi apnoe, begitu pula efek adiksinya. Tidak layak untuk pengobatan nyeri
kronis. Efek sedasi dan obstipasinya lebih ringan
Dosis : oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg sebagai hidrogentartrat,
Efek tak diinginkan:
Depresi pernapasan
Konstipasi
Gangguan SSP
Hipotensi ortostatik
Mual dan muntah pada dosis awal
b.

Fentanil :fetanyl, durogesic, *Thalamonal.


Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang digunakan
lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih kuat dari
pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan kekakuan
otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni penurunan cardiack output
dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila perlu diulang setelah setengah
jam. Plester (durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam.
Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x lebih kuat. Sifat
dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan pada waktu anestesi dan
pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
Dosis : pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu diulang
2 kali.

b.

kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront

Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih lemah misalnya
efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering
digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi denagn
parasetamol/asetasal.Obstipasi dan mual dapat terjadi teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd
20 mg).resorpsi oral dan rectal baik; didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%).
Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara utuh. Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
Dosis : pada nyeri oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak diatas 1 tahun 3-6 dd 0,5
mg/kg. pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maksimal 120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.
*Etilmorfin (Dionin) adalah derivate dengan khasiat analgetis dan hipnotis lebih lemah,
penghambatannya terhadap pernafasannya pun lebih ringan. Untuk menekan batuk, obat ini kurang
efektif dibandingkan dengan kodein, tetapi dahulu banyak digunakan dalam sediaan batuk.
*noskapin (narkotin, longantin, mercotin, neocodin) adalah alkaloida candu lain, tanpa sifat
narkotis, yang lebih efektif sebagai obat batuk
Dosis : pada anak-anak 2-3 dd 150 mg, maksimum 200 mg/ hari

c.

Tramadol : tramal
Derivat sikloheksanol ini (1977) adalah campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat
analgetisnya sedang dan berdaya menghambat reuptake noradrenalin dan antitusif (anti-batuk). Obat
ini disebagian negara sianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja sentral, yakni melalui
pendudukan reseptor opioid. Meskipun demikina zat ini tidak menekan pernafasan, praktis tidak
mempenganruhi sistem kardiovaskuleratau motilitas lambung-usus. Tramadol digunakan untuk sakit
nyeri menengah hingga parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani
nyeri menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.
Walaupun memiliki sifat adiksi ringan tetapi dalam praktek ternyata rasikonya praktis nihil sehingga
tidak termasuk daftar narkotika di kebanyakan negara deperti AS, GB, BRD, Swis, Swedia, Jepang,
termasuk Indonesia. Efek analgetis dari 120 mg tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg morfin.
Penggunaannya oral, rektal, dan parental untuk nyeri sedang sampai hebat, bila kombinasi
parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat digunakan. Untuk nyeri akut atau
pada kanker pada umumnya morfin lebih ampuh.
Resorpsinya di usus cepat dan tuntas dengan BA rata-rata 78%, plasma-t-1/2-nya 6
jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan hingga 6-8 jam. Dalam hati , sebagian besar
zat diuraikan menjadi antara lain metabolit dengan daya kerja 6 kali lebih kuat. Ekskresinya
berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh.
Efek sampingnya tak begitu berat dan sering berupa termangu-mangu, berkeringat,
pusing, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Resiko
habituasi, ketergantungan dan adiksi dianggap ringan. Namun tidak di anjurkan penggunaannya oleh
penderita dengan sejarah pengalahgunaan drugs.
Wanita hamil dan menyusui. Opioda dapat melintasi plasenta dan sebegitu jauhdiketahui tidak
merugikan janin bila digunakan jauh sebelum partus. Hanya o,1% dari dosis masuk kedalam air susu
ibu. Meskipun demikian, tramadok tidak dianjurkan selama kehamilan dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, maksimum 400 mg sehari. Anak-anak diats 1 tahun : 3-4
dd 1-3 mg/kg.
Minumlah tramadol sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau lebih
lama dari yang diresepkan dokter. Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg sehari.

d.

Nalokson : narcan

Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom N (1969). Zat
ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainya, terutama depresi pernafasan tanpa
mengurangi efek analgetisnya. Penekanan pernapasan dari obat-obat depresi SSP lain ( barbital,
siklopropan, eter) tidak ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti nalorfin. Bila madiri tidak
memiliki kerja agonistis (analgetis). Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan
barbital), paska operasi untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioid. Atau secara diagnostis
untuk menentukan adiksi sebalum dimulai dengan penggunaan naltrexon.
Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah berefek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam.
plasma-t-1/2-nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioida, maka lajimnya perlu
diulang beberapa kali.
Efek sampingnya dapat berupa tachycarsia (setelah bedah jantung), jarang reaksi
alergi dengan shock dan edema paru-paru.
Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat menjadi mual, muntah,
berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi, dan berhentinya jantung.
Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3 menit.
* Nalorfin (alilnormorfin) adalah zat induk nalokson (1952) dengan khasiat sama,
kecuali juga berkhasiat analgesik lemah.
Zat ini mampu meniadakan depresi e\pernapasan yang hebat oleh opioida, tetapi justru memperkuat
depresi yang bersifat ringan, atau akibat opioida dengan kerja campuran (agonistis dan antagonistis)
dan zat-zat sentral lain. Oleh karena itu, zat ini hanya digunakan pada operdose opioida bila
nalokson tidak tersedia.
Dosis : pada overdose s.c./i.m./i.c. 5-10 mg bila perlu diulang setelah 10-15 menit sampai maksimum
40 mg sehari.
* Naltrekson (Nalorex) adalah derivat nalokson dimana gugus alil diganti dengan
siklopropil (1985). Sifatnya antagonis murni yang tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan
fisik dan psikis. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit aktif 6-naltreksol yang terutama diekresi
melalui kemih. Naltrekson mengalami siklus enterohepatis, masa paruhnya 4-12 jam.
Penggunaannya terutama untuk menghambat efek-efek opioida berdasarkan pengikatan kompetitif
pada reseptor opioida dan sebagai obat antiketagihan heroin. Pada pecandu obat opiat dapat
menimbulkan gejala abstinensi hebat dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48 jam. Obat ini
hanya boleh diberikan setelah penghentian heroin / morfin atau metadon sekurangkurangnya masing masing 7 dan 10 hari.
Dosis: permulaan 25 mg, bila tidak menjadi efek abstinensi setelah 1 jam diulang dengan 25 mg. Lalu
e. Pentazocin : Fortral
Zat sintetis ini diturunkan dari morfin (1964), dimana cincin fenantren diganti oleh
naftalen.Gugus-N-allil memberika efek antagonis terhadap opioida lainnya.Khasiatnya beragam,
yakni disamping antagonis lemah, juga merupakan agonis parsiil.Khasiat analgetisnya sedang
sampai kuat, lebih kurang antara kodein dan petidin 3 6 kali lebih lemah dari pada morfin.Di AS
sering disalahgunakan dalam kombinasi dengan antihistaminika dan nalokson.
Resorpsinya diusus baik, tetapi BA hanya ca 20% akibat FPE besar. Mulai kerjnya
cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek rektalnya sama dengan pengguaan
oral. PPnya 60% plasma-t-1/2-nya 2-3 jam. Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit yang diekresi
terutama lewat kemih.
Dosis: pada nyeri sedang kuat 3-4 dd 50-100 mg, maksimal 600 mg sehari.
f. Kanabis : *marihuana, *hashiz,, weed, grass
Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan dari bentukwanita
tumbuhan cannabis sativa (Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan zat-zat terpen,

terutama tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang terpenting
diantaranya adalah sedatif, hipnotis, dan analgetis, antimual dan spasmolitis.
Khasiat analgetis pada THC terjadi di batang otak, dimana terletak pula titik kerja dari
opioida. Hanya mekasime kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak memegang peranandan
nalokson tiak melawan efek analgetisnya. Disamping itu ambang nyeri diturunkan. Dahulu meski
jarang kanabis digunakan sebagai obat tidur, sedatifum, dan spasmolotikum pada tetanus, umumnya
dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sekarang kanabis banyak disalahgunakan sebagai zat
penyegar narkotik. Akhir-akhir ini mulai digunakan lagi dengan efek sebagai anti emetikum dan
analgetikum, pada kangker, stimulans nafsu makan pada penderita AIDS, an obat relaksasi
kejang/otot pada MS.
g. Dolantin
Merupakan zat sintetis , secara kimia lebih menyerupai atropin daripada morfin. Memiliki sifat
spasmolitik, sedangkan sifat menekan terhadap pusat batuknya sama dengan morfin.
h. Dihidromorfin dan Dilaudid
Adalah turunan morfin dengan khasiat analgetiknya kurang lebih 5 kali morfin, tetapi jangka waktu
bekerjanya lebih pendek dan khasiat membiusnya lebih lemah.
3. HIPNOTIK-SEDATIVA (PENENANG)
Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang berarti tidur, adalah obat yang
diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh normal untuk tidur,
mempermudah atu menyebabkan tidur.Sedangkan sedative adalah obat obat yang menimbulkan
depresi ringan pada SSP tanpa menyebabkan tidur, dengan efek menenangkan dan mencegah
kejang-kejang.
Yang
termasuk
golongan
obat
sedative-hipnotik
adalah:
Ethanol
(alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam, methaqualon.
Insomnia dan pengobatannya
Insomnia atau tidak bisa tidur dapat disebabkan oleh factor-faktor seperti : batuk,rasa nyeri,
sesak nafas, gangguan emosi, ketegangan, kecemasan, ataupun depresi. Factor penyebab ini harus
dihilangkan dengan obat-obatan yang sesuai seperti:Antussiva, anelgetik, obat-obat vasilidator, anti
depresiva, sedative atau tranquilizer.
Persyaratan obat tidur yang ideal
1. Menimbulkan suatu keadaan yang sama dengan tidur normal
2. Jika terjadi kelebihan dosis, pengaruh terhadap fungsi lain dari system saraf pusat maupun organ
lainnya yang kecil.
3. Tidak tertimbun dalam tubuh
4. Tidak menyebabkan kerja ikutan yang negative pada keesokan harinya
5. Tidak kehilangan khasiatnya pada penggunaan jangka panjang
Efek samping
Kebanyakan obat tidur memberikan efek samping umum yng mirip dengan morfin antara lain :
a. Depresi pernafasan, terutama pada dosis tinggi, contihnya flurazepam, kloralhidrat, dan
paraldehida.
b. Tekanan darah menurun, contohnya golongan barbiturate.
c. Hang-over, yaitu efek sisa pada keesokan harinya seperti mual, perasaan ringan di kepala dan
pikiran kacau, contohnya golongan benzodiazepine dan barbiturat.
d. Berakumulasi di jaringan lemak karena umumnya hipnotik bersifat lipofil.

Penggolongan
Secara kimiawi, obat-obat hipnotik digolongkan sebagai berikut :
1. Golongan barbiturate, seperti fenobarbital, butobarbital, siklobarbital, heksobarbital,dll.
2. Golongan benzodiazepine, seperti flurazepam, nitrazepam, flunitrazepam dan triazolam.
3. Golongan alcohol dan aldehida, seperti klralhidrat dan turunannya serta paraldehida.
4. Golongan bromide, seperti garam bromide ( kalium, natrium, dan ammonium ) dan turunan ure
seperti karbromal dan bromisoval.
5. Golongan lain, seperti senyawa piperindindion (glutetimida ) dan metaqualon.
Obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping
1. Diazepam
Indikasi
: hipnotika dan sedative, anti konvulsi, relaksasi, relaksasi otot dan anti ansietas (obat
epilepsi).
2. Nitrazepam
Indikasi
: seperti indikasi diazepam
Efek samping : pada pengguanaan lama terjadi kumulasi dengan efek sisa (hang over ), gangguan
koordinasi dan melantur.
3. Flunitrazepam
Indikasi
: hipnotik, sedatif, anestetik premedikasi operasi.
Efek samping : amnesia (hilang ingatan )
4. Kloral hidrat
Indikasi
: hipnotika dan sedatif
Efek samping: merusak mukosa lambung usus dan ketagihan
5. Luminal
Indikasi
: sedative, epilepsy, tetanus, dan keracunan strikhnin.

Anda mungkin juga menyukai